Peserta deklrasi pose bersama |
"Fenomena global saat ini mengancam persatuan dan kesatuan bangsa karena munculnya perselisihan ujaran kebencian. Kita harus sikapi secara serius," ujar Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Nusa Tenggara Timur, Inspektur Jendral Agung Sabar Santoso dalam diskusi saat Deklarasi Masyarakat NTT Melawan Hoax di Millenium Ballroom, Kupang, Selasa (12/12/2017).
Deklarasi Gerakan Masyarakat NTT Tolak Hoax ini ditandai pembacaan ikrar sebagai bentuk komitmen mereka menolak hoax. Selain membacakan ikrar, perwakilan dari Polda NTT dan unsur Forkompida, Tokoh Lintas Agama, perwakilan pers yakni PWI, IJTI, AJI dan Dewan Pers, serta perwakilan pelajar dan mahasiswa menandatangi piagam untuk menolak hoax.
Kegiatan dilanjutkan dengan dialog interaktif yang dimoderatori Aser Rihi Tugu yang ini menjabat Kepala Bidang Pemberitaan RRI Kupang.
Lebih lanjut Agung menjelaskan internet telah salah dimanfaatkan oknum tertentu untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya dengan cara menyebarkan konten-konten negatif yang menimbulkan keresahan dan saling mencurigai di masyarakat.
"Setiap informasi yang masuk harus diteliti secara baik kebenarannya, jangan informasi negatif yang bohong kita sebarluaskan yang hanya memicu konflik, sebaliknya berita yang menciptakan kepercayaan, keharmonisan, memupuk persatuan dan persaudaraan, demi kepentingan Kamtibmas, silahkan disebarluaskan," katanya
Malas Lakukan Verifikasi
Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi mengatakan informasi yang dekat dengan para pekerja media yakni wartawan harus melakukan verifikasi. Ia menilai, kecenderungan wartawan sekarang malas melakukan verifikasi. "80 persen jurnalis di Indonesia menggunakan medsos untuk mencari ide sementara di medsos itu belum tentu terverifikasi. Beberapa wartawan main copot dari medsos. Harusnya pers jadi agen yang menyebarkan berita benar," ujar Imam.
Sekalipun informasi berasal dari orang terpercaya, sebagai wartawan wajib verifikasi terlebih dahulu. Ia meminta pewarta wajib untuk kritis.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTT, Dion DB Putra mengatakan, hoax sudah ada sejak lama. Namun, di masa revolusi digital yang luar biasa saat ini kebohongan itu semakin menjadi-jadi karena setiap orang bisa menjadi produsen dan konsumen berita. Tanpa verifikasi yang konsisten orang bisa terpedaya informasi hoax.
Dion sempat mengungkap sebuah survei pada awal tahun 2017 yang menunjukkan Informasi hoax paling banyak di Indonesia adalah soal kesehatan.
"Posisi kedua berita hoax terbanyak adalah berita politik. Tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik. Sangat mungkin politik akan menyumbang hoax terbesar di negeri ini. Para aktor politik akan saling serang lewat ujaran kebencian. Ini potensi besar akan terjadinya dijadikan konflik sosial," ucap Dion.
Anggota Bawaslu NTT, Jemris Fointuna mengatakan 2018 merupakan tahun politik karena beberapa daerah di NTT akan melaksanakan pemilihan kepala daerah. Kemudian dilanjutkan dengan pileg dan pilpres.
Dalam kampanye calon tertentu masih ditemukan beberapa pihak yang menggunakan media sosial untuk menyerang calon tertentu. Selain itu juga masih ditemukan tim sukses yang melakukan kampanye hitam dan memanfaatkan medsos untuk menyebarkan ujaran kebencian.
Hal ini menurut Jemris perlu diwaspadai mengingat perkembangam teknologi akan sangat membantu pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan hoax. (aa)
Deklarasi Masyarakat NTT Melawan Hoax
1. Menolak semua kegiatan yang dengan sengaja menyebarluaskan informasi dan berita bohong yang dimaksud dapat menimbulkan rasa benci dan permusuhan antar individu , golongan, ras, suku, agama dan budaya
2. Bersatu padu menyuarakan kebenaran untuk melawan ujaran kebencian dan informasi hoax demi menjaga perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
3. Menjaga semua pihak untuk menghargai perbedaan Suku, Golongan, Ras, Agama , Budaya dan lainnya serta memanfaatkan sosial media dan teknologi informasi untuk peradaban dan kemanusian, bukan menyebarkan kebohongan.
4. Mendorong dan mendukung penyelesaian hukum yang adil dan transparan terhadap aktor-aktor yang bertanggung jawab dalam rekayasa pembuatan dan penyebaran hoax yang dapat menimbulkan kebencian dan saling permusuhan di antara masyarakat.
Sumber: Pos Kupang 13 Desember 2017 hal 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar