Lawan Kekerasan Terhadap Jurnalis

(Catatan kecil pada Hari Pers Nasional ke-47)

Oleh Kamilus Seran
Mahasiswa STFK Ledalero, anggota KMK-L, tinggal di Wisma Rafael

DALAM kiprahnya sebagai penyambung lidah rakyat, pers ibarat sebuah lentera di kesenyapan; terang yang membawa harapan dan penyingkap tabir kebisuan. Pers seumpama lidah yang berbicara tentang fakta yang sebenarnya dan dituangkan dalam aksara yang sejujur-jujurnya. Jika para pegiat jurnalisme sungguh menyadari hal ini, maka demokrasi dalam dunia pers dapat diwujudkan. Argumentasinya jelas bahwa cita-cita tertinggi dalam demokrasi di bidang pers adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan yang bertanggung jawab tentu selalu menuntut kebenaran faktual yang mesti diterjemahkan ke dalam aksara yang sejujur-jujurnya.

Ketika membicarakan demokrasi di dunia pers, pada satu sisi persoalan yang senantiasa dipergunjingkan adalah kebebasan pers yang biasanya dikonfrontasikan dengan kriminalisasi dan kekerasan terhadap wartawan. Sementara itu pada sisi lain, diskursus tentang pers sering mempersoalkan peranan pers sebagai 'fourth estate' (di samping legislatif, eksekutif dan yudikatif) dalam konfrontasinya dengan pers yang mengabdi mammon (si kaya). Bertolak dari dua sisi tilik tersebut, tulisan ini merupakan sebuah catatan mengenai kebebasan pers yang dikontraskan dengan kekerasan terhadap wartawan dan perihal pers yang mengabdi mammon.

Lawan Kekerasan
Pada era ini, ketika kebebasan pers diagung-agungkan, ternyata masih ada juga realitas kekerasan terhadap wartawan, orang-orang yang sehari-hari bekerja sebagai kuli tinta. Realitas kekerasan itu mengambil bentuk kekerasan fisik sebagaimana yang dialami oleh wartawan HU Pos Kupang, Obby Lewanmeru yang bertugas di Kabupaten Manggarai Barat (17/2/2008), maupun kekerasan non fisik seperti yang dihadapi Benny Jahang (wartawan Pos Kupang) dan Robert Kadang (Wartawan Timor Express) pada 19 Mei 2008 lalu. 

Bentuk-bentuk kekerasan ini membuktikan bahwa kebebasan insan pers sesungguhnya masih terkatung-katung. Kebebasan pers perlu dibicarakan lagi. Soalnya, dengan adanya kekerasan ini, kebebasan pers terpasung dan hal ini berimplikasi pada berbagai macam deviasi sosial yang tak terkontrolkan. Sebab tindakan pemasungan terhadap kebebasan pers seperti intimidasi dan kekerasan bisa memberikan efek jera bagi wartawan dalam menjalankan profesinya. Belum lagi hanya selang tiga bulan (antara Februari-Mei 2008), dua kasus kekerasan terhadap wartawan-wartawan lokal (NTT) terjadi berturut-turut. Bukankah ini sebuah sinyalemen penting bahwa kekerasan terhadap wartawan masih menjadi target penting untuk dilawan? 

A. Muis dalam artikelnya yang bertajuk Pers, HAM dan Demokrasi menulis demikian, "Hingga kini pengaruh zaman rezim otoriter masih sangat terasa di bidang pers. Hal itu dapat dibuktikan dengan masih seringnya terjadi tindakan kekerasan terhadap wartawan oleh aparat keamanan dan oleh warga masyarakat. Kekerasan terhadap wartawan di samping merupakan kejahatan (penganiayaan), juga menghambat terlaksananya reformasi dan melanggar HAM karena kebebasan berkomunikasi adalah HAM" (Masyarakat Versus Negara, 1999). 

Pernyataan A. Muis itu dikumandangkan bukan pada hari kemarin melainkan sepuluh tahun yang lalu, tetapi gemanya masih terasa relevan hingga detik ini, ketika kita mendengar atau membaca kisah tentang kekerasan terhadap wartawan Pos Kupang dan Timor Express beberapa waktu lalu ( Mei 2008). 

Masyarakat NTT yang mau maju dan mengakui realitas hidupnya yang makin plural dari hari ke hari, semestinya mempunyai kesadaran baru untuk terbuka terhadap dunianya dan menanggapi setiap persoalan dengan bijak, bukannya mengandalkan pendekatan-pendekatan klasik yang cenderung otoriter dan intimidatif. Patut disayangkan apabila kekerasan yang dimaksud melibatkan mereka yang bekerja untuk menegakkan hukum dan keadilan. Realitas kekerasan seperti ini telah menggugah bangsa ini untuk berpikir ulang tentang reformasi yang sudah (atau baru) berusia 10 tahun itu. Bahwa reformasi di Indonesia hanyalah reformasi simbolik, karena pers sebagai sebuah agent of reform pun masih mengalami ancaman dan kriminalisasi serta kekerasan.

Hemat saya, fenomen kekerasan terhadap wartawan menunjukkan dua hal penting. Pertama, orang yang tak sanggup melakukan apa yang dipercayai, akan cenderung percaya pada apa yang dilakukannya. Tindakan kekerasan terhadap wartawan beberapa waktu lalu itu memperlihatkan gejala kepercayaan pada pendekatan Orde Baru yang otoriter. Orde Baru pada kenyataannya memang sudah tumbang, tapi rohnya masih gentayangan. Apabila hukum yang melindungi insan pers tidak ditegakkan maka jangan heran ketika dalam waktu yang relatif berdekatan terjadi dua kasus kekerasan terhadap wartawan. 


Kedua, jalan kekerasan menunjukkan betapa rapuhnya sosialitas dan kokohnya individualitas pelaku kekerasan. Jalan kekerasan menegaskan sebuah penyangkalan terhadap eksistensi yang-lain dalam kehidupan sosial (dalam kasus ini para wartawan korban kekerasan dan pers sendiri). Bila setiap aksi kekerasan terhadap wartawan tidak ditangani secara tegas dan transparan serta tidak diusut tuntas, hal itu bisa berarti para penegak hukum sekali lagi membuka peluang bagi terjadinya tindak kekerasan terhadap wartawan sesudah kesekian kalinya aksi kekerasan terhadap wartawan terjadi. Entah kekerasan fisik, entah kekerasan non fisik, hakekat sebuah kekerasan adalah pelanggaran HAM karena menyangkut kehidupan seorang manusia. Bahkan kalau dipikirkan secara lebih luas lagi, maka kekerasan terhadap wartawan ketika sedang bertugas sebetulnya merupakan kekerasan terhadap kehidupan publik karena pekerjaan seorang wartawan lapangan berhubungan erat dengan kepentingan dan kehidupan publik.

Pada kenyataannya kekerasan terhadap wartawan pada tingkat lokal menuntut perhatian yang serius, sebab hal ini menunjukkan peningkatan. Realitas tersebut diakui oleh Pemimpin Redaksi HU Pos Kupang, Dion DB Putra. "Tren kekerasan terhadap wartawan di NTT terus meningkat selama tiga tahun terakhir (2005-2008); enam wartawan dianiaya, demikian kata Dion DB Putra. Pada level internasional, selama tahun 2008 sedikitnya 60 jurnalis tewas di seluruh dunia. 

Angka itu turun hampir setengahnya dari tahun 2007 yang merenggut nyawa 86 jurnalis. Demikian laporan tahunan Reporters Without Borders yang berbasis di Paris, Prancis. Kelompok kebebasan pers ini menyatakan penurunan jumlah jurnalis yang tewas itu terutama karena situasi Irak yang mulai membaik. Namun Irak tetap menjadi negara paling rawan pembunuhan reporter yang mencapai 15 orang tewas. Jumlah itu menurun dibandingkan tahun 2007 yang mencatat 47 reporter tewas (http://www.vhrmedia.com, 31/12/2008). Reporters Without Borders menyatakan penurunan angka pembunuhan jurnalis itu tidak berarti kebebasan pers membaik. Hal itu terjadi kemungkinan karena pembungkaman terhadap jurnalis meningkat. Selain itu, intimidasi dan sensor terhadap jurnalis terus meluas, termasuk di Barat.

Menanggapi berbagai kekerasan terhadap kaum jurnalis tersebut; baik pada skala internasional maupun pada skala lokal (terutama para jurnalis pada media-media lokal NTT), maka pada bulan Oktober tahun 2008 lalu, PWI, AJI dan IJTI telah sepakat untuk melawan kriminalisasi terhadap pers dan kekerasan terhadap jurnalis. Kesepakatan ketiga organisasi ini disampaikan dalam lokakarya bertema "Bersama Kita Lawan Kriminalisasi Terhadap Pers dan Kekerasan Terhadap Jurnalis". 

Intisari kesepakatan itu tertuang dalam lima poin penting berikut: pertama, setiap jurnalis harus menjunjung tinggi profesionalisme, menegakkan etika profesi dan memperkuat solidaritas profesi. Kedua, kriminalisasi atau pemidanaan atas karya-karya jurnalis harus dihindari karena bertentangan dengan semangat Undang- Undang Pers No 40 Tahun 1999 dan bisa menimbulkan efek jera yang pada akhirnya memasung kebebasan pers. Ketiga, akan bersama-sama melawan setiap upaya kriminalisasi atas karya-karya jurnalistik dan mendorong penyelesaian sengketa pers melalui mekanisme dan ketentuan yang digariskan dalam Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999. Keempat, akan berkerja sama menghadapi dan melakukan advokasi terhadap setiap kasus kekerasan dan penghalangan terhadap jurnalis yang melakukan tugas jurnalistiknya secara profesional. Kelima, mengimbau kepada semua pihak untuk secara bersama-sama menghormati dan menegakkan kebebasan pers demi menjamin hak setiap anggota masyarakat untuk memberikan dan mendapatkan informasi yang mereka butuhkan secara bebas (PK/10/10/2008). 

Titik tolak pernyataan melawan kriminalisasi dan kekerasan terhadap jurnalis seperti tersebut di atas adalah bahwa kebebasan pers merupakan kebutuhan yang inheren dalam masyarakat demokratis. Sebab hanya melalui pers yang bebas, hak sipil untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang benar dapat dijamin. Dengan demikian logikanya penghalangan dan pemasungan terhadap kebebasan pers merupakan pelanggaran terhadap hak sipil. 

Sekalipun kebebasan pers mutlak perlu dan diwujudkan dalam aktivitas jurnalis untuk mengumpulkan, mengelola dan menyebarkan informasi yang dibutuhkan masyarakat, kebebasan dimaksud mesti merupakan kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini mengandung tuntutan terhadap wartawan untuk meningkatkan sensitivitas terhadap upaya memajukan kualitas dan profesionalisme para kuli tinta. Dengan ini, meminjam istilah Erich Fromm, freedom from mesti diikuti dengan freedom for. Artinya para pegiat jurnalisme tidak hanya 'bebas dari' kekangan kriminalisasi dan kekerasan, tetapi juga 'bebas untuk' menjalankan profesinya secara jeli, maksimal dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, satu prinsip yang dituntut dalam dunia pemberitaan (pers) adalah prinsip verifikasi. 

Tentang prinsip verifikasi, salah satu petuah yang diterima wartawan baru di BBC (British Broadcasting Corporation) adalah ihwal pentingnya verifikasi. Petuah itu kira-kira berbunyi, "Jangan pernah menerima mentah-mentah setiap informasi yang diperoleh, bahkan dari narasumber yang paling kredibel sekalipun; selalulah diverifikasi (cek silang) ke sumber lain yang independen." Di mata lembaga penyiaran terkemuka yang bermarkas di Inggris itu, verifikasi adalah proses yang harus dilalui sebelum sebuah berita disiarkan. 

Petuah itu pula yang membuat BBC hampir tidak pernah memberitakan dengan serta-merta sebuah peristiwa, sedahsyat apa pun peristiwa itu, jika hanya satu kantor berita yang menyiarkannya. BBC akan menahan diri, sampai ada sumber independen lainnya (entah wartawannya sendiri yang diterjunkan ke lokasi atau wartawan dari kantor berita lain) yang melaporkan peristiwa tersebut.

Ciri khas lembaga penyiaran terkemuka itu adalah kejelian dan kejituannya dalam 
menyaring berita. Tidak semua informasi diterima begitu saja tanpa mempertimbangkan, mempertanyakan dan atau membuat pertimbangan-pertimbangan kritis. Dengan semangat ini (Spirit of Verification), BBC telah dikenal luas sebagai lembaga penyiaran yang paling handal. 

Dalam dunia pers, media-media lokal pun patut memberi perhatian yang serius terhadap prinsip ini. Sebab dengan prinsip ini, kebebasan pers dapat dipertanggungjawabkan dan apa yang diwartakan semakin menyentuh kebenaran faktual. Dengan demikian kebenaranlah yang menjadi dasar pijak perlawanan terhadap kriminalisasi terhadap pers dan kekerasan terhadap jurnalis. Tanpa dasar pijak yang dirujuk ini maka perlawanan kita tidak mempunyai kekuatan yang memadai.

Tolak mammon
Pada prinsipnya pers mengabdi pada kebenaran. Pers sekali-kali jangan memberi diri untuk mengabdi mammon (si kaya). Karena prinsip tersebut, maka mesti ada pemisahan yang jelas dan tegas antara politik dan media. Alasannya jelas bahwa masing-masing sistem memiliki logika yang berbeda. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan pemisahan antara politik dan media bakal berimplikasi pada pilihan rakyat. Bahayanya adalah sistem media yang memiliki 'selection logic' dan 'presentation logic' terpaksa mengadopsi sistem politik yang mengedepankan 'voter maximize logic'. Konsekuensi logis dari kenyataan seperti ini adalah penghalalan segala cara oleh media guna menyukseskan kampanye sebuah atau beberapa partai politk. Pada saat itulah terjadi pergeseran dari demokrasi ke mediokrasi, di mana kedaulatan rakyat disulam menjadi kedaulatan media (Bdk. Eko Prasojo, "Mediokrasi dalam Pemilu 2004" dalam: Siapa Mau Jadi Presiden?, 2004).


Apabila politik dan media tidak dibedakan secara tegas maka hal ini juga bisa berakibat pada melemah atau bahkan menghilangnya suara kritik pers (kontrol sosial); pers mengelabui kebenaran dan dengan demikian, apa yang diwartakannya tidak lebih dari manipulasi kepentingan. Demokrasi yang pro res publica (kepentingan umum) diganti dengan mediokrasi yang menonjolkan res privata (kepentingan pribadi atau golongan tertentu). Pers yang menegaskan dirinya sebagai agent of reform (agen perubahan) semestinya memperjuangkan res publica. Apabila pers sungguh menyadari hal ini maka tidak ada argumentasi yang rasional untuk mengabdi mammon. Sebab pers yang mengabdi si kaya hanya akan menampilkan betapa rapuh dan lemahnya daya tekan (kontrol) pers terhadap pemerintah yang korup bahkan bila terjadi pengabdian terhadap si kaya, hal ini hanya berujung pada konspirasi. 

Tentang hal ini Swinstons, Pemred (Pimpinan Redaksi) New York Times menulis demikian tegas, "Sampai hari ini, dalam sejarah dunia, tidak ditemukan satu pers yang mandiri. Anda tahu itu, dan saya mengetahuinya pula. Tak seorang pun di antara anda sekalian yang berani mengutarakan dan menuliskan pendapatnya secara jujur. 

Jika toh ada yang melakukannya, ia sudah mengetahui dari awalnya, bahwa tulisannya tidak akan dicetak. Setiap minggunya, saya diupah agar saya tak menulis pendapat jujur saya di koran, di mana saya bekerja. Ada pula yang dibayar untuk melakukan hal yang mirip. Dan setiap Anda sekalian, yang dengan bodohnya menulis pendapat jujurnya, akan terkena PHK, sehingga terpaksa mencari pekerjaan lain. Jika saya menulis pendapat saya yang sebenarnya di koran tempat saya bekerja, maka dalam tempo 24 jam saya akan kehilangan pekerjaan saya. Adalah menjadi bisnis para jurnalis untuk memusnahkan kebenaran, untuk tak segan-segan berbohong, untuk berlaku a-normal, untuk memfitnah, menjilat kaki mammon (si kaya), dan menjual negara demi nafkah sehari-hari. Anda sekalian mengetahuinya, begitu juga saya, dan inilah hal yang gila, untuk menegakkan kebebasan pers. Kita adalah alat dan kaki tangan makhluk-makhluk berkocek tebal di belakang layar. Kita hanyalah boneka-boneka, mereka memegang kendalinya, dan kita menari, bakat kita, kemahiran kita dan seluruh kehidupan kita adalah milik manusia lain. Kita adalah pelacur intelektual" (Mathias Brokers, Konspirasi, 9.11., 2006). Pernyataan Swinstons tersebut bukan dilakukan di abad ini. Ia memberi pernyataan tersebut pada tahun 1880 di hadapan Pers Club New York. Kendati demikian pernyataan ini menjadi kian aktual untuk masa sekarang. 

Saya yakin pernyataan tersebut memang tegas tetapi tidak mutlak kebenarannya. Yang terpenting adalah bagaimana mengambil langkah yang jitu untuk berhati-hati terhadap mammon yang setiap saat dapat menggoda para pegiat jurnalisme. Tanpa suatu kewaspadaan yang konstan dan komitmen yang kuat untuk mengabdi kebenaran, sewaktu-waktu pers bisa terjerumus dalam realitas manipulatif yang nirmakna; kebenaran menjadi kabur, yang ada hanya penipuan. Swinstons menyebut para penipu di balik kenyataan itu sebagai para 'pelacur intelektual'. Pernyataan Swinstons itu tidak seharusnya diterjemahkan secara harafiah. Sebab saya berpikir bahwa pernyataan yang tegas dan jujur itu lebih merupakan sebuah alarm bagi para pegiat jurnalisme untuk selalu berhati-hati terhadap mereka yang berkocek tebal. Dengan sikap inilah kebenaran yang dijunjung tinggi pers bisa menampakkan diri dalam aksara yang diwartakan pers setiap saat.

Akhirnya, dengan berpijak pada kebenaran itulah komitmen melawan kriminalisasi dan kekerasan terhadap wartawan terus digencarkan menuju perwujudan kebebasan pers yang bertanggung jawab. Tanpa berpihak pada kebenaran, maka sia-sialah komitmen perjuangan tersebut. Kebenaran dimaksud tidak hanya menyata dalam aksara yang diwartakan tetapi juga mesti tampak dalam tindakan para pegiat jurnalisme yang senantiasa menjunjung tinggi kode etik pers. Dengan demikian, pesan (kebenaran) yang diwartakan pers, bukan sekadar sebuah pesan, sebab ia mempunyai daya ubah (daya transfiguratif) untuk masyarakat pembaca. Untuk itu hendaklah prinsip verifikasi senantiasa menjiwai kaum jurnalis dalam aktivitas mengumpulkan, mengelola dan menyebarkan informasi.*

Tidak ada komentar: