Oleh Sipri Seko dan Hermina Pello
PROPINSI NTT baru saja dipercaya menjadi tuan rumah penyelenggaraan Hari Pers Nasional (HPN) 2011. Rangkaian kegiatan HPN 2011 ini dimulai dari tanggal 4-10 Februari 2011. Presiden SBY pun datang ke Kupang.Dia tak hanya mengikuti puncak HPN 2011, tanggal 9 Februari di Aula El Tari Kupang.
Selama empat hari tiga malam berada di NTT, Presiden SBY, para menteri dan lainnya melakukan berbagai kunjungan maupun peresmian proyek. Bagaimana geliat pelaksanaan HPN 2011 yang mendatangkan Presiden SBY dengan rombongan menteri terbanyak selama kunjungannya di NTT? Ikuti serial tulisan beberapa wartawan Pos Kupang yang terlibat langsung baik sebagai panitia maupun peliput mulai edisi hari ini.
KETUA PWI NTT, Dion DB Putra, tak bisa menahan air matanya ketika Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, menyampaikan pidatonya padat puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2011 di Aula Utama El Tari Kupang, Rabu (9/2/2011). Entah rasa apa yang sedang berkecamuk di dalam dadanya, yang jelas, Dion menangis.
Dion bahagia. Dion puas. Dion senang. Dion dkk pantas berbangga. Dari sebuah keraguan akan keberhasilan, Indonesia bahkan dunia bisa menyaksikan Frans Lebu Raya, seorang putra asal Adonara, Flores Timur, berpidato satu podium dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua PWI, Margiono, dan Menkominfo, Tifatul Sembiring. Mereka capai, namun hasilnya sangat membanggakan.
"Saat Pak Gubernur menyampaikan pidatonya, saya sudah tak bisa menahan air mata. Saya bahagia karena kita ternyata mampu menyelenggarakan sebuah event nasional yang sangat spektakuler. Ini hasil kerja seluruh rakyat NTT. NTT menjadi dikenal di mana-mana. Kebahagiaan seperti ini mungkin tak akan terulang lagi," kata Dion DB Putra.
Rasa haru dan bahagia Dion DB Putra juga sama seperti Andre Koreh. "Kita berhasil menjadi panitia dan tuan rumah. Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan." Andre mengungkapkan itu kepada Gubernur Lebu Raya usai puncak HPN. Sebagai ketua panitia, dia memang merasakan pahit getir dan manisnya menjadi penyelenggara. Namun, dia puas dan bahagia karena ternyata di balik nada pesimisme itu ada keberhasilan yang terjadi hanya karena komunikasi, koordinasi, kerja sama dan dukungan semua pihak.
***
Menjadi penyelenggara event nasional seperti HPN memang tidak mudah. Tekad Dion DB Putra dkk untuk memperjuangkan NTT menjadi tuan rumah memang sempat menuai nada sinisme dari berbagai pihak. NTT yang distigmakan tidak mampu, miskin dan nada minor lainnya dianggap tidak layak. Namun, dorongan dan motivasi Frans Lebu Raya kepada Dion dkk membuat mereka percaya diri untuk menjadi penyelenggara.
Awam dan tak tahu bagaimana menyelenggarakan HPN, membuat sang Ketua Panitia Daerah HPN 2011, Ir. Andre W Koreh, M.T, minta dukungan. Tak hanya kepada insan pers, kepada pimpinan satuan perangkat kerja daerah (SKPD) tingkat propinsi, Walikota Kupang dan para bupati, pimpinan TNI/Polri, BUMN/BUMD dan instansi swasta diminta kerja samanya.
Pemerintah Kota Kupang sebagai tuan rumah juga tak tinggal diam. Segala daya dan upaya dilakukan untuk membuat Kota Kupang menjadi tuan rumah yang baik. Untuk kebersihan, tidak bisa kalau hanya mengandalkan tenaga dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan, tetapi semua PNS dilibatkan. Beberapa lokasi yang sebelumnya kumuh 'dipaksa' menjadi indah. Lampu jalan dibenahi. Taman kota pun dihiasi. Hasilnya pun luar biasa.
Kerja sama antara Panitia HPN 2011, Pemprop NTT dan Pemkot Kupang membuat Kota Kupang berubah menjadi indah.
"Ini merupakan salah satu yang diinginkan oleh kita. Semua unsur masyarakat bergerak dan kota menjadi indah. Kalau hal seperti ini terus terjadi tanpa harus menunggu Presiden datang, Kota Kupang akan menjadi sangat menarik. Bersih saja sudah indah," ujar Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L Foenay, M.Si.
Rancangan semula bahwa Presiden SBY akan datang saat puncak HPN lalu pulang ke Jakarta berubah total kala SBY mengatakan ingin menginap di Kupang. Seluruh rancangan dan agenda kegiatan berubah total. Pembenahan besar-besaran harus dilakukan. Sarana prasarana, jalan-jalan utama dibenahi dan dibersihkan. Lokasi kegiatan yang semula dijadwalkan di Rumah Jabatan Gubernur NTT pun harus dipindahkan.
"Presiden akan berkantor di NTT." Demikian headline media- media nasional. Bahkan reuters dan AFP ikut memberitakannya.
Kalau Presiden datang, ikutannya pun banyak. Para menteri, gubernur, Dirjen dan lainnya juga ikut.
Masalah penginapan dan transportasi cukup memusingkan panitia. Hotel Kristal dan Astiti diambil alih Paspampres. Tamu di sana pun harus dipindahkan ke tempat lain. Dari sinilah panitia kemudian tahu bahwa ternyata di Kota Kupang bisnis hotel telah tumbuh subur. Mobil-mobil rental juga sudah banyak. Ratusan kendaraan (minimal innova) disiapkan melayani tamu dan undangan. Memusingkan, namun semua terlayani dengan baik. Paling tidak, itu diakui para tamu kepada liaison officer yang mendampingi mereka selama berada di Kupang.
Ada kesan yang tertinggal dari HPN 2011. Andre Koreh dan sekretarisnya, Drs. Ary Moelyadi, M.Pd, kini telah paham bagaimana menggelar sebuah event tingkat nasional. Mereka capai, namun puas dan bangga. Mereka kini tertantang untuk menggelar event berskala nasional bahkan internasional lainnya. Bagaimana dan apa yang dilaksanakan selama HPN 2011? Ikuti tulisan selanjutnya besok. (bersambung)
Yang Tersisa dari HPN 2011 (2)
Bosan Miskin
Oleh Benny Dasman
RICHARD Djami resah dan gelisah. Menunggu di sana, di kantornya di Jalan Palapa-Kupang, Selasa (1/2/2010). Jam sebelas siang, rapat belum dimulai. Tak ada panitia, seksi pameran, yang datang. Padahal semuanya sudah diundang. Secara tertulis, SMS, dan mulutgram. Hari pun berlalu tanpa agenda kerja.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) NTT itu tak putus asa. Di pundaknya, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, menitip pesan dan harapan, "Sukseskan Pameran HPN." Kominfo sebagai tuan rumah.
Rabu (2/2/2010), rapat lagi. Saya, Rony Fernandez, rekan-rekan dari Disperindag NTT, tak datang bersamaan. Semuanya terlambat. Waktu terus berlalu, melewati pukul sebelas. Tak ada tanda-tanda rapat dimulai. Pak Richard tak betah di ruangannya. Tak mau dikecewakan untuk kedua kalinya. "Kalau sampai jam 12 belum datang semuanya, saya mengikuti kegiatan lain," sosok low profile ini memberi ultimatum. No smile!
Saya duduk di lobi ruang kerjanya. Menanti rapat. Berbincang-bincang dengan Plt Sekretaris Kominfo NTT, Drs. Yoseph Siantari. 'Ultimatum' Pak Richard membuat saya tak tenang, apalagi menyandang jabatan sebagai ketua seksi pameran. "Apa jadinya kalau Pak Richard dan personelnya mundur. Semuanya berantakan," saya membatin.
'Tamu' yang diundang sudah hadir empat orang. Saya, Marsel Ali, dua orang dari Disperindag NTT. Pak Richard memutuskan rapat dimulai. Jarum jam menunjukkan pukul 12 siang. "Gubernur NTT telah meminta agar pameran digelar di halaman Dinas Kominfo NTT. Kalau stannya banyak, kita manfaatkan sebagian Jalan Palapa. Sebagai tuan rumah, kami ikut bertanggung jawab agar pameran ini sukses," Pak Richard membuka rapat.
Rony Fernandez dan Hermensen Ballo, seksi perlengkapan, ikut bergabung. Pak Richard langsung meminta Rony memaparkan agenda kerjanya. Mulai dari jumlah peserta pameran, pengadaan dan pembuatan stan di arena, pemasangan listrik PLN, penanganan sampah hingga seremoni acara pembukaan.
Dijelaskan secara detail. Ada masukan-masukan dari peserta rapat agar jangan mengabaikan keamanan arena pameran, siapa yang mengisi acara panggung hiburan, pemasangan baliho dan spanduk-spanduk. Pun siapa yang memberi laporan pembukaan, menyusun pointers-pointers sambutan gubernur. "Yang terakhir ini tugas ketua seksi pameran," forum rapat memutuskan.
Rapat diskors. Peninjauan ke arena pameran. Memetakan dan memosisikan stan di alun-alun Dinas Kominfo NTT dan Jalan Palapa. Rony sudah menyiapkan denanya. Siapa di kamar putih nomor satu sampai ke-51, semuanya sudah tercatat. "Kamis (3/2/2011) pagi, stan mulai dibangun," tutur Rony. Ini rapat koordinasi terakhir. Tinggal beraksi di lapangan. "Kita selalu koordinasi ya. Jangan main-main. Ini even besar?" pesan Pak Richard.
***
JUMAT (4/2/2011) sore. Cerah. Jalan Palapa, di jantung Kota KASIH, 'berdandan' rapi. Tak biasanya. Sampah-sampah 'berwisata' jauh. Cat trotoar berwarna bersih. Baliho raksasa terpampang indah. Bergambar Presiden dan Ny. Ani Yudhoyono. Tersenyum. Menyapa NTT. Spanduk warna-warni mengibas hari tanpa henti. Menyalami anak Kota Kasih melepas penat. Aroma jagung bakar menyengat. Menggoda selera, merayu rupiah. 'Kamar-kamar' mungil ditata apik. Berdinding putih. Menghiasi alun-alun dan jantung kota. Gadis-gadis penunggu menebar pesona. Semarak! Pameran siap dibuka.
Di sini, di jalan ini, aroma perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2011 mulai menebar pesona kemeriahan. Merasuk nadi insan kota. Menjadi tema diskusi hangat di warung-warung kopi, kedai bakso, tenda bubur kacang, pangkalan ojek. HPN pun diplesetkan banyak versi. Ibu-ibu menyebutnya Hari Perempuan Nasional. Yang tergolek sakit menyebutnya Hari Pengobatan Nasional. Macam-macam. Yang penting HPN. Dihadiri presiden dan ibu negara. Baru pertama kali dalam sejarah Flobamora.
Pukul 17.30 wita, kamar-kamar putih dan penjaganya siap menanti sang tamu. Menebar senyum, ekspresi, komit dan sanjung. Adegan prolog bermula di panggung. Ada tarik suara. Menyanjung NTT lewat nada dan kata. Melantunkan potensi, budaya, tenun ikat, pesona wisata membentang menanti jamahan, aneka tambang menanti investor. Fisiknya ada di kamar-kamar putih. Itu wajah NTT. Wajah Flobamora.
Acara yang dinanti-nantikan tiba. Si empunya spirit 'Anggur Merah' Drs. Frans Lebu Raya, Gubernur NTT, memberi petuah. Dimulai dengan litani kekhawatiran banyak pihak tentang NTT. Kekhawatiran tak mampu menyelenggarakan even-even berskala nasional. Pokoknya citra tak sedap. NTT seperti 'hutan rimba.' Datang ke NTT harus membawa tenda. Tak ada hotel yang representatif. Masih banyak predikat minor lainnya.
Tapi, Gubernur Frans Lebu Raya mengabaikan semua 'baptisan' sensasi itu. Berani menerima tantangan. Menjadi tuan rumah perayaan besar, Hari Pers Nasional (HPN) 2011. Harus menunggu 65 tahun. "Tahun lalu, ketika mengutus duta-duta NTT mengikuti HPN di Palembang, saya berpesan bahwa NTT siap menjadi tuan rumah HPN 2011," Frans Lebu Raya memulai pidatonya.
HPN mencitrakan NTT. Dikenal luas di seantero persada, bahkan di luar negeri. Insan pers membidikkan penanya dan 'menguliti' NTT dalam berbagai angle. Dalam konteks membangkitkan optimisme membangun. Itu harapan Gubernur Frans Lebu Raya. "Kita sudah bosan dicitrakan Nasib Tidak Tentu. Sudah bosan hidup miskin," tandasnya. Boleh jadi pernyataan putra Watoone, Adonara, ini sebagai sebuah tekad. Obsesi, perjuangan. Pertanyaannya, kalau sudah bosan miskin mau buat apa?
Jawabannya, ada di kamar putih. Gubernur dan Ny. Adinda Lebu Raya melangkah ke sana. Mengitari alun-alun Dinas Kominfo NTT. Suara sirene, dentuman kembang api, mengiringi langkahnya. Menyapa penunggu kamar putih dengan senyum.
Di kamar putih itu, Gubernur Lebu Raya melihat aneka potensi dan kekayaan alam NTT. Potret harga diri. Terpampang tenun ikat aneka corak dan motif Flobamora. Baju tenun, topi tenun, jas tenun dan aneka kerajinan berbahan tenun ikat memikat mata. Masih banyak lagi. Aneka kerajinan dari bambu, gerabah, marmer, keramik, pangan lokal, madu, potensi kelautan, pariwisata, kayu cendana. Semuanya terpampang dengan jelas.
Semua mata memandang penuh pesona. Ada pengakuan, NTT kaya raya. Itu semua "merek dagang" NTT. Harus disosialisasikan, "dijual", diperkenalkan, disebarluaskan kepada publik negeri ini agar menjadi bagian dari kehidupan rakyat. Inovasi produk menjadi tuntutan dan keharusan untuk memuaskan konsumen. Itu kata kuncinya.
Dari Jalan Palapa, isi kamar putih 'menghipnotis' pengunjung. Melepas rupiah, memiliki produk NTT. Tak tanggung-tanggung kamar putih memanen Rp 500 juta seminggu. Bangga, produk NTT menjadi rebutan.
***
TINGGALKAN pesona kamar putih menuju Aula El Tari-Kupang. Rabu (9/2/2010) siang, dua gadis cantik asyik dengan pekerjaannya. Yang satu menenun kain tradisional motif Sabu, seorang lagi memintal benang. Menggunakan alat tradisional. Kepunyaan ibu-ibu di desa. Keseharian mereka setiap hari. Novanto Center menghadirkan karya-karya monumentalnya mengadvokasi tenun ikat NTT di mata publik.
Presiden dan Ny. Hj. Ani Yudhoyono terpukau melihatnya. Kebanggaan Flobamora terukir di sana. Betapa tidak, presiden dua periode itu dan ibu negara pun mengenakan busana tenun ikat NTT. Motif Sikka. Momen yang tampan bagi keduanya untuk melihat dari dekat bagaimana cara merendanya. Harus tekun dan terampil.
Presiden terus mengulum senyum. Mendengarkan alunan musik sasando. Seorang pemuda dengan lincah memainkan jemarinya pada alat musik tradisional NTT itu. Presiden menghampirinya, memberi pesan agar terus melestarikannya. Sasando telah menjadi salah satu menu musik nasional. Selalu tampil di layar kaca. Itu hasil karya dan binaan Dekranasda NTT.
Tak ketinggalan Bank NTT memamerkan produknya. Mendisplay produk-produk makanan lokal NTT. Ada emping jagung, dendeng, gula hela. Pun memeragakan proses pembuatan gading dan kerajinan cendana. Presiden dan Ny. Ani Yudhoyono terkesima melihatnya. Semangatnya, "Melestarikan Masa Lalu, Menjalin Masa Depan Menuju NTT Sejahtera." NTT penuh pesona.
Presiden telah melihat semuanya. NTT bagian dari negeri ini. Tak boleh hanya mendapat remah-remah roti dari Jakarta. Tetapi harus menikmati langsung rotinya. Dan, suatu saat, ketika HPN dirayakan lagi di NTT, entah ke berapa, gubernur saat itu seyogyanya berkata, "NTT sudah bosan kaya." (bersambung)
Yang Tersisa dari HPN 2011 (3)
Beri Kami Pengakuan
Oleh Gerardus Manyella--
HARI Selasa (8/2/2011), sehari menjelang acara puncak Hari Pers Nasional, panitia baik nasional maupun daerah super sibuk. Aser Rihi Tugu yang dipercayakan sebagai ketua seksi seminar kerepotan mengatur jadwal pembicara oleh narasumber yang akan membedah tema Propinsi Kepulauan.
Salah satu pembicara kunci adalah Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Tapi siang itu juga gubernur harus menjemput Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan di Bandara El Tari, Kupang. Dengan demikian panitia mempercepat jadwal. Pagi itu, tepat pukul 09.00 Wita, Gubernur NTT tampil di Restoran Oriental membawakan orasi tentang NTT dan perjuangan propinsi kepulauan.
"Beri kami pengakuan, beri kami harga diri. NTT merupakan propinsi kepulauan, di mana lautan lebih luas dari daratan. Untuk itu kami bersama enam propinsi lainnya berjuang agar mendapat pengakuan yuridis dari pemerintah pusat dan DPR," kata gubernur ketika itu.
Selama ini, tujuh propinsi kepulauan di Indonesia mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah pusat. Sebagian besar masalah yang dikeluhkan propinsi berkarakteristik kepulauan di antaranya pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) dan dana Alokasi khusus (DAK) yang hanya dihitung berdasarkan luas wilayah daratan dan jumlah penduduk. Padahal 70 persen wilayah propinsi kepulauan adalah laut atau perairan.
Perjuangan propinsi kepulauan sudah masuk dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Badan Kerjasama Pemerintah Propinsi Kepulauan sudah mengeluarkan dua kesepakatan bersama yang disebut Deklarasi Ambon tahun 2005, dan Deklarasi Kupang NTT tahun 2009. Dua deklarasi itu, merupakan ikhtiar untuk mewujudkan lahirnya sebuah regulasi yang mengakui bahwa NTT bersama NTB, Maluku, Maluku Utara, Bangka Belitung, Papua dan Sulawesi Utara mendapat pengakuan yuridis tersebut. Sebagian besar masalah yang dikeluhkan adalah perolehan DAU dan DAK yang ditetapkan berdasarkan variabel-variabel yang kurang mempertimbangkan realitas obyektif wilayah, propinsi atau kabupaten dan kota kepulauan. Indikator penentuan DAU dan DAK yang terjadi selama ini berdasarkan jumlah penduduk di mana pada wilayah kepulauan umumnya sedikit dan luas wilayah daratan kecil.
Bagi NTT dan enam propinsi kepulauan lainnya, penyeragaman implementasi variabel luas wilayah berdasarkan standar luas daratan dalam formula DAU sangat merugikan propinsi yang berciri kepulauan, karena laut merupakan ruang aktivitas publik atau ruang pembangunan yang pada hakekatnya sama dengan kondisi wilayah kontinental. Selama ini propinsi hanya diberi hak 12 mil, selebihnya merupakan kewenangan pusat. "Kami punya mutiara, tapi bukan dalam penguasaan daerah. Potensi itu menjadi kewenangan pusat," kata gubernur dalam setiap kesempatan membicarakan kepulauan.
NTT sebagai tuan rumah HPN yang dihadiri seluruh wartawan di Indonesia, sepakat mendukung terwujudnya propinsi kepulauan. Insan Pers Indonesia mendukung pemberlakuan khusus propinsi-propinsi kepulauan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dukungan itu tertuang dalam tiga sikap insan pers yang dikeluarkan di Kupang, Selasa (8/2/2011), setelah mengikuti konvensi pers tentang Daerah Kepulauan di Restoran Oriental. Insan pers mendesak pemerintah RI segera memperkuat status dan posisi daerah-daerah kepulauan sebagai daerah khusus dalam kerangka NKRI.
Insan pers mengharapkan, dalam merevisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah perlu mempertegas dan memperjelas pengaturan tentang daerah khusus dan daerah istimewa dengan memasukkan daerah kepulauan sebagai salah satu wujud pemerintahan daerah dimaksud serta mengatur hubungan pemerintah dengan pemerintah daerah secara khusus dalam intervensi terhadap daerah-daerah khusus dan istimewa tersebut.
Setelah sehari membahas propinsi kepulauan, insan pers mendesak Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memperkuat status hukum dan memperjelas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat khusus, dengan segera membentuk dan menetapkan Undang-Undang Daerah Kepulauan.
Wartawan dari tujuh propinsi kepulauan, NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Bangka Belitung dan Papua mengumandangkan pernyataan yang sama. Wartawan propinsi kepulauan ini mengharapkan dukungan wartawan nasional terhadap perjuangan pengakuan propinsi kepulauan bagi tujuh propinsi ini.
Ibarat gayung bersambut, Ketua DPR, Marzuki Alie, yang tampil sebagai pembicara pada forum itu menegaskan, jika rancangan undang-undangnya telah diserahkan kepada DPR, tahun 2011 ini akan dibahas untuk diundangkan. Dirinya sudah koordinasikan dengan Menteri Kuangan, Agus Martowardojo soal anggaran untuk pembahasan RUU tentang perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
Berkat kepiawaian moderator Primus Dorimulu, Marzuki menyatakan, pihaknya sedang menunggu draf RUU itu. Bagi Marzuki Alie, DPR gampang, sejauh argumentasi dan lain-lainnya bagus akan didukung.
Draf RUU Propinsi Kepulauan yang dirumuskan Badan Kerjasama Tujuh Propinsi Kepulauan sudah rampung. Tujuh gubernur dan ketua DPRD propinsi kepulauan sudah mengagendakan bertemu presiden menyampaikan itu, lalu diserahkan untuk diteruskan ke DPR dan dibahas.
Menurut Marzuki, potensi lokal perlu mendapat perhatian lebih, termasuk memberikan kekhususan pada daerah-daerah tertinggal seperti NTT. Marzuki mengharapkan daerah mampu mengelola potensi yang dimiliki agar berarti bagi dirinya. Bagi Marzuki, hal ini perlu dikaji secara khusus. Apakah perangkat UU yang kurang cukup, kurang memberi ruang yang lebih bagi daerah-daerah seperti NTT.
Marzuki Alie sangat bangga dengan Gubernur NTT yang mampu melihat peluang- peluang yang ada untuk dikembangkan. Gubernur telah memaparkan potensi itu di hadapan presiden dan jajaran kabinetnya. Masalahnya pengakuan undang-undang sehingga distribusi anggaran juga belum berjalan adil. Ini yang perlu dipikirkan agar ke depan distribusi anggarannya berlaku adil sampai ke NTT.
Bagi Marzuki, distribusi anggaran hanya mengacu pada luas daratan dan jumlah penduduk. Tahun ini DPR prioritaskan RUU Propinsi Kepulauan agar ke depan distribusi APBN memperhitungkan luas lautan. Misalnya NTT yang disebutkan 70 persen luas lautan dan 30 persen luas daratan, bisa diperhitungkan dalam postur APBN. Saat ini ada 33 propinsi rebutan postur APBN yang 90 persen untuk urusan wajib.
Perjuangan propinsi kepulauan juga mendapat respons dari Direktur Utama PLN, Dahlan Iskan, dengan program kelistrikan yang berbasis daerah kepulauan. Bagi Dahlan, di NTT baru 30 persen rumah penduduk yang berlistrik. Jika setiap tahun naik 2 persen maka 20 tahun lagi baru NTT sama dengan kondisi Jawa saat ini, jika ditangani dengan cara biasa. Untuk itu, PLN akan menangani dengan cara luar biasa. Targetnya tahun 2011 ini, 70 persen rasio elektrifikasi atau rumah yang berlistrik.
Untuk mendukung kemajuan pembangunan, PLN sudah mengupayakan ada perusahaan yang bisa merakit televisi yang dihidupkan dengan listrik tenaga matahari. Selain Sumba, listrik tenaga surya juga diberikan untuk Pulau Komodo. Sedangkan Pulau Flores diupayakan 100 persen tanpa batubara dan PLTD sebelum Natal tahun ini. Tahun ini, semua diupayakan dengan listrik tenaga panas bumi dan PLTM.
Untuk Alor sebagian tenaga surya dan sebagian PLTD, mengingat karakteristik daerahnya. Sabu dan Rote juga akan diupayakan peningkatan pelayanan sehingga kebutuhan akan listrik dapat terlayani 24 jam. Selama ini di Sabu PLN baru melayani aliran pada pukul 18.00 Wita atau jam 6 sore.
Untuk wilayah Timor Barat, juga 100 persen rampung tahun ini. Apa pun bentuk pemerintahan harus diperkuat pertumbuhan ekonominya. Untuk itu perjuangan propinsi kepulauan harus diikuti dengan pola ekonomi kepulauan.
Untuk penguatan ekonomi, panitia mendatangkan Ketua Komite Ekonomi Nasional Chairul Tanjung. Chairul menyarankan propinsi kepulauan menjual wisata bahari untuk menggenjot PAD. Budaya penduduk (varian spesies) baik binatang maupun tumbuh-tumbuhan harus dikemas menjadi menarik, seperti komodo. Potensi keluatan lainnya, yakni ikan dan garam. NTT punya potensi garam tapi Indonesia mengimpor 2 juta ton/tahun. Ini ironi.
Sukses dan tidaknya perjuangan ini, tergantung wakil rakyat di Senayan. Untuk itu, 13 anggota DPR dan empat anggota DPD, harus gigih memperjuangkan aspirasi 4,6 juta penduduk daerah ini. "Suarakan suara kami, perjuangkan aspirasi kami. Kami butuh pengakuan yuridis." (bersambung)
n Yang Tersisa dari HPN 2011 (4)
Dana Rp 5 Miliar Dibelanjakan
Oleh Oby Lewanmeru
MOMENTUM Hari Pers Nasional (HPN) ke-65, tanggal (9/2/2011) telah berlalu. Meski demikian, kenangan momentum itu tetap terukir indah dalam sejarah perekonomian masyarakat Kota Kupang dan NTT pada umumnya.
Mulai dari masyarakat petani, nelayan, tukang ojek, tukang pijat tradisional, sopir taxi, rental mobil, pebisnis cinderamata, pebisnis makanan lokal khas daerah, para perajin tenun ikat, pengusaha rumah makan, restoran dan perhotelan, pengelola obyek wisata, penjaga parkir di Kota Kupang dan sekitarnya bag mendapatkan durian runtuh.
Betapa tidak. Tiba-tiba di awal bulan Februari 2011, mereka ketipan rezeki turun dari langit yang datang tanpa rencana melalui luapan kehadiran tamu-tamu HPN yang spontan menggunakan jasanya sejak tanggal 4 - 10 Februari.
Untuk melayani aktivitas para tamu HPN 2011 itu selama enam hari, dalam tenggang waktu 24 jam panitia menggunakan jasa 250 mobil inova milik pribadi masyarakat dan rental mobil dengan bayaran Rp 1,5 juta. Juga ratusan mobil merci dan fortuna Rp 3 juta/hari dengan bahan bakar pertamax.
"Selain mobil untuk memperlancar transportasi, pengusaha penginapan atau hotel di Kota Kupang tercatat paling banyak menimba rezeki. Ini terbukti semua hotel termasuk hotel yang selama ini di mata orang Kupang tercatat status dan model bangunan yang tidak jelas pun dipakai jasanya. Ini karena menjelang hari H, panitia HPN masih kewalahan karena masih kekurangan sekitar 100 lebih kamar hotel," kata Sekretaris Panitia HPN 2011, Sipri Seko.
Menurut data yang dihimpun, total hotel di Kota Kupang yang digunakan para tamu HPN 2011 menelan biaya Rp 600 juta. Hotel-hotel yang digunakan itu terdiri dari tiga kategori pembayaran, yakni ada yang dibayar panitia daerah, ada yang dibayar langsung panitia pusat, dan ada juga yang dibayar Sekretariat Negara, sehingga total biaya untuk penginapan di seluruh hotel di Kota Kupang hampir mencapai Rp 800 juta.
"Sama dengan biaya ongkos mobil semuanya mencapai Rp 500 juta. Namun perlu diketahui bahwa semua biaya itu tidak semuanya dibayar panitia daerah dengan dana APBD NTT. Jadi praktis kas APBD NTT tidak terkuras untuk item transportasi yang mencapai Rp 500 juta dan biaya penginapan di hotel-hotel tersebut," tambah Seko.
Tidak hanya itu, rezeki turun dari langit itu juga dinikmati pengusaha pencetak baliho di Kota Kupang. Sekitar 150 baliho yang dicetak untuk dipajang sepanjang jalan di Kota Kupang selama kegiatan HPN dengan harga untuk pembuatan 1 baliho Rp 1,2 juta. Harga itu belum ditambah biaya pemasangan untuk membeli kayu, tali, paku dan tripleks. Sehingga satu baliho yang terpasang menelan anggaran minimal Rp 2 juta. Dengan demikian jika Rp 2 juta/baliho dikalikan dengan 150 baliho mendatangkan pemasukan bagi Digital Printing Kupang sebesar Rp 300 juta. Bahkan Digital Printing terpaksa menolak ribuan order baliho untuk dicetak karena keterbatasan tenaga kerja. Itu belum termasuk 200 lebih spanduk (a Rp 750.000), serta 1.000 umbul-umbul seharga (a Rp 250.000) dan bambu 2.000 batang yang dibeli dari petani bambu di Desa Baun, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang.
Pebisnis rumah makan dan restoran juga kebagian rezeki. Biaya konsumsi panitia dan tamu yang resmi mencapai Rp 400 juta diserap rumah makan dan restoran di Kota Kupang. Biaya konsumsi sebesar itu tidak termasuk biaya yang dikeluarkan para tamu secara perorangan.
Para perajin tenun kain khas NTT juga mendapat imbas ekonomi dari kegiatan HPN 2011. Sebab sedikitnya 500 baju tenun ikat khas NTT dibeli Novanto Center dengan harga rata- rata Rp 250.000 - Rp 500.000/lembar kain. Demikian pula Dekranasda NTT menyiapkan 1.500 selendang untuk pengalungan para tamu mulai dari ruang kedatangan Bandara El Tari sampai Rumah jabatan Gubernur NTT. Selendang tersebut dibeli dari masyarakat dengan harga Rp 250.000/lembar.
Belum lagi kalau diandaikan setiap tamu yang hadir cukup menghabiskan uang sakunya Rp 1 juta untuk belanja cinderamata mulai dari pameran di Kota Kupang hingga mengikuti kunjungan kenegaraan rombongan presiden sampai ke Kota SoE, Kefamenanu hingga Kota Atambua.
Dari sisi hiburan, selama berlangsungnya kegiatan HPN 2011 di Kupang (4-10/2/2011) atau enam hari berturut-turut, praktis seluruh tempatan hiburan malam (tempat karaoke dan bar) yang sebelumnya sepi, ibarat hidup enggan, mati tak mau, semuanya penuh dengan tamu sepanjang malam.
Singkat cerita selama enam hari kegiatan HPN 2011 sedikitnya uang sekitar Rp 5 miliar lebih berhasil diserap masyarakat Propinsi NTT, mulai dari Kota Kupang sampai ke Kota Atambua.
Semua pihak tentu mendapat kisah tersendiri mulai dari tukang ojek, penjual sayur, penjual souvenir, perajin tenun ikat, pengusaha rumah makan, restoran dan hotel. Begitu pula dengan mobil sewa dan sebagainya. Dari kesemuanya itu, masing- masing memiliki peran untuk menyukseskan agenda nasional tersebut.
Peranan hotel dan restoran saat itu memang sebagai salah satu alat vital dalam menyukseskan agenda tersebut. Memang tidak sepenuhnya berpengaruh, namun acara ini dihadiri oleh tamu- tamu nasional dan tentu membutuhkan akomodasi yang layak.
Pada rapat persiapan yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Propinsi NTT di ruang rapat kantor setempat pada Rabu (12/1/2011) lalu, semua yang berkaitan dengan akomodasi dibicarakan secara intens, karena dalam rencana awal kehadiran tamu bisa mencapai 700- 1.000 orang. Ini menjadi tantangan sendiri bagi pihak Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) NTT.
Tantangan ini masuk akal, karena kamar hotel yang dimiliki khusus di Kota Kupang tidak bisa melayani para tamu itu seutuhnya. Tak pelak ini menjadi sebuah kenyataan yang harus diperhatikan bersama, baik pemerintah daerah maupun PHRI dalam mengembangkan perhotelan di Kota Kupang.
Ketua PHRI NTT, Leonard Arkian, sendiri mewanti-wanti dalam keraguan apakah hotel dan restoran bisa layak dan cukup memenuhi kebutuhan selama HPN. Meski dalam keterbatasan semua akomodasi bisa mengakomodir even nasional itu.
"Banyak sekali hal yang kami peroleh dengan diselenggarakannya HPN 2011 di Kupang. Banyak sekali masukan yang kami peroleh sebagai pengusaha hotel dan restoran, karena ada kekurangan langsung diklaim tamu dan itu jadi bahan untuk kami benahi ke depan," katanya.
Dampak lain yang diperoleh adalah dari segi finansial yang memang menjadi hal yang secret atau tidak bisa dibeberkan secara luwes oleh pengelola hotel atau restoran dengan pertimbangan bisnis. "Memang nyata ada peningkatan drastis terutama soal pemasukan, namun setiap hotel dan restoran tidak bisa beberkan itu dengan pertimbangan bisnis. Nanti pengaruh manajemen dan juga pengaruh eksternal lainnya," tutur Arkian.
Ada beberapa hotel yang harus dibenahi terutama hotel-hotel melati dan standar, sedangkan kelas bintang antara lain seperti Hotel Sasando dan Hotel Kristal sudah tentu ada pembenahan, namun bersifat biasa.
General Manajer Hotel Sasando International, Stanis Sanga Ama, mengatakan, kegiatan HPN dengan NTT sebagai tuan rumah turut mempromosikan hotel dan restoran di Kota Kupang. "Kami bangga dengan adanya HPN di Kupang yang dihadiri tamu nasional dari berbagai daerah di Indonesia turut membawa makna tersendiri bagi kami pengelola hotel dan restoran. Karena, dengan sendirinya hotel kami dipromosikan ke luar NTT," kata Stanis.
Dikatakannya, kapasitas kamar yang ada di hotel itu terdiri dari kamar eksekutif sebanyak 4 kamar, deluxe sebanyak 21 kamar, ruang VIP 1 lounge dan restoran satu ruangan ditambah ruang rapat sebanyak 2 ruangan.
"Saat HPN, kamar yang ada di hotel ini 100 persen penuh dan tidak ada yang kosong, bahkan tamu dari daerah seperti para bupati yang selama ini nginap di hotel kami saat itu terpaksa kami tolak. Dan memang ada peningkatan tajam. Padahal biasanya pada bulan-bulan seperti itu kami dalam situasi low season atau minim tingkat hunian," katanya.
Bukan saja ada kebanggan dari pihak penyelenggara dan pemerintah daerah, namun kebanggaan juga dirasakan Stanis. Menurutnya, ada kebanggaan tersendiri karena hari-hari atau waktu sebelumnya hotel mereka tidak dilihat orang luar umumnya saat itu bisa dilihat. Dan momentum ini bisa dijadikan sebagai alat untuk mempromosikan NTT di mata nusantara maupun luar negeri.
Memang ada kekurangan dari sisi pelayanan, namun itu tidak menjadi hambatan atau membuat pengelola hotel dan restoran pesimis dan minder, tapi sebaliknya sebagai pemicu dan pemacu untuk membenahi segala kekurangan. "Ada satu masalah yang kami hadapi saat itu yakni masalah air hangat untuk mandi para tamu. Pada satu sisi semua tamu yang kebetulan mandi dalam waktu yang bersamaan sehingga air hangat yang ada kurang maksimal sehingga ada protes. Ini jadi rekomendasi dan masukan bagi kami," katanya.
Selain akomodasi, tentu para pengusaha kuliner juga mendapat keuntungan saat HPN, seperti penjualan se'i oleh Toko Sudimampir. Permintaan se'i saat itu meningkat tajam, terutama se'i sapi. "Selama empat hari memang ada peningkatan permintaan, namun tidak signifikan. Permintaan se'i yang paling tinggi adalah se'i sapi, sedangkan babi tidak begitu. Ada juga pameran produk lokal lain yang juga mengalami peningkatan," ujar pemilik Toko Sudimampir, David Kenenbudi, S.E.(bersambung)
* Yang tersisa dari HPN (5)
Presiden Pertama ke TTU
Oleh Alfred Dama
KUNJUNGAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke beberapa daerah di daratan Timor telah menjadi cerita tersendiri bagi masyarakat. Tawa, menangis haru, menari dan natoni menjadi warna umum yang terlihat di sepanjang Jalan Timor Raya dan tempat persinggahan, mulai dari Kota Kupang hingga Atambua.
Antusiasme masyarakat mendapat apresiasi dari orang nomor satu di negeri ini. Ini ditunjukkan dengan hampir sepanjang perjalanan, kaca kendaraan kepresidenan, Indonesia I, nyaris tidak pernah tertutup. SBY pun leluasa melambaikan tangan memberi salam kepada masyarakat yang sudah dengan setia menunggu antara dua hingga tiga jam sebelum rombongan presiden melintas.
Perjalanan rombongan SBY dari SoE ke Kefamenanu pun mendapat sambutan dari masyarakat yang tinggal di sepanjang jalan trans SoE-Kefamenanu. Antusiasme untuk melihat sepintas wajah pemimpin bangsa dan negara ini sudah tampak sejak pagi. Mereka berbodong-bondong memenuhi jalan, padahal presiden dan rombongan baru meninggalkan Kota SoE-TTS sekitar pukul 09.45 Wita. Tak ayal, ketika rombongan presiden melintas, lambaian bendera merah putih mengiringi rombongan presiden yang terus melaju ke timur.
Presiden bersama rombongan baru berhenti di Kantor Polsek Polen untuk beristirahat sejenak. Selama 15 menit, Presiden menikmati segarnya udara Polen, Kecamatan Polen, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Kesempatan ini pun dimanfaatkan oleh SBY untuk menyalami masyarakat yang sudah menunggu sejak pagi. Tak lupa juga SBY menyapa camat Polen, Albert Fay, S.Sos. "Pak Camat!" Panggil SBY dan dijawab: "Siap!" oleh Albert.
"Bagaimana situasi keamanan di sini?" tanya SBY. "Situasi aman pak, hanya sedikit masalah karena miras," kata Albert.
Mendengar itu SBY tersenyum, dan meminta Albert tetap menjaga keamanan di wilayah itu agar tetap kondusif.
Setelah berdialog dengan Camat Polen, rombongan SBY melanjutkan perjalanan ke Kefamenanu. Warga TTU menyambut SBY mulai dari dari perbatasan TTU-TTS. Di wilayah TTU, SBY dan rombongan menyempatkan diri beristirahat di kolam Pemandian Oeluan. Di tempat ini, SBY dan rombongan berkesempatan untuk sholat.
Bupati Timor Tengah Utara (TTU), Raymunduz Fernandez, S.Pt, yang ditemui di Kefamenanu usai melepas SBY ke Atambua, Kamis (10/2/2011) siang, mengatakan, saat beristirahat di Oeluan, Presiden SBY mencicipi ubi rebus dan sambal yang sudah disiapkan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Tanpa canggung, kepala negara pun mencicipi makanan khas masyarakat Nusa Tenggara Timur ini. Sekali makan, ternyata membuat SBY ingin mencicipi lagi. "Bapa tua (SBY) makan sambil keringat-keringat," kata Raymundus.
Selain menikmati ubi rebus, SBY juga menyempatkan diri jalan-jalan dalam kawasan hutan Oeluan yang rindang. Ia berpesan agar kawasan itu harus tetap dijaga. Sekitar pukul 12.15 Wita presiden dan rombongan memasuki Kota Kefamenanu. Puluhan ribu warga Kota Kefamenanu telah memadati jalan-jalan protokol untuk menyambut SBY.
Terik panas Kota Kefamenanu tidak menghalangi warga yang didominasi para siswa mulai dari tingkat SD hingga SMA/SMK untuk menyambut SBY. Beberapa wanita terlihat sangat terharu melihat presiden melambai tangan.
Persiapan menyambut kedatangan SBY oleh Pemkab TTU dilaksanakan secara maksimal. Tidak tanggung-tanggung ruang kerja Bupati dan Wakil Bupati TTU diubah menjadi ruang makan. Dalam tempo satu malam, ruangan yang setiap hari digunakan untuk aktivitas memimpin Kabupaten TTU diubah dan ditata layaknya restoran. Ruang kerja ini disulap menjadi ruang makan kepresidenan. Di tempat ini SBY dan Ny. Ani Yudhoyono dijamu makan siang. "Ruang ini diubah hanya dalam waktu satu malam," kata Raymundus Fernandez.
Sambutan terhadap SBY dan rombongan juga dilakukan oleh warga di sepanjang jalan trans Kefamenanu-Atambua. Di Kecamatan Insana, sekitar 3.500 siswa sekolah berdiri di sepanjang kiri dan kanan jalan untuk melambaikan tangan membalas lambaian tangan SBY.
Camat Insana, Alfons Tuames, mengatakan, para siswa ini sangat antusias melihat SBY meski hanya sepintas. Mereka rela menunggu meski suhu udara cukup panas. "Anak-anak ini semangat sekali, mereka tunggu dari pagi meski presiden baru lewat siang. Kita sudah siap kalau presiden mau singgah, rombongan hanya lewat saja," jelasnya.
Kesan yang mendalam ditinggalkan SBY setelah meninggalkan Kefemenanu. Beberapa ibu yang nekat menembus pagar betis polisi yang mengawal SBY mengatakan sangat senang bisa bersalaman dengan SBY. "Senang sekali bisa pegang tangan SBY," kata seorang ibu.
Beberapa staf PNS di Pemkab TTU menyampaikan rasa bangga karena bisa berpose di depan mobil Indonesia I yang ditumpangi presiden. "Kapan lagi baru mobil presiden datang di Kefa? Ini kesempatan buat kita untuk foto-foto untuk kenang-kenangan," kata seorang ibu.
Tokoh masyarakat TTU, Alo Rikoni, mengatakan SBY adalah presiden pertama yang datang ke TTU. Tentu ini merupakan berkah tersendiri bagi masyarakat. "Kita lihat saja, masyarakat begitu antusias ingin melihat presiden. Dan, presiden juga tidak menutup kaca mobil. Luar biasa," kata Rikoni. (bersambung)
Yang Tersisa dari HPN (6)
Semakin Percaya Diri
Oleh Reddy Ngera
PANITIA peras SKPD. Demikian kabar yang beredar dari mulut ke mulut dan lewat pesan singkat (short message service/SMS). Sangat muskil untuk menelusuri siapa yang menjadi sumber utama. Namun, satu hal yang pasti, berita itu bikin kuping panas. Menohok dan menampar muka panitia.
Penanggung Jawab HPN yang juga Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra, hanya mengurut dada sembari geleng-geleng kepala. "Isu itu tidak benar," katanya.
Menurut Dion, SKPD juga menjadi panitia. Setiap SKPD diwajibkan memasang satu baliho dan menyiapkan satu unit kendaraan untuk operasional peserta HPN.
Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, angkat bicara. Pada malam keakraban panitia HPN di Aula Rumah Jabatan Gubernur, Lebu Raya mengatakan, "Kalau setiap SKPD mengeluarkan dana Rp 3 juta untuk kegiatan HPN, itu tidak seberapa. Seorang pejabat eselon dua satu kali melakukan perjalanan dinas untuk lima hari saja sudah mengantongi uang perjalanan sekitar Rp 5 juta sampai Rp 7 juta. Menyisikan sedikit dari dana perjalanan dinas untuk kegiatan HPN tidak seberapa."
Sikap 'menyerang' panitia sebenarnya sudah tampak sejak awal kepanitiaan HPN terbentuk. Ketika gubernur menetapkan dan mengumumkan komposisi kepanitiaan, langsung diprotes. Protes juga datang dari kalangan wartawan. Beragam alasan dikemukakan. Di antaranya sejumlah wartawan belum terakomodir dalam komposisi kepanitiaan. Juga dipertanyakan kepanitiaan HPN didominasi pejabat dan staf pemerintah.
Tuntuan itu direspon dengan melakukan perubahan surat keputusan kepanitiaan untuk mengakomodir wartawan yang belum terakomodir. Ada pun alasan melibatkan insan non pers dalam kepanitiaan agar HPN benar-benar merakyat. Hal itu berangkat dari pemikiran, HPN bukan hanya milik orang-orang pers tetapi milik semua masyarakat NTT. Ternyata, kepanitiaan dengan melibatkan insan non pers mendapat apresiasi, di antaranya datang dari Ketua Umum PWI Pusat, Margiono.
"HPN di Kota Kupang sangat meriah dan lebih merakyat. Kami telah melakukan reportase hampir di semua tempat mulai dari pasar hingga penjual dan warung-warung. Semua orang bicara tentang HPN dan kedatangan Presiden SBY," ujar Margiono.
Terendus bahwa 'sentimen' kepada kepanitiaan erat kaitannya dengan pengalokasian anggaran dari Pemerintah Propinsi NTT kepada panitia HPN. Oleh karena sudah mendapat dana miliaran rupiah yang bersumber dari APBD sehingga kurang pas jika SKPD berkontribusi lagi kepada panitia. Dana miliaran itu juga memicu kasak-kusuk di antara wartawan. Sampai-sampai ada yang menuding sebagian masuk ke kantong panitia. Soal dana memang kadang membuat kuping berdiri, apalagi mendengar bunyi miliaran.
Untuk menyukseskan kegiatan HPN dan kunjungan kerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama empat hari di NTT, tidak mungkin tanpa anggaran. Kegiatan berskala nasional tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan, itu bukan menjadi persoalan setelah mengetahui dua kegiatan itu berhasil dilaksanakan dan memberi dampak yang luar biasa bagi daerah ini.
Sebelumnya orang mengenal NTT lewat obyek wisata seperti komodo di Manggarai Barat, 17 Pulau di Riung, Ngada, Danau Kelimutu di Ende, Jumat Agung di Larantuka, pasola di Pulau Sumba serta keberagaman etnik budaya lainnya. Banyak juga mengenal NTT karena stigma kemiskinan. Sekarang, lewat HPN, semakin banyak orang mengetahui ternyata NTT sudah bisa menjadi tuan rumah hajatan berskala nasional. NTT pantas diperhitungkan di tingkat nasional. HPN yang sukses serta 'betahnya' presiden berada di NTT, sudah tentu membangkitan rasa percaya diri daerah dan masyarakat. HPN dan presiden telah mencitrakan NTT sebagai satu daerah yang pantas dihargai.
Bentuk penghargaan itu ditunjukkan presiden. Tidak tanggung- tanggung dengan menambahkan anggaran Rp 5,3 triliun untuk percepatan pembangunan di NTT dalam tahun 2011. Anggaran tersebut di luar Rp 16,1 triliun yang sudah dialokasikan dalam APBN 2011; dana PNPM Pedesaan Rp 657,20 miliar serta anggaran untuk PNPM Perkotaan senilai Rp 12,8 miliar. Jumlah ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan anggaran yang dialokasikan dalam APBN tahun 2010, yakni Rp 14,1 triliun.
Untuk peningkatan infrastruktur, presiden menambah anggaran Rp 1,426 triliun, untuk pengairan Rp 409,96 miliar, untuk Bina Marga Rp 777,4 miliar, Cipta Karya Rp 223, 16 miliar, untuk tata ruang Rp 6,2 miliar. Untuk pengembangan pertanian, presiden menambahkan Rp 365 miliar, untuk sekolah lapangan terpadu, inseminasi, cetak lahan baru, kopi arabika. Presiden juga membantu 658.316 ekor sapi potong yang ditargetkan bisa menghasilkan daging sebanyak 7.241 ton/tahun.
Dana yang disalurkan melalui Kementerian Pertanian juga untuk pengembangan bibit sapi timor di Besipae, penggemukan sapi di Sumba Timur dan peternakan babi di Boawae.
Kegiatan lainnya adalah pembangunan industri garam. Presiden bercita-cita menjadikan NTT sebagai pusat industri garam Indonesia, selain Madura. Presiden juga mendistribusikan anggaran untuk kelautan sebesar Rp 252 miliar, perumahan Rp 61,647 miliar untuk pembangunan pemukiman warga baru dan penduduk lokal. Setiap daerah yang disinggahi presiden, seperti TTS, TTU dan Atambua, juga dibantu.
Sudah tentu, dana-dana itu dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan 4,6 juta rakyat NTT. Sama seperti presiden, kita juga mengharapkan agar anggaran yang banyak itu digunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Sekarang menjadi tugas insan pers bersama masyarakat, LSM dan anggota Dewan untuk senantiasa mengawas.
Mari bergandengan tangan mengontrol demi mencegah penyimpangan. Jika terlena, maka akan terjadi malapetaka. Daerah ini akan hilang kepercayaan pemerintah pusat jika anggaran yang sudah didistribusikan tidak dimanfaatkan secara baik dan tepat sasaran. Masyarakat dan daerah ini akan terkungkung dalam ketertinggalan dan kemiskinan jika dana yang digelontorkan untuk percepatan pembangunan tidak mengubah wajah daerah dan nasib masyarakat NTT.
Terlepas dari kekurangannya, HPN telah memberi dampak positif bagi daerah dan masyarakat. Perjuangan PWI NTT untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan HPN 2011 tidak sia-sia. Sukses menjadi tuan rumah HPN setidaknya memotivasi pemerintah dan masyarakat untuk mengapai sukses di masa mendatang. (habis)
Pos Kupang edisi 14, 16, 17, 18, 19 dan 20 Februari 2011 halaman 1