Pemulihan Traumatik Jurnalis Perlu Jadi Perhatian

JAKARTA, PK--Sejumlah daerah di Indonesia rawan bencana, konflik, kejahatan, dan juga rawan kecelakaan. Kalangan jurnalis yang bertugas di daerah-daerah rawan tersebut seringkali menghadapi peristiwa traumatik yang dapat berdampak terhadap fisik-bilogis, emosi, kognisi, tingkah laku, dan moral-spiritual. Agar dampak dari peristiwa traumatik yang dialami dan ditemui jurnalis di lapangan tidak berperngaruh terjadap kinerja, maka perlu diambil langkah-langkah pemulihan.

Demikian benang merah yang mengemuka dalam seminar Permasalahan dan Pemulihan Trauma bagi Kalangan Jurnalis, yang digelar Lembaga Pers Doktor Soetomo (LPDS) di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Senin (9/2/2009).

Pembicara tunggal dalam acara ini adalah Irma S Martam, Overal Coordinator Yayasan Pulih. "Siapa pun yang terpapar dengan peristiwa traumatik, memiliki resiko mengalami trauma sekunder karena hadir di lokasi kejadian dan meliput dalam jarak yang sangat dekat," katanya.

Yayasan pulih yang berdiri tahun 2002, sejak 2003 sudah banyak menangani klien, termasuk jurnalis, untuk memulihkan traumatik yang dialaminya. Tidak hanya sebatas menangani, tetapi bekerjasama dengan Dart Center Australia-- juga gencar melakukan sosialisasi kepada kalangan jurnalis, misalnya bagaimana menjaga kesejahteraan psikologis jurnalis, bagaimana kiat-kiat melakukan wawancara dengan orang-orang (korban) dan keluarga yang mengalami trauma.


Irma menyebutkan, jika para jurnalis mengalami kewaspadaan berlebih, gangguan tidur, mimpi buruk, keluhan fisik (sakit kepala, sakit sendi, gangguan perut ) yang tidak jelas penyebabnya dan tidak kunjung sembuh, merupakan tanda-tanda trauma sekunder. Begitu juga jika sering mengalami ketidakberdayaan, kesedihan, kebingungan, kemarahan, dan cepat tersinggung.

Menjawab pertanyaan wartawan dari Modus Aceh, Irma menegaskan, kondisi traumatik jurnalis tidak hanya disebabkan oleh situasi dan kondisi di daerah liputan dan atau kondisi korban, tetapi juga karena faktor stress yang yang dialami jurnalis karena tekanan dan tuntutan pekerjaan. Tekanan pekerjaan misalnya perlu menemukan solusi dengan segera, beban kerja terlalu berat. Tingkat kesulitan tinggi, merupakan pekerjaan baru dan hanyut dengan masalah orang lain. Sedangan stress karena tuntutan kerja disebabkan antara lain karena kondisi bekerja tidak nyaman/berbahaya. "Agar jurnalis terbebas dari traumatik, perlu memperhatikan kondisi fisik, menjaga kesehatan psikologis, menjaga kesehatan emosional dan menjaga keseimbangan spiritual," papar Irma. 

Begitu juga jika melakukan wawancara, agar korban traumatik tidak semakin trauma dan jurnalis bisa memenuhi tugas jurnalistiknya, Irma memberikan 16 kiat, antara lain undanglah petugas kesehatan mental untuk mendampingi korban traumatik selama wawancara berlangsung. Mengenali dari awal munculnya gejala-gejala korban traumatik jika mengalami kesulitan dalam wawancara. Jika narasumber menjadi stress, hentikan wawancara. Perkenalkan diri dan minta persetujuan merekam dan menuliskannya, sebelum memulai wawancara.
Direktur Eksekutif LPDS, Priyambodo RH berharap para jurnalis ke depan perlu membekali diri agar tidak traumatik setelah bertugas di daerah rawan bencana alam, rawan konflik, rawan kecelakaan, dan rawan kriminalitas. Begitu juga, agar dalam peliputan atau pascapemberitaan jangan sampai menambah parah kondisi korban yang mengalami peristiwa traumatik.(kompas.com)

Tidak ada komentar: