Pers yang Memulai dan Mengakhiri

Oleh Alfred Dama

Pengantar
PADA Rabu dan Kamis (14-15/2009), sebanyak 35 wartawan media cetak dan elektronik mengikuti Lokakarya Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian di Hotel Kristal Kupang. Para wartawan bukan saja dari Propinsi Nusa Tenggara Timur, tetapi ikut pula sebanyak enam wartawan media cetak dan elektronik asal Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).

Para pembicara dalam seminar yang digelar oleh Departemen Luar Negeri RI dan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) ini adalah Bambang Harymurti dari Dewan Pers, Theo Satrio Nugroho dari Departemen Luar Negeri, Dr. Frans Rengka dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dan Atmakusumah Astraatmadja dari LPDS serta moderator Priyambodo dari LPDS.

Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian (1)

PADA tahun 1990-an, dua negara di Eropa yaitu Yunani dan Turki nyaris terlibat perang terbuka dengan melibatkan kekuatan bersenjata dari unsur Angtaran Laut dan Angkatan Udara. Kedua angkatan bersenjata dengan persenjataan modern, pesawat tempur canggih, kapal perang berpeluru kendali serta satuan-satuan tempur lainnya sudah berhadap-hadapan di periaran pulau kecil di wilayah dua negara itu.

Pulau itu oleh Yunani dikenal dengan nama Imia dan oleh masyarakat Turki dikenal dengan nama Kardak. Sengketa dua negara itu adalah kepemilikan pulau yang tidak berpenghuni tersebut yang memiliki luas 40 hektar.

Peristiwa itu bermula pada Desember 1995, ketika sebuah kapal Figen Akat yang berbendera Turki terdampar di pulau tersebut, sebua kapal tunda asal Yunani bermaksud menarik kapal tersebut, namun ditolak oleh kapten kapal Figen Akat.

Masalahnya, kapten kapal Figen Akat merasa kapal yang terdampar itu masih berada di wilayah Turki sehingga menjadi kewenangan Turki untuk menarik dan memandu kapal tersebut. Sebaliknya, kapal tunda Yunani merasa kapal itu sudah berada dalam wilayah teritori Yunani.

Anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti, pada Lokakarya Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian di Ruang Mahkota-Hotel Kristal Kupang, Rabu (14/10/2009), mengisahkan, pada tanggal 26 Januari 1996, Walikota Kalymnos dari Yunani memasang bendera Yunani di pulau tersebut dan dimuat berbagai koran sebagai reaksi sebuah artikel di majalah mingguan Gramma yang menyinggung pulau tersebut milik Turki.

Sebagai reaksi atas pemasangan bendera tersebut, awak TV asal Turki terbang dengan menggunakan helikopter dan menurunkan Bendera Yunani dan memasang Bendera Turki, acara ini pun disiarkan langsung oleh Televisi Turki dan tertangkap televisi Yunani.

Akibat ulah wartawan ini, pasukan elite dua negara pun terlibat dan menyusup silih berganti ke pulau tersebut untuk mengganti bendera. Pemberitaan di media masing-masing negara terus dengan warna-warna propaganda.

Hal inilah yang memperuncing amarah pemerintah dan rakyat dua negara tersebut. Selanjutnya armada perang pun disiapkan untuk menguasai pulau tersebut.

Selanjutnya, pejabat Amerika Serikat di bawah pimpinan Richard Holbrook bekerja keras untuk mendinginkan suasana panas yang nyaris membawa dua negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau North Atlantic Treaty Organisation (NATO) terlibat perang.

Penyebab dua negara ini ingin berperang adalah sikap wartawan pada masing-masing negara yang terus memberitakan tentang pulau tersebut. Wartawan Turki terus membuat panas pemerintah dengan rakyatnya dengan menyebutkan pulau tersebut merupakan kedaulatan Turki yang akan direbut Yunani dan sebaliknya para wartawan di Yunani juga terus mengobarkan semangat nasionalisme tentang hak Yunani atas pulau tersebut.

Di masing-masing negara, aksi masyarakat pun dilakukan sebagai bentuk sikap nasionalisme dan mengarah pada perang antara dua negara.

Pasukan perang dua negara yang siap berperang tersebut akhirnya membuat wartawan di dua negara tersebut sama-sama menyadari bahwa perang bukanlah jalan yang baik untuk menyelesaikan masalah. Perang hanya akan membawa kehancuran dan korban bagi masing-masing pihak ditambah dengan penderitaan yang akan tanggung masyarakat masing- masing negara.

Pengurus organisasi wartawan dari dua negara tersebut akhirnya bertemu di London-Inggris untuk membahas masalah ini. Dalam pembahasan itu disepakati bahwa masing-masing jurnalis dari dua negara bersama-sama meredam situasi memanas dari dua pihak. Langkah wartawan dua negara melalui berita-berita yang menyejukkan ini berdamapak positif, dua negara yang siap perang akhir akhirnya memilih menyelesaikan sengketa ini dengan cara berunding sehingga perang tidak jadi setelah masing-masing pihak menarik kembali satuan-satuan perang dari wilayah sengketa itu.

Menurut Bambang Harymurti, cerita tersebut merupakan bentuk peran wartawan dalam membuat situasi menjadi lebih baik atau lebih rusak. "Ini adalah contoh pilihan wartawan dalam meliput konflik, menjadi bagian dari konflik atau menjadi jembatan komunikasi dan saling pengertian semua pihak yang terlibat konflik," jelasnya.

Dalam suatu konflik, peran wartawan dalam pemberitaan secara sengaja atau tidak sengaja atau sadar maupun tidak sadar memiliki pengaruh yang besar terhadap publik. Pemberitaan yang provokatif akan memancing amarah yang sedang berkonflik dan sebakinya. Seringkali pemberitaan wartawan menjadi pemicu sebuah peristiwa besar yang sebelumnya tidak disadari oleh wartawan. Ironisnya ada wartawan yang sengaja menciptakan kondisi itu. Profesi wartawan mestinya dipahami benar oleh para jurnalis sehingga dalam pemberitaan tetap mengambil langka bijak dalam membuat berita.

Sikap wartawan yang profesional juga diperlukan. Alasan nasionalisme wartawan tidak menjadi penghambat untuk memberitakan hal buruk yang dilakukan pejabat negara atau aparat negara.

Bambang mencotohkan, ia pernah dipanggil oleh Mabes TNI karena pemberitaan di medianya yang membuat tentang penembakan beberapa anak-anak oleh aparat TNI di Aceh. TNI saat itu berkeras bahwa orang-orang yang terbunuh adalah anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sementara pemberitaan di medianya yang terbunuh adalah anak-anak Aceh yang sedang memancing di empang (kolam) ikan. Padahal TNI sudah merilis berita bahwa penembakan dilakukan oleh TNI.
Kasus itu menjadi bahwa penyelidikan oleh TNI dan hasilnya adalah anak-anak itu adalah pemuda anggota GAM. Namun setelah diteliti oleh wartawannya ke desa lokasi penembakan tersebut diketahui para korban hanyalah anak-anak.

"Saya ditanya, kenapa beritanya begitu, saya bilang yang menjadi korban juga anak-anak Indonesia," jelasnya.

Jawaban tersebut pun diterima oleh pihak TNI karena tentunya TNI tidak ingin mengakui anak-anak tersebut adalah musuh. Sebab, Aceh juga bagian dari Indonesia. Apa yang disampaikan oleh Bambang tersebut ingin mengajak para peserta lokakarya untuk tetap mengambil sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap salah. Wartawan dalam posisi yang nasionalis tetap harus menjalankan fungsi kontrol terhadap kebijakan publik. (bersambung)

Pos Kupang 2 November 2009 halaman 1

Tidak ada komentar: