Uang Judi Mengalir ke 40 Wartawan Riau

Pekanbaru,(ANTARA News) - Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau, Deni Kurnia, mengungkapkan, sebanyak 40 oknum wartawan diduga kuat secara rutin menerima "upeti" dari Chandra Wijaya alias Acin, tersangka bandar judi besar togel se-Sumatera. 

"Ada 40 oknum wartawan yang menerima aliran dana dari Acin, dan 10 diantaranya adalah oknum wartawan dari PWI Riau," katanya kepada wartawan di Pekanbaru, Kamis.

Menurut Deni, terkuaknya aliran dana judi yang mengalir ke kantong wartawan adalah berdasarkan hasil tim investigasi independen PWI Riau. Tim tersebut dibentuk setelah Kapolda Riau Brigjen Pol Hadiatmoko mengatakan ada dugaan wartawan ikut terlibat melanggengkan bisnis judi di Riau pada saat penangkapan Acin, Oktober lalu.

Berdasarkan hasil investigasi, lanjutnya, oknum wartawan yang menerima suap dari Acin secara rutin mendapat jatah berbentuk uang tunai tiap bulan. Selain itu, mereka�kerap mendapat bingkisan seperti parsel pada saat lebaran. Semua pemberian tersebut diberikan Acin dengan tujuan agar wartawan tidak mengusik bisnis judi melalui pemberitaan di media massa.

Meski begitu, Deni tidak bersedia menyebutkan nama-nama wartawan yang terlibat. Namun, menurut informasi yang berhasil dihimpun, wartawan yang menerima upeti judi ada yang masih menjabat pimpinan redaksi surat kabar lokal.

Deni menambahkan, PWI Riau akan segera menindak tegas 10 anggotanya yang terlibat judi dengan melakukan pemecatan. Keputusan pemecatan tersebut, lanjutnya, tetap menunggu keputusan dari PWI pusat setelah PWI Riau mengirimkan rekomendasi berdasarkan hasil investigasi. Keterlibatan wartawan, apalagi anggota PWI Riau, dinilai telah mencoreng citra kewartawanan secara keseluruhan.

"Kami tidak akan mentolerir oknum anggota PWI yang terima uang judi, kami akan pecat mereka jika nantinya terbukti terima dari Acin" katanya.

Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Riau AKBP Zulkifli mengatakan, pihaknya akan segera memintai keterangan oknum wartawan yang diduga terlibat kasus judi Acin. Namun, lanjutnya, polisi akan fokus dulu pada masalah judi yang kini berkasnya sudah berada di Kejaksaan Negeri Pekanbaru.(*)

http://www.antara.co.id/arc/2008/12/4/uang-judi-mengalir-ke-40-wartawan-riau/

Tora Sudiro Sebut Wartawan Anjing

Jakarta, ( RMBlitz!, 25-11-2008 ), Artis Tora Sudiro mulai tidak bersahabat dengan wartawan. Buktinya, ketika disapa wartawan di Pengadilan Agama (PA) Depok, Tora menjawab dengan njing yang merupakan kependekan dari binatang Anjing. 

Sejak pertama datang ke PA Depok, pria bertato ini sudah menunjukkan muka yang tidak ramah dengan wartawan. Saat turun dari mobil, Tora langsung disapa wartawan. "Halo Mas Tora," ujar salah satu wartawan. Sapaan itu, langsung dijawab kasar oleh Tora. "Halo juga njing," ketusnya. 

Tak hanya itu, usai sidang, Tora dan Anggi langsung menuju mobilnya mabil-masing. Sebelum sampai di mobil Tora langsung dihujani pertanyaan wartawan. Ketika ditanyakan apakah ingin rujuk? Bintang Extravaganza itu kembali menjawab dengan nada kasar. "Sok tahu lu," Ketus Tora. 

Sidang cerai kali ini beragendakan mediasi. Hanya sekitar tiga puluh menit sidang mediasi yang dipimpin oleh mediator Agus Yunih itu berlangsung. 

Menurut kuasa hukum Anggi, Ferry Anka Suganda, kedua belah pihak sudah tidak ada keinginan untuk rujuk. Namun, masalah hak asuh anak akan jatuh pada Anggi Kadiman. 

"Mengenai hak asuh anak dan harta gono gini sudah sepakat. Anak diasuh oleh Anggi. Tapi Anggi tidak boleh membatasi Tora untuk mengunjungi anaknya," ujar Ferry. 

Seperti diketahui, Tora digugat cerai oleh istrinya, Anggi Kadiman pada 20 Nopember lalu. Tora digugat cerai karena dikabarkan mempunyai hubungan khusus dengan artis Mieke Amalia.sen/hds

http://pwi.or.id/index.php/Berita-PWI/Tora-Sudiro-Sebut-Wartawan-Anjing.html

Pemred Delapan Koran Ajukan Uji Materiil UU Pemilu

Jakarta, (Pos kota, 20 November 2008 )- Kewajiban memasang iklan Kampanye, bukan menjadi beban media cetak atau Lembaga penyiaran. Untuk itulah delapan Pemimpin Redaksi (Pemred ) mengajukan uji Materiil UU 10/2008 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi ( MK ).

Pemohon di antaranya Pemred Harian Terbit Tarman Azzam, Pemred Harian Sinar Harapan Kristanto Hartadi, Pemred Suara Merdeka Sasongko Tedjo, Pemred Harian Rakyat Merdeka Ratna Susilo Wati, Pemred Harian Koran Jakarta Marthen Selamet Sutanto, Pemred Harian Warta Kota Dedy Pristiwanto, dan Pemred Tabloid Cek & Ricek Ilham Bintang. Mereka menunjuk pengacara Torozatalu endrofa dari LKBH PWI Pusat.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar MK kemarin (19/11/2008), pemohon menjelaskan, Iklan adalah sumber pembiayaan berlangsungnya perusahaan Pers. Lalu bagaimana solusinya, jika ada peserta kampanye yang tidak mempunyai uang atau tidak ada pihak yang mau bekerja sama dalam bentuk iklan layanan masyarakat dengan peserta kampanye yang bersangkutan?

Padahal, dalam pasal 39 ayat ( 3 ) UU mewajibkan pelaku media memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye. Tragisnya, pada pada pasal 99 huruf f menyebutkan apabila pemohon tidak memenuhi kuwajiban tersebut, maka sanksinya pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media media massa cetak.

Menurut pemohon, sanksi ini bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945 dan UU Pers. Majelis Hakim Konstitusi, Maria Farida Indrati meminta Pemohon memperbaiki permohonannya, apalagi Wewenang MK yaitu menguji UU terhadap UUD, bukan UU terhadap UU ( UU Pers ). " Cantumkan pula argumentasi hukum yang jelas dan tepat untuk tiap-tiap pasal yang dimohonkan. Juga jelaskan mengapa mengapa memberikan perlakuan yang sama kepada peserta pemilu ( Untuk berkampanye lewat media ) dianggap Inskonstitusional ," Kata Hakim anggota panel Abdul Mukthie Fadjar.

Dijelaskannya, agenda pemeriksaan pendahuluan ini untuk melihat kelengkapan, kejelasan dan bila perlu memberi saran dan nasihat. ( endang/nk/t ) 

http://pwi.or.id/index.php/Berita-PWI/Pemred-8-Koran-Ajukan-Uji-Materiil-UU-10/2008-Pemilu-ke-MK.html

Wartawan SCTV Dikeroyok Keluarga Residivis

Makassar (ANTARA News) - Wartawan televisi, Syamsul Bakri (31) warga Tello, Makassar, dikeroyok belasan orang yang diduga keluarga residivis pencurian kendaraan bermotor (Ranmor) dan langsung melaporkan kejadian ini Polresta Makassar Barat, Sabtu.

"Awalnya saya meliput keributan di Jalan Lamaddukelleng Buntu sekitar pukul 00.00 Wita. Sejam kemudian salah seorang anggota Resmob Makassar Barat mendengar kabar dari salah seorang anggota jika salah seorang tersangka yang sudah dijadikan "target operasi" (TO) diketahui jejaknya," tuturnya.

Polisi diikuti sejumlah wartawan elektronik dan cetak kemudian mengejar TO dan saat tiba di tempat kejadian perkara (TKP) polisi yang berjumlah empat orang itu memasuki rumah MS alias Ono (39), yang residivis Ranmor.

Ketika Ono berhasil diringkus dan para polisi serta sejumlah wartawan meninggalkan TKP, korban tidak mengetahuinya sehingga asyik saja mengambil gambar tanpa ia sadari keluarga korban tengah mengincarnya.

Korban pun menjadi sasaran empuk kemarahan keluarga tersangka dan dikeroyok hingga luka di beberapa bagian tubuhnya.

Sejumlah peralatan seperti, lampu penerangan, aki, charger kamera serta sepeda motornya dirampas massa, sementara kamera videonya masih bisa diselamatkan, namun tidak lagi berfungsi karena dirusak massa.

Sejumlah polisi Makassar Barat kemudian turun ke TKP mencari pelaku pengeroyokan, namun tidak seorang pun ditemukan. Beruntung, motor korban kemudian bisa diselamatkan oleh polisi. (*)

Bogem di Kota Ketupat

Oleh Yusran Pare

KANDANGAN, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalimantan Selatan, dikenal karena dodolnya yang lezat dan ketupat berkuahnya yang gurih. Tapi, justru bogem mentah yang menyambut Riduan, pada hari pertama penugasannya di kota itu.

Hari itu, Sabtu ( 25/10/08 ) sekitar pukul 12.00 Wita, Ridwan, wartawan Banjarmasin Post, bersama Khairil Rahim, rekannya hendak meliput demosntrasi mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul Ulum Kandangan.

Aksi mahasiswa berlangsung di sekitar kediaman Ketua Yayasan STAI Darul Ulum, H Asnawi Syihabubbin, di Desa Gambah Dalam, Kecamatan Kandangan, Hulu Sungai Selatan.

Ketika dua wartawan ini tibe di tempat kejadian, ternyata demo sudah selesai. Di tempat itu hanya ada para pendukung ketua yayasan. Sebagai jurnalis, keduanya tetap mencari informasi. Namun orang-orang yang saat itu ada di sana tampak tidak senang.

"Kalian wartawan? Mau mempermalukan kami, ya!" hardik satu di antara mereka. Tanpa menunggu jawaban, orang-orang itu langsung menghajar keduanya.

Riduan dan Khairil berusaha menyelamatkan diri menggunakan sepeda motor masing-masing. Nahas, Riduan tidak sempat menyelamatkan diri. Dia terjatuh dari sepeda motor, sehingga tubuhnya jadi bulan-bulanan oleh dua orang pelaku. Sementara Khairil yang sempat lolos langsung meminta bantuan ke Polres HSS.

"Sebelum dipukul, kami sudah memperkenalkan diri, bahwa kami ini wartawan. Namun pelaku langsung memukul. Saya sempat mau lari, namun mereka keburu mencengkeram baju saya. Saya sempat jatuh dari motor dan mereka langsung menghajar," terang Riduan.

Polisi kemudian menciduk para pelaku dan memerika mereka. Kapolres HSS, AKBP Suherman, mengatakan pihaknya menangani seacara serius kasus ini. Para pelaku diancam pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan.

Akibat pemukulan itu, Riduan mengalami lebam di muka dan punggung. Sedangkan Khairil mengalami luka di bibir.

KETUA Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Kalimantan Selatan, Fathurahman, mengatakan kasus ini harus diusut tuntas. Dalam hal ini, polisi harus bertindak cepat dan profesional.

Menurutnya, semua orang harus menghargai dan menghormati tugas-tugas jurnalistik. Sesuai undang-undang, seorang jurnalis yang sedang menjalankan tugas harus dilindungi, apalagi yang bersangkutan sudah menyebut identitasnya.

"Itu harus dibawa ke kasus hukum. Polisi harus bertindak cepat karena tugas jurnalistik dilindungi undang-undang. Apalagi, wartawan yang bersangkutan sudah menyebut identitas, tidak meliput secara sembunyi-sembunyi," katanya. (Banjarmasin Post, 25/10/2008).

Sumber http://yusranpare.wordpress.com/

Dua Wartawan Banjarmasin Post Dianiaya

KANDANGAN, PK -- Tindak kekerasan yang dialami wartawan saat melakukan peliputan kembali terjadi. Kali ini yang menjadi korban adalah dua wartawan Banjarmasin Post, Khairil Rahim (28) dan Ahmad Riduan (29).

Keduanya dipukul massa saat hendak meliput aksi demo mahasiswa STAI Darul Ulum Kandangan di salah satu rumah kediaman Ketua Yayasan STAI Darul Ulum, H Asnawi Syihabubbin di Desa Gambah Dalam Kecamatan Kandangan HSS, Sabtu (25/10/2008) sekitar pukul 12.00 Wita.

Aksi demo yang dilakukan 100 orang lebih adalah puncak kekesalan mahasiswa terhadap ketua yayasan yang belum juga memberikan surat keputusan (SK) ketua definitif Muhsin Aseri yang terpilih dalam rapat senat, dosen dan mahasiswa STAI, Jumat, 4 Januari lalu.

Atas penganiayaan itu, Riduan mengalami luka lebam di bagian muka dan punggung belakang, sedangkan Khairil mengalami luka di bagian bibir. Kasus ini segera dilaporkan ke Polsek Kandangan.

Mendapat laporan, polisi dengan cepat berhasil menangkap dua pelaku pemukulan yang juga anak kandung Ketua Yayasan STAI Darul Ulum Kandangan, HM Habiburrahman dan keluarganya, Miftah, warga setempat.

Riduan mengatakan, saat itu dia bersama rekannya, Khairil bermaksud meliput demo yang terjadi di Desa Gambah. Saat tiba di tempat kejadian, ternyata demo sudah selesai. Di tempat itu hanya ada para pendukung ketua yayasan saja.

Melihat kedatangan mereka berdua, pelaku merasa tidak senang. Mereka langsung mengejar dan melakukan pemukulan. Mendapat serangan tak disangka itu, Riduan dan Khairil berusaha menjelaskan bahwa mereka adalah wartawan yang sedang menjalankan tugas. Dalam upaya menyelamatkan diri, Riduan terjatuh dari sepeda motor, sehingga tubuhnya menjadi bulan-bulanan dua orang pelaku. Sementara Khairil yang sempat lolos dari maut langsung meminta bantuan dengan melaporkan kejadian tersebut ke Polres HSS.

Setelah melapor ke Polsek Kandangan, pelaku yang memang sudah dikenali polisi berhasil dibekuk di rumahnya masing-masing. Meski ditahan di Polsek Kandangan, kedua pelaku masih terlihat berkeliaran.

Kapolres HSS, AKBP Suherman mengaku saat ini kasus pemukulan terhadap wartawan telah ditangani serius Polsek Kandangan. Kedua pelaku diancam pasal 170 tentang KUHP tentang Pengeroyokan.

Ditemui terpisah, Ketua PWI Kalsel, Fatturakhman mengatakan, kasus ini harus diusut tuntas. Dalam hal ini, polisi harus bertindak cepat dan profesional. Menurutnya, semua orang harus menghargai dan menghormati tugas-tugas jurnalistik. Sesuai UU, seorang jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya harus dilindungi, apalagi yang bersangkutan sudah menyebut identitasnya.

"Itu harus dibawa ke kasus hukum. Polisi harus bertindak cepat karena tugas jurnalistik dilindungi undang-undang. Apalagi, wartawan yang bersangkutan sudah menyebut identitas, tidak meliput secara sembunyi-sembunyi, " kata Faturrakhman yang dihubungi ke ponselnya, Sabtu (25/10).

Dikatakannya, kasus ini harus dijadikan pelajaran bagi semua pihak, bahwa tugas-tugas jurnalistik yang bertujuan memberikan informasi untuk kalangan umum harus dihormati.
Direktur PT Grafika Wangi Kalimantan yang menaungi Banjarmasin Post Group, Yusran Pare menyayangkan terjadinya peristiwa itu. Dia menyatakan kasus ini harus dituntaskan secepat mungkin. Secara kelembagaan, Banjarmasin Post Group akan melayangkan surat protes secara resmi dan mendesak aparat kepolisian segera memproses kasus ini hingga tuntas.

"Peristiwa ini tak boleh terjadi, lagi sampai kapan pun. Kekerasan terhadap wartawan harus dihentikan. Apalagi, dalam kasus ini, wartawan kami sudah menyebutkan identitasnya. Ini tak boleh terulang lagi," tegasnya. (Bpost/sig)

Pos Kupang edisi Minggu, 26 Oktober 2008 halaman 10, http://www.pos-kupang.com/

PWI, AJI dan IJTI Sepakat Lawan Kriminalisasi Pers

KUPANG, PK--Tiga organisasi pers di Propinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Daerah NTT, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kupang dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Daerah NTT, sepakat melawan kriminalisasi dan kekerasan terhadap pers di NTT.

Pernyataan sikap ini disampaikan bersama oleh tiga orang ketua dari tiga organsasi tersebut, yaitu Dion DB Putra dari PWI NTT, Jemris Fointuna dari AJI Kota Kupang dan Didimus Payong Dore dari IJTI Daerah NTT di Hotel Kristal Kupang, Kamis (9/10/2008).

Pembacaan pernyataan bersama ini disaksikan oleh Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L.Foenay, Wakil Ketua Komisi A DPRD NTT, Jonathan Kana, Ketua Umum IJTI, Imam Wahyudi, dan Wakil Ketua Kelompok Kerja Pengaduan Dewan Pers, Bekti Nugroho.

Inti dari pernyataan tersebut berupa tekad PWI NTT, AJI di NTT dan IJTI Daerah NTT untuk bekerja sama bahu membahu melawan setiap upaya kriminalisasi atau pemidanaan terhadap karya-karya jurnalistik.

Kesepakatan tiga organisasi ini disampaikan dalam lokakarya bertema, Bersama Kita Lawan Kriminalisasi dan Kekerasan Terhadap Jurnalis. Lokakarya ini dilanjutkan dengan Musyawarah Daerah (Musda I) IJTI NTT diikuti sekitar 28 orang anggota IJTI NTT. Para pembicara dalam lokarya tersebut adalah Ketua Umum IJTI, Imam Wahyudi, Wakil Ketua Pokja Pengaduan Dewan Pers, Bekti Nugroho, Ketua PWI NTT, Dion DB Putra, dan Direktur Reserse Kriminal Polda NTT, Kombes Pol Musa Ginting.

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan bersama disebutkan bahwa kebebasan pers merupakan kebutuhan yang tak terpisahkan dalam masyarakat demokratis karena melalui pers yang bebas, hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan semua informasi yang mereka butuhkan.

Kebebasan pers meliputi kebebasan untuk mengumpulkan, mengelola dan menyebarkan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Penghalangan dan pemasungan terhadap kebebasan merupakan pelanggaran terhadap hak masyarakat.

Kebebebasan pers harus digunakan sebaik-baiknya untuk menjalankan fungsi ideal pers sebagai pelayan masyarakat. Organisasi profesi pers sebagai wadah tempat berhimpun para jurnalis profesional berkewajiban menjaga kebebasan itu secara terus menerus dengan meningkatkan kualitas, kapasitas dan profesionalisme para anggotanya yang menggunakan kebebasan pers itu dan melakukan pembelaan jika mereka mengalami gangguan dalam menjalankan tugas profesionalnya.

Dalam menjalankan fungsi pemberitaan, pers harus secara ketat mengikuti mekanisme, standar-standar dan etika profesi. Jika terjadi sengketa yang menyangkut pemberitaan, penyelesaiannya mesti dilakukan melalui hak jawab dan mekanisme mediasi yang diatur dalam Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999.

Didimus Payong Dore dari IJTI NTT, Dion DB Putra dari PWI NTT dan Jemris Fointuna dari AJI Kota Kupang menyatakan:

1) Setiap jurnalis harus menjunjung tinggi profesionalisme, menegakkan etika profesi dan memperkuat solidaritas profesi.

2).Kriminalisasi atau pemidanaan atas karya-karya jurnalis harus dihindari karena bertentangan dengan semangat Undang- Undang Pers No 40 Tahun 1999 dan bisa menimbulkan efek jera yang pada akhirnya memasung kebebasan pers.

3) Akan bersama-sama melawan setiap upaya kriminalisasi atas karya-karya jurnalistik dan mendorong penyelesaian sengketa pers melalui mekanisme dan ketentuan yang digariskan dalam Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999.

4) Akan berkerja sama menghadapi dan melakukan advokasi terhadap setiap kasus kekerasan dan penghalangan terhadap jurnalis yang melakukan tugas jurnalistiknya secara profesional.

5) Mengimbau kepada semua pihak untuk secara bersama-sama menghormati dan menegakkan kebebasan pers demi menjamin hak setiap anggota masyarakat untuk memberikan dan mendapatkan informasi yang mereka butuhkan secara bebas.
(alf)

Pos Kupang edisi Jumat, 10 Oktober 2008 halaman 10

Didimus Pimpin IJTI NTT

KUPANG, PK--Didimus Payong Dore berhasil terpilih sebagai ketua Pengurus Daerah Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Nusa Tenggara Timur periode 2008-2012. Penetapan Didimus sebagai ketua IJTI dan badan pengurus Daerah IJTI NTT langsung dikukuhkan oleh Ketua Umum IJTI, Imam Wahyudi di ruang pertemuan terbatas, Hotel Kristal Kupang, Kamis (9/10/2008).

Selain ketua, Ketua Umum IJTI juga mengukuhkan anggota badan pengurus IJTI NTT yakni James Wellem Ratu sebagai sekretaris, Frits Floris sebagai bendahara, koordinator bidang advokasi oleh Eliazar Ballo (Trans TV), Koordinator Bidang Organisasi (Jefry Taolin/Indosiar), Koordinator Bidang Pendidikan dan Latihan (Kristo Ngay) dan Koordinator Bidang hubungan luar negeri dijabat Tomy Mirulewan (TVRI Kupang).

Pengukuhan tersebut disaksikan oleh Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L Foenay, Sekjen IJTI Bekti Nugroho, Wakil Ketua Komisi A DPRD NTT, Jonathan Kana, Ketua Pesatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang NTT, Dion DB Putra dan Ketua Persiapan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kupang, Jemfris Fointuna.

Sebelumnya, dalam acara pemilihan ketua, Didimus, wartawan Surya Citra Televisi Indonesia (SCTV) di NTT, ini berhasil mengumpulkan 15 suara mengungguli dua kandidat ketua lainnya yakni James Wellem Ratu (TPI) yang memperoleh tujuh suara dan Frits Floris (TV One) yang memperoleh enam suara dalam acara pemilihan yang berlangsung di tempat tersebut.

Imam Wahyudi dalam sambutannya mengatakan, IJTI berdiri pada tanggal 9 Agustus 1998 atau bertepatan dengan dimulainya reformasi di Indoneisia. Alasan pendirian organisasi ini karena cara kerja dan media informasi televisi berbeda dengan media cetak sehingga diperlukan wadah khusus untuk para jurnalis televisi.

Dua tujuan organisasi ini, pertama, meningkatkan kapasitas anggota IJTI, dan kedua, memberikan bantuan advokasi kepada anggota yang bermasalah.

Pada kesempatan itu, Imam juga menyampaikan bahwa IJTI adalah sebuah lembaga independen. Anggota AJTI dilarang untuk meminta uang pada pihak lain, termasuk pemerintah dengan alasan apa pun. Namun AJTI tidak melarang anggotanya yang menjual jasa profesional kepada instansi pemerintah yang membutuhkan.

"Kalau ada anggota kita yang meminta uang tolong disampaikan ke kami, tapi kalau ada anggota yang karena profesional dan diberi imbalan karena melatih syuting, itu tidak masalah," jelasnya.

Menurutnya, dalam proses pemberitaan, seorang jurnalis televisi kadang melakukan dari kesalahan karena prosesnya harus melalui beberapa tahap. Namun kesalahan tersebut bisa diselesaikan sesuai dengan UU Pers yang berlaku.


Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon Foenay pada kesempatan itu mengatakan NTT saat ini sudah miskin secara ekonomi dan material sehingga jangan lagi dipersulit secara kekeluargaan, kekerabatan dan persahabatan.

Dengan berbagai nilai-nilai kultur yang dimiliki NTT tersebut diharapkan bisa membangkitkan semangat dalam membangun perekonomian. Kepada badan pengurus yang baru dikukuhkan, Esthon mengucapkan selamat bekerja.

Ketua IJTI dalam sambutannya menyampaikan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan tersebut. Dan, diharapkan bisa memberikan dukungan dalam pelaksanan tugas. (alf)

Pos Kupang edisi Jumat, 10 Oktober 2008 halaman 10

UU Pers Belum Menjadi Lex Spesialis

KUPANG, PK--Undang-Undang Pers belum menjadi lex spesialis bagi penyelesaian kasus-kasus jurnalisme di Indonesia karena sengketa pers masih menggunakan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Untuk itu perlu kerja keras dari semua organisasi profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) untuk menjadikan Undang- Undang Pers sebagai satu-satunya perangkat hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus pers. Perlu dilakukan sosialisasi secara terus-menerus kepada masyarakat sehingga kejahatan pers dilaporkan ke Dewan Pers, bukan ke polisi.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Pokja Pengaduan Dewan Pers, Bekti Nugroho, dalam Loka Karya bertajuk, 'Bersama Kita Lawan Kriminalisasi dan Kekerasan', di Hotel Kristal Kupang, Kamis (9/10/2008).

Lokakarya ini diselenggarakan oleh IJTI bersama Dewan Pers. Hadir pada kesempatan ini, Ketua Umum IJTI, Imam Wahyudi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Nusa Tenggara Timur (NTT), Dion DB Putra, Direktur Reserse dan Kriminal Polda NTT, Kombes (Pol) Musa Ginting, dan puluhan wartawan televisi di NTT.

Bekti Nugroho yang membawakan materi 'Kebebasan Pers dan Citra Polisi dan Wartawan, mengatakan, kebebasan pers dari dahulu sampai sekarang masih turun naik tergantung sistem politik yang berlaku. Kebebasan pada era reformasi adalah kebebasan untuk kebebasan itu sendiri karena eforia reformasi dan siapa saja boleh menerbitkan pers karena tidak perlu melakukan izin, sehingga banyak pers yang tumbuh secara liar.

Menurut Nugroho, kebebasan seperti ini sebenarnya menjadikan setiap insan pers memahami fungsi pers yang diposisikan secara proporsional dengan mengedepankan undang-undang pers. Menurutnya, perlu ada memorandum of understanding (MoU) antara polisi dan Dewan Pers, agar semua kasus kejahatan pers diselesaikan dengan Undang-Undang Pers oleh Dewan Pers.

Polisi, katanya, tidak perlu menindaklanjuti kasus kejahatan pers, karena masih banyak kejahatan lain di negeri ini yang harus diselesaikan dan membawa prestasi bagi polisi untuk naik, seperti korupsi dan sebagainya. "Kalau ada kejahatan pers, polisi tidak perlu menanganinya karena sudah ada undang-undang pers. Dewan pers akan menyelesaikannya tanpa ada pungutan apa-apa (gratis). Masih banyak pekerjaan polisi yang harus diselesaikan yang membawa prestasi bagi polisi sendiri," katanya.

Ketua Umum IJTI, Imam Wahyudi, mengatakan, harus menjadi komitmen bersama dari pers untuk melawan kriminalisasi terhadap wartawan, sehingga tidak ada lagi persaingan antara organisasi profesi wartawan. Dia akan segera menandatangani kesepakatan antara jurnalisme dan pihak kepolisian untuk menyelesaikan berbagai masalah kejahatan pers melalui Undang-undang Pers sebagai acuan hukum.

Dikatakannya, dalam era reformasi ini para jurnalis harus menyadari profesi yang diembannya sehingga bebas bukan berarti sebebas-bebasnya. "Jaga independensi wartawan sehingga tetap mewakili publik, bukan golongan tertentu," katanya.

Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra, mengatakan, tren kekerasan terhadap wartawan di NTT terus meningkat selama tiga tahun terakhir (2005-2008), enam wartawan dianiaya. Dari kasus-kasus ini, belum ada wartawan di NTT yang masuk penjara sampai saat ini. Dikatakannya, IJTI bisa menjadi partner PWI dalam mengayomi wartawan-wartawan lokal.

Lokakarya ini mendapat sambutan hangat dari para peserta. Banyak pekerja media memeprtanyakan berbagai kasus yang menimpa para wartawan, namun tidak ditindaklanjuti perusahaan maupun dewan pers secara baik. Para wartawan juga mempertanyakan pekerja infoteinment apakah termasuk wartawan atau tidak, karena mereka selalu memberitakan hal-hal yang bersifat pribadi ketimbang masalah publik. (nia)

Pos Kupang edisi Jumat, 10 Oktober 2008 halaman 10

IJTI NTT Gelar Musda Pertama

KUPANG, PK -- Sejumlah jurnalis televisi yang bertugas di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) akan menggelar Musyawarah Daerah Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (Musda IJTI NTT), Kamis 9 Oktober 2008 di Hotel Kristal-Kupang. Musda akan berlangsung selama sehari.

Musda pertama kali di NTT ini akan dibuka Ketua Umum IJTI, Imam Wahyudi dan dihadiri Anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho dan Wasekjen IJTI, Prasetyo Sudrajat. Demikian siaran pers IJTI yang diterima Pos Kupang, Rabu (8/10/2008).

Menurut Ketua Panitia Pelaksana Musda I IJTI NTT, Eliazar Ballo, sudah lebih dari 25 jurnalis televisi swasta nasional, lokal dan TVRI telah terdaftar sebagai calon anggota IJTI NTT. Koresponden Trans TV wilayah NTT ini mengatakan pembentukan organisasi IJTI sebagai wadah bagi jurnalis televisi baik reporter, koresponden, kontributor maupun kameramen televisi di NTT.

Hadirnya wadah khusus untuk wartawan televisi juga untuk pengembangan profesionalisme jurnalis, khususnya jurnalis televisi. Juga akan disosialisasikan Undang-undang Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Musda akan diawali diskusi terbatas dengan topik Kriminalitas dan Kekerasan terhadap Pers dengan narasumber Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra, Kapolda NTT, Brigjen Pol Drs. Bambang Suedi, Ketua Umum IJTI, Imam Wahyudi dan Anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho.


Usai diskusi, akan dilanjutkan dengan Musda yang akan membahas sejumlah agenda, di antaranya pembentukan organisasi, program kerja dan pemilihan pengurus baru periode 2008-2012.

Sejumlah nama yang diprediksi akan menjadi Ketua IJTI NTT di antaranya Didimus Payong Dore (Koresponden SCTV), Eliazar Ballo (Trans TV), Frits Floris (TV One), Kristo Ngay (Trans 7), James Welem Ratu (SUN TV-TPI/RCTI/ Global TV).
Ketua IJTI NTT terpilih dalam Musda pertama akan dilantik Ketua Umum IJTI , Imam Wahyudi dan akan mengemban tugas selama empat tahun. (aca)

Pos Kupang edisi Kamis, 9 Oktober 2008 halaman 10

2008: Terjadi peningkatan Kriminalisasi Pers

Jakarta (ANTARA News) - Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan kasus gugatan hukum terhadap pers atau yang disebut kriminalisasi pers atau upaya memperkarakan jurnalis secara hukum melalui jalur pidana maupun jalur perdata.

"Kriminalisasi biasanya dimaksudkan untuk menghukum pers layaknya kriminal dan biasanya dengan pencemaran nama baik yang konsekuensinya hukuman penjara," kata Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Eko Maryadi pada Diskusi tentang kriminalisasi terhadap pers di Jakarta, Senin.

Atau dengan gugatan perdata di mana perusahaan pers digugat dengan delik perbuatan melawan hukum yang berimplikasi pada hukuman denda, ujarnya.

Berdasarkan catatan AJI 2007-2008, lanjut dia, jumlah kasus penghukuman terhadap pers sampai tujuh kasus, antara lain putusan bersalah terhadap Majalah Time terkait laporan kekayaan Soeharto.

"Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung pimpinan Mayjen TNI (purn) German Hoedianto memutuskan Time melakukan pencemaran nama baik dan harus membayar denda Rp1 triliun," katanya.

Kasus lain adalah tuntutan hukum terhadap Bersihar Lubis, kolumnis opini Koran Tempo tentang "Kisah Interogator (Jaksa) yang Dungu" di mana Bersihar divonis bersalah dan dihukum penjara percobaan satu bulan, katanya.

Selain itu kasus tiga berita Koran Tempo tentang illegal logging yang mengharuskan Tempo membayar denda Rp220 juta plus merilis permintaan maaf di 15 media dengan nilai iklan Rp17 miliar.

"Ada juga kasus Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakpus mengabulkan gugatan PT Asian Agri terhadap Majalah Tempo terkait pemberitaan dugaan manipulasi pajak Rp1,3 triliun oleh Sukanto Tanoto, yang akhirnya menghukum Tempo denda Rp50 juta dan permintaan maaf di tiga media," katanya.

Karena itu, menurut dia, perlu ada revisi UU Pers no 40/1999 karena UU tersebut terasa mandul dan masih bisa diterobos oleh pasal-pasal pidana dan perdata.(*)

http://www.antara.co.id/arc/2008/9/23/terjadi-peningkatan-kriminalisasi-pers-perlu-revisi-uu-pers/

Lokakarya Trafficking bagi Jurnalis (1)

Oleh Syarifah Sifat
Anggota PWI Cabang NTT

DULU banyak perusahaan merekrut orang secara informal dari kampung ke kampung, desa ke desa untuk mendapatkan orang-orang yang diinginkan. Sekarang sudah meluas, merambah para pelajar. Perusahaan menggunakan surat resmi alias formal berkedok magang bagi pelajar sekolah menengah kejuruan (SMK), tapi kemudian mereka ini diperkerjakan.
Modus ini sudah terjadi. Korbannya sudah mulai ketahuan, yakni 16 pelajar SMK Pelayaran di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Bukan tidak mungkin modus ini menyebar bebas bak virus komputer yang siap menyerang setiap detik. Bukan tidak mungkin modus magang bagi pelajar seperti terjadi di Bulukumba akan menyebar ke NTT.

NTT yang masih didera kemiskinan akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengejar anak-anak sekolah, para guru dan orangtua. Karena itu, orangtua, guru dan siswa waspadalah, waspadalah!

Warning itu dikemukakan Senior Program Officer Program Penanggulangan Perdagangan Orang Lintas Batas Indonesia-Malaysia, International Catholic Migration (ICMC), Irmia Fitria, dalam lokakarya tentang trafficking bagi jurnalis di Country Heritage Resort Hotel Surabaya (27-28/8/2008) lalu.
Namun warning itu tidak membuat belasan wartawan media massa cetak dan elektronik, peserta lokakarya yang berasal dari tiga propinsi, yakni NTT, Jawa Timur dan NTB, itu tersentak.

Saat mendengar informasi yang disampaikan Irma Fitria yang sering disapa Mia tersebut, mereka tampak tidak terlalu kaget. Mungkin karena keseharian para kuli tinta ini mengejar informasi sehingga ketika mendengar informasi trafficking modus magang para siswa itu semuanya biasa-biasa saja.

Namun, pernyataan yang dilontarkan Mia ini bukan tidak
mungkin merambah ke polosok-pelosok NTT. Apalagi, saat ini negara sedang giat-giatnya menambah pembangunan SMK dan membatasi pembangunan sekolah menengah umum (SMU).
Lebih lagi kondisi kemiskinan NTT yang berimbas pada kemiskinan keluarga. Sebagian besar masyarakat NTT menerima bantuan langsung tunai (BLT), maka ketika ada tawaran magang yang modusnya mempekerjakan pelajar dengan melayangkan surat ke sekolah dan ke rumah-rumah siswa akan membuat orangtua dan anak-anak tergiur. Mereka tergiur karena tawaran gajinya besar dan sejumlah fasilitas lain.

Sebagaimana cerita Mia, yang sudah enam bulan bergabung dengan ICMC, sebanyak 16 siswa SMK di Bulukumba, Sulawesi Selatan, awalnya mendapat tawaran magang dari perusahaan dengan mengirim surat ke sekolah dan orangtua untuk bekerja di kapal pesiar. Kenyataannya, mereka dipekerjakan di kapal ikan dengan kerja 23 jam perhari tanpa diberi upah.

Bahkan di Banyuwangi, tidak sedikit pelajar SMK yang menerima surat tawaran magang melalui biro perjalanan yang ada di Surabaya.


Untuk kasus 16 siswa tersebut, sambung Mia, sudah masuk pengadilan sejak Juli 2008. Dalam kasus ini, disinyalir guru SMK Pelayaran yang menjadi mediator 16 siswa tersebut juga terlibat. Tidak hanya di Banyuwangi. Menurut Mia, di Surabaya juga mulai ditemukan kasus serupa. Pihak ICMI mendapatkan laporan dari salah satu guru SMK Aisyiah di Kabupaten Malang yang sering didatangi oleh orang yang meminta daftar nama dan alamat para siswanya. Orang tersebut mengaku dari salah satu perusahaan yang ingin menawarkan magang di perusahaan mereka di Surabaya.

Untungnya, pihak Aisyiah telah memiliki program counter trafficking sehingga mereka tidak memberikan daftar nama yang diminta.

Mia berpesan agar kepala sekolah dan guru tidak mudah percaya pada orang yang tidak dikenal dan jangan terlalu mudah untuk memberikan daftar nama siswa ke orang tersebut. Sebab, pelaku trafficking dalam menjalankan aksinya sangat halus dan menyakinkan.

"Kami hanya bisa berpesan kepada kepala sekolah dan guru untuk tidak mudah percaya dan memberikan daftar nama siswa kepada orang yang tidak dikenal," terangnya.

Menurut Mia, korban trafficking pelajar ini sangat beragam. Ada yang dijadikan pekerja kasar tanpa upah. Bahkan ICMC juga menemukan siswa yang dijadikan pekerja seks komersial di sejumlah propinsi di Indonesia, terbanyak kawasan timur Indonesia.


Kondisi NTT yang merupakan salah satu wilayah termiskin di Indonesia tidak menjadi harapan bagi warga miskin untuk tetap tinggal di dalamnya. Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merancang strategi penopang kehidupan mereka, termasuk bermigrasi untuk bekerja di tempat lain yang lebih menjanjikan.

Mia yang pernah melakukan advokasi di Sumba Barat menemukan sejumlah perempuan yang terpaksa ke Malaysia atau ke negara lain karena beratnya budaya di wilayah umbu dan rambu itu.

Cerita Mia ini diperkuat oleh wartawan Sabana asal Sumba Barat, Rambu Newa. Ia mengakui, budaya papohung (belis) untuk anak-anak perempuan yang masih di bawah umur kemudian akan dikawini oleh orang yang memberi belis masih berlangsung di Pulau Sumba. Budaya ini juga menuntut para perempuan untuk keluar dari daerahnya mencari kebebasan.

Jika menggunakan definisi trafficking yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) -- trafficking terjadi mulai dari proses perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh izin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi -- maka budaya di Pulau Sumba bisa masuk kategori trafficking.

Bahkan, lanjut Rambu, strata sosial dengan pembagian keturunan menurut golongan, yakni maramba (raja), merdeka (orang-orang merdeka) dan ata (hamba/budak) masih menjadi simbol yang jika tidak ditangani secara arif, akan bermuara pada kekerasan. Hal ini karena umumnya golongan hamba dalam status sosial nyaris tidak memiliki tempat, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun di pemerintahan.

"Jika ada anak golongan hamba yang sudah merantau keluar dan berpendidikan, maka ia tak mungkin kembali. Kalaupun kembali, si anak tersebut dalam status sosial tetap digolongkan anak hamba dan, dalam kedudukan apa pun baik di pemerintahan maupun kemasyarakatan, hamba tidak memiliki apa-apa. Namun, kalau ada satu dua orang yang mendapat tempat di birokrasi atau legislatif, maka sering menjadi pembicaraan," urai Rambu.

Apa yang dituturkan Rambu ini mendapat tanggapan dari sejumlah wartawan elektronik, khususnya televisi. Wartawan Metro TV, Ketut Asri, mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Rambu untuk mengetahui lebih banyak seluk-beluk budaya orang Sumba yang menurutnya sangat unik. Nalurinya sebagai seorang jurnalis ingin mendalami budaya di Pulau Sumba itu semakin tinggi. Dan, pada akhirnya para wartawan yang mengikuti kegiatan ini tergiur untuk membuat peliputan serial di tanah Marapu itu.

Menurut mereka, trafficking bukan saja terjadi karena faktor ekonomi, pendidikan, namun lebih dari itu karena faktor budaya yang hingga saat ini masih menindas rakyatnya.
NTT bukan hanya karena faktor kemiskinan dan pendidikan. Budaya juga menjadi salah satu faktor terbesar terjadinya trafficking di NTT. (bersambung)

Pos Kupang edisi Senin, 6 Oktober 2008 halaman 1

Lokakarya Trafficking bagi Jurnalis (2)

Oleh Syarifah Sifat
Anggota PWI Cabang NTT

SUASANA di ruang Country Heritage Resort Hotel Surabaya (27-28/8/2008) terasa hidup. Wartawan senior dari Harian Fajar Makassar, Salahudin Genda, membawakan materi seni mewawancarai korban trafficking.

Sejumlah perempuan tenaga kerja wanita (TKW) yang menjadi korban trafficking tiba-tiba dimunculkan dalam video milik ICMC. Mereka menangis ketika diwawancarai sejumlah pegiat LSM. Maklum, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan cukup menyentuh perasaan mereka.

Tapi, bukan hanya ekspresi menangis, ekspresi lain seperti marah juga tampak saat dialog berjalan. Bisa saja mereka marah karena pertanyaan itu menyinggung perasaan mereka.
Melihat dan mendengar penuturan para TKW, suasana dalam ruangan yang berukuran sekitar 7 x 5 meter itu hening.

Para wartawan terkesima mendengar penuturan para TKW yang polos. Banyak TKW di bawah umur yang menjadi korban pemerkosaan, ada PRT yang disiksa majikannya, ada yang terperangkap dalam penyekapan dan tidak dipekerjakan, akhirnya pulang tanpa membawa apa-apa.

Kondisi bangsa kita memang ironis. TKW dikatakan pejuang devisa. Namun, di sisi lain kemanusiaan mereka terkoyak-koyak. Syukur, ada yang pulang dan dapat mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Namun, menyakitkan ketika mereka pulang tanpa membawa apa-apa. Malah ada yang pulang hanya tinggal nama.

Dalam banyak kasus di Indonesia, termasuk di NTT, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian, tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan.

Dalam kasus lain, beberapa perempuan tidak tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks, tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja. Mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak boleh menolak bekerja.

PRT (pembantu rumah tangga), baik yang bekerja di luar negeri maupun yang bekerja di Indonesia, ditarik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang. Jam kerja wajibnya sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau dikurangi, kerja karena jeratan utang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.

Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai duta budaya, penari, penyanyi atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.

Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja bagi keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks. Dan, banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan utang, paksaan atau kekerasan.

Tutur kata itu bukan hanya keluar dari mulut wartawan senior Solahudin, tapi juga dikemukakan oleh Irmia Fitria yang memandu diskusi yang digelar International Catholic Migration Commission (ICMC) dalam acara lokakarya tentang trafficking bagi jurnalis di Country Heritage Resort Hotel Surabaya (27-28/8/2008) lalu.

Namun, Solahudin kembali mengingatkan para wartawan agar jangan menggunakan istilah yang merugikan korban, seperti istilah pelacur. Untuk mengganti istilah pelacur, gunakan istilah pekerja seks komersial (PSK), PRT. Jangan juga menggunakan nama seperti Bunga, Mawar atau Melati untuk menyamarkan nama korban. Konotasinya negatif, karena kata itu mengandung kekerasan simbolik. Jika ingin menyamarkan nama korban, pesan Solahudin, sebaiknya menggunakan istilah pekerja migran tak berdokumen.

Ia juga meminta agar wartawan tidak memuat wajah korban, tapi menggunakan grafis seperti tabel dan peta lokasi asal korban trafficking. Jika ingin memuat foto korban, maka kaburkanlah wajah korban. Wartawan juga diharapkan tidak mendeskripsikan adegan seksual atau penyiksaan secara detail.

Hal ini dilakukan, kata Solahudin, agar korban merasa nyaman ketika diwawancarai wartawan. "Penting bagi jurnalis untuk menjaga etika selama mewawancarai korban trafficking. Ini karena korban seringkali berada dalam situasi psikologis yang labil sehingga penting bagi jurnalis untuk membuat mereka merasa nyaman. Bahkan, kehadiran pihak ketiga seperti fotografer atau kameramen sebaiknya diberitahukan terlebih dahulu kepada korban," kata Solahudin sembari berharap agar wartawan memiliki empati terhadap korban trafficking.

Para wartawan peserta workshop juga mendiskusikan sejumlah kasus buruh migran Indonesia (TKI) yang ditipu dengan perkawinan palsu di luar negeri, kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal.

Dalam kasus lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.

Pada umumnya mereka yang bermigrasi untuk mencari kerja, baik di Indonesia maupun di luar negeri, tidak mengetahui adanya bahaya trafficking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.

Semua ini dilatari oleh keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi, membuat orang-orang yang bermigrasi rentan terhadap trafficking.

Faktor budaya juga memberikan kontribusi terhadap praktik trafficking. Hal ini berkaitan dengan peran perempuan dalam keluarga. Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja membantu keluarga mereka.

Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafficking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang ditrafik, misalnya, lebih mudah diwalikan kepada orang dewasa mana pun yang memintanya. Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian (skill) dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.

Pejabat penegak hukum dan petugas imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafficking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda penduduk (KTP), akta kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafficking karena migrasi ilegal. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafficking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafficking.

Atas kesalahan-kesalahan ini, semua peserta sepakat bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab atas semua kejadian yang menimpa para buruh migran, PRT dan sejumlah perempuan dan anak-anak lainnya yang terjebak dalam kasus trafficking. (habis)

Pos Kupang edisi Selasa, 7 Oktober 2008 halaman 1

Warga Wartawan

Oleh Lukas Luwarso
Sekretaris Eksekutif Dewan Pers

Di era media interaktif, profesi jurnalisme telah mati. Pembunuh profesi wartawan adalah teknologi internet. Kini, wartawan adalah siapa saja yang dapat mengakses internet, menulis, dan meng-up-load (mengirim) informasi ke media maya. Media tradisional--seperti koran, majalah, termasuk radio dan stasiun televisi yang non-interaktif-boleh saja merasa memiliki eklusivitas mengidentifikasi siapa wartawan atau bukan, namun siapa peduli?

Media massa terus bertransformasi, era media tradisional menjelang usai. Era broadsheet membawa satu koran untuk satu pembaca; broadcast membawa satu acara ke jutaan pemirsa; broadband membawa jutaan media (cetak, siaran, dan cyber) ke satu orang. Kini informasi yang mencari pembaca atau penonton, bukan sebaliknya. Dan informasi diproduksi dan disebarkan tanpa mengenal tenggat waktu, tidak ada dead-line dan tidak ada jeda. Media tradisional musti didampingi dengan media-maya agar tidak terjadi jeda-informasi. Websites dan wartawan warga kini adalah bagian esensial dari jurnalisme.

Pasokan informasi yang tanpa henti itu jelas tidak mungkin lagi cuma disediakan oleh sekelompok orang yang dulu eklusif dikenal sebagai wartawan. Kerja menyebarkan informasi telah secara suka rela diambil alih oleh wargawan (Wartawan-warga). Karena dikerjakan secara beramai-ramai, informasi wargawan seringkali lebih lengkap dan akurat ketimbang laporan satu atau beberapa wartawan.

Itu sebabnya, CNN memiliki program berita "I-Report" (yang juga diadopsi oleh Metro-TV), Yahoo meluncurkan YouWitnessNew, yang "mempekerjakan" ribuan wargawan tanpa harus memberi gaji. Tidak aneh, jika satu portal berita di Kanada, NowPublic, mengklaim mempunyai "reporter" sebanyak 60.000. Selain itu, melalui blog, jutaan individu kini bukan saja dapat mengklaim sebagai wartawan, melainkan juga memiliki media. Blogging kini sinonim dengan reporting.

Blogging kadang lebih unggul dari sekadar reporting (di media tradisional), karena dapat berinteraksi dengan pembaca. Jika satu informasi tidak lengkap, kurang akurat, atau bahkan salah, maka segera dapat di lengkapi, dikoreksi atau dicabut. Persoalan pelayanan hak jawab, yang begitu rumit dalam media cetak atau siaran, tidak berlaku lagi. Pihak yang dirugikan oleh satu informasi di blog dapat menulis komentar (hak jawab) yang lebih panjang, di tempat yang sama, dan dalam waktu hampir bersamaan.

Bukan itu saja, pembaca blog dapat sekaligus menjadi narasumber, reporter, atau redaktur untuk melengkapi dan memperbaiki informasi. Sehingga kelemahan seorang reporter dalam mengemas informasi dapat disempurnakan oleh pembaca yang juga reporter, redaktur dan narasumber. Intinya, dalam media maya dimungkinkan adanya gotong royong dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyampaikan informasi.

Dengan demikian, tidak berlebihan jika harus diwartakan: turut bela sungkawa atas matinya profesi wartawan. Profesi ini telah menjadi ketinggalan zaman, gagap, dan uzur. Khususnya, berita kematian ini tertuju pada mereka yang masih menyebut diri "insan pers" yang lebih sering meneriakkan bahwa wartawan adalah "profesi", namun tidak pernah menerapkan profesionalisme. Bagi wartawan profesional sejati--yang tidak pernah menyatakan wartawan adalah profesi-yang mati adalah cuma penamaan, bungkus, jasad, bukan esensi. Jurnalisme adalah karya, dan karya tidak akan pernah mati.*

http://www.dewanpers.org/dpers.php?x=opini&y=det&z=b718ebf9bf965326b71d26cf672827d7

Mengurai Persoalan SDM Media

Oleh Ichlasul Amal
Ketua Dewan Pers

Dalam berbagai diskusi, seminar, lokakarya, dan dialog dengan masyarakat dan komunitas pers, delapan tahun terakhir, Dewan Pers sering menerima keluhan mengenai praktek penyalahgunaan profesi wartawan dan merebaknya penerbitan pers yang bersikap tidak patut, dan menyimpang dari etika pers profesional. Era kebebasan pers telah melahirkan beratus-ratus pers baru, namun peningkatan jumlah (kuantitas) tersebut justru memunculkan kecaman masyarakat, karena tidak diiringi peningkatan kualitas.

Mengapa banyak penerbitan pers baru sulit sekali menerapkan etika -sebagai basis utama profesi jurnalistik? Akar persoalan adalah, di era kebebasan saat ini terlalu mudah menerbitkan pers atau menjadi wartawan. Ibaratnya, menerbitkan pers kini seperti menggelar dagangan kaki lima di trotoar, dan menjadi "wartawan" semudah seperti menjadi pengamen di jalanan. Banyak orang menjadi wartawan tanpa memiliki latar belakang pengetahuan dan ketrampilan yang cukup tentang jurnalisme. Sejumlah prasyarat kemampuan dan pengetahuan yang seharusnya melekat pada seseorang ketika ia menyandang predikat wartawan kini diabaikan.

Dewan Pers sering mengeluarkan seruan agar masyarakat, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah cermat dalam mengidentifikasi wartawan/media serta tidak segan-segan menanyakan identitas wartawan dan mencek kebenaran status media tempatnya bekerja. Sebab wartawan yang sungguh-sungguh profesional selalu menggunakan cara-cara yang etis dalam mencari informasi.

Sebagian persoalan dari maraknya praktek wartawan bodrex adalah salah persepsi yang muncul di kalangan masyarakat. Masyarakat cenderung menilai siapa saja yang memiliki "kartu pers" (yang dengan mudahnya dibuat sendiri) atau mengaku bekerja di penerbitan pers (yang tidak jelas sifat perusahaannya) dianggap sebagai wartawan yang bekerja secara serius. Upaya membasmi wabah wartawan bodrex pertama-tama harus dilakukan dengan mengubah persepsi dan membuka mata masyarakat mengenai profesi wartawan yang sesungguhnya.

Persepsi masyarakat sering masih salah kaprah terhadap profesi wartawan. Muncul penilaian di masyarakat bahwa wartawan kebal hukum. Kalau ada orang memakai rompi, kemudian membawa notes dan tanya-tanya, apalagi dengan adanya kartu pers, sudah dianggap wartawan. Padahal profesi wartawan tidak dibuktikan dengan aksesoris semacam itu. Seseorang bisa disebut wartawan jika ia menghasilkan karya jurnalistik secara teratur.

Karena itu penting bagi masyarakat untuk mengetahui bermacam model wartawan. Pertama, wartawan serius yang bekerja di media serius pula. Kedua, wartawan yang bekerja di media yang betul tetapi secara personal mereka suka melanggar etika, misalnya mau menerima amplop. Ketiga, mereka yang biasa disebut sebagai "wartawan bodrek".

Tanggung Jawab Organisasi Pers dan Perusahaan Pers

Perbincangan tentang penyalahgunaan profesi wartawan atau rendahnya etika seringkali hanya terfokus pada wartawan, dan tidak menyinggung tanggung jawab perusahaan pers dan organisasi pers. Padahal, di samping etika untuk wartawan, juga penting didorong penegakan etika oleh pemilik industri pers. Sebab, selama ini ada kecenderungan hanya wartawan yang terus dituntut taat etika, sedangkan pemilik industri pers semena-mena memperlakukan wartawannya. Etika industri pers itu, misalnya, menyangkut fasilitas yang memadai, gaji yang layak, dan perlindungan terhadap wartawan. Terjadinya praktek-praktek pemerasan oleh wartawan, antara lain, disebabkan rendahnya kesejahteraan wartawan dan rendahnya etika perusahaan pers.

Kebebasan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat yang harus dijaga bersama. Karena itu kebebasan pers harus diisi sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Ada tiga tolok ukur atau indikator dalam prinsip kebebasan pers, yaitu UU Pers sebagai aturan hukum; kode etik jurnalistik sebagai panduan kerja; dan Dewan Pers serta masyarakat sebagai pengawas. Koridor tentang pers saat ini ada di UU Pers. Persoalannya, UU Pers belum diterapkan oleh penegak hukum dengan baik, masyarakat belum sepenuhnya menggunakan UU Pers untuk menyikapi permasalahan pers, dan kalangan pers sendiri masih ada yang tidak menaati UU Pers.

Pasal 3 UU Pers menyebut ada empat fungsi pers, yaitu sebagai media informasi yang bermakna dan benar, sebagai media pendidikan yang mencerahkan, sebagai media hiburan yang menambah kualitas kehidupan, dan wadah kontrol sosial yang dikelola berdasar prinsip ekonomi.

Dalam menjalankan fungsi dan perannya, pers tidak lepas dari kontrol. Namun, di era pers bebas ini bukan berarti sama sekali tidak ada kontrol. Pengontrol pers bisa datang dari dua sisi: internal dan eksternal pers. Sisi internal datang dari diri wartawan, redaktur, pemimpin redaksi, dan ombudsman pers. Sedang dari eksternal diharapkan ada peran aktif masyarakat.

Saat ini masyarakat adalah pengontrol utama untuk mati-hidupnya pers. Masyarakat bisa mendukung pers berkualitas dan mencampakkan yang tidak berkualitas. Sedangkan lembaga swa-regulasi pers seperti media watch, organisasi pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Dewan Pers, hanyalah fasilitator yang hanya dapat menjalankan fungsinya dengan baik, jika masyarakat cerdas dan proaktif merespon pers dan mengawasi kinerja wartawan agar menaati etika.*

(Tulisan ini merupakan bahan ceramah dalam diskusi yang digelar PWI di Banda Aceh, 28 Juli 2008

http://www.dewanpers.org/dpers.php?x=opini&y=det&z=cb80bf9173a2f5e15d2a0dbfb0279622

Dewan Pers Berhasil Mediasi detik.com

JAKARTA - Dewan Pers berhasil memediasi sengketa antara politisi Djoko Edhi S. Abdurrahman dengan situs berita detik.com. Mediasi yang digelar di Sekretariat Dewan Pers, Jakarta, Selasa, 23 September lalu itu menghasilkan dua kesepakatan.

Pertama, pihak pengadu, yaitu Djoko Edhi berjanji tidak menjadikan wartawan detik.com, Ronal Tanamas, sebagai terlapor namun hanya sebagai saksi. Kedua, detik.com sebagai pihak yang diadukan bersedia melakukan wawancara dengan Djoko Edhi sebagai Hak Jawab terhadap pemberitaan detik.com sebelumnya.

Mediasi dihadiri, antara lain, Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, Ketua dan Anggota Komisi Pengaduan Dewan Pers, Abdullah Alamudi dan Bekti Nugroho. Hadir juga Djoko Edhi serta Wakil Pemimpin Redaksi detik.com, Didik Supriyanto.

Sengketa ini terkait berita detik.com berjudul "Bahrudin: Makelar Jual Beli Nomor Caleg PPP Djoko Edhi" yang dimuat tanggal 9 September 2008. Djoko Edhi menilai berita itu turut merugikan dirinya secara moril dan materiil.

Dengan telah dicapainya penyelesaian sengketa melalui Dewan Pers maka kedua pihak menyatakan kasusnya selesai.*

http://www.dewanpers.org/dpers.php?x=news&y=det&z=b6de1059996a2daf88b76b848292359a

Wartawan Butuh Pendidikan Bahasa dan Logika

JAKARTA - Mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, mengatakan kondisi sosial masyarakat dan sistem pendidikan turut memengaruhi kelemahan wartawan dalam menjalankan profesinya. Misalnya kelemahan dalam penggunakaan bahasa dan logika yang benar. Wartawan Indonesia, "kurang mendapat pendidikan rasional," katanya.

Wartawan perlu menguasai logika yang benar agar mampu menemukan sisi terbaik dari setiap kejadian yang akan diberitakan. Menurut Atma pendidikan logika membantu wartawan dalam menentukan apakah informasi awal yang diterimanya layak ditindaklanjuti.

Pernyataan ini disampaikan saat menjadi pembicara diskusi "Pendidikan Jurnalistik Berbasis Kompetensi" yang digelar Dewan Pers di Jakarta beberapa waktu lalu. Pembicara lain yang hadir yaitu Anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti, dan Dosen Universitas Indonesia, Ade Armando. Acara ini diikuti puluhan peserta dari unsur pimpinan perusahaan pers, perguruan tinggi, organisasi pers, dan para pengajar ilmu komunikasi dan jurnalistik.

Atma mengamati, ada beberapa penyebab lain kelemahan wartawan, yaitu: sedikit perusahaan pers yang memberi kesempatan magang dalam waktu lama bagi calon wartawan atau mahasiswa jurnalistik. Kemudian, jarang digelar pelatihan atau mengirim wartawan untuk belajar secara reguler.

Kelemahan lainnya disebabkan lingkungan masyarakat yang kurang mendukung kreativitas, logika, dan penggunaan bahasa yang benar serta pemikiran demokratis. Pengangguran yang meluas ikut memunculkan wartawan dadakan yang sama sekali tidak berbekal pendidikan jurnalistik. Selain itu, birokrasi atau pejabat mudah memberi amplop kepada orang yang mengaku wartawan.

Untuk mengatasi kelemahan tersebut, Atma menganjurkan perusahaan pers rutin mengadakan pelatihan atau mengirim wartawannya mengikuti pendidikan jurnalistik. Di samping itu, "Para pendidik jurnalisme hendaknya gabungan dari kemampuan teori dan praktik. Penting bagi pendidik jurnalistik memiliki pengalaman jurnalistik," ujarnya.

Profesi Tertutup

Sebuah survei di Amerika Serikat tahun 2000 menyimpulkan, sekitar 78\% lulusan sekolah jurnalistik dapat bekerja di suratkabar. Sedang yang bekerja di televisi mencapai 94\%. Data ini, menurut Bambang Harymurti, menunjukkan peran besar sekolah jurnalistik dalam menyediakan tenaga wartawan untuk perusahaan pers.

Saat ini perusahaan pers semakin jelas mengarah ke industri. Berarti, Bambang memastikan, para pengelola pers semakin berpikir industrial. Maka kecenderungannya, sebagai bentuk penghematan, perusahaan pers tidak mau lagi mengeluarkan banyak uang untuk menyekolahkan wartawannya. Mereka memilih merekrut lulusan sekolah jurnalistik yang siap kerja.

Di samping itu, peran jurnalisme yang semakin diambil alih oleh masyarakat melalui "jurnalisme warga", menyebabkan adanya pengetatan terhadap profesi wartawan. "Kebutuhan yang harus dipenuhi wartawan bukan lagi hanya fakta, tetapi kepercayaan dan informasi yang benar," katanya.

Sehingga, semakin lama profesi wartawan mengarah ke "tertutup", seperti profesi dokter atau pengacara. Artinya, seseorang membutuhkan gelar formal dari sekolah jurnalistik agar mendapat kesempatan lebih besar untuk bekerja di perusahaan pers. Bambang melihat kecenderungan ini sebagai peluang bagi sekolah jurnalistik.

Di tempat yang sama, Ade Armando mengakui, sistem pengajaran di perguruan tinggi yang memiliki jurusan komunikasi atau jurnalistik belum mampu mendukung munculnya wartawan yang siap pakai. Perguruan tinggi merasa tidak tertantang untuk melahirkan wartawan berkualitas. Kelahiran calon wartawan dari kampus seringkali justeru dari luar sistem. Misalnya dengan mengelola pers kampus.

"Sekarang terbuka kesempatan untuk menyumbang wartawan yang baik," katanya.

Dalam diskusi ini sebagian peserta menghendaki Dewan Pers menjadi lembaga yang dapat menjembatani antara industri pers dengan lembaga pendidikan jurnalistik. Dewan Pers dapat menghasilkan regulasi serta menetapkan visi dan misi pendidikan jurnalistik. Wartawan seperti apa yang dibutuhkan diolah di Dewan Pers, sedang pelaksanaanya diserahkan kepada lembaga pendidikan jurnalistik.

"Dewan Pers menunjukkan kemana seharusnya perguruan tinggi bergerak," kata peserta diskusi Zulkarimein Nasution.*

http://www.dewanpers.org/dpers.php?x=news&y=det&z=4c6170ab87d30052c2ac3c7899c13953

Masyarakat Semakin Memahami Pers

TANGGAL 23 September 1999, atau sembilan tahun lalu, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menandatangani Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU Pers baru ini memberi kebebasan kepada wartawan untuk mencari dan menyampaikan informasi. Pembredelan dan sensor terhadap pers tidak lagi diperbolehkan.

Sejak disahkan, UU Pers mendapat banyak kritik. Karena, misalnya, dianggap tidak mampu melindungi masyarakat dari praktik penyalahgunaan profesi wartawan. Pornografi yang berkedok produk pers bebas diperjualbelikan di pinggir jalan.

Namun, di sisi lain, kebebasan dalam sembilan tahun terakhir telah mendorong tumbuhnya pers-pers profesional. Pers yang tidak profesional dan tidak dipilih publik perlahan gulung tikar. Para pekerja pers juga terus memperbaiki diri untuk menghadirkan kehidupan pers yang bermutu.

Dalam rangka sembilan tahun UU Pers, berikut ini rangkuman perbincangan penyiar radio, Sutami, dan host tamu, Bekti Nugroho, dengan Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA., di Kantor Berita Radio 68H, Jakarta. Perbincangan yang dilakukan 24 September 2008 ini di-relay jaringan KBR 68H di sejumlah daerah.

Setelah sembilan tahun UU Pers, bagaimana kondisi pers Indonesia?

Kalau melihat pengaduan ke Dewan Pers sebagai indikator, jumlah pengaduannya semakin meningkat. Berarti masyarakat sudah sadar, jika menjadi korban berita pers tidak lagi melakukan kekerasan tetapi melapor ke Dewan Pers. Namun, kalau indikator itu dilihat dari segi wartawan atau suratkabar, ternyata menunjukkan semakin lama banyak wartawan atau pers yang tidak memenuhi kode etik. Sehingga banyak masyarakat menjadi korban.

Seperti apa kode etik yang dimiliki wartawan?

Kode Etik Jurnalistik memuat 11 pasal, merupakan revisi dari kode etik lama yang bernama Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang berisi sembilan pasal. Dari 11 Pasal itu yang paling utama yaitu pemberitaan pers harus cover both sides, tidak boleh menyiarkan berita bohong dan berita yang menyebabkan konflik antar golongan atau agama.

Aksi kekerasan terhadap wartawan masih sering terjadi. Belum lama ini dilakukan oknum tentara. Apakah berarti masih banyak yang belum memahami kerja wartawan?

Saat ini main set peninggalan zaman Orde Baru bahwa yang berkuasa adalah mereka yang membawa senjata, masih tetap terlihat. Tugas dari Dewan Pers untuk sosialisasi dan memberi pengertian mengenai pers kepada lembaga-lembaga seperti Polri dan TNI.

Ketika ada pelatihan yang diselenggarakan Lembaga Pers. Dr. Soetomo, yang diikuti seorang peserta dari tentara, ia mengatakan seringkali tentara menganggap sebuah berita tidak bisa disiarkan karena sifatnya sensitif dan strategis. Sedang bagi wartawan tidak ada batasan. Menurut tentara, jika berita semacam itu disiarkan, siapa yang akan bertanggung jawab?

Misalnya kasus pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, ada tuntutan agar wartawan memerhatikan nasionalisme. Tugas wartawan adalah menyiarkan fakta, bukan tugasnya wartawan untuk nasionalisme, meski tentara bilang ini bagian dari kepentingan nasional yang harus pula didukung wartawan.

Apakah kekerasan terhadap wartawan menurun?

Kekerasan terhadap wartawan memang menurun, misalnya perampasan terhadap alat kerja wartawan. Namun sebaliknya, pengaduan masyarakat terhadap berita pers meningkat. Jumlah suratkabar yang meningkat pesat, terutama di daerah, di satu sisi kita patut bergembira. Karena daerah bisa memiliki suratkabar sendiri meskipun terkadang jumlahnya berlebihan. Namun, di sisi lain, banyaknya pers menciptakan kompetisi yang seringkali menyebabkan wartawan hanya mengejar target. Kalau tidak mencapai target kemudian membuat berita karangan sendiri.

Bagaimana dengan soal pemuatan Hak Jawab dan sengketa pemberitaan?

Kesalahan berita yang ada di halaman 1, pemuatan Hak Jawabnya tidak harus juga di halaman 1. Kode etik menyebut pemuatan Hak Jawab dilakukan secara proporsional. Dikatakan secara proporsional karena dari berita yang panjang mungkin kesalahannya hanya sedikit. Yang sedikit itu kemudian digunakan Hak Jawab secara proporsional. Namun Hak Jawab bukan berarti diselipkan di pojok. Yang penting proporsional. Kalau dimuat tidak proporsional Dewan Pers bisa ingatkan media bersangkutan supaya memuat dengan proporsional.

Mengenai sengketa pers, yang penting bagi Dewan Pers kasusnya mengenai pemberitaan. Kalau bukan pemberitaan berarti diluar tugas Dewan Pers. Misalnya ada media yang menjelek-jelekkan pihak lain, bisa diadukan ke Dewan Pers, dengan disertai kliping dan sejenisnya. Sehingga Dewan Pers bisa menilai pemberitaan itu melanggar kode etik atau tidak.

Dalam pilkada banyak pers berpihak. Seperti apa kondisinya?

Dengan adanya kebebasan pers, memang banyak sekali muncul pers di daerah. Menjelang Pilkada jumlahnya bisa meningkat tajam. Tapi umurnya kadang-kadang ada yang cuma satu bulan. Kita mengharapkan media semacam ini ada yang bisa melaporkannya. Kalau pers digunakan memeras calon kepala daerah dengan menakut-nakuti untuk memberitakan keburukannya, kita bisa langsung mengirimkan kasusnya ke kepolisian. Itu bukan lagi kasus berita tapi kriminal.

Apa yang bisa dilakukan Dewan Pers dengan banyaknya wartawan dituntut ke pengadilan dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik?

Prinsipnya, kalau kasus pers sudah dibawa ke pengadilan Dewan Pers tidak bisa berbuat apa-apa. Kasusnya bisa dibawa ke Dewan Pers kalau kedua-duanya memercayai Dewan Pers. Tapi kalau dari awal keduanya memilih pengadilan, Dewan Pers tidak dapat berbuat apa-apa.

Kalau ada masalah berita semestinya ke Dewan Pers lebih dulu. Polri seharusnya juga jangan asal tangkap wartawannya. Karena, bukan bermaksud mengklaim, Dewan Pers-lah yang paling tahu apakah sebuah berita melanggar kode etik. Polri tidak dididik untuk hal semacam itu. Kalau kriminal silahkan saja Polri menindak langsung. Sedang menyangkut berita, Dewan Pers yang tahu ukurannya.

Mengapa KUHP masih digunakan dalam banyak kasus pers?

Dewan Pers sudah sering berdiskusi dengan kepolisian. Kepolisian mengatakan, kalau ada orang mengadu maka polisi tidak boleh menolak. Itu alasannya. Dan seringkali kasus yang ditangani kepolisian diarahkan ke KUHP.

Masyarakat harus disadarkan, kalau mengadu ke Dewan Pers prosesnya murah, bahkan gratis. Kalau masuk ke pengadilan biayanya mahal sekali. Di Dewan Pers tidak ada yang menang dan kalah karena win win solution.

Mengenai pengaduan dari daerah, kalau Dewan Pers mengganggap mereka bisa datang ke Jakarta, maka merekalah yang datang ke Jakarta. Tapi kalau tidak mampu Dewan Pers yang mendatangi.*

http://www.dewanpers.org/dpers.php?x=news&y=det&z=1e3088e60366e6f168c8b29b0eacca78

Kebutuhan Tenaga ICT Andal Sangat Besar

KEBUTUHAN akan tenaga-tenaga di bidang teknologi informasi dan komunikasi atau ICT (information and communication technology) sangat besar, dan terbuka luas. Tantangan ekonomi global terutama membutuhkan sumber daya manusia yang kreatif, dan disertai dengan kemampuan multimedia.

Dunia bisnis umumnya, dan industri pers secara khusus banyak membutuhkan tenaga ICT. Di Indonesia, ICT yang lahir dari revolusi ideologi informasi datang bersamaan dengan industri media massa dengan iklim kebebasan pers.

Demikian disampaikan Presiden Komisaris Kompas Gramedia (KKG) Jacob Oetama saat memberikan kuliah umum di hadapan mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) di kampus UMN kawasan Summarecon Jalan Boulevard Gading Serpong, Tanggerang, Provinsi Banten, Jumat (5/9/2009).

Menurut Jacob, pendirian UMN untuk menjawab tantangan era teknologi informasi dan menyiapkan indikator bisnis yang kondusif. "Kekuatan utama terletak pada kemampuan seseorang untuk berbuat dan berkreativitas. Kekuatan ini sebagai modal dasar membangun bisnis skala besar seperti halnya Kompas Gramedia. Butuh pula kemampuan di bidang multimedia agar dapat bersaing di dalam industri media baik di tingkat nasional, Asia hingga Eropa," kata Jacob.

Pendiri harian Kompas ini menambahkan nilai-nilai budaya lokal perlu dikembangkan melalui ekonomi kreatif. Salah satu dari sumber kekuatan untuk mengelola itu adalah tenaga manusia yang dilengkapi dengan kemampuan technopreneur yang sanggup dan mandiri. "Sehingga tidak hanya terampil tetapi juga mampu menciptakan lapangan kerja. Program-program unggulan dan fasilitas yang kita bangun di lahan seluas 8 hektar menjadi awal untuk mewujudkan UMN menjadi perguruan tinggi unggulan khusus di bidang multimedia," kata Jacob.

Senada dengan Jacob, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu juga mengatakan UMN merupakan salah satu perguruan tinggi yang khusus memersiapkan mahasiwanya menjadi sarjana yang andal di bidang multimedia. Pada era teknologi informasi, berbicara masalah perdagangan dunia maka Indonesia khususnya perguruan tinggi tidak hanya terjebak dalam masalah ekonomi secara umum tetapi harus lebih spesifik. Sebab prospek ekonomi untuk meningkatkan daya saing di era modern lebih tepatnya kepada ekonomi yang kreatif salah satunya Multimedia. Ekonomi kreatif itu adalah kreatifitas artistik dan sains engineering.

Jika kreativitas artistik lebih kepada kerajinan dan seni, maka bagaimana mewujudkannya dalam bentuk sains engineering. Artinya dewasa ini bisnis multimedia sangat menjanjikan dan banyak menciptakan lapangan kerja. "Seperti kita lihat dunia perfilman, animasi, dan multi media jurnalis. Khusus di bidang ini mencapai 35 persen tenaga kerja. Dengan berdirinya UMN akan menjawab tantangan itu," kata Mari Pangestu menutup pembicaraannya.

Kampus UMN berdiri di atas lahan seluas 8 hektar yang akan dilengkapi berbagai fasilitas seperti ruang kuliah, laboratorium dan penelitian, dan perpustakaan berstandard internasional. Selain itu dilengkapi pula dengan gedung convention center bagi mahasiswa. Menurut Ketua Yayasan UMN, Teddy Suryadi target pembangunan seluruh fasilitas akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. (persda network/ndr)

Progarm Studi Ilmu Komunikasi UMN
* Prodi Ilmu Komunikasi
- Multimedia Journalism
- Multimedia Public Relation
* Program Studi Komunikasi Visual
* Program Studi DKV
- Artand Design
- Animation
- Digital Cinematography
* Program Studi Teknik Informatika
Menghasilkan lulusan
- Aplikasi Mobile
- Multimedia dan Web
- Sistem Database

* Program Studi Sistem Komputer
Menghasilkan lulusan
- Sistem Telekomunikasi Mobile
- Embedded System
- Jaringan Komputer Internet

* Program Studi Sistem Informasi

* Program Studi Manajemen
- Manajemen Pemasaran
- Manajeman Keuangan

* Program Studi Akuntansi
- Auditing
- Taxation

Bukan Bekerja, Tetapi Ciptakan Lapangan Kerja

RATA-RATA motivasi dari para mahasiwa yang masuk ke Universitas Multimedia Nusantara (UMN) bukannya ingin mencari pekerjaan tetapi ingin menciptakan lapangan pekerjaan dengan kemampuan yang didapatkannya selama mengikuti kuliah di UMN. "Bukan untuk bekerja tetapi menciptakan lapangan pekerjaan. Sebab di UMN kita dituntut untuk menjadi seorang technopreneur yang handal dan keinginan kami ya menjadi seorang sarjana yang multi media ujar," Alvin mahasiswa jurusan Sistem Informasi UMN di sela-sela kuliah umum di UMN, Jumat (5/9/2008).

Menurut Alvin selain diajari kemampuan multi media juga dibimbing bagaimana menjadi seorang yang memiliki jiwa interpreneurship. "Tentunya harus diimbangi dengan sikap (akhlaq) yang baik," kata Alvin.

Sementara itu Sinta yang mewakili 385 mahasiswa baru UMN mengaku sangat termotivasi setelah mendapatkan arahan dan materi yang disampaikan Menteri Pedagangan Marie Pangestu yang kini menantang para mahasiwa UMN agar dapat berkreativitas di bidang animasi yang kini tengah menjadi program Departeman Pedagangan. Seperti diketahui bidang animasi di bidang perfileman sangat menjanjikan.

Lihat saja flem kartun yang ditonton hampir seluruh anak-anak di Indonesia. Namun sayangnya film animasi dikuasai pihak luar seperti Jepang dan Amerika."Tentunya kami tertantang dan ingin berkreasi dengan membuat film kartun khas Indonesia. Untuk itu kami berharap di UMN ini memberikan bekal untuk menjawab tantangan dan siap memberikan karya," kata Sinta.

Menanggapi ini Rektor UMN, Prof Yohanes Surya PhD mengatakan di era globalisasi yang dinamis ini yang menyatukan warga bumi sebagai satu komunitas, UMN menempatkan diri sebagai sebuah center of excellence suatu kawah candradimuka bagi pengembangan manusia yang handal dalam bidang ICT Indonesia," kata Yohanes. (persda network/ndr)

Pos Kupang Minggu 7 September 2008, halaman 11

Mengenang Oemar Dahlan, Wartawan Lima Zaman

Oleh Iskandar Zulkarnaen

Samarinda (ANTARA News) - "Kemerdekaan boekan djaminan bahwa segala sesoeatoe akan mendjadi beres. Kemerdekaan sekedar memberikan kemoengkinan untuk keberesan itu. Kemoengkinan itu tidak ada dalam alam pendjadjahan".

Amanat tertulis Bung Karno yang ditorehkan di kertas buku saku wartawan Oemar Dahlan itu merupakan hasil wawancara dengan Sang Proklamator pada 17 September 1950. Wawancara tersebut kemudian diterbitkan di halaman depan salah satu koran besar di Kalimantan Timur kala itu, "Masjarakat Baru".

Wawancara langsung dengan Bung Karno saat itu berlangsung di Pelabuhan Samarinda, saat Sang Proklamator akan meninggalkan Samarinda menggunakan pesawat Catalina yang bertambat di Sungai Mahakam akan menuju Balikpapan.

Selain melakukan wawancara, ia sempat meminta, agar Bung Karno menuliskan satu kalimat yang akan menjadi amanah bagi warga Kalimantan Timur (Kaltim) yang akan ditampilkan di halaman depan koran tersebut.

Sebelum kemerdekaaan, sebagai wartawan muda, Oemar sudah ikut dalam berbagai pergerakan menuntut kemerdekaan Indonesia.

Namun, tokoh yang dikenal sebagai "dian tidak pernah padam" itu pada Sabtu (6/9/2008) pukul 14:00 Wita menutup mata dalam usia 95 tahun. Ia meninggalkan istri, lima anak, tujuh cucu dan satu cicit. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka Jalan AM Sangaji Gang 9, dan dikebumikan keesokan harinya.

"Kami sangat kehilangan karena bukan saja almarhum adalah wartawan sejati karena tetap berkarya meskipun sudah tua namun juga dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan," kata Ketua PWI Kaltim, Ir. H. Maturidi.

Setelah sakit, tokoh pers Indonesia dan pejuang kemerdekaan itu meninggal dunia di Samarinda. Ia juga meninggalkan sejumlah dokumen dan hasil karya jurnalistik pada hari-hari terakhir di usianya yang ke-95 tahun.

Segenap insan pers Kaltim merasa kehilangan, karena pria kelahiran Samarinda 1913 itu tercatat sebagai wartawan paling senior yang masih berkarya sampai usianya 95 tahun sehingga ia dikenal juga sebagai "wartawan lima zaman", dari zaman perjuangan melawan Belanda, Jepang, Proklamasi Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru sampai Era Reformasi.

Sebelum meninggal, ia masih menghasilkan sejumlah karya serta mengkritisi berbagai persoalan politik dan sosial di tanah air. Padahal, kondisi kesehatannya kian memburuk.

"Tampaknya perjuangan masih panjang, alam reformasi justru tidak menuju titik yang diidamkan para pejuang kemerdekaan namun malah membuat bangsa kian terpuruk," katanya sempat mengkritisi awal bergulir reformasi tahun 1999.

Ia mengkritik sejumlah program yang sebenarnya bagus pada Orde Baru namun dianggap salah pada Era Reformasi sehingga berbagai kegiatan yang dinilainya bermanfaat "diberangus" oleh pemerintah yang berkuasa.

Misalnya, program Pos Yandu yang menjadi ujung tombak bagi Pemerintahan Presiden Soeharto dalam meningkatkan taraf hidup kesejahteraan dan kesehatan rakyat tidak berjalan selama Era Reformasi.

Namun, yang terjadi kemudian, kasus kurang gizi dan folio yang sempat "hilang" di bumi Indonesia pada Orde Baru kemudian menjadi kasus "mewabah" pada Era Reformasi. Saat menyampaikan kritikan itu, usianya sudah 90-an tahun.

Bagi yang mengenal dekat sosok Oemar Dahlan, kritikan seperti itu bukan hal yang baru karena perjuangannya dalam menyampaikan sesuatu yang dianggap benar sudah dijalani sejak era perjuangan kemerdekaan.

Ia terlibat berbagai pergerakan dalam membebaskan diri dari penjajah meskipun bukan secara fisik memanggul senjata namun melalui tulisan-tulisannya di berbagai media massa kala itu.

"Oemar Dahlan juga dikenal sebagai sahabat karib mantan Wapres, almarhum Adam Malik yang ketika itu sama-sama mendirikan Partai Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) sebagaimana diakui oleh Adam Malik dalam suratnya tertanggal 23 Pebruari 1981 yang menyatakan bahwa Oemar Dahlan adalah salah seorang pendiri dan penegak partai Gerindo untuk daerah Kalimantan," kata Maturidi.

Berbagai pergerakan menantang penjajah ia ikuti sehingga Pemerintah Belanda pernah membujuk Oemar agar mau "menyeberang". Ia ditawarkan duduk dalam delegasi Kalimantan Timur ke Konferensi "Bizonder Federal Overleg" (BFO) di Bandung pada 1948.

Namun, Oemar muda secara tegas menolaknya karena tahu maksud Belanda dalam BFO itu untuk membungkam pergerakan melalui politik pecah belah untuk membuat negara federasi.

Di zaman Pemerintahan Belanda, Oemar, karena tulisannya memperjuangkan kemerdekaan, pernah dua kali menghadapi delik pers dan didenda 75 gulden, yakni saat sebagai Redaktur harian "Pewarta Borneo" pada 1935 dan saat menjadi "Hoofdredacteur" (Pimred) "Pantjaran Berita" (koran nasional) pada 1940.

Bila tidak dibayar denda itu, maka ia menggantikan dengan hukuman tiga bulan kurungan. Vonis Landtaat Samarinda dijatuhkan pada 1 April 1940.

Tiga kali Oemar naik banding (revisi) ke Raad Van Justitie (RVJ) di Surabaya namun vonis RVJ memperkuat vonis Landraat Samarinda pada 5 Juli 1940 No. 440/R/Ia, Oemar terpaksa bersusah payah mencari uang sampai menjual harta benda untuk membayar denda 75 gulden karena gajinya sebagai Pimred koran nasional "Pantjaran Baru" hanya 15 gulden.

Pembayaran denda peradilan Penjajah Belanda itu dibuktikan dengan selembar kwitansi tanggal 30 Juli 1940 yang menjadi "zimat" yang sebelumnya selalu dibawa kemana-mana selama 60 tahun.

Oemar muda adalah sosok pemuda simpatik agresif dan patriotik. Dia sangat menentang penjajahan Belanda dan ikut dalam berbagai pergerakan.

Dalam melakukan aksi menentang dengan selalu mengobarkan semangat rakyat tidak selalu melalui tulisan, namun kadang-kadang melalui pertunjukan tonilnya, atau pembacaan puisi puisi dari panggung ke panggung. Selain itu dia aktif pula bekerja di surat kabar baik yang terbit di Kalimantan maupun tanah Jawa.

Tokoh ini lahir dari seorang bapak yang bekerja sebagai juru mudi kapal. Pendidikan formal hanya di HIS selama 3,5 tahun.

Ia putera pertama dari delapan bersaudara dari Dahlan dan Kamaraiah. Ayahnya yang menahkodai kapal Jepang Mudjimaru, sebuah kapal peninggalan Belanda yang semula bernama Andries. Kapal itu tenggelam bersama seluruh awaknya karena diterjang peluru terpedo tentara Australia di Laut Sulawesi karena menyangka itu milik tentara Jepang.

Dalam hidupnya Oemar Dahlan pernah mendapat penghargaan dari Komando Resort Kepolisian 1402 Samarinda tahun 1975 sebagai wartawan teladan.

Dari rektor Unmul pada tahun 1980, Dari Pimpinan Pusat Legiun Veteran (LVRI) Jakarta pada tahun 1982 sebagai Veteran Pejuang Kemerdekaan.

PWI dan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Kalimantan Timur mengukuhkannya sebagai wartawan teladan di tahun 1985, dan dari Dewan Pimpinan Daerah Golongan Karya (DPD Golkar) Kaltim tahun 1986, serta Walikota Samarinda pada 1987 memberinya anugerah selaku Tokoh Pers dan Tokoh Masyarakat Samarinda.

Penghargaan lain yang diterimanya adalah Satya Lencana Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Jakarta pada 1989, Tokoh Masyarakat Kaltim 1990 dari Gubernur dan DPRD Kaltim, Medali Perjuangan Angkatan '45 dari Dewan Harian Nasional (DHN) Angkatan 45 Jakarta pada 10 Nopember 1990, serta Tokoh Pers Kaltim 1993 dari Gubernur Kaltim.

Penghargaan yang diterima Oemar Dahlan adalah pengakuan akan keberadaan dan perbuatannya baik disaat menegakkan kemerdekaan maupun pada zaman pembangunan.

Silih berganti zaman bagi Oemar memperkuat keyakinannya untuk membela kebenaran melalui penanya, bahkan setelah kemerdekaan ia pun rela melepaskan jabatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Departemen Penerangan lantaran merasa kebebasannya menulis terkungkung.

Pada suatu ketika, Oemar juga pernah berkata, "Menjaga dan memelihara kemerdekaan itu adalah sesuatu tantangan yang tak gampang." Saat meninggal dunia, ia masih mendiami rumah sederhana tanpa adanya perabot mewah. (*)

http://www.antara.co.id/arc/2008/9/10/mengenang-oemar-dahlan-wartawan-lima-zaman/

Majalah Tempo Kalah di PN Jakarta Pusat

Jakarta (ANTARA News) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, mengabulkan sebagian gugatan perusahaan Asian Agri Group (AAG) milik Taipan Sukanto Tanoto terhadap Majalah Tempo, terkait pemberitaan manipulasi pajak.

"Mengabulkan gugatan penggugat sebagian, dan tergugat terbukti melakukan perbuatan penghinaan," kata Ketua Majelis Hakim perkara tersebut, Panusunan Harahap, di Jakarta, Selasa (9/9/2008).

Sebelumnya dilaporkan, dalam materi gugatannya, Asian Agri menggugat Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Toriq Hadad dan PT Tempo Inti Media Tbk.

Perbuatan Tempo dan Toriq dinilai melawan hukum dan menghina dalam pemberitaan kasus dugaan manipulasi pajak oleh Asian Agri yang dimuat majalah tersebut.

Penggugat meminta kerugian material sebesar Rp500 juta dan immaterial Rp5 miliar. Putusan Majelis Hakim PN Jakpus itu menambah derita Tempo setelah sebelumnya digugat oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan gugatan itu dikabulkan oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan.

Dalam pembacaan putusan itu, Majelis Hakim menyatakan tergugat harus membayar uang ganti rugi Rp50 juta kepada AAG serta menayangkan permohonan maaf satu halaman penuh dan tiga hari berturut-turut di harian Kompas, Koran Tempo dan Majalah Tempo.

"Tergugat juga harus membayar uang perkara sebesar Rp581 ribu," kata Majelis Hakim.

Dalam pertimbangannya, unsur penghinaan yang dilakukan oleh Majalah Tempo sudah terpenuhi, yakni dengan tidak dipenuhinya hak jawab untuk perusahaan milik bos Raja Garuda Mas itu, AAG.

"Hak jawabnya surat pembaca yang menurut ahli, itu bukan karya jurnalis hingga tidak proporsional," katanya.

Majelis Hakim juga memandang tindakan Majalah Tempo itu melanggar kewajiban hukum dalam melayani hak jawab, yakni asas kepatutan dan ketelitian.

Dikatakannya, sekalipun Undang-Undang (UU) Pers digunakan untuk pers, sifat yang mengandung penghinaan/pencemaran nama baik, maka wartawannya tetap dapat dikenai hukuman bisa membayar ganti rugi.

Seusai persidangan, kuasa hukum Tempo dari LBH Pers, Hendrayana, mengatakan keputusan itu merupakan lonceng kematian bagi pers di tanah air.

"Kami akan banding dengan putusan ini, ini adalah upaya duka cita untuk pers di tanah air," katanya.

Pemred Majalah Tempo yang juga menjadi tergugat, Toriq Hadad, mengatakan Majelis Hakim tidak paham dengan pekerjaan jurnalistik.

Salah satu pertimbangan Majelis Hakim itu, yakni, untuk sumber pemberitaan harus menunggu kepastian dahulu pengadilan, atau yang dapat diartikan untuk berita tidak boleh menggunakan kata dugaan.

"Poin lainnya yang diperhatikan oleh kami, yakni soal penggelapan pajak AAG tidak menjadi pertimbangan Majelis Hakim," katanya.

Sementara itu, kuasa hukum AAG, Hinca Panjaitan, mengatakan pihaknya mematuhi putusan Majelis Hakim yang hanya mengabulkan sebagian gugatan. "Itu putusan hukum, ya harus dihormati," katanya.(*)

http://www.antara.co.id/arc/2008/9/9/majalah-tempo-kalah-di-pn-jakarta-pusat/

Wartawan Kurang Paham Gender

KUPANG, PK -- Pemahaman wartawan/wati media cetak dan elektronik di NTT tentang gender atau hal yang sensitif/berpihak pada perempuan dan anak masih sangat kurang. Akibatnya, banyak karya jurnalistik yang bias gender.

Hal ini diakui wartawan/wati yang menjadi peserta Focus Group Discussion tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di ruang rapat Biro Pemberdayaan Perempuan Setda NTT, Sabtu (6/9/2008).

Kegiatan ini diselenggarakan Biro Pemberdayaan Perempuan bekerja sama dengan United Nation Population Fund (UNFPA).

Wartawan yang hadir berjumlah 15 orang, yaitu Asis Tokan (LKBN Antara), Kornelis Kewa Ama (Kompas), Alberth Vinsent (Radio El Shinta), Ina Djara (TVRI Kupang), Alfons Nedabang (Pos Kupang), Yes Bale (Timor Express), Palce Amalo (Media Indonesia), Yos K Diaz (Viesta Nusa), Adi Adoe (RRI Kupang), Hiro Bifel (Fajar Bali), Leo Ritan (Flores Pos), John Seo (Erende Pos), Rudi Riwu Kaho (Kursor), Tere (Radio Madhika), Robert Ola Bebe (Buser Timur) dan Agus Badja (Suara Kupang).

Kegiatan diskusi dipandu Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra, dengan pendamping Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan, Dra. Sisilia Sona. Asisten III Setda NTT, Simon P Mesah hadir membawakan materi tentang Kebijakan Pemerintah Dalam Upaya Perlindungan Pemberdayaan Perempuan.

"Selama ini tidak ada yang membekali wartawan tentang jurnalisme yang berperspektif gender sehingga pemberitaan media banyak yang bias. Wartawan malas dan media tidak punya komitmen terhadap pelindungan perempuan dan anak," kata Asis Tokan.

"Be (saya) son (tidak) tahu tulis berita yang berperspektif gender itu yang karmana," ujar Yes Bale dengan dialek Kupang yang kental, polos.

Wartawan yang hadir juga mengakui pengetahuan masih minim tentang produk hukum, di antaranya Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2006. Ketika panitia membagikan buku yang berisi dua jenis aturan ini, wartawan menerimanya dengan 'kaget'.

Diskusi selama kurang lebih dua jam itu menghasilkan beberapa rekomendasi, di antaranya Forum Wartawan Peduli Gender dan Biro Pemberdayaan Perempuan akan membedah berita-berita 'gender' yang sudah dilansir media, melakukan pendidikan dan pelatihan bagi wartawan tentang jurnalisme yang berperspektif gender, mengadakan perlombaan penulisan berita yang berperspektif gender.

"Media harus terus-menerus memberi terang. Demikian peran pers. Isu-isu gender, pelindungan perempuan dan anak, hendaknya dijadikan agenda peliputan media. Forum ini perlu memfasilitasi pertemuan dengan pemimpin redaksi masing- masing media, agar mereka juga berperspektif gender," kata Dion DB Putra.


Sisilia Sona mengatakan, berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi keprihatinan kita bersama, memerlukan upaya pencegahan serta penanggulangan.
Dikatakannya, walaupun UU No 23/2004 tentang KDRT dan PP No 4/2006 telah ada, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak telah ada di setiap Polres/Polresta di kabupaten/kota, namun belum memberikan perlindungan yang maksimal terutama kepada perempuan dan anak korban kekerasan.

"Peran media massa yang diharapkan dapat menjadi focal point yang memiliki corong diharapkan memberikan pemberitaan yang sensitif dan cukup berpihak pada perempuan dan anak. Media harus buat berita yang santun," kata Sisilia Sona.

Sementara itu, Simon P Mesah mengharapkan, media massa menjadi mitra pemerintah dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan dan anak. Penulisan dan pemberitaan harus berpihak pada perempuan dan anak. (aca)

Pos Kupang edisi Minggu 7 September 2008 halaman 10

Dewan Pers Rumuskan Standar Hak Jawab

JAKARTA, RABU - Banyaknya kasus yang terjadi antara wartawan dan narasumber mendorong dewan pers untuk segera merumuskan standar hak jawab hingga kini rumusan standar hak jawab telah dibahas dalam tiga kali rapat pleno. Hari ini, Rabu (3/9) Dewan Pers bersama organisasi wartawan kembali mengadakan rapat pleno untuk melanjutkan perumusan standar hak jawab di Gedung Dewan Pers, Jakarta.

Agenda rapat pleno ini membahas draft 1 standar hak jawab yang telah disepakati pada rapat pleno sebelumnya 27 Agustus 2008. Hak jawab adalah hak seseorang, sekelompok orang, organisasi, atau badan hukum untuk memberikan tanggapan dan sanggahan terhadap pemberitaan.

Permintaan hak jawab dilakukan secara tertulis dan pihak yang mengajukan harus melampirkan identitas diri. Ketua Dewan Pers, Leo Batu Bara mengatakan setelah rumusan standar hak jawab disepakati dalam rapat pleno kemudian akan dibentuk tim kecil dengan anggota Dewan Pers dan wakil dari media yang ditunjuk. "Kalau rapat pleno ketok palu kita akan buat tim kecil." ujar Leo. Leo berharap rumusan standar hak jawab dapat selesai dalam waktu dekat ini.(ANI)

http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/03/2018440/dewan.pers.rumuskan.standar.hak.jawab

Kantor Berita Sedunia Perangi Hackers

Baku (ANTARA News) - Aliansi kantor-kantor berita sedunia yang sedang berkonferensi di Baku, ibukota Azerbaijan, Rabu, menyatakan perang terhadap para hackers yang mengacaukan informasi dan merusak website mereka di internet.

Presiden Organisasi Kantor Berita Asia Pasifik (OANA) Dr. Ahmad Mukhlis Yusuf dan Presiden Aliansi Kantor Berita Eropa (EANA) Dr.Wolfgang Vyslozil bersumpah bahwa kantor berita harus berada di garda depan untuk menyebarluaskan berita yang akurat, obyektif, independen dan tidak bias.

Konferensi diselenggarakan dalam kaitan pertemuan ke-30 Dewan Eksekutif OANA yang beranggotakan 41 kantor berita dari 33 negara.

Mukhlis Yusuf yang juga Dirut Perum LKBN Antara adalah Presiden OANA untuk periode 2008-2010. Sedangkan EANA beranggotakan 31 kantor berita dari 31 negara di Eropa. Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev membuka dan berdiskusi dengan peserta konferensi.

Menurut Mukhlis, kantor berita harus bisa menyuarakan kebenaran dan mereka yang tidak memiliki suara dengan pemberitaan yang tidak memihak dan independen.

"Banyak sekali berita. Informasi membanjir di internet tanpa harus membayar. Tapi, itu belum tentu bisa diandalkan kebenarannya. Yang sudah teruji keakuratannya adalah informasi dari kantor berita," kata Mukhlis.

Perkembangan media dalam 10-15 tahun terakhir ini dinilai sangat cepat dan dramatis. Untuk menjadi penerbit tidak sesulit dulu.

"Anda hanya perlu laptop, server dan koneksi Internet, jadilah anda wartawan sekaligus penerbit," kata Wolfgang Vyslozil.

Internet telah membuat peningkatan sumber berita dan membuat orang bisa memiliki akses untuk menyampaikan aspirasi, pendapat dan opininya, seperti yang dilakukan para bloggers dan anggota mailing list.

"Tapi berita di internet banyak yang menyesatkan dan bias. Itu sebabnya kantor berita sangat penting dan perannya meningkat," kata Wolfgang yang juga CEO kantor berita Austria APA.

Peran kantor berita makin dirasakan manfaatnya pada saat perang informasi sekarang ini dimana para hackers mengacaukan informasi dan musuh "menghancurkan" website kantor berita. Tidak dijelaskan kantor berita mana saja yang sudah "dikerjai" para hackers.


Liputan independen

Sementara itu, dalam pertemuan dengan peserta konferensi di Istana Kepresidenan, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev menekankan pentingnya liputan yang independen. Media harus bebas menyuarakan kebenaran dan bukannyan kebohongan.

"Pandangan dan pendapat boleh berbeda-beda, sikap juga boleh bertentangan, tapi media harus akurat. Karena tugas media adalah menyampaikan kebenaran," katanya.

Presiden Aliyev memberi contoh banyak berita tentang negeri yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan Armenia, negara tetangga yang bermusuhan, tidak pernah diekspos secara luas.

"Wartawan seolah tutup mata terhadap Armenia, tapi sedikit saja ada masalah di Azerbaijan, pasti jadi fokus pemberitaan," kata Aliyev.

Untuk itu, ia mengundang wartawan dari OANA dan EANA untuk datang ke negeri kaya minyak berpenduduk 8,5 juta jiwa itu.

"Lihatlah dengan mata kepala sendiri, terjunlah ke jalan-jalan, wawancarai rakyat kami, ceritakanlah negeri kami apa adanya," demikian Ilham Aliyev.(*)

http://www.antara.co.id/arc/2008/9/3/kantor-berita-sedunia-perangi-hackers/