Bisnis Tunjang Idealisme Pers

PALEMBANG, PK -- Idealisme pers tetap akan terbangun apabila ditunjang oleh bisnis yang kuat. Tanpa bisnis yang kuat, idealisme pers akan sulit ditegakkan.

Hal itu diungkapkan sejumlah petinggi media massa pada acara Konvensi Media 2010 pada Hari Pers Nasional (HPN) ke-64 dalam sesi "Masa Depan Pers dan Pemberantasan Korupsi" di Hotel Swarna Dwipa, Palembang, Sumatera Selatan, Senin (8/2/2010).

Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas, Agung Adiprasetyo mengatakan, idealisme sebuah media massa terlihat dari berita-beritanya. "Namun tanpa ditunjang bisnis yang kuat, idealisme itu sulit sekali ditegakkan lantaran bersentuhan dengan persoalan lainnya," katanya.

Selain Agung Adiprasetyo yang juga CEO Kompas Gramedia, hadir pula sebagai narasumber, CEO Kelompok Prambos Radio, Malik Sjafei, Presiden Direktur SCTV, Fofo Suriaatmaja, Direktur Media, Tack Andi Sjarief dan LP3ES, Fajar Nursahid. Sebanyak 800 orang utusan dari pengurus PWI 33 propinsi di Indonesia, menjadi peserta, termasuk ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra.

Tokoh pers yang hadir antara lain Rosihan Anwar, Leo Batubara, Sofyan Lubis, Tarman Azzam, serta jajaran pengurus PWI/Dewan Kehormatan PWI pusat dan daerah.
Dalam kesempatan itu Agung juga memaparkan media informasi internet saat ini meningkat pesat, rata-rata 25,6 persen, sedangkan surat kabar mengalami penurunan omzet iklan rata-rata lima persen. Namun dia optimis surat kabar masih diterima pasar, khususnya koran yang terbit di daerah. Namun begitu, koran daerah pun harus menjadi media premium, yang tidak hanya berpegang di teori apa, siapa, kapan dan dimana semata (5 W plus 1 H).

"Share iklan surat kabar global turun, dan pada saat bersamaan share iklan internet global meningkat cukup signifikan," katanya.

Untuk tidak kalah dengan media internet dan media elektronik lainnya, maka media cetak tidak bisa lagi sekadar bicara apa, siapa, kapan dan dimana karena konten seperti ini sudah menjadi komoditi gratis. Yang premium dari domain media cetak yang layak dibayar dan dibaca adalah justru mengembangkan konten "mengapa dan bagaimana".

Dan premium itu sendiri berarti tambahan dari cerita pokok dasar plus, yang memenuhi azas analisis, opini, evaluasi, investigasi ddan kolom komentar. "Gejala saat ini, media cetak dipaksa menjadi bagian dari multimedia," tegasnya.

Untuk mengimbangi derasnya serbuan dunia internet, mau tidak mau Kompas Grup juga mengembangkan media elektronik versi online dan hasilnya lumayan. Dari rata-rata pertumbuhan peminat internet dunia yang tumbuh 25,6 persen. Untuk Indonesia mengalami pertumbuhan 12,5 persen dari rata-rata Asia yang hanya 12,4 persen. Kendati pertumbuhan media elektronik naik tinggi, Agung Adiprasetyo optimis media cetak tidak akan punah, tetapi bisnis model, bisnis proses termasuk cara menulis, dan mempresentasikan informasi akan mampu mengubah surat kabar menjadi yang terdepan.

Saat itu utusan PWI Sulawesi Tenggara (Sulteng) mempersoalkan media raksasa dengan koran daerahnya yang tersebar dimana-mana yang bisa "membunuh" koran lokal, terlebih koran mingguan. "Kalau semua raja media main di daerah, kami yang terbit mingguan dan miskin modal akan mati. Tolong dipikirkan," kata duta Sulteng ini.

Mendengar itu, Agung Adiprasetyo hanya tersenyum. Dia mengatakan, setiap koran memiliki pasar sendiri dan harus memperkuat identitas kelokalan dan idealisme. "Misalnya, ada ibu yang melahirkan bayi kembar tiga anak. Lantaran miskin, anaknya tertahan di rumah sakit karena tidak bisa membayar. Di sisi lain ada kunjungan presiden ke kantor redaksi, maka idealnya berita yang diangkat jadi headline adalah ibu dengan tiga anaknya itu," katanya memberi contoh.


Koran Daerah Eksis
Penjelasan Agung Adiprasetyo ini senada dengan Direktur LP LP3ES, Fajar Nursahid. Menurutnya, hasil survai di 15 kota di Indonesia, teryata pembaca koran lokal lebih besar dengan komposisi 91,4 persen, sedangkan pembaca koran nasional 8,5 persen. Itu artinya, koran daerah memiliki pasar dan pembaca yang kuat.

Namun begitu, Fajar Nursahid mengakui daya beli masyarakat menjadi faktor utama masyarakat membaca koran. Dari hasil survai yang dilakukan, satu koran dibaca oleh empat sampai lima orang dan lama orang membaca surat kabar per minggunya hanya empat jam atau 10-11 menit per hari. Sedangkan lama membaca majalah hanya 3,5 jam per minggu dan tabloid lama baca 3,2 jam per minggu.

"Dari hasil survai, koran daerah dapat mengalahkan koran nasional di pasar daerah," ungkap Fajar Nursahid.
Sementara tokoh pers nasional Leo Batubara, mengatakan perkembangan pers multi media saat ini sangat pesat. Namun demikan, dia yakin masa depan media cetak di Indonesia tetap akan bertahan hingga 10 tahun ke depan. "Namun di setiap daerah, media cetak yang ada bukan hanya satu. Setiap daerah harus ada beberapa media cetak sehingga ada dinamika pemberitaan," katanya. (sriwijaya post/sin/dtc)

Pos Kupang edisi Selasa, 9 Februari 2010 halaman 1

Tidak ada komentar: