Media Massa dan Tanggung jawab Kehidupan

Oleh Pius Rengka

Tema tulisan kali ini menyimpan sedikitnya tiga pokok soal utama. Pertama, perihal fungsi media massa di dalam interaksi manusia. Kedua, terkait balancing (keberimbangan). Ketiga, terkait tanggung jawab media massa terhadap pengembangan kehidupan manusia. Mengingat tiga hal penting itu, saya mencatat beberapa hal berikut ini.

Pertama, media massa adalah perihal konteks sosial yang fenomenal. Berbicara tentang kehidupan riil yang sarat dengan dinamika sosial dari mana media massa itu hidup (berinteraksi). Pada konteks itu, media massa merupakan cermin dari realitas sosial masyarakatnya. Perspektif sosiolog Prof. Dr. Charles Horton Cooly, media massa adalah cermin masyarakat itu sendiri (looking glass self).

Kedua, realitas empiris para jurnalis. Banyak jurnalis belum sanggup menghormati pekerjaannya, entah karena cara hidupnya, cara pikirnya dan cara tindak lakunya dalam berinteraksi dengan 'orang lain' (sengaja diberi tanda petik). Pada konteks itu, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau patut dibicarakan tentang kualitas manusia yang diharapkan untuk pekerjaan mulia dan besar sebagai jurnalis. Jurnalis pasti selalu berurusan dengan 'kata' dan 'gambar' serta 'suara'. Maka jurnalis tak boleh main-main dengan kata, gambar dan suara. Jurnalis juga tak boleh meremehkan profesinya dengan sikap serba amatiran.

Sikap amatiran adalah perilaku pelaku media yang baru akan menulis atau menyiarkan kisah atau peristiwa manakala diberi duit oleh para narasumber atau menulis agar yang ditulis memberi duit. Sikap wartawan haruslah wajar. Artinya sopan, punya etiket dan etika, bekerja dengan persiapan mantap. Jurnalis juga harus sanggup menanamkan kepercayaan kepada pihak lain. Jurnalis adalah actor credible.

Jurnalis wajib memuliakan pekerjaannya karena ia pasti selalu mempertaruhkan kebenaran fakta. Fakta, memang, pada dirinya sendiri membenarkan dirinya tanpa dibela. Tetapi, demi pembelaan jurnalis terhadap kebenaran fakta, jurnalis wajib memiliki sejumlah keutamaan mulia, yaitu pintar, cerdas, jujur, adil, obyektif dan tentu saja rendah hati. Untuk sampai ke level itu, jurnalis harus selalu berhubungan dengan banyak bacaan, baik berupa buku (textbook atau literatur), jurnal-jurnal, hasil-hasil riset yang berkualitas lokal, nasional maupun internasional.


Implikasinya, jurnalis wajib tahu sedikitnya satu bahasa asing (selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah), meskipun cuma pasif. Jurnalis disarankan belajar banyak hal. Itulah sebabnya selalu dikatakan, untuk menjadi jurnalis adalah upaya untuk menjadi manusia sulit, karena jurnalis merupakan proses sejarah untuk menjadi manusia multidimensional dalam pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Seorang jurnalis adalah juga seorang budayawan. Seorang jurnalis adalah juga seorang politisi, aktor pro demokrasi. Seorang jurnalis adalah juga 'ahli' filsafat.

Maka jurnalis adalah spesialis untuk urusan general, atau generalis yang spesial. Terus terang, saya sangat sulit membayangkan seseorang menyebut diri jurnalis, tetapi tidak memiliki ilmu pengetahuan yang cukup. Sulit saya membayangkan jurnalis yang tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahkan saya sulit membayangkan orang bisa menjadi jurnalis hanya dengan modal cengar cengir dengan bahasa tulisan atau laporan yang tanggung. Janganlah pekerjaan menjadi wartawan semacam perjalanan nasib saja. Tulisan atau laporannya hidup, berwarna, berlagu dan melodis. Hal itu sangat banyak bergantung pada pilihan kata yang dipakainya. Herbert Block, jurnalis agung atau bapak para jurnalis dunia mengatakan: Make me see (buatlah supaya saya bisa melihat).

Ketiga, media massa sebagai instrument politik karena hasil karya jurnalis senantiasa berurusan dengan proyek peradaban manusia itu sendiri. Peradaban masyarakat dan peradaban para pekerja media akan selalu menjadi opsi utamanya (optio fundamentalis).

Keempat, patut diketahui sejak dini bahwa kita masing-masing (di arena mana pun Anda berada) memiliki kecenderungan berjiwa kerdil. Kita masing-masing diberati aneka kecenderungan picik, tetapi kita dalam sebuah lembaga, apalagi dalam lembaga media massa, harus sanggup mengatasi segala kekerdilan dan kepicikan itu. Keseluruhan pelaku dalam media massa hendaknya berjiwa lebih mulia dibanding yang lain. Jurnalis bisa saja di lapangan dan menulis dengan cara bekerja sendiri-sendiri, tetapi harus segera disadari, jurnalis datang dari kebersamaan, dari komitmen bersama, dari mobilisasi kelebihan-kelebihan masing-masing individu di dalam organisasi media massa.

Kesan
Ada kesan kuat, banyak pihak agak merasa 'gerah' dengan perilaku para jurnalis, apalagi substansi berita media massa di wilayah ini, terutama tulisan atau siaran yang terkait dengan ranah politik, birokrasi dan hal yang bersifat privasi. Ada kesan, ada jurnalis yang menulis tanpa sedikit pun kesanggupan membedakan mana yang politis dan mana yang privasi, mana pula yang bersifat mendorong kinerja birokrasi.

Kesan itu serentak hadir di benak saya ketika pihak-pihak terkait kerap berceritera tentang perilaku jurnalis. Antara lain gemar minta ongkos atau bahkan ada di antaranya yang bernada agak 'memeras'. Tetapi mengapa hal itu terjadi?
Menurut saya, hal itu mungkin saja terjadi, karena peringkat mutu jurnalis itu sendiri dan lembaganya. Untuk memahami lebih jauh tentang para jurnalis, sebaiknya kita perlu mencermati hal-hal berikut ini.

Karya jurnalistik itu berupa tulisan, suara, gambar atau karikatur, vignyet. Hasil karya jurnalistik akan sangat banyak ditentukan oleh kapasitas/kemampuan para jurnalis itu sendiri. Kapasitas jurnalis sangat ditentukan oleh tingkat pendidikannya, kesanggupan membaca riset-riset akademis, keluasan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Makin rendah pengetahuan jurnalis, biasanya makin buruk pula caranya memberitakan satu hal. Sebaliknya, makin banyak dan luasnya pengetahuan jurnalis, maka nilai tulisannya pun makin punya perspektif dan memenuhi alur konteks.

Dalam dunia tulis-menulis, misalnya, seorang wartawan wajib tahu secara mendasar bahasa, logika dan kelengkapan penulisan. Untuk urusan berbahasa, patut diperhitungkan hal-hal berikut ini:

Bahasa. Bahasa yang dipakai berfungsi mendidik (fungsi edukasi) publik agar pembaca/pendengar tahu bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk itu, saya sarankan agar para jurnalis membiasakan diri membaca kamus (KUBI) dan media-media lain yang bagus. Majalah Tempo adalah salah satu media yang disarankan untuk dibaca.

Kalimat. Kalimat haruslah efektif. Artinya, kalimat berita atau kisah itu pendek atau lekas. Pengandaiannya, pembaca atau pendengar adalah orang sibuk.

Kosa kata. Pilihan kata deskriptif. Wartawan tidak perlu mengopinikan fakta. Sekali lagi, deskripsi. Jangan-jangan menulis tokoh yang lagi merengut, ditulis wartawan dengan kata 'marah'. Padahal tokoh itu sedang berpikir keras tentang suatu hal yang amat penting, karena itu dia merenung sangat serius atau karena konstruksi wajahnya memang sudah demikian. Mau bilang apa. Wartawan menulis 'sumber tak mau ditemui', padahal faktanya 'sumber tersebut sakit atau lagi sungguh sibuk'. Kosa kata yang dipakai ikut menentukan situasi psikologis dan bahkan kualitas jurnalis itu sendiri.

Data. Tulisan yang baik adalah tulisan dengan data akurat. Prinsip akurasi itu sangat penting untuk semua urusan. Misalnya, tulis nama orang, keterangan tempat, waktu dan gelar, dan lain-lain harus tepat. Jangan menulis menurut dugaan wartawan. Yang boleh menduga adalah pembaca atau pendengar. Pius Rengka ditulis Paus Rangka atau Rangka Paus. Jangan pula menulis berdasarkan hasutan orang lain, karena wartawan serupa itu tidak lebih dari babu hasutan yang pada gilirannya akan mudah tidak diperhitungkan.

Struktur tulisan. Tulisan yang baik itu indah. Persis sama dengan membayangkan tubuh seorang penari balet yang tubuhnya molek. Strukturnya jelas dan proporsional. Janganlah menulis berita atau ceritera dengan struktur daging bertumpuk, seperti seorang tambun yang suloit bergerak lekas. Terkait struktur tadi, tulisan harus logis, koherensi jelas. Transisinya pun mantap.

Kelengkapan. Kelengkapan ini tidak hanya bahasa yang lengkap, tetapi juga data atau informasi. Begini nasihat para jurnalis kawakan: Prinsip 5W plus 1H itu membuat pembaca atau pendengar merasa 'terlibat' di dalam peristiwa. Itulah sebabnya Herbert Block mengatakan: Make me see. Dengan kata lain, orang buta pun bisa merasakan atau melihat peristiwanya.

Panjang tulisan. Tulisan yang disiarkan harus diandaikan dibaca atau didengar oleh orang-orang sibuk. Jika wartawannya lebih banyak mengantuk, janganlah pula diandaikan pembaca ikut mengantuk. Jadi, tulisan harus pantas dan pas. Sekali lagi, tulisan jurnalis adalah peradaban jurnalis itu.

Akurasi. Ini hukum tertinggi dalam dunia penulisan berita. Rumusannya begini: Hukum pertama adalah akurasi, hukum kedua akurasi, hukum ketiga akurasi. Karena itulah, jurnalis adalah orang yang dilatih untuk bekerja dengan tingkat presisi yang sangat tinggi. Ia makhluk presisif.

Ekonomi kata. Prinsip ringkas, tepat dan jelas. Karena itu, secara teknis penggunaan tanda baca menjadi sangat penting untuk mengubah fungsi kata. Misalnya, kata 'bahwa' bisa diganti hanya dengan penempatan tanda baca 'koma' setelah kata yang ditulis sebelumnya.

Nah, jika semua syarat di atas terpenuhi, maka wartawan berpikir tentang balancing. Bukankah pekerjaan wartawan adalah pekerjaan untuk mengubah dan membentuk peradaban?

Akibatnya, para pembaca selalu akan merasa nyaman dan percaya bahwa karya jurnalistik itu menjadi sumber informasi, sumber pembentuk perilaku atau sumber data peradaban. Makin tinggi peradaban wartawan makin tinggi pula peradaban masyarakat tempat dari mana dan di mana wartawan itu bertugas.

Para pembaca tak harus gelisah dengan tulisan atau siaran berita dari mana pun itu berasal karena ditulis oleh jurnalis yang terandalkan, credible dan berwawasan luas.
Menurut saya, pekerjaan wartawan itu disegani orang bukan karena jurnalis itu bekerja di lembaga yang kaya dan besar kekuasaannya, melainkan karena kesetiaannya kepada hati nurani yang jernih.

Mirabeau yang hidup pada rejim revolusi Prancis berseru begini: "Audax, audax, audax". Artinya, hati nurani, hati nurani dan hati nurani. Hati nurani yang baik tumbuh dalam semai tradisi yang dibangun di atas komitmen kuat agar seluruh karya para jurnalis berwatak menyuarakan, menapaskan, memperjuangkan suara hati, nilai-nilai kemanusiaan, segala yang mulia, yang adil, yang baik untuk mengangkat dan melindungi perikehidupan manusia. Maka, pola komunikasi para jurnalis dengan pihak-pihak lain berwatak human compassion. *

Pos Kupang 5 November 2009 halaman 4

Tidak ada komentar: