Luna Maya

Oleh H. Ilham Bintang *)

Jakarta ( C&R ) - Pada peringatan Hari Pers Nasional/HUT ke-63 PWI, 9 Februari 2009 di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Luna Maya diundang. Bukan sebagai tamu biasa. Tetapi menjadi salah satu pembicara talk show dengan topik mengenai pers Nasional dalam acara Bukan Empat Mata yang mengisi panggung Tennis Indoor. Di atas panggung, Luna duduk sejajar dengan tokoh Pers Dahlan Iskan dan Menkominfo Mohammad Nuh (waktu itu).

Ditonton secara langsung oleh Presiden SBY dan Ibu Ani SBY, serta sejumlah pejabat negara, tokoh-tokoh pers, dan ratusan pemimpin media massa. Karena disiarkan live oleh Trans7, TVRI, dan RRI, maka dipastikan acara tersebut diikuti pula puluhan juta pasang mata di seluruh pelosok Tanah Air.


Saat panitia HPN menyampaikan undangan kepada Presiden SBY di Istana, talk show itu juga turut dilaporkan panitia. Sesaat wajah SBY menunjukkan keheranan. Panitia langsung menerangkan alasannya. Luna sengaja diberi kesempatan untuk mencurahkan isi hati karena ia menga ku selalu dipojokkan oleh pers hiburan. Waktu itu memang luas diberitakan Luna berang karena ditu ding menjadi pihak ketiga perceraian Ariel dengan istrinya kala itu, Sarah Amalia.

Presiden cukup akrab dengan program info tain men. Di depan Presiden SBY pada perayaan HPN di Pekan Baru, Riau, tahun 2005, Ketua Umum PWI (waktu itu) Tarman Azzam menyampaikan bahwa PWI secara resmi telah mengakui program infotainmen sebagai karya jurnalistik. Pengakuan itu didasarkan dari hasil pengkajian secara filosofis, sosiologis, dan yuridis selama lima tahun oleh tim khusus yang diketuai Wina Armada (sekarang anggota Dewan Pers). Peliput infotainmen diakomodasi sebagai anggota PWI jika mendaftar, mengikuti ujian persyaratan organisasi, dan menaati kode etik profesi.

Kembali ke Luna. Ternyata sampai show Bukan Empat Mata berakhir, Luna tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk mencurahkan isi hati. Sepatah kata pun tidak ke luar dari mulutnya, baik kritik maupun unek-unek terhadap perilaku wartawan hiburan. Pada momentum perayaan HPN, ia malah bikin persoalan serius. Luna tidak mengindahkan aturan protokoler Presiden RI. Sebelum naik panggung, bersama Olga Syahputra, Luna menyelonong ke deretan kursi Presiden bersalaman dan bercipika-cipiki segala. Padahal, sebelumnya panitia sudah wanti-wanti mengingatkan aturan itu.

Paspampres tentu saja protes kepada panitia. Sampai tengah malam urusan itu baru selesai. Chairul Tanjung pemilik TransCorp (TransTV & Trans7) turut dibuat repot. Tengah malam ia menelepon saya mengimbau agar tidak menyiarkan gambar peristiwa itu. Tengah malam itu juga saya memba ngunkan teman-teman pemilik infotainmen dan beberapa petinggi televisi menyampaikan imbauan tersebut.

Belum setahun peristiwa berlalu, Luna Maya kembali bikin sensasi. Dia menulis statusnya di Twitter kata-kata yang menyakitkan kerabat infotainmen. “Infotainmen lebih rendah dari pembunuh dan pelacur.” Lho, apa yang terjadi?

Penulisan itu dipicu kejadian Selasa (15/12) malam, pada acara pemutaran perdana film Sang Pemimpi yang dibintangi juga Ariel “Peterpan”. Malam itu, Luna datang bersama putri Ariel, Aleia. Hal wajar jika kehadirannya menarik perhatian infotainmen. Pada saat para wartawan mendekatinya, tanpa sengaja bagian kepala Aleia tersenggol kamera. Wartawan pun minta maaf. Persoalan selesai. Malah Luna sempat melayani wawancara dengan wartawan. Tahu-tahu tengah malam itu muncul di akun Luna di Twitter kata-kata kasar yang di sebut tadi.

Menyikapi penghinaan Luna, wartawan infotainmen mengadukan perbuatan artis itu ke Polda Metro Jaya. Wajar saja jika kasus itu diproses secara hukum karena: Pertama, sejalan dengan prinsip hukum. Kedua, mencegah konflik menjadi panggung yang bisa ditunggangi banyak penumpang gelap cari perhatian, dan melaksanakan agenda tersendiri. Ketiga, proses hukum ditempuh supaya tidak ada pihak merasa benar sendiri. Keputusan siapa benar dan siapa yang salah diserahkan pada mekanisme hukum. Artinya, semua siap menghadapi prinsip “tangan mencincang bahu memikul”.

Infotainmen memang tidak semuanya telah bekerja secara benar, sesuai prinsip kerja jurnalistik. Keluhan masih sering kita dengar dari masyarakat, termasuk artis sendiri. Dari masalah kompetensi teknis, soal ketaatan pada etika, pemelintiran fakta, soal amplop, dan sebagai nya yang menuntut perhatian serius organisasinya. Tetapi, menghina mereka “lebih rendah dari pembunuh” jelas keterlaluan. Jangankan infotainmen, terhadap profesi apa pun penghinaan semacam itu rasanya tidak bisa kita toleransi. Apalagi, kedua pihak -- Luna dan wartawan infotainmen -- hidup dalam komunitas yang sama: media entertainment.

Sedikit pun, niscaya ada andil sebagian infotainmen dalam karier Luna. Dengan jam tayang sedikitnya 30 jam sehari di sepuluh stasiun televisi swasta, paling tidak po pularitas Luna bisa terpelihara secara luas. Bahwa berita Luna Maya di infotainmen didominasi kisah kehidupan pribadinya, itu bisa saja mengganggu dia. Masalahnya, mungkin cuma “bahan” itu yang tersedia. Contohnya: membawa anak Ariel dalam acara pemutaran film Sang Pemimpi mestinya sudah “dikalkulasi” Luna. Itu tempat umum dan pasti banyak wartawan. Luna Maya bukan artis yang punya banyak bakat, seperti Ruth Sahanaya, Agnes Monica, atau Krisdayanti yang sering membuat prestasi di banyak bidang yang dia geluti.

Luna ditampilkan di HPN 2009 lantaran urusannya dengan Ariel “Peterpan”. Hampir setahun kemudian ketika meluncurkan kata-kata kasar dan kotor, masih urusan Ariel juga. Luna menyangkal punya hubungan khusus dengan Ariel, menyangkal dia pihak ketiga dalam kisruh rumah tangga vokalis Peterpan tersebut. Infotainmen memuat itu sesuai keterangannya. Ketika dia menggendong anak Ariel dan mengawal orang tua Ariel nonton film Sang Pemimpi, bagi wartawan itu bahan berita bagus. Kontras dengan bantahan Luna sebelum ini.

Kenapa infotainmen sibuk mengurusi rumah tangga artis? Ini pertanyaan teman wartawan yang lain. Jangan salah, setting-nya memang urusan kawin-cerai, tetapi substansi yang mau diungkap infotainmen adalah kemunafik an terjadi di segala bidang, juga di bidang pekerja seni.

Tidak ada yang salah di situ. Yang keliru kalau cara wartawan mendapatkan berita tidak etis, melanggar hukum, dan tidak mengacu pada kode etik jurnalistik. Itu yang selalu dituduhkan orang pada infotainmen. Padahal, urusan itu mudah saja. Perbuatan itu silakan adukan ke organisasinya atau ke Dewan Pers, bahkan juga ke polisi.

Dari peristiwa ini, kedua pihak, Luna Maya dan infotainmen, harus introspeksi dan selalu mawas diri. Jangan sampai lengah, kasus mereka ditunggangi banyak pihak yang mencoba mengail di air keruh. Langkah hukum yang ditempuh PWI baik. Tetapi, akan lebih baik jika kedua pihak merintis jalan penyelesaian damai. Toh, mereka pasti masih akan bertemu. Dipertemukan oleh tugas dan profesi. (*)

*) H. Ilham Bintang ( ilhambintangmail@yahoo.co.id) adalah Sekretaris Dewan Kehormatan PWI, dan artikel ini dikutip dari Tabloid Mingguan Berita Selebriti C&R Nomor 591 terbitan Rabu, 23 - 29 Desember 2009.

Sumber lain: PWI Pusat

PWI NTT Siap Ikut Porwanas 2010

PERSATUAN Wartawan Indonesia (PWI) NTT siap mengirim atlet untuk mengikuti Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) 2010 yang akan digelar di Palembang, Sumatera Selatan, awal Februari 2009. PWI NTT akan mengikuti enam cabang olahraga.

Ketua SIWO PWI NTT, Eklopas Leo, yang ditemui di Kupang, Rabu (23/12/2009), mengatakan, cabang yang diikuti kontingen NTT, yakni catur, bulutangkis, atletik, tenis meja, biliard dan futsal. "Rapat persiapan sudah dilaksanakan dipimpin langsung Ketua PWI NTT. Disepakati Pak Aser Rihi Tugu menjadi ketua kontingen," ujar Eklopas Leo.

Menurut wartawan RRI Kupang ini, kontingen NTT tidak memiliki target medali dalam Porwanas kali ini. Namun, katanya, berdasarkan pengalaman pada Porwanas 2008 lalu, cabang tenis meja, atletik, biliard dan futsal diyakini akan sanggup bersaing. "Tanpa target, atlet-atlet wartawan NTT siap bertanding. Persiapan sudah dilakukan baik secara individu maupun kelompok sejak awal Desember lalu," jelasnya.

Ketua PWI NTT, Dion DB Putra, yang dikonfirmasi di ruang kerjanya, mengaku, sudah membentuk tim kerja untuk mempersiapkan administari pemain, pembiayaan maupun persiapan atlet. "Pendaftaran awal baik cabang maupun nama atlet ke panitia sudah kami lakukan. Saat ini teman-teman sedang mempersiapkan diri baik menyangkut atlet maupun kesiapan dana. Kami mohon dukungan dari seluruh masyarakat NTT," ujarnya.

Menurut Dion, Porwanas adalah salah satu program wartawan olahraga (SIWO PWI) yang merupakan organisasi olahraga fungsional binaan KONI. Selain Porwanas, kejuaraan sarung tinju emas (STE) merupakan program SIWO. (eko)

Pos Kupang edisi Kamis, 24 Desember 2009 halaman 8

Tidak Perlu Dirikan Sekolah Tinggi Koperasi

KUPANG, POS KUPANG.Com -- Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Frans Lebu Raya, menegaskan, pemerintah tidak perlu mendirikan sekolah tinggi khusus yang mengajarkan tentang cara mengelola koperasi yang baik.

"Kemajuan sebuah koperasi sangat tergantung pada kreativitas pengurus, selain memiliki kejujuran dalam mengelola koperasi," kata Gubernur Lebu Raya ketika menyerahkan bantuan modal untuk koperasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTT di Kupang, Senin (30/11/2009).

"Setelah pemerintah bertekad menjadikan NTT sebagai propinsi koperasi, banyak sekali masukan agar Pemerintah Propinsi NTT mendirikan sebuah sekolah tinggi koperasi. Saya pikir tidak perlu ada sekolah khusus koperasi," katanya.


Menurut gubernur, kalau daerah ini membutuhkan sumber daya manusia (SDM) untuk mengelola koperasi, maka bisa dicarikan solusi dengan membuka jurusan koperasi pada salah satu perguruan tinggi di NTT. Sejak lama sejumlah perguruan tinggi di NTT bahkan telah membuka program studi atau jurusan koperasi. "Artinya, SDM yang andal memang diperlukan dan pemerintah mendorong peningkatan SDM di bidang koperasi melalui pelatihan-pelatihan, tetapi tidak harus mendirikan sekolah tinggi khusus koperasi," katanya.

Gubernur menambahkan, saat ini pemerintah NTT sedang mempertimbangkan untuk mengirim anak-anak dari daerah ini untuk mengikuti pendidikan pada sekolah wirausaha. Sekolah wirausaha akan berlangsung selama tiga bulan dan diharapkan setelah selesai mengikuti pendidikan, anak-anak sudah bisa memiliki keterampilan dalam mengelola usaha koperasi atau jenis usaha ekonomi lainnya.

Dia berharap, pada tahun 2010 NTT sudah bisa mengirim beberapa anak NTT untuk mengikuti pendidikan kewirausahan.
Bantuan modal yang diserahkan gubernur senilai Rp 30 juta diterima Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra. Turut hadir dalam acara penyerahan bantuan tersebut, Kepala Biro Keuangan Setda NTT, Niko Hayon, Sekretaris PWI Cabang NTT, Indra Alfian, Ketua Bidang Organisasi, Bernadus Tokan dan Wakil Sekretaris PWI, Zacky W Fagih.

Ketua PWI NTT, Dion DB Putra, mengatakan, dana bantuan ini akan dimanfaatkan untuk kegiatan simpan pinjam bagi anggota PWI NTT yang saat ini berjumlah 106 orang. Bantuan modal bagi koperasi PWI NTT merupakan realisasi janji Gubernur NTT saat menghadiri peringatan Hari Pers Nasional (HPN) dan HUT ke-63 PWI, Sabtu (28/2/2009) malam, di Gedung PWI NTT, Jalan Veteran-Kupang. Ketika itu gubernur mengatakan senang dan bangga karena para wartawan yang tergabung dalam PWI membentuk koperasi. (ant)

Pos Kupang edisi Selasa, 1 Desember 2009 halaman 3

Kepada Siapa Pers Berpihak?

Oleh Agus Sudibyo

Harian The New York Times dan The Washington Post tidak dipersalahkan setelah menerbitkan Pentagon Papers, dokumen amat rahasia tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam.

Padahal, penerbitan dokumen ini membuka aib para petinggi negara yang berbohong kepada publik, tidak jujur, dan manipulatif dalam menjelaskan alasan keterlibatan AS pada Perang Vietnam dan kondisi peperangan itu sendiri.

Juni 1971, Mahkamah Agung AS memutuskan publikasi atas Pentagon Papers sah demi kepentingan umum. Publik berhak mengetahui pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan, berikut skandal-skandal yang terjadi di dalamnya. Usaha pemerintah menjaga kerahasiaan dokumen itu tidak benar-benar demi melindungi keamanan negara, alih-alih lebih menutupi rasa malu pemerintah dan pejabat publik yang telah mengambil keputusan yang salah dan berbohong kepada khalayak.

Berhak tahu

”Kepentingan publik jauh lebih pokok daripada sekadar nama baik pemerintah atau pejabat publik.” Inilah pelajaran dari kasus Pentagon Papers. Pelajaran ini dapat menjadi pijakan membahas maraknya kritik terhadap peran media dalam kontroversi ”cicak melawan buaya”.

Berbagai pihak menuduh liputan media telah kebablasan, terutama dengan menyiarkan rekaman penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sidang-sidang kasus hukum anggota KPK. Bahkan, sempat muncul gagasan melarang penyiaran langsung.

Perspektif kebebasan informasi pertama-tama akan menegaskan, publik berhak mengetahui duduk perkara kriminalisasi anggota KPK, kinerja penegak hukum yang bekerja berdasarkan mandat publik dan menggunakan dana negara, serta detail proses pemberantasan korupsi. Maka, membuka proses persidangan kasus hukum anggota KPK menjadi suatu imperatif. Demikian juga liputan media guna memberikan kesempatan kepada lebih banyak orang mengikuti proses persidangan di pengadilan maupun DPR. Prinsipnya, hak publik atas informasi selalu mencakup hak publik mengikuti pertemuan publik.

Pembatasan akses terhadap proses persidangan pada kasus dengan magnitudo yang besar— seperti kriminalisasi KPK—tetap dimungkinkan dalam kondisi amat mendesak atau darurat. Namun, pembatasan akses mutlak dilakukan melalui uji kepentingan publik guna memastikan pembatasan itu benar-benar mendesak dan tidak merugikan kepentingan publik.

Yang harus dihindari ialah pembatasan akses yang dilakukan hanya untuk menutup skandal, melindungi reputasi lembaga atau pejabat publik sebagaimana terindikasi dalam persidangan. Sekali lagi, kepentingan publik jauh lebih fundamental daripada kepentingan menjaga reputasi lembaga atau pejabat publik.

Fungsi kontrol

Perlu dicermati pula tuduhan berbagai pihak bahwa media telah melakukan pengadilan sendiri melalui publikasinya, menjadi tirani opini, dan penyesat opini publik dalam liputan kasus ”cicak melawan buaya”. Berbagai tuduhan ini sering tidak merujuk konteks persoalan dan aspek pemberitaan yang jelas, alih-alih mencerminkan keawaman dalam memandang fungsi dan kerja media.

Pertama, perlu dijelaskan bahwa kebenaran dalam jurnalistik bukanlah kebenaran yang sim-salabim-abrakadabra, terwujud seketika dalam suatu liputan media. Meminjam penjelasan Bill Kovach, wartawan AS dan bekas kepala biro The New York Times di Washington, kebenaran jurnalistik ibarat stalaktit dalam goa, dibangun setetes demi setetes, tahap demi tahap. Pers mengikhtiarkan kebenaran dari satu fakta ke fakta lain, dari satu indikasi ke indikasi lebih kuat. Kebenaran berkembang dari satu berita ke berita berikut, dari satu debat ke debat lain, pada media berbeda-beda. Pers berfungsi menyajikan fakta, indikasi, kesaksian, bukti-bukti, menghadirkan forum publik untuk membahasnya, lalu memverifikasi dan menginvestigasi secara mendalam.

Dalam konteks ini, sering tidak dibedakan antara fungsi kontrol media dan pengadilan oleh pers. Tuduhan bahwa media telah melakukan pengadilan sendiri sering bertolak dari pemahaman yang salah tentang kebenaran jurnalistik. Seakan-akan suatu kasus harus terungkap tuntas dulu kebenarannya, legal secara hukum, baru boleh diberitakan. Jika suatu kasus hanya boleh diberitakan saat kebenaran telah terang benderang, fungsi pers justru tidak relevan lagi.

Kedua, dalam masyarakat demokratis, loyalitas media adalah monoloyalitas terhadap kepentingan publik. Maka, sudah pada tempatnya jika media menyuarakan opini yang berkembang di masyarakat.

Tak ada yang salah bila media mencerminkan, mengekspresikan kegelisahan dan kejengkelan publik terhadap pemerintah. Kita tak boleh terpenjara oleh kosmologi berpikir Soehartorian ketika pers merupakan organ kekuasaan dan penggalangan opini publik adalah sebentuk subversi.

Ketiga, jika pers dianggap mengaktualkan tirani opini dan penyesatan dalam kasus kriminalisasi KPK, kesimpulan serupa juga harus diberlakukan bagi peran pers pada momentum reformasi 1998 yang jauh lebih keras dan militan dalam menekan pemerintah dan memperjuangkan aspirasi publik.

Menariknya, para pengecam media dalam kasus kriminalisasi KPK notabene adalah figur-figur yang dulu juga turut menggunakan media sebagai instrumen menumbangkan rezim Orde Baru. Haruskah kita bersikap mendua menatap realitas yang lebih kurang sama?

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta.

Sumber: Kompas Cetak 21 November 2009 halaman 7

Presiden Isyaratkan Penyelesaian di Luar Pengadilan

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan, penyelesaian kasus hukum atas Wakil Ketua (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah di luar pengadilan. Penanganan kasus itu juga akan disertai tindakan koreksi untuk mengakhiri gesekan antara KPK dan kepolisian serta kejaksaan.

Presiden Yudhoyono mengungkapkan hal itu dalam pertemuan silaturahim dengan para pemimpin media massa di Istana Negara, Jakarta, Minggu (22/11) malam.

”Saya pikirkan out of court settlement yang adil disertai koreksi-koreksi dan kemudian we could stop everything at this point of time dan harapan saya ke depan lebih bagus, hentikan disharmoni di antara lembaga-lembaga hukum itu,” ujar Presiden Yudhoyono menanggapi pertanyaan tentang keputusan Presiden mengenai kasus Bibit dan Chandra.

Pengumuman tentang sikap Presiden terkait rekomendasi Tim Delapan akan dilakukan secara resmi, Senin petang ini. Sejumlah organisasi masyarakat dikabarkan akan mengadakan acara nonton bareng pengumuman itu melalui televisi di Istora Senayan, Jakarta.

Mengenai kasus Bank Century, Presiden Yudhoyono ingin duduk perkara kasus penggelontoran dana talangan pemerintah ke bank itu terbuka sehingga tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat kepada pemerintah dan Presiden. Jika hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Bank Century menunjukkan adanya kejahatan, hal itu juga mesti dipertanggungjawabkan.

Presiden Yudhoyono juga menegaskan, solusi yang tidak mengalahkan salah satu pihak bukan berarti harus menyenangkan bagi KPK atau menyenangkan bagi kepolisian. Konsep win-win solution dalam persoalan ini dikatakan Presiden sebagai penyelesaian yang tepat, yang tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat, sekaligus memungkinkan pemerintah, kepolisian, kejaksaan, dan KPK segera kembali bisa fokus pada pelaksanaan tugas masing-masing.

Presiden menegaskan, penanganan kasus hukum Bibit dan Chandra perlu ditempatkan dalam kerangka reformasi hukum secara keseluruhan. ”Reformasi bidang hukum, menurut saya, yang paling tertinggal dibandingkan dengan reformasi dalam bidang-bidang yang lain. Tentu ini tugas saya, tanggung jawab saya sebagai kepala negara. Tetapi, saya minta dukungan semua pihak agar reformasi bidang hukum ini ke depan lebih efektif,” ujarnya.

Presiden juga kembali menekankan, tidak ada niat Presiden untuk melemahkan KPK. Terlebih lagi KPK merupakan tulang punggung pemberantasan korupsi, sementara pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda utama pemerintah.

Sebelumnya, Presiden Yudhoyono menjelaskan, dua pekan terakhir ia menahan diri untuk tidak memberikan pernyataan terkait dua isu penegakan hukum yang saat ini menyedot perhatian masyarakat, yakni kasus Bibit-Chandra dan skandal Bank Century.

Menurut Presiden, ia memilih tidak memberikan pernyataan mengenai kasus hukum Bibit-Chandra untuk memberi ruang bagi Tim Delapan atau Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Bibit-Chandra merampungkan tugas mereka. ”Jangan sampai statement Presiden menambah komplikasi. Saya ingin semua dibikin terang,” ujar Presiden.

Selasa pekan lalu, tim ini menyerahkan laporan akhir dan rekomendasi final kepada Presiden. Presiden kemudian memberikan waktu kepada Kepala Polri dan Jaksa Agung untuk mengkaji laporan tersebut. Polri dan Kejaksaan Agung menyerahkan hasil kajian atas rekomendasi tersebut kepada Presiden, Sabtu lalu.

Hasil kajian ini menjadi salah satu pertimbangan Presiden, tetapi Presiden juga meminta masukan pimpinan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung terkait persoalan ini.

Pada kesempatan silaturahim tersebut, wartawan senior Rosihan Anwar menyampaikan harapan agar kecenderungan bangsa ini untuk tersandera pada mentalitas legal formal dapat diakhiri. Sementara Pemimpin Redaksi Harian Kompas Rikard Bagun berpendapat, rasa keadilan masyarakat kerap tak terpenuhi ketika semua persoalan dibawa ke jalur hukum karena kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum belum terbangun kuat.

Kasus Bank Century

Terkait hasil audit investigatif BPK mengenai kasus Bank Century yang hari ini akan dilaporkan kepada DPR, Presiden mengatakan, ”Kita akan lihat sama-sama seperti apa. Bagi saya, kalau itu ada yang mesti diklarifikasi, dijelaskan, dan dipertanggungjawabkan, yang bertanggung jawab harus mempertanggungjawabkan dan menjelaskan,” ujarnya.

Presiden menyebutkan, dalam penanganan kasus Bank Century terdapat wilayah kewenangan Bank Indonesia, kewenangan pemerintah, khususnya Departemen Keuangan, dan kewenangan bank itu sendiri. Presiden berharap persoalan itu dibedah untuk memastikan apakah ada kejahatan di dalamnya.

”Saya juga ingin tahu aliran dana talangan itu ke mana saja. Buka semua, apa adanya. Sekali lagi untuk mengetahui proper atau tidak. Apa ada yang menyimpang atau semua sesuai dengan yang ditentukan. Karena saya mendengar jangan-jangan ini ada kaitan dengan dana pemilu SBY, baik pada pemilu legislatif maupun pemilihan presiden yang lain,” ujarnya.

Presiden mengatakan, merupakan sesuatu yang tercela jika seorang presiden mendapatkan dana, apalagi meminta dana atau berharap ada dana dari sumber- sumber yang tidak semestinya. ”Dengan demikian, itu cacat bagi saya kalau itu sebagaimana yang beredar sekarang ini dikait-kaitkan. Saya ingin dibuka seluruhnya. Silakan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), silakan bank itu sendiri lihat bukunya, lihat rekeningnya, lihat semuanya,” ujarnya.

Presiden Yudhoyono mengatakan, jika DPR bermaksud menggunakan hak angket, ia akan menunggu hasil audit investigatif BPK sebelum menentukan sikap.

”Kalau DPR ingin menggunakan hak angket, saya pun bisa memberikan dukungan penuh kalau itu adalah solusi terbaik untuk membikin terangnya sesuatu yang sekarang beredar di mana-mana. Ini bagian dari sejarah kita, pembelajaran yang penting,” ujar Presiden.

Rencananya, pimpinan BPK akan menyerahkan laporan hasil pemeriksaan investigasi atas kasus Bank Century kepada pimpinan DPR, Senin pagi ini.

Kemarin malam, sejumlah pengusul hak angket dari lintas fraksi berkumpul di Hotel Mulia untuk membahas berbagai kemungkinan tindak lanjut pengusulan hak angket pascadiserahkannya laporan BPK ke DPR. Usul angket ini dijadwalkan akan diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR, 1 Desember 2009.

Sementara itu, Indonesian Corruption Watch (ICW) berpandangan, hasil audit investigasi BPK tak akan berarti banyak bagi pengungkapan dugaan korupsi apabila di dalamnya tidak menunjukkan ke mana saja dana itu mengalir dan siapa yang diuntungkan. ”Kalau tidak menunjukkan aliran dana, audit BPK itu tidak bisa dijadikan bukti hukum karena dalam kasus korupsi itu harus diungkap siapa yang diuntungkan,” papar Koordinator Badan Pekerja ICW Danang Widoyoko. (SUT/HAR/DAY)

Sumber: Kompas

Media Massa dan Tanggung jawab Kehidupan

Oleh Pius Rengka

Tema tulisan kali ini menyimpan sedikitnya tiga pokok soal utama. Pertama, perihal fungsi media massa di dalam interaksi manusia. Kedua, terkait balancing (keberimbangan). Ketiga, terkait tanggung jawab media massa terhadap pengembangan kehidupan manusia. Mengingat tiga hal penting itu, saya mencatat beberapa hal berikut ini.

Pertama, media massa adalah perihal konteks sosial yang fenomenal. Berbicara tentang kehidupan riil yang sarat dengan dinamika sosial dari mana media massa itu hidup (berinteraksi). Pada konteks itu, media massa merupakan cermin dari realitas sosial masyarakatnya. Perspektif sosiolog Prof. Dr. Charles Horton Cooly, media massa adalah cermin masyarakat itu sendiri (looking glass self).

Kedua, realitas empiris para jurnalis. Banyak jurnalis belum sanggup menghormati pekerjaannya, entah karena cara hidupnya, cara pikirnya dan cara tindak lakunya dalam berinteraksi dengan 'orang lain' (sengaja diberi tanda petik). Pada konteks itu, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau patut dibicarakan tentang kualitas manusia yang diharapkan untuk pekerjaan mulia dan besar sebagai jurnalis. Jurnalis pasti selalu berurusan dengan 'kata' dan 'gambar' serta 'suara'. Maka jurnalis tak boleh main-main dengan kata, gambar dan suara. Jurnalis juga tak boleh meremehkan profesinya dengan sikap serba amatiran.

Sikap amatiran adalah perilaku pelaku media yang baru akan menulis atau menyiarkan kisah atau peristiwa manakala diberi duit oleh para narasumber atau menulis agar yang ditulis memberi duit. Sikap wartawan haruslah wajar. Artinya sopan, punya etiket dan etika, bekerja dengan persiapan mantap. Jurnalis juga harus sanggup menanamkan kepercayaan kepada pihak lain. Jurnalis adalah actor credible.

Jurnalis wajib memuliakan pekerjaannya karena ia pasti selalu mempertaruhkan kebenaran fakta. Fakta, memang, pada dirinya sendiri membenarkan dirinya tanpa dibela. Tetapi, demi pembelaan jurnalis terhadap kebenaran fakta, jurnalis wajib memiliki sejumlah keutamaan mulia, yaitu pintar, cerdas, jujur, adil, obyektif dan tentu saja rendah hati. Untuk sampai ke level itu, jurnalis harus selalu berhubungan dengan banyak bacaan, baik berupa buku (textbook atau literatur), jurnal-jurnal, hasil-hasil riset yang berkualitas lokal, nasional maupun internasional.


Implikasinya, jurnalis wajib tahu sedikitnya satu bahasa asing (selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah), meskipun cuma pasif. Jurnalis disarankan belajar banyak hal. Itulah sebabnya selalu dikatakan, untuk menjadi jurnalis adalah upaya untuk menjadi manusia sulit, karena jurnalis merupakan proses sejarah untuk menjadi manusia multidimensional dalam pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Seorang jurnalis adalah juga seorang budayawan. Seorang jurnalis adalah juga seorang politisi, aktor pro demokrasi. Seorang jurnalis adalah juga 'ahli' filsafat.

Maka jurnalis adalah spesialis untuk urusan general, atau generalis yang spesial. Terus terang, saya sangat sulit membayangkan seseorang menyebut diri jurnalis, tetapi tidak memiliki ilmu pengetahuan yang cukup. Sulit saya membayangkan jurnalis yang tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahkan saya sulit membayangkan orang bisa menjadi jurnalis hanya dengan modal cengar cengir dengan bahasa tulisan atau laporan yang tanggung. Janganlah pekerjaan menjadi wartawan semacam perjalanan nasib saja. Tulisan atau laporannya hidup, berwarna, berlagu dan melodis. Hal itu sangat banyak bergantung pada pilihan kata yang dipakainya. Herbert Block, jurnalis agung atau bapak para jurnalis dunia mengatakan: Make me see (buatlah supaya saya bisa melihat).

Ketiga, media massa sebagai instrument politik karena hasil karya jurnalis senantiasa berurusan dengan proyek peradaban manusia itu sendiri. Peradaban masyarakat dan peradaban para pekerja media akan selalu menjadi opsi utamanya (optio fundamentalis).

Keempat, patut diketahui sejak dini bahwa kita masing-masing (di arena mana pun Anda berada) memiliki kecenderungan berjiwa kerdil. Kita masing-masing diberati aneka kecenderungan picik, tetapi kita dalam sebuah lembaga, apalagi dalam lembaga media massa, harus sanggup mengatasi segala kekerdilan dan kepicikan itu. Keseluruhan pelaku dalam media massa hendaknya berjiwa lebih mulia dibanding yang lain. Jurnalis bisa saja di lapangan dan menulis dengan cara bekerja sendiri-sendiri, tetapi harus segera disadari, jurnalis datang dari kebersamaan, dari komitmen bersama, dari mobilisasi kelebihan-kelebihan masing-masing individu di dalam organisasi media massa.

Kesan
Ada kesan kuat, banyak pihak agak merasa 'gerah' dengan perilaku para jurnalis, apalagi substansi berita media massa di wilayah ini, terutama tulisan atau siaran yang terkait dengan ranah politik, birokrasi dan hal yang bersifat privasi. Ada kesan, ada jurnalis yang menulis tanpa sedikit pun kesanggupan membedakan mana yang politis dan mana yang privasi, mana pula yang bersifat mendorong kinerja birokrasi.

Kesan itu serentak hadir di benak saya ketika pihak-pihak terkait kerap berceritera tentang perilaku jurnalis. Antara lain gemar minta ongkos atau bahkan ada di antaranya yang bernada agak 'memeras'. Tetapi mengapa hal itu terjadi?
Menurut saya, hal itu mungkin saja terjadi, karena peringkat mutu jurnalis itu sendiri dan lembaganya. Untuk memahami lebih jauh tentang para jurnalis, sebaiknya kita perlu mencermati hal-hal berikut ini.

Karya jurnalistik itu berupa tulisan, suara, gambar atau karikatur, vignyet. Hasil karya jurnalistik akan sangat banyak ditentukan oleh kapasitas/kemampuan para jurnalis itu sendiri. Kapasitas jurnalis sangat ditentukan oleh tingkat pendidikannya, kesanggupan membaca riset-riset akademis, keluasan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Makin rendah pengetahuan jurnalis, biasanya makin buruk pula caranya memberitakan satu hal. Sebaliknya, makin banyak dan luasnya pengetahuan jurnalis, maka nilai tulisannya pun makin punya perspektif dan memenuhi alur konteks.

Dalam dunia tulis-menulis, misalnya, seorang wartawan wajib tahu secara mendasar bahasa, logika dan kelengkapan penulisan. Untuk urusan berbahasa, patut diperhitungkan hal-hal berikut ini:

Bahasa. Bahasa yang dipakai berfungsi mendidik (fungsi edukasi) publik agar pembaca/pendengar tahu bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk itu, saya sarankan agar para jurnalis membiasakan diri membaca kamus (KUBI) dan media-media lain yang bagus. Majalah Tempo adalah salah satu media yang disarankan untuk dibaca.

Kalimat. Kalimat haruslah efektif. Artinya, kalimat berita atau kisah itu pendek atau lekas. Pengandaiannya, pembaca atau pendengar adalah orang sibuk.

Kosa kata. Pilihan kata deskriptif. Wartawan tidak perlu mengopinikan fakta. Sekali lagi, deskripsi. Jangan-jangan menulis tokoh yang lagi merengut, ditulis wartawan dengan kata 'marah'. Padahal tokoh itu sedang berpikir keras tentang suatu hal yang amat penting, karena itu dia merenung sangat serius atau karena konstruksi wajahnya memang sudah demikian. Mau bilang apa. Wartawan menulis 'sumber tak mau ditemui', padahal faktanya 'sumber tersebut sakit atau lagi sungguh sibuk'. Kosa kata yang dipakai ikut menentukan situasi psikologis dan bahkan kualitas jurnalis itu sendiri.

Data. Tulisan yang baik adalah tulisan dengan data akurat. Prinsip akurasi itu sangat penting untuk semua urusan. Misalnya, tulis nama orang, keterangan tempat, waktu dan gelar, dan lain-lain harus tepat. Jangan menulis menurut dugaan wartawan. Yang boleh menduga adalah pembaca atau pendengar. Pius Rengka ditulis Paus Rangka atau Rangka Paus. Jangan pula menulis berdasarkan hasutan orang lain, karena wartawan serupa itu tidak lebih dari babu hasutan yang pada gilirannya akan mudah tidak diperhitungkan.

Struktur tulisan. Tulisan yang baik itu indah. Persis sama dengan membayangkan tubuh seorang penari balet yang tubuhnya molek. Strukturnya jelas dan proporsional. Janganlah menulis berita atau ceritera dengan struktur daging bertumpuk, seperti seorang tambun yang suloit bergerak lekas. Terkait struktur tadi, tulisan harus logis, koherensi jelas. Transisinya pun mantap.

Kelengkapan. Kelengkapan ini tidak hanya bahasa yang lengkap, tetapi juga data atau informasi. Begini nasihat para jurnalis kawakan: Prinsip 5W plus 1H itu membuat pembaca atau pendengar merasa 'terlibat' di dalam peristiwa. Itulah sebabnya Herbert Block mengatakan: Make me see. Dengan kata lain, orang buta pun bisa merasakan atau melihat peristiwanya.

Panjang tulisan. Tulisan yang disiarkan harus diandaikan dibaca atau didengar oleh orang-orang sibuk. Jika wartawannya lebih banyak mengantuk, janganlah pula diandaikan pembaca ikut mengantuk. Jadi, tulisan harus pantas dan pas. Sekali lagi, tulisan jurnalis adalah peradaban jurnalis itu.

Akurasi. Ini hukum tertinggi dalam dunia penulisan berita. Rumusannya begini: Hukum pertama adalah akurasi, hukum kedua akurasi, hukum ketiga akurasi. Karena itulah, jurnalis adalah orang yang dilatih untuk bekerja dengan tingkat presisi yang sangat tinggi. Ia makhluk presisif.

Ekonomi kata. Prinsip ringkas, tepat dan jelas. Karena itu, secara teknis penggunaan tanda baca menjadi sangat penting untuk mengubah fungsi kata. Misalnya, kata 'bahwa' bisa diganti hanya dengan penempatan tanda baca 'koma' setelah kata yang ditulis sebelumnya.

Nah, jika semua syarat di atas terpenuhi, maka wartawan berpikir tentang balancing. Bukankah pekerjaan wartawan adalah pekerjaan untuk mengubah dan membentuk peradaban?

Akibatnya, para pembaca selalu akan merasa nyaman dan percaya bahwa karya jurnalistik itu menjadi sumber informasi, sumber pembentuk perilaku atau sumber data peradaban. Makin tinggi peradaban wartawan makin tinggi pula peradaban masyarakat tempat dari mana dan di mana wartawan itu bertugas.

Para pembaca tak harus gelisah dengan tulisan atau siaran berita dari mana pun itu berasal karena ditulis oleh jurnalis yang terandalkan, credible dan berwawasan luas.
Menurut saya, pekerjaan wartawan itu disegani orang bukan karena jurnalis itu bekerja di lembaga yang kaya dan besar kekuasaannya, melainkan karena kesetiaannya kepada hati nurani yang jernih.

Mirabeau yang hidup pada rejim revolusi Prancis berseru begini: "Audax, audax, audax". Artinya, hati nurani, hati nurani dan hati nurani. Hati nurani yang baik tumbuh dalam semai tradisi yang dibangun di atas komitmen kuat agar seluruh karya para jurnalis berwatak menyuarakan, menapaskan, memperjuangkan suara hati, nilai-nilai kemanusiaan, segala yang mulia, yang adil, yang baik untuk mengangkat dan melindungi perikehidupan manusia. Maka, pola komunikasi para jurnalis dengan pihak-pihak lain berwatak human compassion. *

Pos Kupang 5 November 2009 halaman 4

Pers yang Memulai dan Mengakhiri

Oleh Alfred Dama

Pengantar
PADA Rabu dan Kamis (14-15/2009), sebanyak 35 wartawan media cetak dan elektronik mengikuti Lokakarya Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian di Hotel Kristal Kupang. Para wartawan bukan saja dari Propinsi Nusa Tenggara Timur, tetapi ikut pula sebanyak enam wartawan media cetak dan elektronik asal Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).

Para pembicara dalam seminar yang digelar oleh Departemen Luar Negeri RI dan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) ini adalah Bambang Harymurti dari Dewan Pers, Theo Satrio Nugroho dari Departemen Luar Negeri, Dr. Frans Rengka dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dan Atmakusumah Astraatmadja dari LPDS serta moderator Priyambodo dari LPDS.

Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian (1)

PADA tahun 1990-an, dua negara di Eropa yaitu Yunani dan Turki nyaris terlibat perang terbuka dengan melibatkan kekuatan bersenjata dari unsur Angtaran Laut dan Angkatan Udara. Kedua angkatan bersenjata dengan persenjataan modern, pesawat tempur canggih, kapal perang berpeluru kendali serta satuan-satuan tempur lainnya sudah berhadap-hadapan di periaran pulau kecil di wilayah dua negara itu.

Pulau itu oleh Yunani dikenal dengan nama Imia dan oleh masyarakat Turki dikenal dengan nama Kardak. Sengketa dua negara itu adalah kepemilikan pulau yang tidak berpenghuni tersebut yang memiliki luas 40 hektar.

Peristiwa itu bermula pada Desember 1995, ketika sebuah kapal Figen Akat yang berbendera Turki terdampar di pulau tersebut, sebua kapal tunda asal Yunani bermaksud menarik kapal tersebut, namun ditolak oleh kapten kapal Figen Akat.

Masalahnya, kapten kapal Figen Akat merasa kapal yang terdampar itu masih berada di wilayah Turki sehingga menjadi kewenangan Turki untuk menarik dan memandu kapal tersebut. Sebaliknya, kapal tunda Yunani merasa kapal itu sudah berada dalam wilayah teritori Yunani.

Anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti, pada Lokakarya Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian di Ruang Mahkota-Hotel Kristal Kupang, Rabu (14/10/2009), mengisahkan, pada tanggal 26 Januari 1996, Walikota Kalymnos dari Yunani memasang bendera Yunani di pulau tersebut dan dimuat berbagai koran sebagai reaksi sebuah artikel di majalah mingguan Gramma yang menyinggung pulau tersebut milik Turki.

Sebagai reaksi atas pemasangan bendera tersebut, awak TV asal Turki terbang dengan menggunakan helikopter dan menurunkan Bendera Yunani dan memasang Bendera Turki, acara ini pun disiarkan langsung oleh Televisi Turki dan tertangkap televisi Yunani.

Akibat ulah wartawan ini, pasukan elite dua negara pun terlibat dan menyusup silih berganti ke pulau tersebut untuk mengganti bendera. Pemberitaan di media masing-masing negara terus dengan warna-warna propaganda.

Hal inilah yang memperuncing amarah pemerintah dan rakyat dua negara tersebut. Selanjutnya armada perang pun disiapkan untuk menguasai pulau tersebut.

Selanjutnya, pejabat Amerika Serikat di bawah pimpinan Richard Holbrook bekerja keras untuk mendinginkan suasana panas yang nyaris membawa dua negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau North Atlantic Treaty Organisation (NATO) terlibat perang.

Penyebab dua negara ini ingin berperang adalah sikap wartawan pada masing-masing negara yang terus memberitakan tentang pulau tersebut. Wartawan Turki terus membuat panas pemerintah dengan rakyatnya dengan menyebutkan pulau tersebut merupakan kedaulatan Turki yang akan direbut Yunani dan sebaliknya para wartawan di Yunani juga terus mengobarkan semangat nasionalisme tentang hak Yunani atas pulau tersebut.

Di masing-masing negara, aksi masyarakat pun dilakukan sebagai bentuk sikap nasionalisme dan mengarah pada perang antara dua negara.

Pasukan perang dua negara yang siap berperang tersebut akhirnya membuat wartawan di dua negara tersebut sama-sama menyadari bahwa perang bukanlah jalan yang baik untuk menyelesaikan masalah. Perang hanya akan membawa kehancuran dan korban bagi masing-masing pihak ditambah dengan penderitaan yang akan tanggung masyarakat masing- masing negara.

Pengurus organisasi wartawan dari dua negara tersebut akhirnya bertemu di London-Inggris untuk membahas masalah ini. Dalam pembahasan itu disepakati bahwa masing-masing jurnalis dari dua negara bersama-sama meredam situasi memanas dari dua pihak. Langkah wartawan dua negara melalui berita-berita yang menyejukkan ini berdamapak positif, dua negara yang siap perang akhir akhirnya memilih menyelesaikan sengketa ini dengan cara berunding sehingga perang tidak jadi setelah masing-masing pihak menarik kembali satuan-satuan perang dari wilayah sengketa itu.

Menurut Bambang Harymurti, cerita tersebut merupakan bentuk peran wartawan dalam membuat situasi menjadi lebih baik atau lebih rusak. "Ini adalah contoh pilihan wartawan dalam meliput konflik, menjadi bagian dari konflik atau menjadi jembatan komunikasi dan saling pengertian semua pihak yang terlibat konflik," jelasnya.

Dalam suatu konflik, peran wartawan dalam pemberitaan secara sengaja atau tidak sengaja atau sadar maupun tidak sadar memiliki pengaruh yang besar terhadap publik. Pemberitaan yang provokatif akan memancing amarah yang sedang berkonflik dan sebakinya. Seringkali pemberitaan wartawan menjadi pemicu sebuah peristiwa besar yang sebelumnya tidak disadari oleh wartawan. Ironisnya ada wartawan yang sengaja menciptakan kondisi itu. Profesi wartawan mestinya dipahami benar oleh para jurnalis sehingga dalam pemberitaan tetap mengambil langka bijak dalam membuat berita.

Sikap wartawan yang profesional juga diperlukan. Alasan nasionalisme wartawan tidak menjadi penghambat untuk memberitakan hal buruk yang dilakukan pejabat negara atau aparat negara.

Bambang mencotohkan, ia pernah dipanggil oleh Mabes TNI karena pemberitaan di medianya yang membuat tentang penembakan beberapa anak-anak oleh aparat TNI di Aceh. TNI saat itu berkeras bahwa orang-orang yang terbunuh adalah anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sementara pemberitaan di medianya yang terbunuh adalah anak-anak Aceh yang sedang memancing di empang (kolam) ikan. Padahal TNI sudah merilis berita bahwa penembakan dilakukan oleh TNI.
Kasus itu menjadi bahwa penyelidikan oleh TNI dan hasilnya adalah anak-anak itu adalah pemuda anggota GAM. Namun setelah diteliti oleh wartawannya ke desa lokasi penembakan tersebut diketahui para korban hanyalah anak-anak.

"Saya ditanya, kenapa beritanya begitu, saya bilang yang menjadi korban juga anak-anak Indonesia," jelasnya.

Jawaban tersebut pun diterima oleh pihak TNI karena tentunya TNI tidak ingin mengakui anak-anak tersebut adalah musuh. Sebab, Aceh juga bagian dari Indonesia. Apa yang disampaikan oleh Bambang tersebut ingin mengajak para peserta lokakarya untuk tetap mengambil sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap salah. Wartawan dalam posisi yang nasionalis tetap harus menjalankan fungsi kontrol terhadap kebijakan publik. (bersambung)

Pos Kupang 2 November 2009 halaman 1

Kisah Anak Pelacur dan Kelembutan Jurnalisme

Oleh Alfred Dama

SEORANG wartawan dalam pekerjaannya selalu berupaya agar berita yang dibuatnya menarik perhatian pembaca. Kondisi ini juga tidak terlepas dari tuntutan pemasaran dari manajemen media tersebut. Namun sikap kurang profesional wartawan terkadang melahirkan polemik dan diskusi mengenai berita tersebut.

Seperti halnya berita tentang kisah seseorang yang mencari ibunya dan menemukan makam ibunya setelah ia berusia 28 tahun. Selama hidupnya, wanita ini tidak pernah mengenal ibu kandungnya.

Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian (2)

Kisah ini dimuat pada sebuah harian terbitan Surabaya tanggal 12 Juni 2009. Berita itu menggambarkan seorang perempuan asal Desa Sumbermaron, Kalipere, Malang, yang berhasil menemukan makam ibunya setelah ia berpisah dari sang ibu.
Perpisahan dengan sang ibu terjadi karena wanita yang bernama Kesih ini dibawa ke Belanda dan menjadi warga negeri kincir angin tersebut.

Menjadi persoalan adalah wanita yang bernama lengkap Kesih van den Berg van de Jong dilaporkan sebagai anak pelacur. Padahal posisi sebagai anak pelacur merupakan hal privasi dalam kehidupan pribadinya.


Atmakusmah Astraatmadja dari Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) mengutip tulisan yang dimuat media tersebut. "Kesih adalah hasil hubungan antara Tumi (ibu Kesih) dengan lelaki hidung belang tatkala Tumi masih menjadi PSK (pekerja seks komersil) di kawasan lokalisasi Kremil, Surabaya."

Laporan harian tersebut berjudul, Pisah 28 Tahun, Anak PSK Temui Ibunya dan Kisah Anak PSK Bertemu Pusara Ibunya. Menurut Atmakusumah, laporan itu memperlihatkan antusiasme untuk menonjolkan posisi ibu Kesih sebagai seorang pelacur.
Pemberitaan media edisi 19, 20 dan 21 Juni 2009 ini pun mengundang polemik dan diskusi. Pewarta media ini dianggap tidak memiliki sensitivitas atau sentuhan kesantunan dalam pemberitaan.

Menonjolkan sikap anak pelacur juga menunjukkan wartawan belum bekerja sebagai seorang wartawan yang baik. Wartawan juga tidak menghargai orangtua angkat Kesih atau suami Kesih yang mungkin saja sangat terpukul dengan stempel yang diberikan wartawan tersebut.

"Harusnya berita itu seizin yang bersangkutan, suami atau anaknya. Dan, tidak boleh ditulis dalam berita," jelasnya.
Mengutip Prof. Dr.Janet E.Steela dari Associate Profesor pada School of Media and Pulic Affair-George Washington University di Wasington Amerika Serikat dan Arnold Zeitlin, mantan wartawan Associated Press, Atmakusumah mempertanyakan siapa sumber informasi ini.

Dalam konteks berita, narasumber amat penting untuk memastikan akurasi dan untuk menguji apakah informasi itu pantas dipublikasikan. Akan tetapi, siapa pun nara sumbernya, ini adalah masalah privat yang tidak patut dipublikasikan dengan mengungkapkan informasi latar belakang subjek berita yang demikian rinci.

Atmakusumah juga menyampaikan, Dr.Yasuo Hanazaki di Tokyo, pengamat media pers dan politik Asia serta mantan wartawan harian Shimbun tidak keberatan apabila fakta ibu Kesih seorang pelacur dan ayahnya seorang pria hidung belang diungkapkan pada publik, namun fakta tersebut harus memiliki nilai berita, publikasi itu harus mendapat persetujuan Kesih dan keluarganya dan fakta itu sebaiknya diuraikan dengan gaya penulisan yang santun oleh wartawan yang memiliki kepekaan terhadap perasaan subjek beritanya.

Hanazaki juga keberatan dengan judul berita Pisah 28 Tahun, Anak PSK Temui Ibunya dan Kisah PSK Bertemu Pusara Ibunya. Menurut pendapat Hanazaki, judul sebaiknya Pisah 28 Tahun, Anak Adopsi Temu Ibunya. Menurut, Hanazaki, penulisan berita tersebut merupakan masalah kesantunan dan kelembutan dalam jurnalisme.

Atmakusamah menjelaskan, pemberitaan yang dibuat harus melihat berbagai dimensi kehidupan seperti halnya Kesih. Sebab, julukan sebagai anak pelacur akan membawa dampak psikologis terhada Kesih dan keluarganya. Bila wartawan dan media tersebut lebih bijak, maka judul harus lebih bijak tanpa mengurangi fakta dalam berita tersebut.


Ia menjelaskan, berbagai berita yang dibuat wartawan juga kerap menginformasikan secara tidak lengkap dan bias yang dipandang melanggar etika jurnalistik, karena informasi yang disampaikan tidak lengkap atau tidak lebih dari satu sisi sehingga informasi yang disajikan parsial dan bias.

Ia mencontohkan pemberitaan tentang milisi Timor Timur, yang katanya diguyur dengan bensin dan dibakar hidup-hidup. Bila berita ini benar maka akan berimplikasi luas terhadap pasukan PBB di Timor Timur. Bahkan, pasukan PBB asal Australia tersebut bisa ditarik ke negaranya, namun kebenaran berita itu tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam berita itu, disebutkan seorang anggota Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) Mahadomi bernama Clementino dibakar hidup- hidup hingga mati. Berita sepihak ini dimuat oleh berbagai surat kabar dan televisi di Indonesia tanpa konfirmasi dari pihak yang dituduh membunuh tersebut. Namun berita ini menjadi sumber yang tidak bisa dipercaya karena hanya membuat satu sumber saja.

Dalam contoh kasus ini, wartawan harus jeli melihat isu yang diangkat dan sepatutnya melakukan upaya konfirmasi dengan pihak-pihak yang disebutkan dalam berita.

"Siapa pun dia yang namanya disebutkan dalam berita harus mendapat atau dikonfirmasi terlebih dahulu, sehingga berita menjadi lengkap dan akurat," jelasnya.

KEJ
Menurut Atmakusumah, di antara etika jurnalistik dengan penafsiran yang baku termasuk empat kodek etik memiliki sanksi moral yang bersifat absolut. Yaitu, bahwa wartawan harus serta merta meninggalkan profesi jurnalistik untuk selamanya apabila melanggar salah satu kode etik.

1) Membuat berita dengan informasi yang sejak semula diketahui bohong, tetapi dipublikasikan seolah-olah mengandung kebenaran. 2) Menerima suap yang menyebabkan publikasi atau sebaliknya tidak mempublikasikan suatu informasi, 3) Melakukan plagiarisme dengan mengutip karya jurnalistik orang lain yang diakuinya sebagai karyanya sendiri, dan 4) Mengungkapkan identitas narasumber anonim, konfidensial atau rahasia yang menyebabkan narasumber yang dijanjikan akan dirasakan itu serta anggota keluarganya mengalami ancaman jiwa.

Ada pula kode etik yang bisa diabaikan khusus pada wartawan yang melakukan liputan investigatif. Di antaranya etika jurnalistik melarang wartawan menyamar dalam peliputan berita. Seorang wartawan harus memperkenalkan diri saat berbincang atau melakukan tugas, bahkan tanda pengenal harus terlihat jelas. Wartawan juga dilarang memotret subjek berita dari jarak jauh tanpa diketahui oleh subjek berita. Seorang wartawan yang baik adalah memberitahukan media asalnya sebelum memotret atau setelah memotret. Wartawan juga dilarang mempublikasikan berita hasil menguping.

Kalaupun informasi itu dirasa penting, maka wartawan yang bersangkutan harus memberitahukan atau meminta izin kepada subjek berita untuk proses pemberitaan tentu dengan seizin narasumber tersebut barulah berita tersebut bisa dimuat.

Wartawan juga tidak diperkenankan menguntit subjek berita tanpa ijin dan menunggui subjek berita di muka rmah atau di depan kantornya untuk melakukan peliputan wawancara dimana subjek berita tersebut sudah menyatakan keberatan.

Wartawan juga dilarang melakukan wawancara dengan nada keras atau memaksa nara sumber, baik tatap muka langsung atau melalui telepon. Wartawan juga tidak diperkenankan mengutip dokumen untuk sumber laporan jurnalistik serta tidak diperkenankan merekam pembicaraan narasumber atau subjek berita dengan sembunyi-sembunyi.

Atmakusumah menjelaskan, peliputan penyidikan hanya dilakukan jika ada hubungan dengan kepentingan publik yang berkaitan dengan keselamatan, keamanan dan kesehatan masyarakat. Selain itu, bila terjadi pelanggaran hukum ketika wartawan mengabaikan etika jurnalistik, sanksi hukum masih tetap harus ditanggung oleh peliput laporan investigatif tersebut. (bersambung)

Pos Kupang 3 November 2009 halaman 1

Kebebasan Pers Masih Terus Diperjuangkan

Oleh Alfred Dama

PRITA Mulya Sari, seorang ibu rumah yang ditahan aparat penegak hukum sekitar dua minggu karena menulis surat di emailnya dan mengirimkan ke teman-temannya. Melalui suratnya itu Prita mengeluhkan perawatan di Rumah Sakit Omni Internasional di Serpong Tangerang.

Keluhannya itu kemudian tersebar melalui media maya dan Rumah Sakit Omni Internasional kemudian menggugat Prita secara pidana dan perdata karena dianggap mencemarkan nama baik.

Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian (3)

Kasus lainnya adalah gugatan perdata dan pidana PT Duta Pertiwi terhadap surat pembaca Khoe Seng Seng yang mengeluh karena merasa tertitipu oleh pengembang properti tersebut dalam transaksi pembelian kios di Mangga Dua, Jakarta.

Suratnya dimuat di beberapa harian terbitan Jakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Utara kemudian menjatuhkan hukuman terhadap Khoe Seng Seng berupa ganti rugi Rp 1 miliar, namun putusan itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Sementara putusan pidana menetapkan Khoe Seng Seng dijatuhi hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan, namun kini sedang dalam proses banding.

Atmakusumah Astraatmadja, dari Lembaga Pers Dr. Soetomo dan mantan anggota Dewan Pers dalam Lokakarya Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian di Hotel Kristal Kupang menyampaikan, beberapa kasus yang terkait penyampaikan pendapat dan dianggap menghina dan atau mencemarkan nama baik antara kasus gugatan Walikota Manado-Sulawesi Utara, Jimmy Rimba Ragi terhadap Doan Tagah, Pemimpin Redaksi Media Sulut. Akibatnya, Doan Tagah ditahan karena laporan pencemaran nama baik yang dilakukan media tersebut dalam berita berjudul Imba Depresi.

Saat berita itu ditulis, Imba sedang dalam proses peradilan Tindak Pidana Korupsi.

Kasus yang menimpa wartawan adalah gugatan Kapolresta Parepare, Sulawesi Selatan, terhadap H.A Rahman Saleh, anggota DPRD Parepare karena pernyataannya tentang ATM berjalan bagi polisi dalam proses pemeriksaan pejabat pemerintah yang dimuat di Pare Pos dan Fajar Makassar.
Ini adalah beberapa contoh kasus hak mengeluarkan pendapat tentang kesewenang-wenangan lembaga yang lebih besar di negeri ini yang bisa menyeret warga masyarakat ke jalur hukum karena menyampaikan pendapat.

Kasus-kasus tersebut menunujukan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat tentang pelayanan publik yang dianggap tidak memuaskan masih dianggap salah di Indonesia.
Menurut Atmakusmah, untuk melindungi masyarakat dan pekerja jurnalistik, maka Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) telah mengusulkan pada Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Juli 2008 untuk menghapus pasal-pasal pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan, penistaan dan kabar bohong dari perundang-undangan terutama KUHPidana.

Selain itu, pasal-pasal hukum tersebut bila dianggap konstitusional hanya diarahkan ada di KUHPerdata namun dengan sanksi yang proposional sesuai dengn kemampuan pembayar ganti rugi. "Jadi kalau putusan ganti rugi itu ya sesuai dengan kemampuan, jangan orang tidak mampu karena telah dianggap mencemarkan nama baik lalu dihukum denda Rp 1 miliar, ini tidak adil juga," jelasnya.

Di banyak negara demokrasi, aturan-aturan yang mengatur tentang pencemaran nama baik atau fitnah telah dicabut. Dan, masyarakat diberi kesempatan mengguakan hak menjawab bila tersangkut masalah tersebut. Bahkan, negara Timor Leste yang mengadopsi hukum Indonesia yaitu KUHP juga telah mengahapus bagian-bagian dalam hukum tersebut yang mengatur tentang ancaman hukuman terkait dengan perbuatan memfitnah atau mencemarkan nama baik.

Beberapa kasus tentang kriminalisasi pers juga menunjukan kebebasan pers di Indonesia masih jauh dari harapan. Padahal diri negara demokrasi adalah negara menjamin kebebasan pers. Sebab, pers berperan untuk menciptakan iklim demokrasi agar tetap berjalan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis.

Pakar hukum dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Dr. Frans Rengka dalam lokakarya tersebut mengatakan, pers merupakan mata hati pembangunan dan sarana menciptakan iklim demokratis, maka pers perlu diberi kebebasan dan kebebasan itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kepentingan pembangunan dan sarana demokratisasi. "Pers yang bebas akan menciptakan kreativitas dan inovasi dalam pembangunan dan pada gilirannya iklim demokrasi akan muncul dan pada saatnya masyarakat akan dengan muda diajak untuk berpartisipasi dalam pembangunan," jelas Frans Rengka.

Indonesia sebagai negara demokrasi belum sepenuhnya memiliki kemerdekaan pers, meski negeri ini sedang melewati proses reformasi. Berdasarkan Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia sesuai Source Reporters Sains Frontier diketahui pers Indonesia pernah menduduki peringkat pertama sebagai pers terbebas di Asia. Namun seiring dengan pergantian pamerintahan, kebebasan pers Indonesia terus merosot.

Pada tahun 2002, kebebasan pers di Indonesia menempati urutan ke-57 dari 130 negara, tahun 2003 Indonesia berada di posisi 111 dari 166, setahun kemudian posisi kemerdekaan pers kembali merosot tahun 2004 yaitu berada di posisi 117 dari 167 negara yang diteliti. Pada tahun 2005, kebebasan pers Indonesia berada di urutan 105 dari 167 negara di dunia, tahun 2006 peringkat Indonesia lebih baik dari tahun sebelumnya yaitu di urutan 103 dari 168 negara, tahun 2007 kebebasa pers berada di urutan 100 dari 169 negara dan tahun 2008 berada di urutan 111 dari 173 negara.

Posisi Timor Leste yang merupakan salah satu negara yang diteliti berada di urutan 50-an atau lebih baik dari Indonesia.
Melihat kondisi itu, kemerdekaan pers di Indonesia masih harus terus diperjuangkan. Pemerintah harus berani mengurangi UU yang bisa mengancam kebebasan pers. Beberapa UU yang mengatur tentang pers, antara lain UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, KUHP, UU Hak Cipta, UU Perlindungan Konsumen, UU Internet dan Transaksi Elektronika, KUHPerdata, UU Pemilihan Umum, UU Penyiaran dan UU Pornografi.

Masalah lain adalah aparat penegak hukum belum sepenuhnya memanfaatkan UU Pers dalam penyelesaian masalah pers dan masih menggunakan KUHP sehingga diharapkan ke depan solusi untuk mencapai kebebasan pers adalah gunakan atau kedepankan UU No 40 Tahun 1999 untuk menyelesaikan semua persoalan yang terkait dengan pers dan media serta menghindari menggunakan KUHP, namun UU Pers terbatas hanya dalam melakukan tugas jurnalistik.

Bila ada pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan pers, maka masyarakat bisa menggunakan UU Pers dengan memahami kode etik jurnalistik, menggunakan hak jawab atau hak koreksi dan manfaatkan Dewan Pers.

Dengan demikian, untuk menjamin dan menciptakan iklim demokrasi serta jaminan hak yang sama bagi semua komponen negara, maka kemerdekaan pers adalah perangkat penting dalam membangun negara yang demokratis, adil, bersih dan sejahtera. Kemerdekaan pers harus dibebaskan dari ancaman pidana dan pers yang menjalankan tugasnya sesuai kode etik adalah pers yang melakukan pekerjaan demi kepentingan umum. (selesai)


Pos Kupang 4 November 2009 halaman 1

Sengketa Hak Jawab Wilayah Dewan Pers

Jakarta, Kompas - Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permintaan banding yang diajukan PT Tempo Inti Media dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Toriq Hadad. Putusan majelis hakim PT DKI Jakarta itu membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang semula mengabulkan sebagian gugatan perdata Asian Agri Grup.

Juru bicara Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, Andi Samsan Nganro, menjelaskan hal itu kepada Kompas, Sabtu (5/9/2009) di Jakarta. ”Putusan itu diambil pada 27 Juli 2009,” kata dia lagi.

Majelis hakim banding diketuai Nafisah dengan anggota Celine Rumansi dan Abdul Kadir. Majelis hakim menilai, sengketa hak jawab semestinya diajukan ke Dewan Pers untuk menilai.

Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) Agus Sudibyo menyambut baik putusan itu. ”Dari sisi kebebasan pers, putusan ini patut diapresiasi,” kata pemerhati media itu.

Majelis hakim PT DKI Jakarta mempertimbangkan eksepsi Toriq Hadad dan PT Tempo Inti Media yang menyebutkan, gugatan Asian Agri Grup atas dugaan pencemaran nama baik terlalu prematur. Seharusnya persoalan itu diajukan terlebih dahulu ke Dewan Pers.

Andi Samsan menuturkan, PT DKI Jakarta mempertimbangkan eksepsi tergugat yang dinilai beralasan. Yang dipersoalkan penggugat adalah ketidakpuasan atas hak jawab. Padahal, hak jawab itu sudah diberikan.

”PT DKI Jakarta berpendapat, tergugat sudah memuat hak jawab penggugat. Namun, penggugat tidak puas. Terjadi sengketa tentang hak jawab. Majelis berpendapat, hal ini termasuk wilayah Dewan Pers untuk menilai, apakah memenuhi aturan dan kode etik jurnalistik atau belum,” kata Andi Samsan.

Hal inilah yang menjadi dasar gugatan penggugat tak bisa diterima. Sebelumnya, majelis hakim PN Jakarta Pusat menghukum Tempo membayar denda Rp 50 juta dan meminta maaf selama tiga hari berturut-turut di majalah Tempo, Koran Tempo, dan Kompas. Menurut majelis hakim saat itu, pemuatan gambar dan foto Sukanto Tanoto, pemilik Asian Agri Grup, yang berjingkrak di sampul Majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007 menyerang kehormatan dan nama baik Sukanto.

Agus Sudibyo mengatakan, putusan PT DKI Jakarta itu sebagai kemajuan dalam pengadilan yang melibatkan pers. (idr)

Masyarakat Pers Tolak Pengesahan RUU Rahasia Negara

Jakarta, POS KUPANG.Com - Sejumlah tokoh pers yang tergabung dalam Masyarakat Pers Indonesia menolak pengesahan RUU tentang Rahasia Negara yang dinilai bisa menghapus berbagai capaian penting dalam UU tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP).

Tokoh-tokoh pers yang menyampaikan sikapnya kepada Komisi I DPR di Gedung DPR Jakarta, Selasa itu di antaranya Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, Ketua Umum PWI Margiono, Ketua Umum AJI Nezar Patria, Ketua Umum IJTI Imam Wahyudi, Direktur Eksekutif SPS Pusat Asmono Wikan, Ketua Forum Pemantau Informasi Publik Wina Armada dan Ketua Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia Kukuh Sanyoto.

Kalangan pers menilai bahwa apabila RUU Rahasia Negara tetap dipaksakan disahkan pada September-Oktober 2009 tanpa sungguh-sungguh memperhatikan harmonisasi dengan prinsip-prinsip demokrasi dan good governance, maka UU tersebut hanya akan memicu kontroversi nasional yang tidak kondusif bagi citra presiden dan DPR.

"Masyarakat sipil akan menolaknya dan komunitas pers akan melakukan perlawanan," kata juru bicara masyarakat pers Indonesia, Nezar Patria.

Pemerintahan SBY dan DPR saat ini akan dianggap telah memberi kado buruk kepada bangsa Indonesia pada akhir masa jabatannya apabila RUU akhirnya dipaksakan untuk disahkan saat ini.

Selain itu, di dunia internasional Indonesia juga akan dicatat sebagai negara yang mengesahkan UU Rahasia Negara yang tidak sesuai dengan standar internasional tentang "right to know and state secrecy".

Namun demikian, masyarakat pers Indonesia berpendapat bahwa apabila RUU itu akan disahkan, maka hal tersebut bisa dilakukan pada DPR periode mendatang dan bukan saat ini.

Sementara itu Ketua Komisi I Theo Sambuaga dalam pertemuan tersebut menjamin tidak akan ada pasal-pasal yang mengekang kebebasan pers yang akan lolos dalam RUU Rahasia Negara.

"Tidak ada pasal-pasal dalam RUU Rahasia Negara yang mengancam kebebasan pers, mencederai demokrasi dan tidak menghormati HAM," katanya.

Dijelaskannya bahwa pembahasan RUU tersebut di tingkat Panja telah berlangsung selama tiga bulan dan DPR telah berprinsip untuk tidak membuat UU secepatnya, tapi sebaik-baiknya.

Di tempat yan sama, anggota Panja RUU Rahasia Negara Djoko Susilo menjelaskan bahwa pembahasan RUU tersebut pada dasarnya bersifat terbuka. Bahkan, dalam tingkat Panja, pembahasan tetap dilakukan terbuka meski tata tertib menyatakan tertutup.

"Dari awal pembahasan RUU Rahasia Negara bersifat terbuka. Panja yang biasanya tertutup, dalam pembahasan RUU Rahasia Negara justru terbuka," ujarnya. (ANTARA)

Dewan Pers Tolak RUU Rahasia Negara

JAKARTA, KOMPAS.com - Penolakan terhadap pengesahan RUU Rahasia Negara terus bergulir. Kali ini Dewan Pers yang angkat bicara mengenai RUU yang rencananya akan disahkan bulan September-Oktober mendatang.

Menurut Abdullah Alamudi Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat, Dewan Pers Indonesia, pihak Dewan Perwakilan Rakyat jangan terburu-buru mengetuk palu pada RUU tersebut. Ia menilai DPR harus melakukan banyak perombakan pada RUU Rahasia Negara itu, banyak pasal di dalamnya yang menutup akses media dan masyarakat untuk mendapat informasi mengenai negara.

"Pengesahan RUU Rahasia Negara ini jangan dipaksakan penyelesaiannya. Karena sangat kontroversial. Sebaiknya ditunda sampai hal-hal yang ada jadi perdebatan dapat diselesaikan," ujarnya kepada kompas.com, di Jakarta, Kamis (20/8/2009).

Ia menuturkan dari 52 pasal sebagian besar mengancam kemerdekaan pers. Selain itu kebebasan masyarakat sipil untuk mendapatkan informasi dan mengontrol penggunaan dana pemerintahan juga ikut terampas. "Masak anggaran saja juga dijadikan rahasia negara," tanya dia.

Selain itu RUU ini juga membatasi masyarakat untuk mendapatkan informasi, bahkan yang sepele."Setiap orang dapat mengatakan ini rahasia negara. Jika mencari informasi mengenai tanah atau biaya sekolah bisa di katakan rahasia negara," ujarnya.

Menurutnya, RUU Rahasia Negara justru melindungi para pejabat, padahal RN itu diarahkan kepada pejabat. Jika pejabat membocorkan suatu rahasia, maka yang akan dipenjara adalah wartawan.


RUU ini juga melarang mengancam media yang membocorkan rahasia negara, walaupun rahasia tersebut didapat dari negara lain. Alamudi menilai hal itu justru dapat membahayakan masyarakat Indonesia. Misalnya, kata dia, salah satu media di Australia sejak lama menyiarkan pergerakan intel di Indonesia. Jika media di Indonesia mengutip berita itu, maka dapat dikenakan hukuman 7-20 tahun penjara. "Yang diuntungkan masyarakat Australia. Padahal Australia bisa berpontensi jadi musuh," ujarnya.


Alamudi, lebih menyetujui jika pemerintah tetap menggunakan UU keterbukaan informasi publik (KIP). Ia menilai semua pasal dalam KIP dapat diterapkan tanpa membatasi ruang gerak media ataupun masyarakat. "Selain itu, pasal-pasal yang ada di RUU Rahasia Negara banyak yang sudah tercantum di KIP," tandasnya. (RDI/Kompas.com)

Pemerintah Diminta Tetap Perhatikan Media

Palembang (ANTARA News) - Mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Tarman Azzam mengatakan, meskipun kini media sudah memasuki rana kebebasan pers tetapi pemerintah juga diminta berperan dalam memperhatikan atau mengawasi kredibilitas media.

"Pemerintah diharapkan tetap mendorong pers untuk berkembang dan berperan aktif sesuai dengan peranan pers termasuk mendukung profesionalisme jurnalis," katanya, di sela-sela acara Konferensi Kerja Nasional (Konkernas) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Palembang, Kamis (13/8/2009).

Menurut dia, pemerintah tetap harus berperan mendorong terciptanya pers yang sehat, profesional dan berkembang maju mengikuti pertumbuhan media dunia.

Dorongan pemerintah dipastikan mampu menciptakan harmonisasi media dengan program-program pemerintah yang tentunya mengedepankan kepentingan rakyat, tambahnya.

Ia mengatakan, sesuai dengan aturan yang berlaku pemerintah tidak bisa memasuki ranah pers untuk mengintervensi media.

Tetapi peranan penting pemerintah dalam mendorong tercapainya pers yang berkualitas, kredibel dan profesional mesti terus dilakukan, katanya.

Tarman mengatakan, kondisi pers Indonesia saat ini sudah sangat maju baik dari segi teknologi, sumberdaya manusia, dan sistem manajemen media.

Bahkan kini tidak ada media di dunia ini yang tidak dimiliki Indonesia sehingga kemajuan pesat tersebut sangat menggembirakan bagi masyarakat karena informasi dapat diakses dengan berbagai cara yang disediakan melalui teknologi yang telah diciptakan, ujarnya.

Namun, wartawan di era globalisasi ini tetap harus memiliki wawasan nusantara yang tinggi dan sikap serta tanggungjawab terhadap masyarakat.

Karenanya, wartawan Indonesia harus didorong untuk bersikap profesional dan mematuhi kode etik jurnalistik yang menjadi salah satu landasan kerja wartawan, tambahnya.(ANTARA)

Bukan Sekadar Contreng

Oleh Novemy Leo

SABTU (20/6/2009), Persatuan Wartawan Indoensia (PWI) bekerja sama dengan Mapilu-PWI dan Depdagri menggelar workshop bertema, Sosialisasi Pemilu dan Pendidikan Pemilih Berbasis Jurnalistik Menuju Pemilu Damai dan Elegan."

Hadir lima pembicara, yakni Hendra J Kade (Ketua Mapilu- PWI Pusat), Drs. Tarman Azzam (Ketua Dewan Kehormatan PWI), Octo Lampito (Presidium Nasional Mapilu), A. Zaini Bisri (Wakil Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI) dan Djidon de Haan (Jubir KPUD NTT), dengan moderator Tony Kleden dari Pos Kupang.

Workshop Pemilu 2009 (1)

Dalam workshop, puluhan peserta yang terdiri dari wartawan media cetak, elektronik radio dan televisi di Kupang ditantang menyukseskan pemilihan umum presiden (Pilpres) 2009 sesuai dengan profesinya. Berikut ini catatan penting yang dapat dibagikan kepada masyarakat guna menghasilkan Pilpres yang berkualitas.

MEMBUKA workshop itu, Ketua Mapilu PWI-Pusat, Hendra J Kade mengatakan, menghasilkan Pilpres 2009 yang berkualitas sedikitnya harus memenuhi empat variabel. Pertama, kualitas regulasi, aturan perundangan yang mengatur proses pemilu. Kedua, peserta pemilu yakni para kandidat. Ketiga, kualitas penyelenggara pemilu atau Komisi Pemilihan Umum. Keempat, kualitas dari pemilih atau rakyat.

Namun, secara jujur harus diakui bahwa sampai dengan pelaksanaan pemilu yang kesekian kalinya di republik ini, empat variabel penting itu belum bisa dilaksanakan dengan baik. Variabel regulasi, yang merupakan sebuah desain pembentuk proses dan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas itu, ternyata masih jauh dari harapan. Kualitas regulasinya minim, sering berubah.

Contohnya, regulasi penetapan calon anggota DPRD menyangkut nomor urut atau suara terbanyak, regulasi mengenai partai politik (parpol) yang layak ikut pemilu dan lain-lain. Perubahan regulasi itu seringkali menimbulkan kekacauan’ politik yang justru berimbas pada situasi keamanan dalam masyarakat.

Kualitas peserta pemilu juga masih minim. Seharusnya para kandidat menyadari bahwa pemilu merupakan moment untuk menyelesaikan persoalan daerah dan bangsa sehingga kandidat harus menunjukkan kualitasnya. Namun kenyataan, mereka lebih banyak menjadikan pemilu sebagai ajang perebutan kekuasaan, saling menjatuhkan lawan politiknya’.

Belum lagi kualitas KPU sebagai penyelenggara pemilu. Terlihat masih banyak produk kebijakan atau penafsiran regulasi oleh KPU justru menjadi potensi mengacaukan’ proses pemilu itu sendiri, menimbulkan protes dari masyarakat dan kandidat. Bahkan tak jarang keputusan KPU baru dibuat setelah ada masalah. Hingga akhir Juni 2009, KPU belum menetapkan anggaran Pilpres putaran II. Begitu yakinkah KPU bahwa Pilpres 2009 hanya akan berlangsung satu putaran? Bagaimana jika asumsi itu meleset? Uang dari mana yang akan diraup jika terjadi Pilpres putaran II?

Kondisi ini membuktikan bahwa kemampuan KPU untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi di waktu mendatang masih minim.

Jubir KPU NTT, Djidon de Haan mengatakan, pihaknya mengalami kesulitan karena peraturan KPU sering berubah, penetapan tidak sesuai dengan waktu dan kepentingan, terdapat multi-tafsir yang membingungkan, ada kesenjangan dalam penerapan di lapangan.

Mengenai anggaran Pilpres putaran II, Djidon mengatakan, akan dimasukkan dalam perubahan anggaran. Jawaban yang sangat sederhana. Namun Djidon mengakui bahwa tabiat’ seperti itu memang sering terjadi.

Kita cenderung seperti itu. Nanti orang pukul baru kita balas. Kita tidak siap terlebih dahulu bagaimana kalau orang pukul kita,” kata Djidon memberi kiasan.

Kualitas pemilih menjadi variabel penting dalam menyukseskan pemilu. Kualitas pemilih tidak hanya diukur dari kedatangan pemilih di TPS, masuk bilik suara dan memberikan suara/pilihan, mencontreng gambar kandidat atau partai idolanya. Lebih dari itu, kualitas pemilih terkait dengan bagaimana pemilih mempunyai kemampuan mencontreng pilihannya. Kemampuan memilih artinya pemilih tahu kewajiban dan haknya, dia bisa menjawab kenapa dia memilih, dia mengerti bagaimana membuat keputusan dan menjatuhkan pilihan serta memahami konsekuensi dari pilihannya itu.

Kita lihat sebanyak 178 juta pemilih di Indonesia mungkin bisa mencotreng saat pilpres 8 Juli 2009. Tapi pertanyaannya, berapa banyak pemilih yang mempunyai kemampuan mencontreng? Pertanyaan berikut, siapa yang harus 'menciptakan' pemilih yang berkemampuan mencontreng? Apakah KPU, kandidat, tim sukses, partai kandidat atau siapa?

KPU hanya punya kewenangan, antara lain menetapkan jadwal, waktu, pelaksanaan pemilu, mengupayakan pemilih bisa contreng dengan benar pada kertas suara, menyosialisasikan pelaksanaan pemilu ke masyarakat. Namun KPU tidak punya kewajiban menyosialisasikan pemilu berkualitas atau sosialisasi yang berkonsentrasi pada kapasitas pemilih dalam kemampuannya mencontreng kandidat saat pemilu. Itu adalah urusan pendidikan pemilih.

Apalagi para kandidat dan partai politik serta tim suksesnya. Mereka hanya melakukan kampanye untuk mempengaruhi atau mengajak rakyat mencontreng gambar atau nomor urutnya.
Jadi tugas siapakah itu? Hendra mengatakan, memberikan pendidikan pemilih, membutuhkan waktu yang lama dengan jangkauan komunikasi yang luas hingga ke pelosok wilayah di Indonesia, namun dengan biaya minim jika tidak mau dikatakan nol. Tugas mulia itu hanya bisa dilakukan oleh pekerja media, wartawan.

Dalam komunikasi publik, untuk menyosialisasikan pendidikan pemilih, semua pihak tentu angkat tangan’. Tapi, yang bisa meningkatkan kualitas pemilih dan kualitas pemilu hanyalah wartawan. Karena itu, Depdagri menjalin kerja sama dengan Mapilu dan PWI NTT untuk menyosialisasikan bagaimana kita bisa menghasilkan pemilih yang berkualitas sehingga terwujud pemilu yang berkualitas. Sangat diharapkan pekerja pers dapat melaksanakan tugas mulia ini dengan baik," kata Hendra. (bersambung)

Pos Kupang edisi Jumat, 26 Juni 2009 halaman 1

Pilih Capres Berkualitas

Oleh Novemy Leo

NEGARA adalah rakyat. Negara adalah kita. Artinya, siapa pun orang yang mengaku diri sebagai warga dari suatu negara, dia tidak boleh hanya duduk diam. Dia harus mampu berpikir dan bertindak untuk membangun sebuah tatanan kehidupan politik yang beradab dan berperikemanusiaan.

Untuk mewujudkan rakyat dan negara yang sejahtera dan berkeadilan, maka sebuah negara harus memiliki pemimpin atau presiden. Salah satu ciri negara demokrasi, presiden dipilih secara langsung oleh rakyatnya.

Workshop Pemilu 2009 (2)

Indonesia yang menganut paham negara demokrasi telah melakukan hal ini dengan mengadakan pemilu presiden (pilpres) setiap lima tahun.

Tanggal 8 Juli 2009, rakyat Indonesia akan kembali memilih presiden dan wakil presiden (wapres) untuk memimpin bangsa dan negara Indonesia lima tahun mendatang 2009-2014. Pertanyaannya, siapakah kandidat yang tepat di antara tiga kandidat capres/cawapres yang bisa kita pilih menjadi pemimpin Indonesia? Apakah pasangan Megawati/Prabowo, SBY/Boediono atau Jusuf Kalla/Wiranto?

Jawabannya sederhana saja. Kata kuncinya, Presiden Indonesia harus berkualitas dalam segala hal. Karena, presiden merupakan orang yang akan terlibat secara langsung dalam menentukan nasib rakyat dan bangsanya. Presiden adalah pembuat Undang- Undang (UU) yakni UU yang bisa berimplikasi pada masalah pidana dan keperdataan. Presiden adalah orang yang punya kewenangan penuh membuat perjanjian internasional pada segala bidang kehidupan.

Presiden adalah orang yang bisa memperbesar atau memperkecil utang Indonesia di luar negeri. Presiden adalah orang yang berwenang menjual atau membeli barang, menjual atau membeli BUMN dan sebagainya.

Ketua Mapilu-PWI Pusat, Hendra J Kade mengatakan, pilpres bukan sekadar pesta lima tahunan untuk memilih presiden/wapres. Yang lebih substansial, pilpres adalah sebuah momentum untuk mengidentifikasi persoalan aktual bangsa dan negara. Baik persoalan di bidang sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan, IPTEK, hukum, sosial, termasuk kesenian dan olahraga.

Asumsinya, propabilitas terjadinya perubahan persoalan kebangsaan itu ada pada periode lima tahunan. Ibarat memilih pasangan yang akan mendampingi kita dalam suka duka, terus memberikan bimbingan dan kemajuan positif bagi kehidupan kita di masa depan, maka kita tidak boleh salah pilih pasangan dan tidak bisa kita pilih tepat pada tanggal pernikahan kita. Dia harus kita kenal jauh-jauh hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Melalui sebuah proses perkenalan, penjajakan, melihat kemampuan, kualitas, kelebihan dan kekurangannya, barulah kita menetapkannya sebagai calon mendamping kita.
Begitu pun ketika kita memilih presiden dan wapres, calon pemimpin bangsa. Kita sudah harus mengenali kelebihan dan kekurangannya jauh hari sebelum kita memilihnya pada tanggal 8 Juli mendatang.

Sedikitnya ada tiga kriteria yang harus dimiliki presiden dan wapres RI. Pertama, dia harus mampu mengidentifikasi apa saja persoalan bangsa yang dihadapi selama lima tahun. Kedua, dia harus mampu mengindentifikasi bagaimana solusi penyelesaian persoalan bangsa itu dan alternatifnya. Ketiga, dia harus mampu mengidentifikasi seluruh program detailnya.

Jadi, siapa yang paling bisa mengidentifikasi persoalan bangsa, yang bisa mencari solusi dari persoalan itu dan yang memiliki program yang tepat bagi kemajuan rakyat dan bangsanya, dialah yang kita berikan kepercayaan menjadi presiden. Tentu harus melihat kompetensinya, moralitasnya, kredibilitasnya, bukan warna kulit atau asal daerahnya," jelas Hendra.

Yang perlu diingat bahwa pasangan capres dan cawapres yang meraih 60 persen suara pada pilpres 8 Juli 2009 mendatang belum tentu menang. Karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dan Capres, pasangan capres-cawapres dinyatakan menang apabila mendapat 50 persen suara ditambah 1, dan harus meraih 20 persen suara yang tersebar di 17 propinsi.

Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka harus diadakan pemilu putaran kedua. Karena itu, meski ada paket yang menang atau meraih suara terbanyak di Pulau Jawa dan Bali, belum menjadi jaminan dia menang dan menjadi pemimpin bangsa. (bersambung)

Pos Kupang edisi Sabtu, 27 Juni 2009 halaman 1

Jangan Terbius "Kue" Iklan

Oleh Novemy Leo

ADOLF Hitler, pemimpin Jerman yang terkenal sangat diktator, pernah berkata, "Kalau Anda perhadapkan saya dengan 1.000 tentara yang bersenjata lengkap, saya tidak akan takut sedikit pun menghadapinya. Tetapi, jangan pernah perhadapkan saya dengan seorang wartawan saja, karena saya akan mundur."

Workshop Pemilu 2009 (3)

KALIMAT Hitler itu sarat makna. Hitler sangat paham dan tahu betapa peran media, pers atau wartawan, sangat penting dalam berbagai bidang kehidupan. Paling tidak, wartawan bisa membangun opini publik, yang bisa saja berdampak baik atau berdampak buruk. Opini itu mampu mempengaruhi publik atau masyarakat untuk suka atau tidak suka terhadap sesuatu yang diberitakan wartawan dan medianya.

Pers ibarat 'pedang bermata dua'. Di satu sisi, memiliki peran dan posisi strategis dalam rangkaian melaksanakan fungsi menyukseskan pemilu, pilpres, selain bagi capres dan cawapres.

Tapi di sisi lain, pers bisa menjadi alat perusak demokrasi melalui praktik jurnalistik yang tidak bertanggung jawab terhadap publik, baik karena ketidaksengjaan ataupun karena 'pers' sudah digunakan pihak tertentu.

Karena itu, tidak berlebihan jika dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2009, pers juga punya peranan penting dalam menyuskeskan pesta demokrasi itu. Pun dalam mendongkrak opini publik tentang keberadaan dan kualitas paket calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan maju dalam Pilpres 2009.
Ditambah, jadwal pemilu dan masa kampanye yang pendek, menjadikan media massa sebagai arena yang tepat untuk dijadikan lahan kampanye. Selain tugas pers sendiri adalah ikut memberian pencerahan kepada masyarakat mengenai figur yang akan dipilih.

Lihat saja, melalui kemasan iklan dan pemberitaan yang disajikan di medianya, pers bisa 'menyetir' opini publik mengenai siapa paket yang paling pantas dan atau yang tidak pantas dipilih menjadi pemimpin Indonesia lima tahun mendatang.
Hasil penelitian LIPI 2008 menyebutkan, rakyat jauh lebih percaya dan yakin dengan kemampuan pers untuk menyuarakan kepentingannya (31 %) dibandingkan dengan Ormas (24%), birokrasi dan partai (11%), lembaga lain (1 %), tidak tahu (23 %).

Karena itu, terkait pilpres, Ketua Mapilu PWI Pusat, Hendra J Kade berharap, wartawan benar-benar objektif menyajikan tulisan 'kampanye' pilpres bagi pembaca. Objektif artinya pers berani menyampaikan informasi mengenai kebaikan dan keburukan kandidat dengan data yang akurat mengenai kegagalan dan keberhasilan kandidat yang sudah dicapai selama ini dalam bidang tugasnya masing-masing. Juga fakta berbagai pelanggaran yang dilakukan kandidat dan tim suksesnya selama proses pemilu.

Selain wartawan, lembaga atau perusahaan pers juga harus objektif dan independen. Jangan karena ada kandidat atau partai tertentu yang sudah memasang banyak iklan dengan pembayaran uang yang besar, akhirnya wartawan dan lembaganya tidak objektif lagi menyajikan pemberitaan terhadap yang bersangkutan. Kegagalan dan keburukan kandidat dan partai dimaksud akhirnya 'dibungkus' rapi dan tidak pernah disajikan untuk dibaca publik atau masyarakat.

Kenapa? Karena pers sudah terbius dengan 'kue iklan' yang masuk ke saku atau kas wartawan dan atau lembaganya dari kandidat atau partai tertentu.

"Hanya sedikit perusahaan pers yang berusaha menyiapkan tim wartawan yang profesional untuk menyajikan pemberitaan objektif dan proporsional kepada pubik," kata Hendra.

Wakil Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI, A. Zaini Bisri, berharap, pers berpihak pada publik karena publik butuh pegangan. Kalau informasi yang disajikan tidak netral, maka publik tidak akan mempercayai pers lagi.Beberapa tindakan yang bisa memicu konflik harus dihindari pers agar hasil karya jurnalistiknya menjadi elegan.

Presidium Nasional Mapilu, Octo Lampito, mengatakan, dalam pemberitaan, pers harus menerapkan prinsip 'jurnalisme damai', yakni berfokus para proses terjadinya konflik, dengan orientasi kedua pihak sama-sama menang, ruang waktu terbuka. Pers harus membeberkan sebab akibat, memberitakan apa adanya tanpa menyembunyikan fakta.

Memberikan ruang yang sama bagi pihak yang berkonflik. Melihat konflik sebagai hikmah politik. Melihat aspek humanisasi dan proaktif mencegah terjadinya konflik serta berfokus pada dampak kerugian warga akibat konflik.

Ingat!! Wartawan atau lembaga pers bukan mediator yang hanya bertanggung jawab kepada kandidat dan tim sukses yang berkonflik, tetapi dia juga bertanggung jawab kepada publik.Lembaga pers juga harus mengembangkan self regulation sehingga tidak mencederai kebebasan wartawannya sekaligus bisa menjaga publik yang tetap menginginkan perdamaian.

"Tegakah pers melihat bangsanya sendiri bertempur, bergelimang darah, berdarah- darah, akibat konflik yang tidak berusaha diminimalisir oleh pers?" Jawabannya tentu tidak.

Ketua Dewan Kehormatan PWI, Drs. Tarman Azzam berharap, pers mampu mendorong masyarakat bersifat kritis, masyarakat harus bisa melakukan perlawanan terhadap pihak atau kandidat yang melakukan black campaign (kampanye hitam).
Untuk menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas, wartawan perlu terus dibekali pelatihan guna mengasah dan menambah pengetahuannya mengenai berbagai hal dalam bidang kehidupan. Wartawan pun harus rajin membaca regulasi perundangan dan pengetahuan umum sehingga paham terhadap apa yang akan ditulisnya.

"Menurut temuan Dewan Pers tahun 2008, hampir 80 persen wartawan Indonesia tidak pernah membaca bahkan tidak tahu kode etik jurnalistik yang menjadi pedoman untuk bekerja secara profesional. Bagaimana lagi dengan pemahaman terhadap regulasi lain," kritik Tarman. Karena itu mulai sekarang, wartawan harus mulai mengasah kemampuannya.

Bill Kovach dan Tom Rosentiel merumuskan sembilan prinsip dasar jurnalisme, yaitu mengabdi pada kebenaran, loyal kepada pembaca, independen terhadap sumber berita, pemantauan kekuasaan, mengikuti hati nurani, membuat hal yang penting dan menarik, menjaga berita komprehensif dan proporsional, disiplin verifikasi dan forum pubik bagi pembaca.

Jika sembilan prinsip ditambah kode etik jurnalisme itu sudah dipahami dan diimplementasikan pers dalam tugas kesehariannya, maka alhasil pemberitaan yang disajikan kepada pembaca benar-benar bisa dipertangungjawabkan kepada publik, diri sendiri dan Tuhan. (habis)

Pos Kupang edisi Minggu, 28 Juni 2009 halaman 1