Kogami Siapkan Jurnalis Siaga Bencana

Selasa, 27 Januari 2009

Padang (ANTARA News) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komunitas Siaga Tsunami (Kogami) Indonesia menyiapkan kelompok jurnalis siaga bencana melalui kegiatan workshop terkait penanganan dan pemberitaan terkait kebencanaan bagi sejumlah wartawan di Sumatra Barat (Sumbar).

Workshop digelar 28 hingga 29 Januari 2009 di Padang diikuti sekitar 30 jurnalis yang bertugas di wilayah Sumbar, kata Team Leader Kogami, Irsyadul Halim di Padang, Senin (26/1).

Ia menjelaskan, workshop tersebut bagian dari program inisiasi pembentukan lembaga dan media dalam meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana.

Dikemukakannya pula, kegiatan yang didukung Trocaire ini bertujuan untuk menginisiasi terbentuknya lembaga dan media sebagai pusat informasi bagi masyarakat dalam penanggulangan bencana.

Menurut dia, Kogami berkeyakinan peranan media dalam kebencanaan sangat penting terutama dalam menyalurkan informasi secara cepat kepada masyarakat.

Jurnalis memegang peranan penting dalam penyampaian informasi dan masyarakat sangat percaya serta terpengaruh dengan pemberitaan, namun masih ditemukan berita yang berbeda dengan informasi seputar kebencanaan yang diberikan ilmuan atau lembaga penanggulangan bencana atau salah menginterprestasikan informasi, katanya.

Hal ini terjadi, menurut dia, karena belum samanya persepsi jurnalis dengan ilmuan tentang istilah kebencanaanm padahal kesalahan pemberitaan bisa berakibat kesimpang-siuran berita dan dapat menimbulkan kepanikan yang merugikan masyarakat, tambahnya.

Untuk menghindari hal itu, para jurnalis perlu dibekali ilmu kebencanaan dari pakar sehingga dapat dihasilkan informasi lebih berkualitas, lengkap, dan tidak menyebabkan kesalahan interprestasi.

Dalam hal ini dibutuhkan komitmen jurnalis dalam meningkatkan kapasitas masyarakat dalam penanggulangan bencana dan mencerdaskan masyarakat terhadap upaya membangun budaya siaga bencana, katanya menambahkan.

Tampil sebagai instruktur workshop antara lain, Direktur Eksekutif Kogami, Kepala BMG Padang Panjang, Desi Fitriani (jurnalis Metro TV), Psikolog, dan Direktur Operasional Kogami. (*)

Polisi Silahkan Amankan Wartawan Gadungan

KUPANG, Timex--Bertolak dari itikad memberi pencerahan kepada publik tentang kemerdekaan pers dan ancamannya, maka Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTT bekerjasama dengan sejumlah pihak diantaranya Dewan Pers, dan Humas Setda NTT menggelar dialog publik.Dialog ini berlangsung di aula RRI Kupang, Sabtu kemarin dengan mengadirkan tokoh pers nasional diantaranya Leo Batubara selaku Wakil Ketua Dewan Pers serta Abdullah Alamudi selaku Waket Dewan Pers dan juga pengajar pada Lembaga Pers Dr Soetomo.

Banyak hal penting yang didiskusikan dalam dialog bertajuk 'Ancaman terhadap Kemerdekaan Pers', antara lain bagaimana peran pers ketika kran kemerdekaan itu dibuka, juga menjamurnya organisasi wartawan, seiring dengan menjamurnya wartawan gadungan di lapangan yang meresahkan banyak pihak.

Tentang kemerdekaan pers, Leo Batubara yang terkenal vokal itu menegaskan "Kemerdekaan pers itu adalah sebuah demokrasi dan pers itu adalah mulut rakyat. Ia penyambung lidah rakyat, sehingga kemerdekaan pers itu haruslah dilindungi,"tegasnya.
Namun menurutnya, kemerdekaan pers justeru terkadang disalahartikan dan inilah salah satu dosa pers saat ini. Ia pun menyebut dosa itu antara lain, ada berita yang diturunkan namun tidak sesuai dengan fakta. "Karena itu solusinya adalah dibredel atau dijewer. Dalam kasus ini, pers tidak boleh dibunuh, melainkan dijewer saja. Nah dengan kehadiran undang-undang pers (UU No.40 tahun 1999 tentang pers-Red) ini diharapkan bisa memberi keseimbangan. Sepatutnya UU pers ini adalah lex specialis,"ujarnya.

Masih dalam kesempatan dialog yang disiarkan langsung oleh RRI Kupang itu, Leo berujar, banyak kasus yang menjerat wartawan. Ia pun menyebut, dalam lima tahun terakhir, berdasarkan laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), telah terjadi 453 buah kasus yang terindikasi sebagai tindakan kekerasan terhadap wartawan. Dari data tersebut, pelaku kekerasan terhadap wartawan hingga tahun 2005 persentasinya 42,4 persen dilakukan oleh anggota Polri, aparat pemerintah, TNI, parlemen dan jaksa sedangkan sisanya 39, 7 persen oleh masyarakat.

Khusus untuk Provinsi NTT, selama semester pertama tahun 2008, tercatat lima wartawan di NTT yang menjadi korban ancaman dan atau tindakan kekerasan terkait pemberitaan.

Dalam penuntasan kasus-kasus itu, banyak yang penyelesaiannya menggunakan KUHP dan mengesampingkan UU No 40 tahun 1999 tentang pers. Padahal Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menurutnya, pernah di depan Dewan Pers pada 25 Januari 2005 di Istana Negara mengatakan "Pertama, penyelesaian maslaah berita pers ditempuh dengan hak jawab; Kedua, bila masih 'dispute' diselesaikan ke Dewan Pers; Ketiga, penyelesaian dengan jalur hukum tidak ditabukan, sepanjang fair, terbuka dan akuntabel.
Namun sayangnya, banyak pihak yang saat ini justeru menyelesaikan kasus pers mengesampingkan UU No 40, melainkan menggunakan KUHP. Dan memang banyak dipraktekkan di negara ini. 
"Kalau salah, cukup buatlah hak jawab. Kalau ia sudah menghina agama barulah gunakan KUHP,"tegas Leo Batubata saat itu. Dalam makalahnya pun Leo menulis hal yang sama, yakni UU Pers jangan dijerumuskan ke persoalan Lex Specialis atau tidak namun yang menjadi persoalan adalah mempedomani KUHP buatan Kolonial Belanda yang didesain untuk melumpuhkan kontrol dan kritik rakyat Indonesia terjajah, atau mengacu UU Pers produk gerakan reformasi yang didesain untuk melindungi kontrol pers atas penyelenggaraan kekuasaan untuk mencegah/meminimize power tends to corrupt.

"Inilah yang membuat saya sedih, mengapa institusi penegak hukum di negara ini lebih memilih menggunakan KUHP daripada UU No 40. Saya hormat pada pengacara yang masih gunakan UU Belanda tapi kan kasihan rakyat,"ujarnya.

Ia pun menyerukan "Hendaknya dipahami bahwa kriminalisasi pers, tindakan kekerasan terhadap pers dan wartawan tanpa terkena hukuman akan berdampak melumpuhkan fungsi kontrol pers dan kebebasan pers. Akibat ikutannya, rakyat banyak akan terus menerus menjadi korban dari kesewenang-wenangan penyelenggara negara."

Dalam penjelasannya mengenai kondisi kewartawanan saat ini, Leo merincikan, wartawan penguber amplop memiliki beberapa sebutan yakni Bodrex, CNN (Cuma Nanya-Nanya), WTS (wartawan tanpa suratkabar), Muntaber (muncul tanpa berita). Jika dalam praktek di lapangan ada yang meresahkan masyarakat, silahkan diadukan ke polisi.

Sementara koleganya Abdullah Alamudi ketika menjawab pertanyaan pendengar RRI maupun peserta dialog di Studio RRI, mengenai banyak berita yang diturunkan media massa tanpa konfirmasi, ia katakan "Berita (tentang kasus) itu tidak boleh diturunkan tanpa konfirmasi atau verifikasi. Verifikasi itu harus turun hari itun juga pada edisi yang sama,"tegas mantan wartawan BBC Lndon itu seraya menambahkan, jika tidak maka si wartawna akan dijerat pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.

Ketika berita itu turun tanpa konfirmasi dan perusahaan pers dan wartawannya dijerat hukum, maka Dewan Pers akan hadir sebagai saksi ahli, dan pekerja pers itu takkan mungkin ditolong. 

"Karena itu saya perlu tekankan disini bahwa jangan ada wartawan yang masuk penjara karena pekerjaan pers. Kami (Dewan Pers) akan hadir membela mereka. Perlu diketahui, Dewan Pers tidak hadir hanya untuk wartawan, melainkan juga untuk masyarakat umum,"jelas Alamudin.

Sementara Kabid Humas Polda NTT Marthen Radja dalam kesempatan itu menegaskan, Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tak pandang bulu. Dalam kasus yang menimpa dua wartawan masing-masing Benny Jahang (Pos Kupang) dan Robert Kadang (TIMEX), Polda sementara melakukan pengusutan.

Sedangkan kasus yang menimp Oby Lewanmeru di Manggarai pun kasusnya telah dinyatakan lengkap (P 21). Muib, SH, selaku Humas Kejaksaan Tinggi NTT pun mengklarifikasi kasus yang menimpa Yoppy Lati (wartawan TIMEX). Menurutnya, saat itu hanyalah keluar kata-kata kasar dari oknum petinggi Kejati namun dianggap sebagai sebuah bentuk ancaman sehingga dilaporkan ke Polresta Kupang. 

Sebelumnya, Gubernur NTT Piet Tallo dalam sambutannya yang dibacakan Plt Kaban Infokom NTT Eduard Gana, pun menyambut baik kebebasan pers, hanyalah mesti dikontrol sehingga jangan kebablasan. Pers harus bisa mengontrol dirinya sehingga bertumbuh dan disenangi masyarakat pembaca. 

Hadir dalam kesempatan itu Dewan Penasihat PWI NTT Damyan Godho, Pemred Kursor Gadrida Djukana, Ketua PWI NTT Dion D.B Putra, serta undangan lain. (boy)

Sengketa Pers Masih Dianggap Sama Kasus Pidana

Makassar (ANTARA News) - Penyelesaian sengketa akibat pemberitaan pers dalam pandangan masyarakat umum, masih dianggap sama dengan penyelesaian sengketa hukum pada umumnya, yakni melalui jalur pidana dan perdata.

Lemahnya pemahaman masyarakat itu, sebab sosialisasi Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 masih minim dan untuk itu perlu ditingkatkan melalui komunikasi intensif, kata Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Hendrayana, SH, di Makassar, Sabtu.

Menurutnya, pemahaman yang sama juga terjadi dalam pandangan aparat hukum. Sehingga dengan situasi tersebut, kasus gugatan dan kriminalisasi terhadap jurnalis dan media semakin meningkat.

Pada tahun 2008, jelasnya, terjadi 32 sengketa pers yang terdiri dari 22 kasus kekerasan, tujuh gugatan hukum dan tiga kriminalisasi pers. Jumlah tersebut meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.

Dijelaskannya, sejak tahun 2003, banyak pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan lebih senang memilih jalur pintas, dengan langsung melaporkan jurnalis atau media ke kepolisian dengan tuduhan-tuduhan pasal-pasal karet yang multi tafsir. 

"Kasus penghinaan, pencemaran nama baik menggunakan pasal karet. Bahkan tuntutan perdata dituntut dengan ganti rugi di luar kewajaran," ujarnya. 

Untuk itu, dikatakan Hendrayana, pihak pers harus selalu menekankan komunikasi ke masyarakat, bahwa ada mekanisme yang patut digunakan dalam kasus sengketa pers, yakni hak jawab dan hak koreksi.

Hanya saja, kendati kedua hak itu harus langsung dimuat pada kesempatan paling utama dan memungkinkan, namun tidak dapat dikuatifisir, misalnya dalam sehari, dua hari atau dua minggu.

Sebab, materi hak jawab harus disampaikan terlebih dahulu ke redaksi oleh orang atau sekelompok orang yang merasa yang merasa harus memberikan jawaban atas pemberitaan itu.

Bisa jadi, materi hak jawab baru diketahui satu atau tiga hari setelah pemberitaan lalu diadakan dialog antara pengguna hak jawab dengan redaksi tentang materi yang akan dimuat. 

Meski begitu, ia mengakui bahwa sistem hukum di Indonesia cukup sulit untuk menerapkan secara penuh implementasi Undang-Undang Pers. 

Sebab sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, dimana hakim tidak terikat terhadap putusan terdahulu dalam perkara sejenis yang pernah diputuskan.(*)

PWI Yogyakarta Laporkan Danlanud Adisucipto

Yogyakarta (ANTARA News) - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta akan melaporkan Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) TNI AU Adisutjipto Yogyakarta kepada polisi karena dinilai menghalangi kerja wartawan saat meliput sidang di tempat kasus kecelakaan pesawat Garuda GA 200 di sekitar lokasi jatuhnya pesawat tersebut,Senin (12/1).

"Tindakan pengusiran wartawan saat meliput sidang yang digelar Pengadilan Negeri (PN) Sleman, oleh Polisi Militer Angkatan Udara (POM AU) jelas menghalangi kerja wartawan, padahal kami sudah berada jauh di luar pagar kawasan yang menjadi kewenangan TNI AU," kata Koordinator Bidang Hukum PWI Yogyakarta, Asril Sutan Marajo.

Menurut dia, pihaknya telah berkoordinasi dengan Ketua Dewan Pers Indonesia dan Ketua PWI Yogyakarta atas kejadian tersebut dan kedua lembaga pers ini mendukung upaya untuk melaporkan Danlanud Adisutjipto ke polisi.

"Kami akan melaporkan anggota POM AU atas nama Kopral Satu Seto yang secara langsung mengusir wartawan, cq Danlanud Adisutjipto, Cq Kepala Staf TNI AU karena kami jelas-jelas telah dihalangi saat melaksanakan tugas peliputan yang juga dilindungi undang-undang," katanya.

Asril mengatakan sidang kasus kecelakaan pesawat garuda itu sendiri merupakan sidang terbuka yang bisa diikuti langsung oleh masyarakat umum.

"Sebelumnya kami sudah memaklumi ketika kami tidak boleh meliput di area TNI AU, tetapi ketika kami sudah berada jauh di luar pagar ternyata masih dikejar-kejar juga," katanya.

Kasus pengusiran terhadap wartawan tersebut dilakukan oleh anggota provost POM TNI AU Kopral Satu Seto saat wartawan mencoba meliput sidang lokasi yang dilakukan Pengadilan Negeri Sleman.

Bahkan, anggota provost tersebut sempat mengintimidasi wartawan dan mengatakan jika mereka tidak mau meninggalkan kawasan tersebut maka akan berurusan dengannya.

Selanjutnya, provost tersebut membawa dan mengisolir wartawan ke pos provost radar yang berada sekitar satu kilometer dari lokasi sidang, sehingga para wartawan tidak dapat meliput maupun mengambil gambar proses sidang.

Sementara itu, Hubungan Masyarakat (Humas) Pengadilan Negeri Sleman, Muslim, mengatakan bahwa memang sidang tersebut terbuka untuk umum, tetapi pihaknya tidak dapat berbuat banyak jika pihak Lanud Adisutjipto melarang wartawan meliput.

"Kami tidak bisa berbuat banyak bahkan sebelumnya kami juga harus menyerahkan nama-nama yang akan mengikuti sidang mulai dari hakim, panitera, jaksa, terdakwa dan penasihat hukum. Selain nama tersebut tidak boleh masuk bahkan satu panitera kami harus menunggu di luar," katanya. (*)

LKBH PWI Bantu Mantan Wartawan GO

Jakarta (PWI News) - Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat pada Senin (12/1) menerima mandat dari 25 mantan wartawan Gema OIlahraga (GO) guna menyelesaikan masalah mereka dengan manajemen PT Media Olahraga Indonesia secara kekeluargaan.

Mantan wartawan GO yang dipimpin Slamet Styadi memberikan mandatnya ke LKBH PWI Pusat sehubungan belum tuntasnya masalah ketenagakerjaan mereka dengan PT Media Olahraga Indonesia yang dulunya bernama PT Media Bina Prestasi selaku penerbit GO.

Pihak Slamet Styadi dan kawan-kawan (dkk) memberikan kewenangan hukum kepada LKBH PWI Pusat, yang diterima Torozatulo Mendrofa SH, Drs. Kamsul Hasan SH dan Subastian Syamsu SH, guna menyampaikan undangan penyelesaian masalah kepada pihak PT Media Olahraga Indonesia (d/h PT Mediabina Prestasi) secara kekeluargaan sampai dengan melakukan somasi.

Selain itu, Slamet Styadi dkk juga memberikan kuasa kepada LKBH PWI Pusat menyelesaikan masalah mereka secara hukum ke berbagai instansi terkait, seperti Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) atau Kantor Wilayah DIsnakertrans Provinsi DKI Jakarta.

Dalam pertemuan koordinasi Slamet Styadi dkk dengan LKBH PWI Pusat, antara lain diungkapkan bahwa banyak di antara mereka saat ini menghadapi masalah belum tuntasnya pemberian pesangon, dan terkena kasus kredit macet dengan pihak Bank DKI yang seharusnya diselesaikan oleh pihak PT Media Olahraga Indonesia (d/h PT Mediabina Prestasi).

Direktur Eksekutif LKBH PWI Pusat, Torozatulo Mendrofa SH, mengemukakan bahwa pihaknya akan mengutamakan penyelesaian kasus tersebut sesuai mandat yang diberikan Slamet Styadi dkk secara kekeluargaan, sekalipun menyiapkan pula jalan hukum sesuai mandat yang diterimanya. (*)

PWI Tak Punya Hubungan Struktural Dengan YKWI

Surabaya (ANTARA News) - Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menegaskan tidak memiliki hubungan struktural dengan Yayasan Kesejahteraan Wartawan Indonesia (YKWI) dan tidak bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang dilakukan organisasi itu.

Penegasan itu disampaikan Wakil Ketua PWI Cabang Jatim, Lutfil Hakim kepada wartawan di Surabaya, Senin, menanggapi kegiatan penggalangan sumbangan berkedok Hari Pers Nasional tahun 2009 yang dilakukan YKWI beberapa pekan terakhir.

"PWI tidak ada sangkut pautnya dengan YKWI. PWI juga tidak punya lembaga struktural seperti itu dan belum ada rencana mengadakan kegiatan peringatan Hari Pers Nasional tahun depan," katanya.

Lutfil mengakui dalam beberapa hari terakhir, pihaknya mendapat sejumlah laporan dan keluhan dari instansi dan lembaga yang didatangi YKWI untuk meminta sumbangan dalam rangka HPN 2009 yang diadakan pada 14 Februari 2009.

Dalam surat yang dikirimkan ke Sekretariat PWI Jatim, DPC YKWI Jatim menyebut dirinya sebagai lembaga swadaya masyarakat yang berencana mengadakan bakti sosial untuk membantu para wartawan lanjut usia dan janda-janda wartawan.

YKWI juga meminta daftar nama wartawan lansia dan janda-janda wartawan di Jatim yang nanti akan diberi sumbangan saat perayaan HPN 2009.

"Karena kami tidak punya hubungan apa-apa dengan organisasi itu, kami tidak menggubris permintaan mereka. Kami juga berencana mengumumkan kepada publik mengenai hal ini, biar masyarakat tahu kalau PWI tidak ada hubungannya dengan YKWI," tegas Lutfil.

Ia menambahkan kasus penggalangan dana atau sumbangan dengan kedok HPN atau kegiatan lain yang dilakukan organisasi semacam YKWI bahkan hingga mencatut nama PWI, sudah sering terjadi dan merugikan masyarakat.

Sementara itu, informasi lain menyebutkan sejumlah oknum pengurus YKWI Jatim sedang berurusan dengan pihak kepolisian, setelah diamankan anggota Brigade Infanteri 1 Marinir, Gedangan, Sidoarjo, saat melakukan penggalangan sumbangan di instansi tersebut pekan lalu.

Sebelum mengamankan dan melaporkan oknum pengurus YKWI ke polisi, petugas Brigif 1 Marinir sempat melakukan klarifikasi kepada PWI Jatim dan mengecek alamat sekretariat organisasi itu di Jalan Kedondong Kidul III/20 Surabaya, yang ternyata hanya rumah biasa.(*)

17 Wartawan Terima Anugerah Adiwarta Sampoerna

Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 17 wartawan Indonesia yang bertugas di beberapa daerah dan ibukota menerima penghargaan Anugerah Adiwarta Sampoerna 2008 yang diumumkan Kamis malam.

Untuk tulisan dengan kategori Humaniora Seni Budaya diraih oleh Silvia Galikano dari Majalah Cocktail dengan "Misinya Menulis". Sedang kategori foto berita seni dan budaya dimenangkan Priyambodo dari Harian Kompas dengan judul "Terbakar".

Pemenang kategori berita humaniora bidang olahraga adalah Lasti Kurnia (Kompas) dengan judul "Berprestasi untuk Mengubah Dunia". Marta Nurfaidah (Surya) berhasil merebut juara kategori berita sosial dengan tulisan berjudul "Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran". Muhlis Suhaeri (Borneo Tribune Pontianak) dengan judul tulisan "The Lost Generation". 

Fotografer Reuters, Crack Palinggi meraih dua gelar di ajang tahunan itu, yakni foto berjudul "Untuk Indonesia" untuk kategori foto olahraga dan "Polusi" untuk kategori foto sosial. 

Tak ketinggalan fotografer LKBN ANTARA, Prasetyo Utomo memenangi kategori foto bidang hukum dengan judul "Sumpah Al Amin". Foto karya Wahyu Setiawan (Koran Tempo) berjudul "Tekanan Politik" menjadi foto terbaik kategori politik. Demikian juga dengan A. Ibrahim (AP) yang mengirimkan foto berjudul "Hancur" menjadi pemenang kategori foto bidang ekonomi.

Tulisan wartawan Modus Aceh, Arsadi Laksamana berjudul "Tiga Tahun MoU, Adakah Yang Berubah" memenangi katagori reportase investigatif politik. Tjipta Lesmana (Majalah Telstra) dengan membuat tulisan berjudul "Pers Nasional, Antara Ruh dan Kinerja" menjadi yang terbaik dalam kategori bidang humaniora politik.

Tulisan berjudul "Nelayan Asing Menjarah Laut, Menebar HIV/AIDS" karya Hendri Firzani (Gatra) menjadi pemenang kategori reportase investigatif bidang hukum.

Irawan Santoso (Majalan Mahkamah) memenangi kategori humaniora bidang hukum dengan tulisan berjudul "Merindukan Advokat Pejuang". Yeni Simanjuntak (Bisnis Indonesia) yang menurunkan tulisan "Menyoal Dana Investasi" menjadi tulisan terbaik kategori reportase investigasi ekonomi.

Marlini Hasan Pontoh (Femina) yang mengirimkan tulisan terbaik berjudul "Meraup Triliunan Rupiah Lewat Gagasan". Liputan berjudul "Salomina Berjuang untuk Meraih Pendidikan" yang dilakukan Anastasya Putri dan Anto Sukma (SCTV) meraih penghargaan untuk kategori berita televisi.

Selain Prasetyo Utomo, dua fotografer LKBN ANTARA, Andika Wahyu dan Musyawir menjadi nominator di ajang tersebut. Satu pewarta tulis LKBN ANTARA lainnya, Masuki M. Astro juga menjadi nominator untuk kategori humaniora ekonomi dengan judul tulisan "1001 Cara Petani Tembakau Madura Kejar Harga".

Untuk tahun ini kategori reportase investigatif olahraga dan seni budaya tidak ada pemenangnya.

"Meskipun karya-karya yang masuk untuk kategori ini sudah cukup baik secara keseluruhan, masih ada beberapa elemen yang belum lengkap, seperti kekuatan dan akurasi data dalam karya tersebut. Mudah-mudahan hal ini dapat memotivasi para jurnalis untuk meningkatkan kualitas karya-karyanya," kata pakar komunikasi, Effendi Gazali, yang menjadi salah satu juri di ajang tersebut. (*)