Kebebasan Pers Masih Terus Diperjuangkan

Oleh Alfred Dama

PRITA Mulya Sari, seorang ibu rumah yang ditahan aparat penegak hukum sekitar dua minggu karena menulis surat di emailnya dan mengirimkan ke teman-temannya. Melalui suratnya itu Prita mengeluhkan perawatan di Rumah Sakit Omni Internasional di Serpong Tangerang.

Keluhannya itu kemudian tersebar melalui media maya dan Rumah Sakit Omni Internasional kemudian menggugat Prita secara pidana dan perdata karena dianggap mencemarkan nama baik.

Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian (3)

Kasus lainnya adalah gugatan perdata dan pidana PT Duta Pertiwi terhadap surat pembaca Khoe Seng Seng yang mengeluh karena merasa tertitipu oleh pengembang properti tersebut dalam transaksi pembelian kios di Mangga Dua, Jakarta.

Suratnya dimuat di beberapa harian terbitan Jakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Utara kemudian menjatuhkan hukuman terhadap Khoe Seng Seng berupa ganti rugi Rp 1 miliar, namun putusan itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Sementara putusan pidana menetapkan Khoe Seng Seng dijatuhi hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan, namun kini sedang dalam proses banding.

Atmakusumah Astraatmadja, dari Lembaga Pers Dr. Soetomo dan mantan anggota Dewan Pers dalam Lokakarya Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian di Hotel Kristal Kupang menyampaikan, beberapa kasus yang terkait penyampaikan pendapat dan dianggap menghina dan atau mencemarkan nama baik antara kasus gugatan Walikota Manado-Sulawesi Utara, Jimmy Rimba Ragi terhadap Doan Tagah, Pemimpin Redaksi Media Sulut. Akibatnya, Doan Tagah ditahan karena laporan pencemaran nama baik yang dilakukan media tersebut dalam berita berjudul Imba Depresi.

Saat berita itu ditulis, Imba sedang dalam proses peradilan Tindak Pidana Korupsi.

Kasus yang menimpa wartawan adalah gugatan Kapolresta Parepare, Sulawesi Selatan, terhadap H.A Rahman Saleh, anggota DPRD Parepare karena pernyataannya tentang ATM berjalan bagi polisi dalam proses pemeriksaan pejabat pemerintah yang dimuat di Pare Pos dan Fajar Makassar.
Ini adalah beberapa contoh kasus hak mengeluarkan pendapat tentang kesewenang-wenangan lembaga yang lebih besar di negeri ini yang bisa menyeret warga masyarakat ke jalur hukum karena menyampaikan pendapat.

Kasus-kasus tersebut menunujukan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat tentang pelayanan publik yang dianggap tidak memuaskan masih dianggap salah di Indonesia.
Menurut Atmakusmah, untuk melindungi masyarakat dan pekerja jurnalistik, maka Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) telah mengusulkan pada Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Juli 2008 untuk menghapus pasal-pasal pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan, penistaan dan kabar bohong dari perundang-undangan terutama KUHPidana.

Selain itu, pasal-pasal hukum tersebut bila dianggap konstitusional hanya diarahkan ada di KUHPerdata namun dengan sanksi yang proposional sesuai dengn kemampuan pembayar ganti rugi. "Jadi kalau putusan ganti rugi itu ya sesuai dengan kemampuan, jangan orang tidak mampu karena telah dianggap mencemarkan nama baik lalu dihukum denda Rp 1 miliar, ini tidak adil juga," jelasnya.

Di banyak negara demokrasi, aturan-aturan yang mengatur tentang pencemaran nama baik atau fitnah telah dicabut. Dan, masyarakat diberi kesempatan mengguakan hak menjawab bila tersangkut masalah tersebut. Bahkan, negara Timor Leste yang mengadopsi hukum Indonesia yaitu KUHP juga telah mengahapus bagian-bagian dalam hukum tersebut yang mengatur tentang ancaman hukuman terkait dengan perbuatan memfitnah atau mencemarkan nama baik.

Beberapa kasus tentang kriminalisasi pers juga menunjukan kebebasan pers di Indonesia masih jauh dari harapan. Padahal diri negara demokrasi adalah negara menjamin kebebasan pers. Sebab, pers berperan untuk menciptakan iklim demokrasi agar tetap berjalan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis.

Pakar hukum dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Dr. Frans Rengka dalam lokakarya tersebut mengatakan, pers merupakan mata hati pembangunan dan sarana menciptakan iklim demokratis, maka pers perlu diberi kebebasan dan kebebasan itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kepentingan pembangunan dan sarana demokratisasi. "Pers yang bebas akan menciptakan kreativitas dan inovasi dalam pembangunan dan pada gilirannya iklim demokrasi akan muncul dan pada saatnya masyarakat akan dengan muda diajak untuk berpartisipasi dalam pembangunan," jelas Frans Rengka.

Indonesia sebagai negara demokrasi belum sepenuhnya memiliki kemerdekaan pers, meski negeri ini sedang melewati proses reformasi. Berdasarkan Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia sesuai Source Reporters Sains Frontier diketahui pers Indonesia pernah menduduki peringkat pertama sebagai pers terbebas di Asia. Namun seiring dengan pergantian pamerintahan, kebebasan pers Indonesia terus merosot.

Pada tahun 2002, kebebasan pers di Indonesia menempati urutan ke-57 dari 130 negara, tahun 2003 Indonesia berada di posisi 111 dari 166, setahun kemudian posisi kemerdekaan pers kembali merosot tahun 2004 yaitu berada di posisi 117 dari 167 negara yang diteliti. Pada tahun 2005, kebebasan pers Indonesia berada di urutan 105 dari 167 negara di dunia, tahun 2006 peringkat Indonesia lebih baik dari tahun sebelumnya yaitu di urutan 103 dari 168 negara, tahun 2007 kebebasa pers berada di urutan 100 dari 169 negara dan tahun 2008 berada di urutan 111 dari 173 negara.

Posisi Timor Leste yang merupakan salah satu negara yang diteliti berada di urutan 50-an atau lebih baik dari Indonesia.
Melihat kondisi itu, kemerdekaan pers di Indonesia masih harus terus diperjuangkan. Pemerintah harus berani mengurangi UU yang bisa mengancam kebebasan pers. Beberapa UU yang mengatur tentang pers, antara lain UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, KUHP, UU Hak Cipta, UU Perlindungan Konsumen, UU Internet dan Transaksi Elektronika, KUHPerdata, UU Pemilihan Umum, UU Penyiaran dan UU Pornografi.

Masalah lain adalah aparat penegak hukum belum sepenuhnya memanfaatkan UU Pers dalam penyelesaian masalah pers dan masih menggunakan KUHP sehingga diharapkan ke depan solusi untuk mencapai kebebasan pers adalah gunakan atau kedepankan UU No 40 Tahun 1999 untuk menyelesaikan semua persoalan yang terkait dengan pers dan media serta menghindari menggunakan KUHP, namun UU Pers terbatas hanya dalam melakukan tugas jurnalistik.

Bila ada pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan pers, maka masyarakat bisa menggunakan UU Pers dengan memahami kode etik jurnalistik, menggunakan hak jawab atau hak koreksi dan manfaatkan Dewan Pers.

Dengan demikian, untuk menjamin dan menciptakan iklim demokrasi serta jaminan hak yang sama bagi semua komponen negara, maka kemerdekaan pers adalah perangkat penting dalam membangun negara yang demokratis, adil, bersih dan sejahtera. Kemerdekaan pers harus dibebaskan dari ancaman pidana dan pers yang menjalankan tugasnya sesuai kode etik adalah pers yang melakukan pekerjaan demi kepentingan umum. (selesai)


Pos Kupang 4 November 2009 halaman 1

Tidak ada komentar: