Kisah Anak Pelacur dan Kelembutan Jurnalisme

Oleh Alfred Dama

SEORANG wartawan dalam pekerjaannya selalu berupaya agar berita yang dibuatnya menarik perhatian pembaca. Kondisi ini juga tidak terlepas dari tuntutan pemasaran dari manajemen media tersebut. Namun sikap kurang profesional wartawan terkadang melahirkan polemik dan diskusi mengenai berita tersebut.

Seperti halnya berita tentang kisah seseorang yang mencari ibunya dan menemukan makam ibunya setelah ia berusia 28 tahun. Selama hidupnya, wanita ini tidak pernah mengenal ibu kandungnya.

Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian (2)

Kisah ini dimuat pada sebuah harian terbitan Surabaya tanggal 12 Juni 2009. Berita itu menggambarkan seorang perempuan asal Desa Sumbermaron, Kalipere, Malang, yang berhasil menemukan makam ibunya setelah ia berpisah dari sang ibu.
Perpisahan dengan sang ibu terjadi karena wanita yang bernama Kesih ini dibawa ke Belanda dan menjadi warga negeri kincir angin tersebut.

Menjadi persoalan adalah wanita yang bernama lengkap Kesih van den Berg van de Jong dilaporkan sebagai anak pelacur. Padahal posisi sebagai anak pelacur merupakan hal privasi dalam kehidupan pribadinya.


Atmakusmah Astraatmadja dari Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) mengutip tulisan yang dimuat media tersebut. "Kesih adalah hasil hubungan antara Tumi (ibu Kesih) dengan lelaki hidung belang tatkala Tumi masih menjadi PSK (pekerja seks komersil) di kawasan lokalisasi Kremil, Surabaya."

Laporan harian tersebut berjudul, Pisah 28 Tahun, Anak PSK Temui Ibunya dan Kisah Anak PSK Bertemu Pusara Ibunya. Menurut Atmakusumah, laporan itu memperlihatkan antusiasme untuk menonjolkan posisi ibu Kesih sebagai seorang pelacur.
Pemberitaan media edisi 19, 20 dan 21 Juni 2009 ini pun mengundang polemik dan diskusi. Pewarta media ini dianggap tidak memiliki sensitivitas atau sentuhan kesantunan dalam pemberitaan.

Menonjolkan sikap anak pelacur juga menunjukkan wartawan belum bekerja sebagai seorang wartawan yang baik. Wartawan juga tidak menghargai orangtua angkat Kesih atau suami Kesih yang mungkin saja sangat terpukul dengan stempel yang diberikan wartawan tersebut.

"Harusnya berita itu seizin yang bersangkutan, suami atau anaknya. Dan, tidak boleh ditulis dalam berita," jelasnya.
Mengutip Prof. Dr.Janet E.Steela dari Associate Profesor pada School of Media and Pulic Affair-George Washington University di Wasington Amerika Serikat dan Arnold Zeitlin, mantan wartawan Associated Press, Atmakusumah mempertanyakan siapa sumber informasi ini.

Dalam konteks berita, narasumber amat penting untuk memastikan akurasi dan untuk menguji apakah informasi itu pantas dipublikasikan. Akan tetapi, siapa pun nara sumbernya, ini adalah masalah privat yang tidak patut dipublikasikan dengan mengungkapkan informasi latar belakang subjek berita yang demikian rinci.

Atmakusumah juga menyampaikan, Dr.Yasuo Hanazaki di Tokyo, pengamat media pers dan politik Asia serta mantan wartawan harian Shimbun tidak keberatan apabila fakta ibu Kesih seorang pelacur dan ayahnya seorang pria hidung belang diungkapkan pada publik, namun fakta tersebut harus memiliki nilai berita, publikasi itu harus mendapat persetujuan Kesih dan keluarganya dan fakta itu sebaiknya diuraikan dengan gaya penulisan yang santun oleh wartawan yang memiliki kepekaan terhadap perasaan subjek beritanya.

Hanazaki juga keberatan dengan judul berita Pisah 28 Tahun, Anak PSK Temui Ibunya dan Kisah PSK Bertemu Pusara Ibunya. Menurut pendapat Hanazaki, judul sebaiknya Pisah 28 Tahun, Anak Adopsi Temu Ibunya. Menurut, Hanazaki, penulisan berita tersebut merupakan masalah kesantunan dan kelembutan dalam jurnalisme.

Atmakusamah menjelaskan, pemberitaan yang dibuat harus melihat berbagai dimensi kehidupan seperti halnya Kesih. Sebab, julukan sebagai anak pelacur akan membawa dampak psikologis terhada Kesih dan keluarganya. Bila wartawan dan media tersebut lebih bijak, maka judul harus lebih bijak tanpa mengurangi fakta dalam berita tersebut.


Ia menjelaskan, berbagai berita yang dibuat wartawan juga kerap menginformasikan secara tidak lengkap dan bias yang dipandang melanggar etika jurnalistik, karena informasi yang disampaikan tidak lengkap atau tidak lebih dari satu sisi sehingga informasi yang disajikan parsial dan bias.

Ia mencontohkan pemberitaan tentang milisi Timor Timur, yang katanya diguyur dengan bensin dan dibakar hidup-hidup. Bila berita ini benar maka akan berimplikasi luas terhadap pasukan PBB di Timor Timur. Bahkan, pasukan PBB asal Australia tersebut bisa ditarik ke negaranya, namun kebenaran berita itu tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam berita itu, disebutkan seorang anggota Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) Mahadomi bernama Clementino dibakar hidup- hidup hingga mati. Berita sepihak ini dimuat oleh berbagai surat kabar dan televisi di Indonesia tanpa konfirmasi dari pihak yang dituduh membunuh tersebut. Namun berita ini menjadi sumber yang tidak bisa dipercaya karena hanya membuat satu sumber saja.

Dalam contoh kasus ini, wartawan harus jeli melihat isu yang diangkat dan sepatutnya melakukan upaya konfirmasi dengan pihak-pihak yang disebutkan dalam berita.

"Siapa pun dia yang namanya disebutkan dalam berita harus mendapat atau dikonfirmasi terlebih dahulu, sehingga berita menjadi lengkap dan akurat," jelasnya.

KEJ
Menurut Atmakusumah, di antara etika jurnalistik dengan penafsiran yang baku termasuk empat kodek etik memiliki sanksi moral yang bersifat absolut. Yaitu, bahwa wartawan harus serta merta meninggalkan profesi jurnalistik untuk selamanya apabila melanggar salah satu kode etik.

1) Membuat berita dengan informasi yang sejak semula diketahui bohong, tetapi dipublikasikan seolah-olah mengandung kebenaran. 2) Menerima suap yang menyebabkan publikasi atau sebaliknya tidak mempublikasikan suatu informasi, 3) Melakukan plagiarisme dengan mengutip karya jurnalistik orang lain yang diakuinya sebagai karyanya sendiri, dan 4) Mengungkapkan identitas narasumber anonim, konfidensial atau rahasia yang menyebabkan narasumber yang dijanjikan akan dirasakan itu serta anggota keluarganya mengalami ancaman jiwa.

Ada pula kode etik yang bisa diabaikan khusus pada wartawan yang melakukan liputan investigatif. Di antaranya etika jurnalistik melarang wartawan menyamar dalam peliputan berita. Seorang wartawan harus memperkenalkan diri saat berbincang atau melakukan tugas, bahkan tanda pengenal harus terlihat jelas. Wartawan juga dilarang memotret subjek berita dari jarak jauh tanpa diketahui oleh subjek berita. Seorang wartawan yang baik adalah memberitahukan media asalnya sebelum memotret atau setelah memotret. Wartawan juga dilarang mempublikasikan berita hasil menguping.

Kalaupun informasi itu dirasa penting, maka wartawan yang bersangkutan harus memberitahukan atau meminta izin kepada subjek berita untuk proses pemberitaan tentu dengan seizin narasumber tersebut barulah berita tersebut bisa dimuat.

Wartawan juga tidak diperkenankan menguntit subjek berita tanpa ijin dan menunggui subjek berita di muka rmah atau di depan kantornya untuk melakukan peliputan wawancara dimana subjek berita tersebut sudah menyatakan keberatan.

Wartawan juga dilarang melakukan wawancara dengan nada keras atau memaksa nara sumber, baik tatap muka langsung atau melalui telepon. Wartawan juga tidak diperkenankan mengutip dokumen untuk sumber laporan jurnalistik serta tidak diperkenankan merekam pembicaraan narasumber atau subjek berita dengan sembunyi-sembunyi.

Atmakusumah menjelaskan, peliputan penyidikan hanya dilakukan jika ada hubungan dengan kepentingan publik yang berkaitan dengan keselamatan, keamanan dan kesehatan masyarakat. Selain itu, bila terjadi pelanggaran hukum ketika wartawan mengabaikan etika jurnalistik, sanksi hukum masih tetap harus ditanggung oleh peliput laporan investigatif tersebut. (bersambung)

Pos Kupang 3 November 2009 halaman 1

Tidak ada komentar: