Raih 60 Persen Belum Tentu Menang

KUPANG, PK --Pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang meraih 60 persen suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 8 Juli 2009 mendatang, belum tentu menang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pasangan capres-cawapres dinyatakan menang apabila mendapat 50 persen suara ditambah 1 dan harus meraih 20 persen suara yang tersebar di 17 propinsi.

Demikian dikatakan Ketua Mapilu-PWI Pusat, Hendra J Kede di hadapan para wartawan peserta workshop bertajuk "Sosialisasi Pemilu dan Pendidikan Pemilih Berbasis Jurnalistik Menuju Pemilu Damai dan Elegan" di Gedung PWI NTT, Jalan Veteran, Kupang, Sabtu (20/6/2009). Workshop ini diikuti 30 orang wartawan media massa NTT, baik cetak maupun elektronik.

Hadir sebagai pemateri, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Tarman Azzam, Ketua Mapilu-PWI Pusat, Hendra J Kede, Presidium Nasional Mapilu, Octo Lampito, Juru bicara KPU Propinsi NTT, Drs. Djidon de Haan dan Wakil Ketua Mapilu- PWI, Zaini Bisri, dengan moderator Tony Kleden.

Hendra menjelaskan, berdasarkan aturan, capres dinyatakan menang apabila mendapat 50 persen ditambah 1 dan harus meraih 20 persen suara yang tersebar di 17 propinsi. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka harus diadakan pemilu putaran kedua. Namun KPU pusat belum menyiapkan anggaran untuk Pemilu Pilpres putaran kedua. Dikatakannya, capres yang meraih suara terbanyak di Pulau Jawa dan Bali belum tentu menjadi jaminan.

Hendra menekankan workshop itu bertujuan membentuk masyarakat, termasuk wartawan, untuk lebih memahami arti dan substansi pemilu yang sebenarnya. Ini karena masih banyak masyarakat, termasuk wartawan, yang menganggap pemilu hanya sebuah ritual lima tahunan. "Diskusi ini sebagai sebuah pembelajaran, bukan pengajaran bagi wartawan," kata Hendra.

Dikatakannya, wartawan tidak sekadar melihat kualitas penyelenggaraan pemilu, tapi juga melihat kualitas regulasi, apakah aturan yang ditetapkan benar-benar sudah dirancang untuk membentuk pemilu yang berkualitas atau masih jauh dari itu.

Wartawan juga perlu melihat kualitas penyelenggara, dalam hal ini KPU, yang hingga kini belum menganggarkan biaya untuk pemilu putaran kedua. "Sampai saat ini biaya pemilu putaran kedua belum dianggarkan KPU dengan berbagai macam alasan. Hal ini menggelitik profesionalisme KPU," kata Hendra.

Lebih lanjut Hendra mengatakan, kualitas calon presiden sebagai peserta pemilu juga perlu dilihat. Calon presiden harus bisa mengidentifikasi persoalan-persoalan negara, mencari solusi dan alternatifnya, juga program-programnya. "Siapa yang paling bisa mengidentifikasi hal-hal tersebut, dialah yang kita berikan kepercayaan menjadi presiden. Tentu harus melihat kompetensinya, moralitasnya, kredibilitasnya, bukan warna kulit atau asal daerahnya," jelas Hendra.

Wartawan juga, kata Hendra, perlu melihat kualitas pemilih, apakah sudah memiliki kompetensi sebagai pemilih termasuk kemampuan mencontreng? Menurutnya, wartawan jangan hanya membidik peningkatan jumlah pemilih, tetapi juga berkonsentrasi pada peningkatan kapasitas pemilih untuk memilih. "Hanya sekitar sepuluh juta orang Indonesia yang mampu memilih dengan benar. Sekitar lima juta pemilih buta huruf, yang punya potensi luar biasa untuk salah memilih," kata Hendra.

Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Tarman Azzam, mengatakan, pers masih belum kritis melihat persoalan pemilu. "Tipis sekali kejelian kita melihat hal-hal itu," kata Tarman. Dikatakannya, partisipasi publik dalam pemilu harus dipacu melalui karya jurnalistik. Dengan demikian, pers dapat membangun proses pembelajaran politik bagi masyarakat. Selain itu, pers harus aktif membangun kesadaran masyarakat pemilih supaya mengerti dan memahami momentum pemilu guna mencapai pemilu yang damai dan elegan.

Menurut Tarman, untuk mendorong terwujudnya demokrasi yang sehat di Indonesia, ada beberapa hal yang harus dilakukan pers, antara lain sehat sebagai pers profesional, dengan menghormati standar kompetensi profesi, terutama di kalangan wartawan, taat dan disiplin melaksanakan ketentuan kode etik profesi, benar-benar bersikap independen, dan tidak menjadi corong pemerintah dan berbagai kekuatan politik, obyektif dalam proses pemilu, membimbing publik berdemokrasi agar terbangun budaya demokrasi.

Juru bicara KPU Propinsi NTT, Djidon de Haan, yang lebih menekankan regulasi pemilu, mengakui perubahan regulasi pada tataran penyelenggara di tingkat pusat terkadang membingungkan penyelenggara tingkat bawah, apalagi masyarakat pemilih. Dia mencontohkan cara memberikan suara pada pemilu legislatif (Pileg) April lalu. Undang-undang memerintahkan contreng atau centang satu kali pada tanda gambar partai atau nama calon anggota legislatif. Setelah regulasi itu disosialisasikan secara luas, penyelenggara tingkat atas mengeluarkan regulasi baru, bisa dua kali memberikan tanda dengan beberapa cara. Contreng, tanda silang, coblos atau centang tak sempurna diperbolehkan. Perubahan regulasi itu harus disosialisasikan lagi ke masyarakat.

Menjawab pertanyaan peserta workshop soal belum disosialisasikan pasal krusial menyangkut penghitungan calon yang dinyatakan menang satu putaran 50 persen tambah satu dengan perolehan 20 porsen suara di 17 propinsi, Djidon mengatakan, itu strategis KPU. Dia belum menjelaskan karena belum pernah ditanya wartawan, dan tiba saatnya pasal itu akan disosialisasikan meluas sehingga tidak kisruh.

Octo Lampito lebih menyoroti jadwal kampanye yang singkat sehingga peran media mesti lebih efektif. Dengan demikian, peserta pemilu cenderung mengangkat isu seksi yang mudah dibidik media massa seperti kasus Prity, Manohara, Suramadu dan ekonomi kerakyatan.

Dia menyampaikan, dari hasil survai Lembaga Survei Indonesia (LSI), lembaga yang paling bisa menyuarakan keinginan rakyat adalah media massa yang mencapai 31%, organisasi massa (ormas) 24%, birokrasi dan partai politik 11%.

Zaini Bisri yang membedah urgensi pendidikan pemilih untuk sukses pemilu 2009, mengatakan 178 juta pemilih di Indonesia belum mendapatkan pendidikan politik yang baik dalam berdemokrasi. Untuk itu media massa harus bisa memberikan pendidikan politik melalui karya jurnalistik dengan tetap menjaga netralitas dan independensi. (aa/gem)

Pos Kupang edisi Minggu, 21 Juni 2009 halaman 1

Tidak ada komentar: