Bukan Sekadar Contreng

Oleh Novemy Leo

SABTU (20/6/2009), Persatuan Wartawan Indoensia (PWI) bekerja sama dengan Mapilu-PWI dan Depdagri menggelar workshop bertema, Sosialisasi Pemilu dan Pendidikan Pemilih Berbasis Jurnalistik Menuju Pemilu Damai dan Elegan."

Hadir lima pembicara, yakni Hendra J Kade (Ketua Mapilu- PWI Pusat), Drs. Tarman Azzam (Ketua Dewan Kehormatan PWI), Octo Lampito (Presidium Nasional Mapilu), A. Zaini Bisri (Wakil Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI) dan Djidon de Haan (Jubir KPUD NTT), dengan moderator Tony Kleden dari Pos Kupang.

Workshop Pemilu 2009 (1)

Dalam workshop, puluhan peserta yang terdiri dari wartawan media cetak, elektronik radio dan televisi di Kupang ditantang menyukseskan pemilihan umum presiden (Pilpres) 2009 sesuai dengan profesinya. Berikut ini catatan penting yang dapat dibagikan kepada masyarakat guna menghasilkan Pilpres yang berkualitas.

MEMBUKA workshop itu, Ketua Mapilu PWI-Pusat, Hendra J Kade mengatakan, menghasilkan Pilpres 2009 yang berkualitas sedikitnya harus memenuhi empat variabel. Pertama, kualitas regulasi, aturan perundangan yang mengatur proses pemilu. Kedua, peserta pemilu yakni para kandidat. Ketiga, kualitas penyelenggara pemilu atau Komisi Pemilihan Umum. Keempat, kualitas dari pemilih atau rakyat.

Namun, secara jujur harus diakui bahwa sampai dengan pelaksanaan pemilu yang kesekian kalinya di republik ini, empat variabel penting itu belum bisa dilaksanakan dengan baik. Variabel regulasi, yang merupakan sebuah desain pembentuk proses dan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas itu, ternyata masih jauh dari harapan. Kualitas regulasinya minim, sering berubah.

Contohnya, regulasi penetapan calon anggota DPRD menyangkut nomor urut atau suara terbanyak, regulasi mengenai partai politik (parpol) yang layak ikut pemilu dan lain-lain. Perubahan regulasi itu seringkali menimbulkan kekacauan’ politik yang justru berimbas pada situasi keamanan dalam masyarakat.

Kualitas peserta pemilu juga masih minim. Seharusnya para kandidat menyadari bahwa pemilu merupakan moment untuk menyelesaikan persoalan daerah dan bangsa sehingga kandidat harus menunjukkan kualitasnya. Namun kenyataan, mereka lebih banyak menjadikan pemilu sebagai ajang perebutan kekuasaan, saling menjatuhkan lawan politiknya’.

Belum lagi kualitas KPU sebagai penyelenggara pemilu. Terlihat masih banyak produk kebijakan atau penafsiran regulasi oleh KPU justru menjadi potensi mengacaukan’ proses pemilu itu sendiri, menimbulkan protes dari masyarakat dan kandidat. Bahkan tak jarang keputusan KPU baru dibuat setelah ada masalah. Hingga akhir Juni 2009, KPU belum menetapkan anggaran Pilpres putaran II. Begitu yakinkah KPU bahwa Pilpres 2009 hanya akan berlangsung satu putaran? Bagaimana jika asumsi itu meleset? Uang dari mana yang akan diraup jika terjadi Pilpres putaran II?

Kondisi ini membuktikan bahwa kemampuan KPU untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi di waktu mendatang masih minim.

Jubir KPU NTT, Djidon de Haan mengatakan, pihaknya mengalami kesulitan karena peraturan KPU sering berubah, penetapan tidak sesuai dengan waktu dan kepentingan, terdapat multi-tafsir yang membingungkan, ada kesenjangan dalam penerapan di lapangan.

Mengenai anggaran Pilpres putaran II, Djidon mengatakan, akan dimasukkan dalam perubahan anggaran. Jawaban yang sangat sederhana. Namun Djidon mengakui bahwa tabiat’ seperti itu memang sering terjadi.

Kita cenderung seperti itu. Nanti orang pukul baru kita balas. Kita tidak siap terlebih dahulu bagaimana kalau orang pukul kita,” kata Djidon memberi kiasan.

Kualitas pemilih menjadi variabel penting dalam menyukseskan pemilu. Kualitas pemilih tidak hanya diukur dari kedatangan pemilih di TPS, masuk bilik suara dan memberikan suara/pilihan, mencontreng gambar kandidat atau partai idolanya. Lebih dari itu, kualitas pemilih terkait dengan bagaimana pemilih mempunyai kemampuan mencontreng pilihannya. Kemampuan memilih artinya pemilih tahu kewajiban dan haknya, dia bisa menjawab kenapa dia memilih, dia mengerti bagaimana membuat keputusan dan menjatuhkan pilihan serta memahami konsekuensi dari pilihannya itu.

Kita lihat sebanyak 178 juta pemilih di Indonesia mungkin bisa mencotreng saat pilpres 8 Juli 2009. Tapi pertanyaannya, berapa banyak pemilih yang mempunyai kemampuan mencontreng? Pertanyaan berikut, siapa yang harus 'menciptakan' pemilih yang berkemampuan mencontreng? Apakah KPU, kandidat, tim sukses, partai kandidat atau siapa?

KPU hanya punya kewenangan, antara lain menetapkan jadwal, waktu, pelaksanaan pemilu, mengupayakan pemilih bisa contreng dengan benar pada kertas suara, menyosialisasikan pelaksanaan pemilu ke masyarakat. Namun KPU tidak punya kewajiban menyosialisasikan pemilu berkualitas atau sosialisasi yang berkonsentrasi pada kapasitas pemilih dalam kemampuannya mencontreng kandidat saat pemilu. Itu adalah urusan pendidikan pemilih.

Apalagi para kandidat dan partai politik serta tim suksesnya. Mereka hanya melakukan kampanye untuk mempengaruhi atau mengajak rakyat mencontreng gambar atau nomor urutnya.
Jadi tugas siapakah itu? Hendra mengatakan, memberikan pendidikan pemilih, membutuhkan waktu yang lama dengan jangkauan komunikasi yang luas hingga ke pelosok wilayah di Indonesia, namun dengan biaya minim jika tidak mau dikatakan nol. Tugas mulia itu hanya bisa dilakukan oleh pekerja media, wartawan.

Dalam komunikasi publik, untuk menyosialisasikan pendidikan pemilih, semua pihak tentu angkat tangan’. Tapi, yang bisa meningkatkan kualitas pemilih dan kualitas pemilu hanyalah wartawan. Karena itu, Depdagri menjalin kerja sama dengan Mapilu dan PWI NTT untuk menyosialisasikan bagaimana kita bisa menghasilkan pemilih yang berkualitas sehingga terwujud pemilu yang berkualitas. Sangat diharapkan pekerja pers dapat melaksanakan tugas mulia ini dengan baik," kata Hendra. (bersambung)

Pos Kupang edisi Jumat, 26 Juni 2009 halaman 1

Pilih Capres Berkualitas

Oleh Novemy Leo

NEGARA adalah rakyat. Negara adalah kita. Artinya, siapa pun orang yang mengaku diri sebagai warga dari suatu negara, dia tidak boleh hanya duduk diam. Dia harus mampu berpikir dan bertindak untuk membangun sebuah tatanan kehidupan politik yang beradab dan berperikemanusiaan.

Untuk mewujudkan rakyat dan negara yang sejahtera dan berkeadilan, maka sebuah negara harus memiliki pemimpin atau presiden. Salah satu ciri negara demokrasi, presiden dipilih secara langsung oleh rakyatnya.

Workshop Pemilu 2009 (2)

Indonesia yang menganut paham negara demokrasi telah melakukan hal ini dengan mengadakan pemilu presiden (pilpres) setiap lima tahun.

Tanggal 8 Juli 2009, rakyat Indonesia akan kembali memilih presiden dan wakil presiden (wapres) untuk memimpin bangsa dan negara Indonesia lima tahun mendatang 2009-2014. Pertanyaannya, siapakah kandidat yang tepat di antara tiga kandidat capres/cawapres yang bisa kita pilih menjadi pemimpin Indonesia? Apakah pasangan Megawati/Prabowo, SBY/Boediono atau Jusuf Kalla/Wiranto?

Jawabannya sederhana saja. Kata kuncinya, Presiden Indonesia harus berkualitas dalam segala hal. Karena, presiden merupakan orang yang akan terlibat secara langsung dalam menentukan nasib rakyat dan bangsanya. Presiden adalah pembuat Undang- Undang (UU) yakni UU yang bisa berimplikasi pada masalah pidana dan keperdataan. Presiden adalah orang yang punya kewenangan penuh membuat perjanjian internasional pada segala bidang kehidupan.

Presiden adalah orang yang bisa memperbesar atau memperkecil utang Indonesia di luar negeri. Presiden adalah orang yang berwenang menjual atau membeli barang, menjual atau membeli BUMN dan sebagainya.

Ketua Mapilu-PWI Pusat, Hendra J Kade mengatakan, pilpres bukan sekadar pesta lima tahunan untuk memilih presiden/wapres. Yang lebih substansial, pilpres adalah sebuah momentum untuk mengidentifikasi persoalan aktual bangsa dan negara. Baik persoalan di bidang sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan, IPTEK, hukum, sosial, termasuk kesenian dan olahraga.

Asumsinya, propabilitas terjadinya perubahan persoalan kebangsaan itu ada pada periode lima tahunan. Ibarat memilih pasangan yang akan mendampingi kita dalam suka duka, terus memberikan bimbingan dan kemajuan positif bagi kehidupan kita di masa depan, maka kita tidak boleh salah pilih pasangan dan tidak bisa kita pilih tepat pada tanggal pernikahan kita. Dia harus kita kenal jauh-jauh hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Melalui sebuah proses perkenalan, penjajakan, melihat kemampuan, kualitas, kelebihan dan kekurangannya, barulah kita menetapkannya sebagai calon mendamping kita.
Begitu pun ketika kita memilih presiden dan wapres, calon pemimpin bangsa. Kita sudah harus mengenali kelebihan dan kekurangannya jauh hari sebelum kita memilihnya pada tanggal 8 Juli mendatang.

Sedikitnya ada tiga kriteria yang harus dimiliki presiden dan wapres RI. Pertama, dia harus mampu mengidentifikasi apa saja persoalan bangsa yang dihadapi selama lima tahun. Kedua, dia harus mampu mengindentifikasi bagaimana solusi penyelesaian persoalan bangsa itu dan alternatifnya. Ketiga, dia harus mampu mengidentifikasi seluruh program detailnya.

Jadi, siapa yang paling bisa mengidentifikasi persoalan bangsa, yang bisa mencari solusi dari persoalan itu dan yang memiliki program yang tepat bagi kemajuan rakyat dan bangsanya, dialah yang kita berikan kepercayaan menjadi presiden. Tentu harus melihat kompetensinya, moralitasnya, kredibilitasnya, bukan warna kulit atau asal daerahnya," jelas Hendra.

Yang perlu diingat bahwa pasangan capres dan cawapres yang meraih 60 persen suara pada pilpres 8 Juli 2009 mendatang belum tentu menang. Karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dan Capres, pasangan capres-cawapres dinyatakan menang apabila mendapat 50 persen suara ditambah 1, dan harus meraih 20 persen suara yang tersebar di 17 propinsi.

Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka harus diadakan pemilu putaran kedua. Karena itu, meski ada paket yang menang atau meraih suara terbanyak di Pulau Jawa dan Bali, belum menjadi jaminan dia menang dan menjadi pemimpin bangsa. (bersambung)

Pos Kupang edisi Sabtu, 27 Juni 2009 halaman 1

Jangan Terbius "Kue" Iklan

Oleh Novemy Leo

ADOLF Hitler, pemimpin Jerman yang terkenal sangat diktator, pernah berkata, "Kalau Anda perhadapkan saya dengan 1.000 tentara yang bersenjata lengkap, saya tidak akan takut sedikit pun menghadapinya. Tetapi, jangan pernah perhadapkan saya dengan seorang wartawan saja, karena saya akan mundur."

Workshop Pemilu 2009 (3)

KALIMAT Hitler itu sarat makna. Hitler sangat paham dan tahu betapa peran media, pers atau wartawan, sangat penting dalam berbagai bidang kehidupan. Paling tidak, wartawan bisa membangun opini publik, yang bisa saja berdampak baik atau berdampak buruk. Opini itu mampu mempengaruhi publik atau masyarakat untuk suka atau tidak suka terhadap sesuatu yang diberitakan wartawan dan medianya.

Pers ibarat 'pedang bermata dua'. Di satu sisi, memiliki peran dan posisi strategis dalam rangkaian melaksanakan fungsi menyukseskan pemilu, pilpres, selain bagi capres dan cawapres.

Tapi di sisi lain, pers bisa menjadi alat perusak demokrasi melalui praktik jurnalistik yang tidak bertanggung jawab terhadap publik, baik karena ketidaksengjaan ataupun karena 'pers' sudah digunakan pihak tertentu.

Karena itu, tidak berlebihan jika dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2009, pers juga punya peranan penting dalam menyuskeskan pesta demokrasi itu. Pun dalam mendongkrak opini publik tentang keberadaan dan kualitas paket calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan maju dalam Pilpres 2009.
Ditambah, jadwal pemilu dan masa kampanye yang pendek, menjadikan media massa sebagai arena yang tepat untuk dijadikan lahan kampanye. Selain tugas pers sendiri adalah ikut memberian pencerahan kepada masyarakat mengenai figur yang akan dipilih.

Lihat saja, melalui kemasan iklan dan pemberitaan yang disajikan di medianya, pers bisa 'menyetir' opini publik mengenai siapa paket yang paling pantas dan atau yang tidak pantas dipilih menjadi pemimpin Indonesia lima tahun mendatang.
Hasil penelitian LIPI 2008 menyebutkan, rakyat jauh lebih percaya dan yakin dengan kemampuan pers untuk menyuarakan kepentingannya (31 %) dibandingkan dengan Ormas (24%), birokrasi dan partai (11%), lembaga lain (1 %), tidak tahu (23 %).

Karena itu, terkait pilpres, Ketua Mapilu PWI Pusat, Hendra J Kade berharap, wartawan benar-benar objektif menyajikan tulisan 'kampanye' pilpres bagi pembaca. Objektif artinya pers berani menyampaikan informasi mengenai kebaikan dan keburukan kandidat dengan data yang akurat mengenai kegagalan dan keberhasilan kandidat yang sudah dicapai selama ini dalam bidang tugasnya masing-masing. Juga fakta berbagai pelanggaran yang dilakukan kandidat dan tim suksesnya selama proses pemilu.

Selain wartawan, lembaga atau perusahaan pers juga harus objektif dan independen. Jangan karena ada kandidat atau partai tertentu yang sudah memasang banyak iklan dengan pembayaran uang yang besar, akhirnya wartawan dan lembaganya tidak objektif lagi menyajikan pemberitaan terhadap yang bersangkutan. Kegagalan dan keburukan kandidat dan partai dimaksud akhirnya 'dibungkus' rapi dan tidak pernah disajikan untuk dibaca publik atau masyarakat.

Kenapa? Karena pers sudah terbius dengan 'kue iklan' yang masuk ke saku atau kas wartawan dan atau lembaganya dari kandidat atau partai tertentu.

"Hanya sedikit perusahaan pers yang berusaha menyiapkan tim wartawan yang profesional untuk menyajikan pemberitaan objektif dan proporsional kepada pubik," kata Hendra.

Wakil Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI, A. Zaini Bisri, berharap, pers berpihak pada publik karena publik butuh pegangan. Kalau informasi yang disajikan tidak netral, maka publik tidak akan mempercayai pers lagi.Beberapa tindakan yang bisa memicu konflik harus dihindari pers agar hasil karya jurnalistiknya menjadi elegan.

Presidium Nasional Mapilu, Octo Lampito, mengatakan, dalam pemberitaan, pers harus menerapkan prinsip 'jurnalisme damai', yakni berfokus para proses terjadinya konflik, dengan orientasi kedua pihak sama-sama menang, ruang waktu terbuka. Pers harus membeberkan sebab akibat, memberitakan apa adanya tanpa menyembunyikan fakta.

Memberikan ruang yang sama bagi pihak yang berkonflik. Melihat konflik sebagai hikmah politik. Melihat aspek humanisasi dan proaktif mencegah terjadinya konflik serta berfokus pada dampak kerugian warga akibat konflik.

Ingat!! Wartawan atau lembaga pers bukan mediator yang hanya bertanggung jawab kepada kandidat dan tim sukses yang berkonflik, tetapi dia juga bertanggung jawab kepada publik.Lembaga pers juga harus mengembangkan self regulation sehingga tidak mencederai kebebasan wartawannya sekaligus bisa menjaga publik yang tetap menginginkan perdamaian.

"Tegakah pers melihat bangsanya sendiri bertempur, bergelimang darah, berdarah- darah, akibat konflik yang tidak berusaha diminimalisir oleh pers?" Jawabannya tentu tidak.

Ketua Dewan Kehormatan PWI, Drs. Tarman Azzam berharap, pers mampu mendorong masyarakat bersifat kritis, masyarakat harus bisa melakukan perlawanan terhadap pihak atau kandidat yang melakukan black campaign (kampanye hitam).
Untuk menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas, wartawan perlu terus dibekali pelatihan guna mengasah dan menambah pengetahuannya mengenai berbagai hal dalam bidang kehidupan. Wartawan pun harus rajin membaca regulasi perundangan dan pengetahuan umum sehingga paham terhadap apa yang akan ditulisnya.

"Menurut temuan Dewan Pers tahun 2008, hampir 80 persen wartawan Indonesia tidak pernah membaca bahkan tidak tahu kode etik jurnalistik yang menjadi pedoman untuk bekerja secara profesional. Bagaimana lagi dengan pemahaman terhadap regulasi lain," kritik Tarman. Karena itu mulai sekarang, wartawan harus mulai mengasah kemampuannya.

Bill Kovach dan Tom Rosentiel merumuskan sembilan prinsip dasar jurnalisme, yaitu mengabdi pada kebenaran, loyal kepada pembaca, independen terhadap sumber berita, pemantauan kekuasaan, mengikuti hati nurani, membuat hal yang penting dan menarik, menjaga berita komprehensif dan proporsional, disiplin verifikasi dan forum pubik bagi pembaca.

Jika sembilan prinsip ditambah kode etik jurnalisme itu sudah dipahami dan diimplementasikan pers dalam tugas kesehariannya, maka alhasil pemberitaan yang disajikan kepada pembaca benar-benar bisa dipertangungjawabkan kepada publik, diri sendiri dan Tuhan. (habis)

Pos Kupang edisi Minggu, 28 Juni 2009 halaman 1

Raih 60 Persen Belum Tentu Menang

KUPANG, PK --Pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang meraih 60 persen suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 8 Juli 2009 mendatang, belum tentu menang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pasangan capres-cawapres dinyatakan menang apabila mendapat 50 persen suara ditambah 1 dan harus meraih 20 persen suara yang tersebar di 17 propinsi.

Demikian dikatakan Ketua Mapilu-PWI Pusat, Hendra J Kede di hadapan para wartawan peserta workshop bertajuk "Sosialisasi Pemilu dan Pendidikan Pemilih Berbasis Jurnalistik Menuju Pemilu Damai dan Elegan" di Gedung PWI NTT, Jalan Veteran, Kupang, Sabtu (20/6/2009). Workshop ini diikuti 30 orang wartawan media massa NTT, baik cetak maupun elektronik.

Hadir sebagai pemateri, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Tarman Azzam, Ketua Mapilu-PWI Pusat, Hendra J Kede, Presidium Nasional Mapilu, Octo Lampito, Juru bicara KPU Propinsi NTT, Drs. Djidon de Haan dan Wakil Ketua Mapilu- PWI, Zaini Bisri, dengan moderator Tony Kleden.

Hendra menjelaskan, berdasarkan aturan, capres dinyatakan menang apabila mendapat 50 persen ditambah 1 dan harus meraih 20 persen suara yang tersebar di 17 propinsi. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka harus diadakan pemilu putaran kedua. Namun KPU pusat belum menyiapkan anggaran untuk Pemilu Pilpres putaran kedua. Dikatakannya, capres yang meraih suara terbanyak di Pulau Jawa dan Bali belum tentu menjadi jaminan.

Hendra menekankan workshop itu bertujuan membentuk masyarakat, termasuk wartawan, untuk lebih memahami arti dan substansi pemilu yang sebenarnya. Ini karena masih banyak masyarakat, termasuk wartawan, yang menganggap pemilu hanya sebuah ritual lima tahunan. "Diskusi ini sebagai sebuah pembelajaran, bukan pengajaran bagi wartawan," kata Hendra.

Dikatakannya, wartawan tidak sekadar melihat kualitas penyelenggaraan pemilu, tapi juga melihat kualitas regulasi, apakah aturan yang ditetapkan benar-benar sudah dirancang untuk membentuk pemilu yang berkualitas atau masih jauh dari itu.

Wartawan juga perlu melihat kualitas penyelenggara, dalam hal ini KPU, yang hingga kini belum menganggarkan biaya untuk pemilu putaran kedua. "Sampai saat ini biaya pemilu putaran kedua belum dianggarkan KPU dengan berbagai macam alasan. Hal ini menggelitik profesionalisme KPU," kata Hendra.

Lebih lanjut Hendra mengatakan, kualitas calon presiden sebagai peserta pemilu juga perlu dilihat. Calon presiden harus bisa mengidentifikasi persoalan-persoalan negara, mencari solusi dan alternatifnya, juga program-programnya. "Siapa yang paling bisa mengidentifikasi hal-hal tersebut, dialah yang kita berikan kepercayaan menjadi presiden. Tentu harus melihat kompetensinya, moralitasnya, kredibilitasnya, bukan warna kulit atau asal daerahnya," jelas Hendra.

Wartawan juga, kata Hendra, perlu melihat kualitas pemilih, apakah sudah memiliki kompetensi sebagai pemilih termasuk kemampuan mencontreng? Menurutnya, wartawan jangan hanya membidik peningkatan jumlah pemilih, tetapi juga berkonsentrasi pada peningkatan kapasitas pemilih untuk memilih. "Hanya sekitar sepuluh juta orang Indonesia yang mampu memilih dengan benar. Sekitar lima juta pemilih buta huruf, yang punya potensi luar biasa untuk salah memilih," kata Hendra.

Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Tarman Azzam, mengatakan, pers masih belum kritis melihat persoalan pemilu. "Tipis sekali kejelian kita melihat hal-hal itu," kata Tarman. Dikatakannya, partisipasi publik dalam pemilu harus dipacu melalui karya jurnalistik. Dengan demikian, pers dapat membangun proses pembelajaran politik bagi masyarakat. Selain itu, pers harus aktif membangun kesadaran masyarakat pemilih supaya mengerti dan memahami momentum pemilu guna mencapai pemilu yang damai dan elegan.

Menurut Tarman, untuk mendorong terwujudnya demokrasi yang sehat di Indonesia, ada beberapa hal yang harus dilakukan pers, antara lain sehat sebagai pers profesional, dengan menghormati standar kompetensi profesi, terutama di kalangan wartawan, taat dan disiplin melaksanakan ketentuan kode etik profesi, benar-benar bersikap independen, dan tidak menjadi corong pemerintah dan berbagai kekuatan politik, obyektif dalam proses pemilu, membimbing publik berdemokrasi agar terbangun budaya demokrasi.

Juru bicara KPU Propinsi NTT, Djidon de Haan, yang lebih menekankan regulasi pemilu, mengakui perubahan regulasi pada tataran penyelenggara di tingkat pusat terkadang membingungkan penyelenggara tingkat bawah, apalagi masyarakat pemilih. Dia mencontohkan cara memberikan suara pada pemilu legislatif (Pileg) April lalu. Undang-undang memerintahkan contreng atau centang satu kali pada tanda gambar partai atau nama calon anggota legislatif. Setelah regulasi itu disosialisasikan secara luas, penyelenggara tingkat atas mengeluarkan regulasi baru, bisa dua kali memberikan tanda dengan beberapa cara. Contreng, tanda silang, coblos atau centang tak sempurna diperbolehkan. Perubahan regulasi itu harus disosialisasikan lagi ke masyarakat.

Menjawab pertanyaan peserta workshop soal belum disosialisasikan pasal krusial menyangkut penghitungan calon yang dinyatakan menang satu putaran 50 persen tambah satu dengan perolehan 20 porsen suara di 17 propinsi, Djidon mengatakan, itu strategis KPU. Dia belum menjelaskan karena belum pernah ditanya wartawan, dan tiba saatnya pasal itu akan disosialisasikan meluas sehingga tidak kisruh.

Octo Lampito lebih menyoroti jadwal kampanye yang singkat sehingga peran media mesti lebih efektif. Dengan demikian, peserta pemilu cenderung mengangkat isu seksi yang mudah dibidik media massa seperti kasus Prity, Manohara, Suramadu dan ekonomi kerakyatan.

Dia menyampaikan, dari hasil survai Lembaga Survei Indonesia (LSI), lembaga yang paling bisa menyuarakan keinginan rakyat adalah media massa yang mencapai 31%, organisasi massa (ormas) 24%, birokrasi dan partai politik 11%.

Zaini Bisri yang membedah urgensi pendidikan pemilih untuk sukses pemilu 2009, mengatakan 178 juta pemilih di Indonesia belum mendapatkan pendidikan politik yang baik dalam berdemokrasi. Untuk itu media massa harus bisa memberikan pendidikan politik melalui karya jurnalistik dengan tetap menjaga netralitas dan independensi. (aa/gem)

Pos Kupang edisi Minggu, 21 Juni 2009 halaman 1

Mapilu-PWI Gelar Workshop Pemilu

KUPANG, PK --Pemantau Pemilu (Mapilu) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) wilayah NTT menggelar workshop bertajuk, "Sosialisasi Pemilu dan Pendidikan Pemilih Berbasis Jurnalistik Menuju Pemilu Damai dan Elegan" di Gedung PWI NTT, Jalan Veteran, Kupang, Sabtu (20/6/2009).

"Bersama Pengurus Nasional Pemantau Pemilu (Mapilu), PWI menggelar sosialisasi ini dengan tujuan meningkatkan pemahaman masyarakat melalui massifikasi informasi, baik melalui pendekatan media massa. Dengan demikian, media massa tidak hanya membantu menyebarluaskan informasi tentang pemilu kepada masyarakat, tetapi juga dapat menyentuh ruang privat di tengah masyarakat,"kata Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra kepada wartawan di aula kantor PWI NTT, Jumat (28/6/2009).

Dion menjelaskan, sosialisasi ini memperkuat partisipasi masyarakat terhadap proses tahapan pemilu 2009 sesuai UU yang berlaku. Sosialisasi ini juga memberi ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam sosialisasi pemilu pendidikan pemilih dengan pers sebagai pilar utama.

"Mapilu dan PWI berharap kegiatan ini dapat mendorong terwujudnya pemilu yang demokratis, tertib, damai dan berkualitas. Kegiatan ini juga membantu Departemen Dalam Negeri sebagai salah satu pengemban tanggung jawab untuk menyukseskan pemilu mendatang,"kata Dion.

Dion mengharapkan workshop ini dapat membentuk pemahaman publik guna mewujudkan partisipasi masyarakat pers terhadap sosialisasi pemilu dan pendidikan pemilih. Selain itu mendorong terbentuknya forum publik berbasis media massa sebagai sarana partisipasi dan dukungan masyarakat pers terhadap sosialisasi pemilu dan pendidikan pemilih.

"Melalui kegiatan ini, kita harapkan dapat terbentuk sebuah konsep sosialisasi pemilu dan pendidikan pemilu bersama pers yang dapat diberlakukan seterusnya. Konsep ini tidak terkooptasi kepentingan politik dan kekuasaan,"terang Dion.

Dion menerangkan, penciptaan wacana publik melalui karya jurnalistik dalam kaitannya dengan sosialisasi pemilu dan pendidikan pemilih, strategi sosialisasi pemilu, dan pemanfaatan media massa akan menjadi topik pembahasan dalam workshop ini.

Hadir sebagai pembicara, Hendra J Kede, Tarman Azzam, Octo Lupito, Zaini Bisri dan KPUD Propinsi NTT. Workshop akan dihadiri wartawan dari 30 media massa wilayah NTT baik cetak maupun elektonik.(aa)

Pos Kupang edisi Sabtu, 20 Juni 2009 halaman 6

Wartawan Jadilah Pembawa Damai

WORKSHOP bertajuk Sosialisasi Pemilu dan Pendidikan Pemilih Berbais Jurnalistik Menuju Pemilu Damai dan Elegan, Sabtu (20/6/2009), menjadi pendidikan politik yang baik bagi pekerja pers alias wartawan. Workshop yang diikuti oleh sejumlah wartawan dari media massa, baik cetak maupun elektronik itu diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Kupang bekerja sama dengan Mapilu.

Hadir dalam workshop itu sejumlah narasumber, seperti Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Tarman Azzan, Ketua Mapilu-PWI Pusat, Hendra J Kade, Presidium Nasional Mapilu, Octo Lampito, Juru bicara KPU Propinsi NTT, Drs, Djidon de Haan dan Wakil Ketua Mapilu PWI, Zaini Bisri. Mereka membeberkan sejumlah materi dan regulasi terkait proses pemilu. Juga berbagai fakta yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu.

Workshop itu mampu mencerahkan, mengasah dan meningkatkan profesionalitas wartawan dalam penulisan berita politik, khususnya pemilu.

Dalam diskusi itu terungkap bahwa wartawan sebenarnya juga menjadi salah satu komponen atau bagian penting dalam menyukseskan atau menghancurkan penyelenggaraan pemilu. Mengapa? Karena melalui tulisannya tentang politik atau pemilu, wartawan bisa saja menjadi 'penyetir' situasi politik, bisa mengangkat oknum atau partai tertentu untuk menang pemilu atau bahkan malah bisa menjatuhkan oknum atau partai tertentu.

Dengan tulisannya, wartawan juga ikut membantu pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mensosialisasikan pemilu sehingga mencerahkan masyarakat, khususnya calon pemilih dalam pemilu. Bahkan mungkin malah bisa menjadi pihak yang ikut membodohi masyarakat dalam memahami sejumlah regulasi tentang pemilu.

Karenanya, wartawan melalui perannya dalam pemberitaan, sangat dituntut profesonalistasnya, terlebih hati nuraninya, untuk dapat menyajikan pemberitaan atau menyampaikan pesan damai tentang pemilu bagi masyarakat pembaca yang sebagian besar merupakan calon pemilih dalam pemilu. Ini penting, karena akhir- akhir ini dari kenyataan kita lihat bahwa masih ada sejumlah lembaga, media massa dan oknum wartawan tertentu yang mengemas pemberitaan politik seenaknya dan dengan pesan sponsor tertentu.


Kemungkinan lembaga atau oknum waratwan itu memang tidak memahami dengan baik masalah politik atau pemilu sehingga mengemas berita yang keliru. Jika seperti itu, wartawan tidak lebih berperan membodohi masyarakat pembaca. Kita lihat masih ada wartawan yang menulis berita karena pesan sponsor tertentu. Kita saksikan masih ada wartawan yang tidak netral, memihak.

Jika hal ini terus berlangsung, maka secara langsung maupun tidak langsung wartawan atau lembaga media massa itu ikut melakukan pembodohan politik bagi masyarakat. Bukan tanpa risiko. Hal ini bisa berdampak negatif bagi pelaksanaan pemilu. Bahkan bukan tidak mungkin oknum wartawan dan media massa secara institusi akan dijauhi masyarakat pembaca dan akhirnya guling tikar. Lebih dari itu, prinsip profesionalisme dan independensi wartawan dan media massa bersangkutan akan tercoreng.

Kita harap agar ke depan tindakan-tindakan keliru itu harus dihilangkan. Menyongsong pemilu presiden 8 Juli 2009 mendatang, seluruh insan pekerja pers, wartawan dan media di Nusa Tenggara Timur (NTT), bisa kembali menegakkan prinsip profesionalisme dan independensi dalam penulisan berita.

Salah satu caranya, wartawan harus mulai membekali diri dengan terus belajar, membaca, dan memahami regulasi yang terkait dengan proses atau pelaksanaan pemilu sehingga tidak salah tulis. Selain itu wartawan juga perlu mengedepankan hati nurani ketika bekerja, sehingga berita yang disajikan bisa menjadi karya jurnalistik yang profesional dan menjadi pencerahan politik bagi masyarakat.
Jadilah wartawan yang membawa kabar damai dalam pemberitaan dalam konteks pemilihan presiden saat ini. Tulislah pujian jika ada keberhasilan dan lakukan kritik jika ada kekeliruan dalam melaksanakan proses politik dalam pemilu. Jangan mudah terpancing tawaran menggiurkan dari partai atau calon tertentu untuk menuliskan kebohongan.

Dengan sikap demikian kita harapkan pelaksanaan pemilu presiden di NTT dapat berjalan dengan baik dan dapat memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat pembaca. *

Pos Kupang edisi Senin, 22 Juni 2009 halaman 4

RUU Rahasia Negara Ancam Kebebasan Pers

Jakarta (PWI News) - Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi UU berpotensi mengancam kebebasan pers dan hak akses publik terhadap informasi dari lembaga pemerintah/negara.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi RUU Rahasia Negara: Ancaman Terhadap Pers dan Publik yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bersama Yayasan Sains, Estetika dan Teknologi (SET) di Ruang Sidang PWI Pusat, Gedung Dewan Pers Lantai 4, Jakarta, Kamis 14 Mei 2009

Dalam diskusi yang mengetengahkan Ketua Dewan Kehormatan (DK) PWI Pusat, H. Tarman Azzam, dan Direktur SET, Agus Sudibyo, serta dipandu Djoko Saksono (Ketua Bidang Radio PWI Pusat) itu menelaah RUU Rahasia Negara terhadap kebebasan memperoleh informasi bagi publik termasuk pers.

Tarman Azzam mengusulkan, RUU Rahasia Negara perlu dibuatkan matriks bersanding dengan sejumlah UU lainnya, seperti UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dengan demikian, ia mengharapkan, secara ilmiah dapat dijelaskan secara gamblang mengenai sejumlah catatan, terutama kelemahan atau kerancuan UU Rahasia Negara.

"Dengan menelaah dan melakukan perbandingan menggunakan matriks semacam ini, maka akan banyak catatan yang bisa kita lihat. Ada baiknya pula kita perbandingkan RUU Rahasia Negara ini dengan UU sejenis di berbagai negara maju, sehingga banyak hal dapat segera diantisipasi. Kita harus memberikan pendapat sebelum RUU ini jadi UU," ujar mantan Ketua PWI Pusat tersebut.

Sementara itu, Agus Sudibyo menyatakan, Komisi I DPR sudah mengumumkan bahwa RUU Rahasia Negara bakal selesai akhir Juni 2009. Hal ini, menurut dia, harus segera disikapi minimal RUU Rahasia Negara ditunda dulu menjadi UU.

"RUU Rahasia Negara secara jelas tumpang tindih dengan UU Keterbukaan Informasi Publik yang di Bab V mencantumkan Informasi Yang Dikecualikan," ujarnya.

Dalam diskusi yang dihadiri pula oleh Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, dan sejumlah tokoh pers nasional tersebut menyepakati PWI dan Yayasan SET perlu segera melakukan kegiatan lanjutan yang pada intinya menolak gagasan diberlakukannya perundangan yang mengancam kebebasan pers dan hak akses informasi publik. (*)

Wartawan Radar Bali Dibunuh Terkait Pemberitaan

Denpasar (ANTARA News) - AA Narendra Prabangsa (43), wartawan Radar Bali, terungkap "dieksekusi" mati terkait dengan pemberitaan yang ditulis korban mengenai adanya penyimpangan sejumlah proyek di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli.

Kapolda Bali Irjen Pol T Ashikin Husein di Denpasar, Senin (25/5/2009) mengatakan, dari hasil penyelidikan yang dilakukan pihaknya diketahui bahwa ada orang yang sakit hati karena pemberitaan yang ditulis Prabangsa, sehinggga korban kemudian dihabisi nyawanya.

Redaktur Pelaksana Radar Bali Made Rai Warsa yang siang itu datang dengan keluarga korban ke markas Polda Bali, membenarkan hal tersebut.

"Korban memang sempat menulis berita terkait dengan proyek di Disdik Bangli. Berita ditulis dalam tiga penerbitan yakni pada 3 Desember 2008, serta berturut-turut 8 dan 9 Desember 2008," kata Rai.

Dikatakan, berita yang ditulis Prabangsa antara lain menyoroti penyimpangan sejumlah proyek di Disdik yang pengadaannya tidak dilakukan melalui tender, melainkan penunjukan langsung.

Diperoleh keterangan, yang ditunjuk langsung untuk menangani sejumlah proyek di Disdik tersebut adalah I Nyoman Susrama, adik kandung Bupati Bangli I Nengah Arnawa, yang kini dijerat sebagai tersangka pelaku pembunuhan terhadap korban Prabangsa.

Kapolda mengatakan bahwa Susrama yang juga anggota DPRD Bangli hasil pemilu 2009, terungkap selaku aktor intelektual dalam kasus tersebut.

Selain Susrama, polisi juga menangkap enam tersangka lain yang antara lain berperan selaku eksekutor, pembuang mayat, pembesih darah korban yang sempat tercecer, dan supir pribadi Susrama.

Aksi pembunuhan itu berawal dari dihubunginya Prabangsa lewat ponselnya untuk bertemu di sebuah persimpangan jalan di Bangli, 11 Pebruari 2009.

Untuk kepentingan menjemput korban, Susrama meminta tersangka Komang Gede (KG) dan I Komang GD Wardana alias Mangde (MD) melakukan itu.

Menggunakan mobil Honda Civik LX warna hijau muda metalik, KG dan MD langsung membawa Prabangsa ke rumah Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Kabupaten Bangli.

Tak lama setelah Prabangsa tiba di rumah itu, Susrama datang bersama supirnya Dewa Sumbawa (DS), menggunakan mobil Kijang Krista warna hitam.

Selanjutnya korban dibawa ke belakang rumah dengan cara tangan dilipat ke belakang oleh MD. Bersamaan dengan itu, RC dengan sepotong balok yang dipegangnya, langsung memukul bagian kepala Prabangsa hingga korban rebah.

Pukulan bertubi-tubi terus diarahkan ke tubuh Prabangsa hingga korban tewas di tempat.

Mengetahui korbannya tak lagi bernyawa, Susrama memerintahkan kepada MD dan RC untuk membuang jenazah korban ke Pantai Padangbai, Kabupaten Karangasem.

Sementara kepada dua orang yang lain yang ada di rumah itu, Endy (ED) dan Jampes (JP), oleh Susrama diminta membersihkan darah korban yang tercecer di belakang rumah.

Lima hari setelah "eksekusi" dilakukan, yakni pada 16 Pebruari 2009, jenazah korban ditemukan mengambang di dekat Pantai Padangbai, Karangasem.

Untuk pengusutan lebih lanjut, enam tersangka ditahan di markas Polda Bali, sedangkan Susrama meringkuk di rumah tahanan Satbrimob Polda Bali. (*)

10 Orang Ditangkap Dalam Kasus Pembunuhan Wartawan Radar

Denpasar (ANTARA News) - Jumlah mereka yang ditangkap dalam kasus pembunuhan wartawan Radar Bali AA Narendra Prabangsa bertambah satu menjadi sepuluh orang.

"Sekarang sudah sepuluh setelah semalam (Senin malam, red) kami menangkap seorang tersangka lagi, yakni DS oknum pegawai Dinas Pendidikan Bangli," kata Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Gde Sugianyar di Denpasar, Selasa (2/6/2009).

Menurut dia, tersangka yang ditangkap terakhir bisa saja nantinya hanya sebagai saksi, tergantung hasil pemeriksaan lanjutan.


"Sejauh ini yang bersangkutan masih kami periksa. Apabila ada petunjuk kuat turut melakukan, dia bisa kami tetapkan sebagai tersangka. Sebaliknya bila tidak, DS hanya dimintai keterangan sebagai saksi," katanya.

Menurut Suginyar, DS ditangkap di rumahnya di Bangli, setelah ditemukan petunjuk bahwa oknum PNS (pegawai negeri sipil) itu diketahui berada di rumah tersangka I Nyoman Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli, saat korban Prabangsa dieksekusi mati di tempat tersebut.

Sehubungan dengan itu, DS kini dalam pemeriksaan intensif pihak Ditreskrim Polda Bali.

"Dari hasil penyelidikan, termasuk melalui tes DNA dan penelitian di laboratorium forensik dan yang lainnya, kami telah menetapkan sembilan tersangka pelaku, sementara yang satu lagi belum," katanya.

Menurut kabid humas Polda Bali, jumlah tersangka pelaku bisa saja bertambah, tergantung hasil pemeriksaan berikutnya.

Mengenai peran I Nyoman Susrama, adik kandung Bupati Bangli I Nengah Arnama dalam kasus tersebut, Suginyar menyebutkan yang bersangkutan selaku aktor intelektual.

Susrama yang juga anggota DPRD Bangli 2009-2014 terpilih hasil pemilu legislatif lalu, terungkap telah mendalangi pembunuhan atas korban Prabangsa.

Direktur utama sebuah perusahaan air kemasan, yang juga pengawas pada proyek Dinas Pendidikan (Disdik) Bangli itu merasa sakit hati dengan adanya berita yang ditulis Prabangsa di suratkabar Radar Bali edisi Desember 2008.

Dalam tiga kali penyiaran, Prabangsa menyoroti adanya penyimpangan pada sejumlah proyek yang diawasi dan ditangani PT milik Susrama tersebut.

Menurut Kabid Humas, pelaku mengajak sejumlah orang yang merupakan karyawan di rumah, di perusahaan maupun di lingkungan proyek.

Pembunuhan terhadap korban berawal ketika korban dihubungi melalui ponsel (telepon selular) oleh seseorang yang berjanji bertemu di suatu persimpangan jalan di kawasan Taman Bali, Bangli pada 11 Pebruari 2009.

Beberapa tersangka dengan menggunakan mobil kemudian menjemput dan mengajak Prabangsa ke rumah Susrama di Banjar Petak, Bebalang.

Di rumah itu para eksekutor menghantam kepala dan tubuh Prabangsa dengan menggunakan potongan balok secara bertubi-tubi.

Mengetahui korbannya sudah tidak bernyawa, Susrama memerintahkan para eksekutor membuang mayat Prabangsa di Pantai Padangbai.

Lima hari kemudian yakni pada 16 Pebruari 2009 mayat korban ditemukan nelayan dalam keadaan terapung di permukaan laut pantai itu.

Untuk pengusutan lebih lanjut, sembilan tersangka kini ditahan di Markas Polda Bali di Denpasar, sementara Susrama meringkuk di ruang tahanan Markas Brimob Polda Bali.(*)