Sengketa Hak Jawab Wilayah Dewan Pers

Jakarta, Kompas - Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permintaan banding yang diajukan PT Tempo Inti Media dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Toriq Hadad. Putusan majelis hakim PT DKI Jakarta itu membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang semula mengabulkan sebagian gugatan perdata Asian Agri Grup.

Juru bicara Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, Andi Samsan Nganro, menjelaskan hal itu kepada Kompas, Sabtu (5/9/2009) di Jakarta. ”Putusan itu diambil pada 27 Juli 2009,” kata dia lagi.

Majelis hakim banding diketuai Nafisah dengan anggota Celine Rumansi dan Abdul Kadir. Majelis hakim menilai, sengketa hak jawab semestinya diajukan ke Dewan Pers untuk menilai.

Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) Agus Sudibyo menyambut baik putusan itu. ”Dari sisi kebebasan pers, putusan ini patut diapresiasi,” kata pemerhati media itu.

Majelis hakim PT DKI Jakarta mempertimbangkan eksepsi Toriq Hadad dan PT Tempo Inti Media yang menyebutkan, gugatan Asian Agri Grup atas dugaan pencemaran nama baik terlalu prematur. Seharusnya persoalan itu diajukan terlebih dahulu ke Dewan Pers.

Andi Samsan menuturkan, PT DKI Jakarta mempertimbangkan eksepsi tergugat yang dinilai beralasan. Yang dipersoalkan penggugat adalah ketidakpuasan atas hak jawab. Padahal, hak jawab itu sudah diberikan.

”PT DKI Jakarta berpendapat, tergugat sudah memuat hak jawab penggugat. Namun, penggugat tidak puas. Terjadi sengketa tentang hak jawab. Majelis berpendapat, hal ini termasuk wilayah Dewan Pers untuk menilai, apakah memenuhi aturan dan kode etik jurnalistik atau belum,” kata Andi Samsan.

Hal inilah yang menjadi dasar gugatan penggugat tak bisa diterima. Sebelumnya, majelis hakim PN Jakarta Pusat menghukum Tempo membayar denda Rp 50 juta dan meminta maaf selama tiga hari berturut-turut di majalah Tempo, Koran Tempo, dan Kompas. Menurut majelis hakim saat itu, pemuatan gambar dan foto Sukanto Tanoto, pemilik Asian Agri Grup, yang berjingkrak di sampul Majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007 menyerang kehormatan dan nama baik Sukanto.

Agus Sudibyo mengatakan, putusan PT DKI Jakarta itu sebagai kemajuan dalam pengadilan yang melibatkan pers. (idr)

Masyarakat Pers Tolak Pengesahan RUU Rahasia Negara

Jakarta, POS KUPANG.Com - Sejumlah tokoh pers yang tergabung dalam Masyarakat Pers Indonesia menolak pengesahan RUU tentang Rahasia Negara yang dinilai bisa menghapus berbagai capaian penting dalam UU tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP).

Tokoh-tokoh pers yang menyampaikan sikapnya kepada Komisi I DPR di Gedung DPR Jakarta, Selasa itu di antaranya Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, Ketua Umum PWI Margiono, Ketua Umum AJI Nezar Patria, Ketua Umum IJTI Imam Wahyudi, Direktur Eksekutif SPS Pusat Asmono Wikan, Ketua Forum Pemantau Informasi Publik Wina Armada dan Ketua Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia Kukuh Sanyoto.

Kalangan pers menilai bahwa apabila RUU Rahasia Negara tetap dipaksakan disahkan pada September-Oktober 2009 tanpa sungguh-sungguh memperhatikan harmonisasi dengan prinsip-prinsip demokrasi dan good governance, maka UU tersebut hanya akan memicu kontroversi nasional yang tidak kondusif bagi citra presiden dan DPR.

"Masyarakat sipil akan menolaknya dan komunitas pers akan melakukan perlawanan," kata juru bicara masyarakat pers Indonesia, Nezar Patria.

Pemerintahan SBY dan DPR saat ini akan dianggap telah memberi kado buruk kepada bangsa Indonesia pada akhir masa jabatannya apabila RUU akhirnya dipaksakan untuk disahkan saat ini.

Selain itu, di dunia internasional Indonesia juga akan dicatat sebagai negara yang mengesahkan UU Rahasia Negara yang tidak sesuai dengan standar internasional tentang "right to know and state secrecy".

Namun demikian, masyarakat pers Indonesia berpendapat bahwa apabila RUU itu akan disahkan, maka hal tersebut bisa dilakukan pada DPR periode mendatang dan bukan saat ini.

Sementara itu Ketua Komisi I Theo Sambuaga dalam pertemuan tersebut menjamin tidak akan ada pasal-pasal yang mengekang kebebasan pers yang akan lolos dalam RUU Rahasia Negara.

"Tidak ada pasal-pasal dalam RUU Rahasia Negara yang mengancam kebebasan pers, mencederai demokrasi dan tidak menghormati HAM," katanya.

Dijelaskannya bahwa pembahasan RUU tersebut di tingkat Panja telah berlangsung selama tiga bulan dan DPR telah berprinsip untuk tidak membuat UU secepatnya, tapi sebaik-baiknya.

Di tempat yan sama, anggota Panja RUU Rahasia Negara Djoko Susilo menjelaskan bahwa pembahasan RUU tersebut pada dasarnya bersifat terbuka. Bahkan, dalam tingkat Panja, pembahasan tetap dilakukan terbuka meski tata tertib menyatakan tertutup.

"Dari awal pembahasan RUU Rahasia Negara bersifat terbuka. Panja yang biasanya tertutup, dalam pembahasan RUU Rahasia Negara justru terbuka," ujarnya. (ANTARA)