Tak Sekadar Cantik dan Wangi

Oleh Dion DB Putra
Ketua PWI Cabang NTT

"SAYA terjerumus dalam dunia jurnalis. Tapi terjerumus yang menyenangkan karena jurnalisme ternyata sangat dinamis. Itu yang saya suka.

Perempuan muda itu mengemukakan pendapatnya dengan penuh percaya diri. Dengan senyum tersungging di bibir. Kata-katanya disambut aplaus panjang sekitar 200 undangan yang memenuhi Grand Ballroom Hotel Atlet Century-Senayan, Jakarta.

Begitulah kesaksian Tina Talisa, wartawati TV One Jakarta yang menghangatkan malam pertama Konvensi Nasional Media Massa se-Indonesia, salah satu kegiatan Hari Pers Nasional 2009 di Hotel Atlet Century tanggal 8-9 Februari 2009.

Tina Talisa adalah salah seorang nara sumber pada sesi sarahan bertopik 100 Tahun Pers Perempuan. Pembicara lainnya adalah Desi Fitriani dari Metro TV, Ani Rahmi (Trans TV) dan Maria Hartiningsih (Kompas). Diskusi bersama keempat perempuan itu dipandu moderator, Wakil Sekretaris PWI Pusat, Rita Sri Hastuti. Turut memberi pandangan, sesepuh pers nasional, H. Rosihan Anwar (87).

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Konvensi Media Massa Nasional pada HPN 2009 secara khusus membedah topik Pers Perempuan. Nara sumber yang memberi pandangan mereka pada Minggu (8/2/2009) malam itu sungguh kompeten. Mereka adalah perempuan jurnalis yang tangguh, cerdas dan kredibel.

Dalam terang dan spirit peringatan 100 Tahun Pers Perempuan di Indonesia, Tina Talisa, Desi Fitriani, Ani Rahmi dan Maria Hartiningsih membagi pengetahuan, pandangan, pengalaman serta perasaan mereka sebagai jurnalis. 

Tina Talisa mengungkapkan, terjun ke dunia jurnalistik bukan tanpa kendala. Pada awalnya dia dihadapkan pada sejumlah pilihan profesi yang dalam struktur sosial kita dipandang lebih lazim bagi perempuan. "Sempat ada dilema. Tapi setelah menjalani pekerjaan ini sekian lama, saya merasa jurnalis itu pilihan yang tepat karena dinamikanya luar biasa," kata Tina yang berpengalaman mewawancarai para pemimpin dunia. 

Paling akhir dia meliput pelantikan Presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama. Menurut Tina, saat pelantikan Obama 20 Januari 2009, semua stasiun televisi Indonesia mengirim reporter perempuan ke AS. "Saya kira bukan kebetulan. Kirim reporter perempuan karena kami memang mampu," kata Tina.

Totalitas, ketangguhan dan kecerdasan jurnalis perempuan kiranya tercermin dalam diri Desi Fitriani. Di kalangan sesama jurnalis Metro TV, Desi Fitriani dijuluki spesialis medan sulit dan konflik. Desi berpengalaman meliput pertikaian di Aceh pada masa sebelum perundingan damai antara GAM dan Pemerintah RI. Desi juga akrab dengan konflik berkepanjangan di Timor Leste. Dialah jurnalis Indonesia yang bertemu dan mewawancarai Mayor Alfredo Reinado. Reinado yang menarik perhatian komunitas internasional itu tewas dalam insiden penembakan terhadap Ramos Horta di Dili 11 Februari 2008. 

"Saya bangga sebagai perempuan. Untuk liputan tertentu yang sulit ditembus jurnalis pria, kami dapat melakukannya dengan baik," demikian Desi. Desi benar. Para wartawati memiliki keutamaan dan keunggulan. 

Maria Hartiningsih, siapa tidak mengenalnya? Wartawati yang bergabung dengan Kompas sejak 1985 itu merupakan Pejuang HAM (Hak Asasi Manusia). Dia meraih Yap Thiam Hien Human Rights Award 2003. Perempuan yang akrab disapa Maria itu merupakan jurnalis yang konsisten memperjuangkan HAM, peka dan gigih membela yang lemah dan terpinggirkan. Ia selalu serius menggeluti bidang yang ditangani dengan tidak melepaskan unsur manusia, terutama korban. Ia keras mengkritik pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat. Ia juga memberi masukan berdasarkan pengetahuan yang ia miliki.

Pada sarasehan malam itu, Maria menggarisbawahi bahwa jurnalis perempuan hendaknya tidak dimengerti sekadar cantik dan wangi. Persepsi cantik dan wangi dalam tampilan penyiar atau reporter tv yang menemui pemirsa setiap hari. Sama seperti pria, keutamaan jurnalis perempuan terletak pada karya jurnalistik mereka. Maria juga mengkritisi pandangan yang menyebut terjadi kebangkitan pers perempuan di Indonesia. 

Dikatakannya, jumlah jurnalis perempuan baru sekitar 14 persen dari total jurnalis. "Dari jumlah tersebut, baru dua persen yang masuk dalam struktur manajemen lembaga media massa di Indonesia," kata Maria yang menekankan berkali-kali bahwa jurnalis itu melaporkan fakta dari lapangan. Bukan duduk di belakang meja saja. "Jadi wartawan itu soal daya tahan," tuturnya.

Ani Rahmi dari Trans TV merespons pernyataan Maria dengan menggambarkan kondisi di Trans 7, salah satu stasiun televisi yang sedang naik daun. Menurut Ani, hampir semua level top manajer di Trans 7 justru ditempati jurnalis perempuan. "Dan, itu bukan karena mereka cantik dan wangi. Mereka dipercaya memimpin karena kemampuannya," kata Ani. Ani menambahkan, menikah, hamil dan menyusui bukan kendala bagi jurnalis perempuan dalam berkarya. "Menikah, hamil, melahirkan dan menyusui itu sesuatu yang alamiah," tandasnya.

Diskusi malam itu sungguh berisi dan memikat. Pada sesi dialog, pertanyaan bertubi ditujukan kepada Maria, Desi, Tina dan Ani. Kepada mereka antara lain ditanyakan tentang kiat menemui nara sumber, tentang pelecehan seksual dan hal- hal lain yang berkaitan dengan kerja jurnalistik. Semua pertanyaan, pernyataan atau pandangan direspons dengan cerdas, melahirkan aplaus yang terus membahana di Grand Ballroom Century-Senayan.

Menurut Rosihan Anwar, Pers Perempuan di Indonesia dianggap dimulai pada tahun 1908 dengan terbitnya koran Poetri Hindia oleh Tirto Adi Soerjo (1880- 1917). Poetri Hindia yang terbit pertama kali 1 Juli 1908 menjadi semacam laboratorium sosial bagi lahirnya jurnalis-jurnalis perempuan generasi awal. 

Catatan lengkap sejarah itu ada dalam buku Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa Bangsa yang ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri, dkk. Buku yang diterbitkan I:BOEKOE, Desember 2008 setebal 406 halaman merupakan dokumentasi seabad perjalanan pers perempuan di Indonesia.

Tentang sikap jurnalis perempuan generasi awal diekspresikan dengan elok oleh wartawati Poetri Hindia, Raden Ayu Siti Soendari. Pada salah satu edisi Poetri Hindia, ada semacam surat pembaca dengan kalimat demikian. "Apa faedahnya menyekolahkan gadis-gadis? Biar diajar terbang ke langit sekalipun, kalau tidak pandai memasak nasi dan sayur, maka suaminya tidak akan menyenanginya." 

Apa tanggapan Soendari? "Ah, ah, kalau memang demikian watak laki-laki, maka lebih baik dia kawini saja tukang masak Gubenur Jenderal, pastilah setiap hari dia akan makan enak," katanya. Bahkan sejak satu abad yang lalu perempuan Indonesia tidak mau sekadar pandai memasak. Tak cuma cantik dan wangi saja.*

PWI NTT utus Lima Orang ke HPN 2009

PERSATUAN Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Nusa Tenggara Timur (NTT) mengutus lima orang mengikuti peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2009 di Jakarta tanggal 7-9 Februari 2009. 

Kelima orang tersebut adalah Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra, Sekretaris Indra Alfian, Wakil Sekretaris, Zacky W Fagih dan dua orang anggota Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI Cabang NTT yakni Damyan Godho dan Petrus Rumlaklak.

Selama di Jakarta, kelima anggota delegasi PWI NTT tersebut mengikuti seluruh rangkaian kegiatan HPN 2009 yang dimulai pada Sabtu malam tanggal 7 Februari 2009. Acara lain yang sangat penting adalah Konvensi Media Massa Nasional selama dua hari penuh yaitu tanggal 8 dan 9 Februari 2009 di Hotel Atlet Century Park, Senayan-Jakarta.

Puncak peringatan HPN 2009 berlangsung di Tenis Indoor Senayan, Senin (9/2/2009) malam mulai pukul 19.00 WIB. Acara tersebut dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua DPR RI, Agung Laksono dan pimpinan DPR, DPD, Panglima TNI, Kapolri, para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Duta besar negara sahabat serta sekitar 3.000 undangan. Malam peringatan HPN 2009 dimeriahkan band Ungu serta Tukul Arwana lewat acara Bukan EMPAT MATA yang menghadirkan gelak tawa. (*)

Deklarasi Jakarta untuk Kemerdekaan Pers

JAKARTA, PK - Dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional ke-63, Senin (9/2) malam, komponen pers nasional mendeklarasikan kemerdekaan pers untuk kepentingan rakyat. 
Pernyataan komponen pers nasional yang diberi nama Deklarasi Jakarta itu disampaikan dalam acara puncak "Malam Kemerdekaan Pers Hari Pers Nasional 2009" yang diselenggarakan di Gedung Tennis Indoor, Senayan, Jakarta, Senin (9/2/2009) malam.

"Kemerdekaan pers merupakan bagian hak asasi manusia yang harus dihormati dan tidak dapat dihilangkan," demikian Deklarasi Jakarta yang dibacakan oleh Wakil Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Tri Hastuti, seperti dilansir Kantor Berita Antara menjelang tengah malam.

Hak asasi itu, diingatkan oleh Tri, merupakan perwujudan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 40/1999 tentang Pers. "Kemerdekaan pers berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Oleh karena itu, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud dari kedaulatan rakyat dan bukan hanya milik pers saja," demikian Tri. 

Deklarasi tersebut menyatakan bahwa gangguan dan hambatan terhadap pelaksanaan kemerdekaan pers oleh pihak manapun pada hakikatnya adalah pengkhianatan terhadap rakyat yang dapat membahayakan keselamatan terhadap kemanusiaan.
Deklarasi tersebut menghasilkan lima poin keputusan. Pertama, tidak ada satu pihak pun yang boleh menghambat dan atau mengganggu pelaksanaan kemerdekaan pers. Kriminalisasi terhadap wartawan yang menjalankan tugas profesionalnya sesuai kode etik jurnalistik merupakan salah satu bentuk gangguan dan hambatan terhadap pelaksanaan kemerdekaan pers.

Kedua, kemerdekaan pers harus dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, dan bukan untuk kepentingan sekelompok atau segelintir orang termasuk para penguasa dan pemilik modal. Ketiga, dalam menangani masalah pemberitaan pers, semua pihak harus mendahulukan UU No 40/1999 tentang Pers dan setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers.

Keempat, perlu ditegakkan dan dihormati prinsip perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan profesinya. 
Kelima, wartawan perlu terus menerus meningkatkan kompetensinya dan ketaatan kepada kode etik jurnalistik.
Deklarasi tersebut ditandatangani oleh sembilan ketua organisasi profesi wartawan atas nama komponen pers nasional: Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal, Ketua umum PWI Pusat Margiono, Ketua Umum Serikat Pekerja Suratkabar (SPS) Dahlan Iskan, Ketua Umum Serikat Grafika Pers (SGP) Lukman Setiawan, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Imam Wahyudi, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Harriz Thayeb, Ketua Umum Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Sidzki Wahab, Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATSI) Karni Ilyas, dan Ketua Umum Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATLI) Imawan Mashuri.


Penghargaan
Peringatan HPN juga dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dalam pidatonya mengingatkan pers untuk menumbuhkan demokrasi di Indonesia, terutama menjelang Pemilu 2009.

Dalam kesempatan itu, Presiden Yudhoyono dan Tentara Nasional Indonesia dianugerahi penghargaan medali emas kemerdekaan pers oleh PWI yang diserahkan kepada lembaga dan individu yang menghormati kebebasan pers dengan menggunakan mekanisme hak jawab untuk menanggapi kasus pemberitaan di media massa.

Presiden Yudhoyono tercatat sebagai individu yang sejak 2005 hingga 2008 paling banyak menggunakan hak jawab untuk menanggapi kasus pemberitaan di media massa.Penghargaan sejenis diserahkan kepada TNI sebagai lembaga yang paling banyak menggunakan hak jawab menanggapi kasus pemberitaan di media massa selama 2008. (ant)

Lawan Kekerasan Terhadap Jurnalis

(Catatan kecil pada Hari Pers Nasional ke-47)

Oleh Kamilus Seran
Mahasiswa STFK Ledalero, anggota KMK-L, tinggal di Wisma Rafael

DALAM kiprahnya sebagai penyambung lidah rakyat, pers ibarat sebuah lentera di kesenyapan; terang yang membawa harapan dan penyingkap tabir kebisuan. Pers seumpama lidah yang berbicara tentang fakta yang sebenarnya dan dituangkan dalam aksara yang sejujur-jujurnya. Jika para pegiat jurnalisme sungguh menyadari hal ini, maka demokrasi dalam dunia pers dapat diwujudkan. Argumentasinya jelas bahwa cita-cita tertinggi dalam demokrasi di bidang pers adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan yang bertanggung jawab tentu selalu menuntut kebenaran faktual yang mesti diterjemahkan ke dalam aksara yang sejujur-jujurnya.

Ketika membicarakan demokrasi di dunia pers, pada satu sisi persoalan yang senantiasa dipergunjingkan adalah kebebasan pers yang biasanya dikonfrontasikan dengan kriminalisasi dan kekerasan terhadap wartawan. Sementara itu pada sisi lain, diskursus tentang pers sering mempersoalkan peranan pers sebagai 'fourth estate' (di samping legislatif, eksekutif dan yudikatif) dalam konfrontasinya dengan pers yang mengabdi mammon (si kaya). Bertolak dari dua sisi tilik tersebut, tulisan ini merupakan sebuah catatan mengenai kebebasan pers yang dikontraskan dengan kekerasan terhadap wartawan dan perihal pers yang mengabdi mammon.

Lawan Kekerasan
Pada era ini, ketika kebebasan pers diagung-agungkan, ternyata masih ada juga realitas kekerasan terhadap wartawan, orang-orang yang sehari-hari bekerja sebagai kuli tinta. Realitas kekerasan itu mengambil bentuk kekerasan fisik sebagaimana yang dialami oleh wartawan HU Pos Kupang, Obby Lewanmeru yang bertugas di Kabupaten Manggarai Barat (17/2/2008), maupun kekerasan non fisik seperti yang dihadapi Benny Jahang (wartawan Pos Kupang) dan Robert Kadang (Wartawan Timor Express) pada 19 Mei 2008 lalu. 

Bentuk-bentuk kekerasan ini membuktikan bahwa kebebasan insan pers sesungguhnya masih terkatung-katung. Kebebasan pers perlu dibicarakan lagi. Soalnya, dengan adanya kekerasan ini, kebebasan pers terpasung dan hal ini berimplikasi pada berbagai macam deviasi sosial yang tak terkontrolkan. Sebab tindakan pemasungan terhadap kebebasan pers seperti intimidasi dan kekerasan bisa memberikan efek jera bagi wartawan dalam menjalankan profesinya. Belum lagi hanya selang tiga bulan (antara Februari-Mei 2008), dua kasus kekerasan terhadap wartawan-wartawan lokal (NTT) terjadi berturut-turut. Bukankah ini sebuah sinyalemen penting bahwa kekerasan terhadap wartawan masih menjadi target penting untuk dilawan? 

A. Muis dalam artikelnya yang bertajuk Pers, HAM dan Demokrasi menulis demikian, "Hingga kini pengaruh zaman rezim otoriter masih sangat terasa di bidang pers. Hal itu dapat dibuktikan dengan masih seringnya terjadi tindakan kekerasan terhadap wartawan oleh aparat keamanan dan oleh warga masyarakat. Kekerasan terhadap wartawan di samping merupakan kejahatan (penganiayaan), juga menghambat terlaksananya reformasi dan melanggar HAM karena kebebasan berkomunikasi adalah HAM" (Masyarakat Versus Negara, 1999). 

Pernyataan A. Muis itu dikumandangkan bukan pada hari kemarin melainkan sepuluh tahun yang lalu, tetapi gemanya masih terasa relevan hingga detik ini, ketika kita mendengar atau membaca kisah tentang kekerasan terhadap wartawan Pos Kupang dan Timor Express beberapa waktu lalu ( Mei 2008). 

Masyarakat NTT yang mau maju dan mengakui realitas hidupnya yang makin plural dari hari ke hari, semestinya mempunyai kesadaran baru untuk terbuka terhadap dunianya dan menanggapi setiap persoalan dengan bijak, bukannya mengandalkan pendekatan-pendekatan klasik yang cenderung otoriter dan intimidatif. Patut disayangkan apabila kekerasan yang dimaksud melibatkan mereka yang bekerja untuk menegakkan hukum dan keadilan. Realitas kekerasan seperti ini telah menggugah bangsa ini untuk berpikir ulang tentang reformasi yang sudah (atau baru) berusia 10 tahun itu. Bahwa reformasi di Indonesia hanyalah reformasi simbolik, karena pers sebagai sebuah agent of reform pun masih mengalami ancaman dan kriminalisasi serta kekerasan.

Hemat saya, fenomen kekerasan terhadap wartawan menunjukkan dua hal penting. Pertama, orang yang tak sanggup melakukan apa yang dipercayai, akan cenderung percaya pada apa yang dilakukannya. Tindakan kekerasan terhadap wartawan beberapa waktu lalu itu memperlihatkan gejala kepercayaan pada pendekatan Orde Baru yang otoriter. Orde Baru pada kenyataannya memang sudah tumbang, tapi rohnya masih gentayangan. Apabila hukum yang melindungi insan pers tidak ditegakkan maka jangan heran ketika dalam waktu yang relatif berdekatan terjadi dua kasus kekerasan terhadap wartawan. 


Kedua, jalan kekerasan menunjukkan betapa rapuhnya sosialitas dan kokohnya individualitas pelaku kekerasan. Jalan kekerasan menegaskan sebuah penyangkalan terhadap eksistensi yang-lain dalam kehidupan sosial (dalam kasus ini para wartawan korban kekerasan dan pers sendiri). Bila setiap aksi kekerasan terhadap wartawan tidak ditangani secara tegas dan transparan serta tidak diusut tuntas, hal itu bisa berarti para penegak hukum sekali lagi membuka peluang bagi terjadinya tindak kekerasan terhadap wartawan sesudah kesekian kalinya aksi kekerasan terhadap wartawan terjadi. Entah kekerasan fisik, entah kekerasan non fisik, hakekat sebuah kekerasan adalah pelanggaran HAM karena menyangkut kehidupan seorang manusia. Bahkan kalau dipikirkan secara lebih luas lagi, maka kekerasan terhadap wartawan ketika sedang bertugas sebetulnya merupakan kekerasan terhadap kehidupan publik karena pekerjaan seorang wartawan lapangan berhubungan erat dengan kepentingan dan kehidupan publik.

Pada kenyataannya kekerasan terhadap wartawan pada tingkat lokal menuntut perhatian yang serius, sebab hal ini menunjukkan peningkatan. Realitas tersebut diakui oleh Pemimpin Redaksi HU Pos Kupang, Dion DB Putra. "Tren kekerasan terhadap wartawan di NTT terus meningkat selama tiga tahun terakhir (2005-2008); enam wartawan dianiaya, demikian kata Dion DB Putra. Pada level internasional, selama tahun 2008 sedikitnya 60 jurnalis tewas di seluruh dunia. 

Angka itu turun hampir setengahnya dari tahun 2007 yang merenggut nyawa 86 jurnalis. Demikian laporan tahunan Reporters Without Borders yang berbasis di Paris, Prancis. Kelompok kebebasan pers ini menyatakan penurunan jumlah jurnalis yang tewas itu terutama karena situasi Irak yang mulai membaik. Namun Irak tetap menjadi negara paling rawan pembunuhan reporter yang mencapai 15 orang tewas. Jumlah itu menurun dibandingkan tahun 2007 yang mencatat 47 reporter tewas (http://www.vhrmedia.com, 31/12/2008). Reporters Without Borders menyatakan penurunan angka pembunuhan jurnalis itu tidak berarti kebebasan pers membaik. Hal itu terjadi kemungkinan karena pembungkaman terhadap jurnalis meningkat. Selain itu, intimidasi dan sensor terhadap jurnalis terus meluas, termasuk di Barat.

Menanggapi berbagai kekerasan terhadap kaum jurnalis tersebut; baik pada skala internasional maupun pada skala lokal (terutama para jurnalis pada media-media lokal NTT), maka pada bulan Oktober tahun 2008 lalu, PWI, AJI dan IJTI telah sepakat untuk melawan kriminalisasi terhadap pers dan kekerasan terhadap jurnalis. Kesepakatan ketiga organisasi ini disampaikan dalam lokakarya bertema "Bersama Kita Lawan Kriminalisasi Terhadap Pers dan Kekerasan Terhadap Jurnalis". 

Intisari kesepakatan itu tertuang dalam lima poin penting berikut: pertama, setiap jurnalis harus menjunjung tinggi profesionalisme, menegakkan etika profesi dan memperkuat solidaritas profesi. Kedua, kriminalisasi atau pemidanaan atas karya-karya jurnalis harus dihindari karena bertentangan dengan semangat Undang- Undang Pers No 40 Tahun 1999 dan bisa menimbulkan efek jera yang pada akhirnya memasung kebebasan pers. Ketiga, akan bersama-sama melawan setiap upaya kriminalisasi atas karya-karya jurnalistik dan mendorong penyelesaian sengketa pers melalui mekanisme dan ketentuan yang digariskan dalam Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999. Keempat, akan berkerja sama menghadapi dan melakukan advokasi terhadap setiap kasus kekerasan dan penghalangan terhadap jurnalis yang melakukan tugas jurnalistiknya secara profesional. Kelima, mengimbau kepada semua pihak untuk secara bersama-sama menghormati dan menegakkan kebebasan pers demi menjamin hak setiap anggota masyarakat untuk memberikan dan mendapatkan informasi yang mereka butuhkan secara bebas (PK/10/10/2008). 

Titik tolak pernyataan melawan kriminalisasi dan kekerasan terhadap jurnalis seperti tersebut di atas adalah bahwa kebebasan pers merupakan kebutuhan yang inheren dalam masyarakat demokratis. Sebab hanya melalui pers yang bebas, hak sipil untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang benar dapat dijamin. Dengan demikian logikanya penghalangan dan pemasungan terhadap kebebasan pers merupakan pelanggaran terhadap hak sipil. 

Sekalipun kebebasan pers mutlak perlu dan diwujudkan dalam aktivitas jurnalis untuk mengumpulkan, mengelola dan menyebarkan informasi yang dibutuhkan masyarakat, kebebasan dimaksud mesti merupakan kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini mengandung tuntutan terhadap wartawan untuk meningkatkan sensitivitas terhadap upaya memajukan kualitas dan profesionalisme para kuli tinta. Dengan ini, meminjam istilah Erich Fromm, freedom from mesti diikuti dengan freedom for. Artinya para pegiat jurnalisme tidak hanya 'bebas dari' kekangan kriminalisasi dan kekerasan, tetapi juga 'bebas untuk' menjalankan profesinya secara jeli, maksimal dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, satu prinsip yang dituntut dalam dunia pemberitaan (pers) adalah prinsip verifikasi. 

Tentang prinsip verifikasi, salah satu petuah yang diterima wartawan baru di BBC (British Broadcasting Corporation) adalah ihwal pentingnya verifikasi. Petuah itu kira-kira berbunyi, "Jangan pernah menerima mentah-mentah setiap informasi yang diperoleh, bahkan dari narasumber yang paling kredibel sekalipun; selalulah diverifikasi (cek silang) ke sumber lain yang independen." Di mata lembaga penyiaran terkemuka yang bermarkas di Inggris itu, verifikasi adalah proses yang harus dilalui sebelum sebuah berita disiarkan. 

Petuah itu pula yang membuat BBC hampir tidak pernah memberitakan dengan serta-merta sebuah peristiwa, sedahsyat apa pun peristiwa itu, jika hanya satu kantor berita yang menyiarkannya. BBC akan menahan diri, sampai ada sumber independen lainnya (entah wartawannya sendiri yang diterjunkan ke lokasi atau wartawan dari kantor berita lain) yang melaporkan peristiwa tersebut.

Ciri khas lembaga penyiaran terkemuka itu adalah kejelian dan kejituannya dalam 
menyaring berita. Tidak semua informasi diterima begitu saja tanpa mempertimbangkan, mempertanyakan dan atau membuat pertimbangan-pertimbangan kritis. Dengan semangat ini (Spirit of Verification), BBC telah dikenal luas sebagai lembaga penyiaran yang paling handal. 

Dalam dunia pers, media-media lokal pun patut memberi perhatian yang serius terhadap prinsip ini. Sebab dengan prinsip ini, kebebasan pers dapat dipertanggungjawabkan dan apa yang diwartakan semakin menyentuh kebenaran faktual. Dengan demikian kebenaranlah yang menjadi dasar pijak perlawanan terhadap kriminalisasi terhadap pers dan kekerasan terhadap jurnalis. Tanpa dasar pijak yang dirujuk ini maka perlawanan kita tidak mempunyai kekuatan yang memadai.

Tolak mammon
Pada prinsipnya pers mengabdi pada kebenaran. Pers sekali-kali jangan memberi diri untuk mengabdi mammon (si kaya). Karena prinsip tersebut, maka mesti ada pemisahan yang jelas dan tegas antara politik dan media. Alasannya jelas bahwa masing-masing sistem memiliki logika yang berbeda. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan pemisahan antara politik dan media bakal berimplikasi pada pilihan rakyat. Bahayanya adalah sistem media yang memiliki 'selection logic' dan 'presentation logic' terpaksa mengadopsi sistem politik yang mengedepankan 'voter maximize logic'. Konsekuensi logis dari kenyataan seperti ini adalah penghalalan segala cara oleh media guna menyukseskan kampanye sebuah atau beberapa partai politk. Pada saat itulah terjadi pergeseran dari demokrasi ke mediokrasi, di mana kedaulatan rakyat disulam menjadi kedaulatan media (Bdk. Eko Prasojo, "Mediokrasi dalam Pemilu 2004" dalam: Siapa Mau Jadi Presiden?, 2004).


Apabila politik dan media tidak dibedakan secara tegas maka hal ini juga bisa berakibat pada melemah atau bahkan menghilangnya suara kritik pers (kontrol sosial); pers mengelabui kebenaran dan dengan demikian, apa yang diwartakannya tidak lebih dari manipulasi kepentingan. Demokrasi yang pro res publica (kepentingan umum) diganti dengan mediokrasi yang menonjolkan res privata (kepentingan pribadi atau golongan tertentu). Pers yang menegaskan dirinya sebagai agent of reform (agen perubahan) semestinya memperjuangkan res publica. Apabila pers sungguh menyadari hal ini maka tidak ada argumentasi yang rasional untuk mengabdi mammon. Sebab pers yang mengabdi si kaya hanya akan menampilkan betapa rapuh dan lemahnya daya tekan (kontrol) pers terhadap pemerintah yang korup bahkan bila terjadi pengabdian terhadap si kaya, hal ini hanya berujung pada konspirasi. 

Tentang hal ini Swinstons, Pemred (Pimpinan Redaksi) New York Times menulis demikian tegas, "Sampai hari ini, dalam sejarah dunia, tidak ditemukan satu pers yang mandiri. Anda tahu itu, dan saya mengetahuinya pula. Tak seorang pun di antara anda sekalian yang berani mengutarakan dan menuliskan pendapatnya secara jujur. 

Jika toh ada yang melakukannya, ia sudah mengetahui dari awalnya, bahwa tulisannya tidak akan dicetak. Setiap minggunya, saya diupah agar saya tak menulis pendapat jujur saya di koran, di mana saya bekerja. Ada pula yang dibayar untuk melakukan hal yang mirip. Dan setiap Anda sekalian, yang dengan bodohnya menulis pendapat jujurnya, akan terkena PHK, sehingga terpaksa mencari pekerjaan lain. Jika saya menulis pendapat saya yang sebenarnya di koran tempat saya bekerja, maka dalam tempo 24 jam saya akan kehilangan pekerjaan saya. Adalah menjadi bisnis para jurnalis untuk memusnahkan kebenaran, untuk tak segan-segan berbohong, untuk berlaku a-normal, untuk memfitnah, menjilat kaki mammon (si kaya), dan menjual negara demi nafkah sehari-hari. Anda sekalian mengetahuinya, begitu juga saya, dan inilah hal yang gila, untuk menegakkan kebebasan pers. Kita adalah alat dan kaki tangan makhluk-makhluk berkocek tebal di belakang layar. Kita hanyalah boneka-boneka, mereka memegang kendalinya, dan kita menari, bakat kita, kemahiran kita dan seluruh kehidupan kita adalah milik manusia lain. Kita adalah pelacur intelektual" (Mathias Brokers, Konspirasi, 9.11., 2006). Pernyataan Swinstons tersebut bukan dilakukan di abad ini. Ia memberi pernyataan tersebut pada tahun 1880 di hadapan Pers Club New York. Kendati demikian pernyataan ini menjadi kian aktual untuk masa sekarang. 

Saya yakin pernyataan tersebut memang tegas tetapi tidak mutlak kebenarannya. Yang terpenting adalah bagaimana mengambil langkah yang jitu untuk berhati-hati terhadap mammon yang setiap saat dapat menggoda para pegiat jurnalisme. Tanpa suatu kewaspadaan yang konstan dan komitmen yang kuat untuk mengabdi kebenaran, sewaktu-waktu pers bisa terjerumus dalam realitas manipulatif yang nirmakna; kebenaran menjadi kabur, yang ada hanya penipuan. Swinstons menyebut para penipu di balik kenyataan itu sebagai para 'pelacur intelektual'. Pernyataan Swinstons itu tidak seharusnya diterjemahkan secara harafiah. Sebab saya berpikir bahwa pernyataan yang tegas dan jujur itu lebih merupakan sebuah alarm bagi para pegiat jurnalisme untuk selalu berhati-hati terhadap mereka yang berkocek tebal. Dengan sikap inilah kebenaran yang dijunjung tinggi pers bisa menampakkan diri dalam aksara yang diwartakan pers setiap saat.

Akhirnya, dengan berpijak pada kebenaran itulah komitmen melawan kriminalisasi dan kekerasan terhadap wartawan terus digencarkan menuju perwujudan kebebasan pers yang bertanggung jawab. Tanpa berpihak pada kebenaran, maka sia-sialah komitmen perjuangan tersebut. Kebenaran dimaksud tidak hanya menyata dalam aksara yang diwartakan tetapi juga mesti tampak dalam tindakan para pegiat jurnalisme yang senantiasa menjunjung tinggi kode etik pers. Dengan demikian, pesan (kebenaran) yang diwartakan pers, bukan sekadar sebuah pesan, sebab ia mempunyai daya ubah (daya transfiguratif) untuk masyarakat pembaca. Untuk itu hendaklah prinsip verifikasi senantiasa menjiwai kaum jurnalis dalam aktivitas mengumpulkan, mengelola dan menyebarkan informasi.*

Pemulihan Traumatik Jurnalis Perlu Jadi Perhatian

JAKARTA, PK--Sejumlah daerah di Indonesia rawan bencana, konflik, kejahatan, dan juga rawan kecelakaan. Kalangan jurnalis yang bertugas di daerah-daerah rawan tersebut seringkali menghadapi peristiwa traumatik yang dapat berdampak terhadap fisik-bilogis, emosi, kognisi, tingkah laku, dan moral-spiritual. Agar dampak dari peristiwa traumatik yang dialami dan ditemui jurnalis di lapangan tidak berperngaruh terjadap kinerja, maka perlu diambil langkah-langkah pemulihan.

Demikian benang merah yang mengemuka dalam seminar Permasalahan dan Pemulihan Trauma bagi Kalangan Jurnalis, yang digelar Lembaga Pers Doktor Soetomo (LPDS) di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Senin (9/2/2009).

Pembicara tunggal dalam acara ini adalah Irma S Martam, Overal Coordinator Yayasan Pulih. "Siapa pun yang terpapar dengan peristiwa traumatik, memiliki resiko mengalami trauma sekunder karena hadir di lokasi kejadian dan meliput dalam jarak yang sangat dekat," katanya.

Yayasan pulih yang berdiri tahun 2002, sejak 2003 sudah banyak menangani klien, termasuk jurnalis, untuk memulihkan traumatik yang dialaminya. Tidak hanya sebatas menangani, tetapi bekerjasama dengan Dart Center Australia-- juga gencar melakukan sosialisasi kepada kalangan jurnalis, misalnya bagaimana menjaga kesejahteraan psikologis jurnalis, bagaimana kiat-kiat melakukan wawancara dengan orang-orang (korban) dan keluarga yang mengalami trauma.


Irma menyebutkan, jika para jurnalis mengalami kewaspadaan berlebih, gangguan tidur, mimpi buruk, keluhan fisik (sakit kepala, sakit sendi, gangguan perut ) yang tidak jelas penyebabnya dan tidak kunjung sembuh, merupakan tanda-tanda trauma sekunder. Begitu juga jika sering mengalami ketidakberdayaan, kesedihan, kebingungan, kemarahan, dan cepat tersinggung.

Menjawab pertanyaan wartawan dari Modus Aceh, Irma menegaskan, kondisi traumatik jurnalis tidak hanya disebabkan oleh situasi dan kondisi di daerah liputan dan atau kondisi korban, tetapi juga karena faktor stress yang yang dialami jurnalis karena tekanan dan tuntutan pekerjaan. Tekanan pekerjaan misalnya perlu menemukan solusi dengan segera, beban kerja terlalu berat. Tingkat kesulitan tinggi, merupakan pekerjaan baru dan hanyut dengan masalah orang lain. Sedangan stress karena tuntutan kerja disebabkan antara lain karena kondisi bekerja tidak nyaman/berbahaya. "Agar jurnalis terbebas dari traumatik, perlu memperhatikan kondisi fisik, menjaga kesehatan psikologis, menjaga kesehatan emosional dan menjaga keseimbangan spiritual," papar Irma. 

Begitu juga jika melakukan wawancara, agar korban traumatik tidak semakin trauma dan jurnalis bisa memenuhi tugas jurnalistiknya, Irma memberikan 16 kiat, antara lain undanglah petugas kesehatan mental untuk mendampingi korban traumatik selama wawancara berlangsung. Mengenali dari awal munculnya gejala-gejala korban traumatik jika mengalami kesulitan dalam wawancara. Jika narasumber menjadi stress, hentikan wawancara. Perkenalkan diri dan minta persetujuan merekam dan menuliskannya, sebelum memulai wawancara.
Direktur Eksekutif LPDS, Priyambodo RH berharap para jurnalis ke depan perlu membekali diri agar tidak traumatik setelah bertugas di daerah rawan bencana alam, rawan konflik, rawan kecelakaan, dan rawan kriminalitas. Begitu juga, agar dalam peliputan atau pascapemberitaan jangan sampai menambah parah kondisi korban yang mengalami peristiwa traumatik.(kompas.com)

Wartawan Timex "Polisikan" Pattyona

KUPANG, PK -- Yopi Latti, wartawan Harian Timex, resmi mempolisikan Petrus Bala Pattyona, S.H, M.H. Laporan ini diterima Kepala Sentral Pelayanan Kepolisian (Ka SPK) Polresta Kupang, Ipda Edy, S.H, Senin (9/2/2009). Laporan Yopi Latti ini terkait dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan Pattyona terhadap dirinya sebagaimana diberitakan dalam Mingguan Expo NTT edisi pekan lalu.

Saat melaporkan kasus yang menimpa dirinya ini, Yopi Latti datang bersama kuasa hukumnya, Lorens Mega Man, S.H, John Rihi, S.H dan Philipus Fernandes, S.H. Hadir juga sejumlah wartawan Harian Timex. Rombongan ini mendatangi Polresta Kupang sekitar pukul 17.00 Wita. Setelah membuat laporan di ruang SPK, Yopi Latti lalu diperiksa di ruang Kanit I Polresta Kupang oleh penyidik Bripka Amru Iksan.

Di sela-sela pemeriksaan ini, ketiga kuasa hukum Yopi Latti menjelaskan, laporan ini dimaksudkan sebagai proses pembelajaran hukum bagi seluruh masyarakat. Menurut John Rihi, laporan ini membuktikan bahwa tidak ada orang yang kebal hukum termasuk pengacara.

"Kami mendampingi Yopi karena diminta oleh Pemimpin Redaksi Timex. Bagi kami, laporan ini merupakan pendidikan dan pencerahan hukum bahwa tidak ada orang yang kebal hukum termasuk pengacara. Selain itu, laporan ini juga mengajarkan masyarakat bahwa lebih baik menggunakan jalur hukum bila seseorang merasa hak-haknya dilecehkan. Jangan menempuh langkah main hakim sendiri karena itu tidak menghormati hukum," jelas John Rihi.

Perihal pokok persoalannya, John Rihi menjelaskan, berdasarkan informasi Yopi Latti dan juga dipublikasikan dalam Mingguan Expo NTT, terlapor (Pattyona) menuduh Yopi Latti memeras tersangka senilai Rp 10 juta untuk membangun rumah tingkatnya. Tudingan ini, kata John Rihi, diucapkan terlapor secara langsung pada saat menemui Yopi Latti di Pengadilan Negeri (PN) Kupang, Rabu (4/2/2009) dan kemudian diulang lagi pada saat terlapor menggelar jumpa pers dengan sejumlah wartawan di Restoran Nelayan Kupang.

Fernandes menambahkan, walaupun mendampingi Yopi Latti dalam kasus ini, pihaknya tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Justru laporan ini, katanya, untuk membuktikan apakah yang diucapkan Pattyona fakta atau bukan. Menurutnya, kasus ini juga menjadi pelajaran berharga bagi para wartawan untuk mawas diri di satu sisi dan di sisi lain tidak diperlakukan semena-mena oleh siapapun.

Ipda Edy yang dimintai penjelasannya tentang laporan Yopi Latti, mengatakan, pihaknya akan mendalami kasus ini. Menurutnya, dari laporan korban, terlapor bisa dijerat dengan pasal 310 atau 311 KUHP karena menuduh seseorang melakukan perbuatan melawan hukum (memeras) baik secara langsung maupun tertulis. (dar)