Polisi Silahkan Amankan Wartawan Gadungan

KUPANG, Timex--Bertolak dari itikad memberi pencerahan kepada publik tentang kemerdekaan pers dan ancamannya, maka Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTT bekerjasama dengan sejumlah pihak diantaranya Dewan Pers, dan Humas Setda NTT menggelar dialog publik.Dialog ini berlangsung di aula RRI Kupang, Sabtu kemarin dengan mengadirkan tokoh pers nasional diantaranya Leo Batubara selaku Wakil Ketua Dewan Pers serta Abdullah Alamudi selaku Waket Dewan Pers dan juga pengajar pada Lembaga Pers Dr Soetomo.

Banyak hal penting yang didiskusikan dalam dialog bertajuk 'Ancaman terhadap Kemerdekaan Pers', antara lain bagaimana peran pers ketika kran kemerdekaan itu dibuka, juga menjamurnya organisasi wartawan, seiring dengan menjamurnya wartawan gadungan di lapangan yang meresahkan banyak pihak.

Tentang kemerdekaan pers, Leo Batubara yang terkenal vokal itu menegaskan "Kemerdekaan pers itu adalah sebuah demokrasi dan pers itu adalah mulut rakyat. Ia penyambung lidah rakyat, sehingga kemerdekaan pers itu haruslah dilindungi,"tegasnya.
Namun menurutnya, kemerdekaan pers justeru terkadang disalahartikan dan inilah salah satu dosa pers saat ini. Ia pun menyebut dosa itu antara lain, ada berita yang diturunkan namun tidak sesuai dengan fakta. "Karena itu solusinya adalah dibredel atau dijewer. Dalam kasus ini, pers tidak boleh dibunuh, melainkan dijewer saja. Nah dengan kehadiran undang-undang pers (UU No.40 tahun 1999 tentang pers-Red) ini diharapkan bisa memberi keseimbangan. Sepatutnya UU pers ini adalah lex specialis,"ujarnya.

Masih dalam kesempatan dialog yang disiarkan langsung oleh RRI Kupang itu, Leo berujar, banyak kasus yang menjerat wartawan. Ia pun menyebut, dalam lima tahun terakhir, berdasarkan laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), telah terjadi 453 buah kasus yang terindikasi sebagai tindakan kekerasan terhadap wartawan. Dari data tersebut, pelaku kekerasan terhadap wartawan hingga tahun 2005 persentasinya 42,4 persen dilakukan oleh anggota Polri, aparat pemerintah, TNI, parlemen dan jaksa sedangkan sisanya 39, 7 persen oleh masyarakat.

Khusus untuk Provinsi NTT, selama semester pertama tahun 2008, tercatat lima wartawan di NTT yang menjadi korban ancaman dan atau tindakan kekerasan terkait pemberitaan.

Dalam penuntasan kasus-kasus itu, banyak yang penyelesaiannya menggunakan KUHP dan mengesampingkan UU No 40 tahun 1999 tentang pers. Padahal Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menurutnya, pernah di depan Dewan Pers pada 25 Januari 2005 di Istana Negara mengatakan "Pertama, penyelesaian maslaah berita pers ditempuh dengan hak jawab; Kedua, bila masih 'dispute' diselesaikan ke Dewan Pers; Ketiga, penyelesaian dengan jalur hukum tidak ditabukan, sepanjang fair, terbuka dan akuntabel.
Namun sayangnya, banyak pihak yang saat ini justeru menyelesaikan kasus pers mengesampingkan UU No 40, melainkan menggunakan KUHP. Dan memang banyak dipraktekkan di negara ini. 
"Kalau salah, cukup buatlah hak jawab. Kalau ia sudah menghina agama barulah gunakan KUHP,"tegas Leo Batubata saat itu. Dalam makalahnya pun Leo menulis hal yang sama, yakni UU Pers jangan dijerumuskan ke persoalan Lex Specialis atau tidak namun yang menjadi persoalan adalah mempedomani KUHP buatan Kolonial Belanda yang didesain untuk melumpuhkan kontrol dan kritik rakyat Indonesia terjajah, atau mengacu UU Pers produk gerakan reformasi yang didesain untuk melindungi kontrol pers atas penyelenggaraan kekuasaan untuk mencegah/meminimize power tends to corrupt.

"Inilah yang membuat saya sedih, mengapa institusi penegak hukum di negara ini lebih memilih menggunakan KUHP daripada UU No 40. Saya hormat pada pengacara yang masih gunakan UU Belanda tapi kan kasihan rakyat,"ujarnya.

Ia pun menyerukan "Hendaknya dipahami bahwa kriminalisasi pers, tindakan kekerasan terhadap pers dan wartawan tanpa terkena hukuman akan berdampak melumpuhkan fungsi kontrol pers dan kebebasan pers. Akibat ikutannya, rakyat banyak akan terus menerus menjadi korban dari kesewenang-wenangan penyelenggara negara."

Dalam penjelasannya mengenai kondisi kewartawanan saat ini, Leo merincikan, wartawan penguber amplop memiliki beberapa sebutan yakni Bodrex, CNN (Cuma Nanya-Nanya), WTS (wartawan tanpa suratkabar), Muntaber (muncul tanpa berita). Jika dalam praktek di lapangan ada yang meresahkan masyarakat, silahkan diadukan ke polisi.

Sementara koleganya Abdullah Alamudi ketika menjawab pertanyaan pendengar RRI maupun peserta dialog di Studio RRI, mengenai banyak berita yang diturunkan media massa tanpa konfirmasi, ia katakan "Berita (tentang kasus) itu tidak boleh diturunkan tanpa konfirmasi atau verifikasi. Verifikasi itu harus turun hari itun juga pada edisi yang sama,"tegas mantan wartawan BBC Lndon itu seraya menambahkan, jika tidak maka si wartawna akan dijerat pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.

Ketika berita itu turun tanpa konfirmasi dan perusahaan pers dan wartawannya dijerat hukum, maka Dewan Pers akan hadir sebagai saksi ahli, dan pekerja pers itu takkan mungkin ditolong. 

"Karena itu saya perlu tekankan disini bahwa jangan ada wartawan yang masuk penjara karena pekerjaan pers. Kami (Dewan Pers) akan hadir membela mereka. Perlu diketahui, Dewan Pers tidak hadir hanya untuk wartawan, melainkan juga untuk masyarakat umum,"jelas Alamudin.

Sementara Kabid Humas Polda NTT Marthen Radja dalam kesempatan itu menegaskan, Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tak pandang bulu. Dalam kasus yang menimpa dua wartawan masing-masing Benny Jahang (Pos Kupang) dan Robert Kadang (TIMEX), Polda sementara melakukan pengusutan.

Sedangkan kasus yang menimp Oby Lewanmeru di Manggarai pun kasusnya telah dinyatakan lengkap (P 21). Muib, SH, selaku Humas Kejaksaan Tinggi NTT pun mengklarifikasi kasus yang menimpa Yoppy Lati (wartawan TIMEX). Menurutnya, saat itu hanyalah keluar kata-kata kasar dari oknum petinggi Kejati namun dianggap sebagai sebuah bentuk ancaman sehingga dilaporkan ke Polresta Kupang. 

Sebelumnya, Gubernur NTT Piet Tallo dalam sambutannya yang dibacakan Plt Kaban Infokom NTT Eduard Gana, pun menyambut baik kebebasan pers, hanyalah mesti dikontrol sehingga jangan kebablasan. Pers harus bisa mengontrol dirinya sehingga bertumbuh dan disenangi masyarakat pembaca. 

Hadir dalam kesempatan itu Dewan Penasihat PWI NTT Damyan Godho, Pemred Kursor Gadrida Djukana, Ketua PWI NTT Dion D.B Putra, serta undangan lain. (boy)

Tidak ada komentar: