Harian The New York Times dan The Washington Post tidak dipersalahkan setelah menerbitkan Pentagon Papers, dokumen amat rahasia tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam.
Padahal, penerbitan dokumen ini membuka aib para petinggi negara yang berbohong kepada publik, tidak jujur, dan manipulatif dalam menjelaskan alasan keterlibatan AS pada Perang Vietnam dan kondisi peperangan itu sendiri.
Juni 1971, Mahkamah Agung AS memutuskan publikasi atas Pentagon Papers sah demi kepentingan umum. Publik berhak mengetahui pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan, berikut skandal-skandal yang terjadi di dalamnya. Usaha pemerintah menjaga kerahasiaan dokumen itu tidak benar-benar demi melindungi keamanan negara, alih-alih lebih menutupi rasa malu pemerintah dan pejabat publik yang telah mengambil keputusan yang salah dan berbohong kepada khalayak.
Berhak tahu
”Kepentingan publik jauh lebih pokok daripada sekadar nama baik pemerintah atau pejabat publik.” Inilah pelajaran dari kasus Pentagon Papers. Pelajaran ini dapat menjadi pijakan membahas maraknya kritik terhadap peran media dalam kontroversi ”cicak melawan buaya”.
Berbagai pihak menuduh liputan media telah kebablasan, terutama dengan menyiarkan rekaman penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sidang-sidang kasus hukum anggota KPK. Bahkan, sempat muncul gagasan melarang penyiaran langsung.
Perspektif kebebasan informasi pertama-tama akan menegaskan, publik berhak mengetahui duduk perkara kriminalisasi anggota KPK, kinerja penegak hukum yang bekerja berdasarkan mandat publik dan menggunakan dana negara, serta detail proses pemberantasan korupsi. Maka, membuka proses persidangan kasus hukum anggota KPK menjadi suatu imperatif. Demikian juga liputan media guna memberikan kesempatan kepada lebih banyak orang mengikuti proses persidangan di pengadilan maupun DPR. Prinsipnya, hak publik atas informasi selalu mencakup hak publik mengikuti pertemuan publik.
Pembatasan akses terhadap proses persidangan pada kasus dengan magnitudo yang besar— seperti kriminalisasi KPK—tetap dimungkinkan dalam kondisi amat mendesak atau darurat. Namun, pembatasan akses mutlak dilakukan melalui uji kepentingan publik guna memastikan pembatasan itu benar-benar mendesak dan tidak merugikan kepentingan publik.
Yang harus dihindari ialah pembatasan akses yang dilakukan hanya untuk menutup skandal, melindungi reputasi lembaga atau pejabat publik sebagaimana terindikasi dalam persidangan. Sekali lagi, kepentingan publik jauh lebih fundamental daripada kepentingan menjaga reputasi lembaga atau pejabat publik.
Fungsi kontrol
Perlu dicermati pula tuduhan berbagai pihak bahwa media telah melakukan pengadilan sendiri melalui publikasinya, menjadi tirani opini, dan penyesat opini publik dalam liputan kasus ”cicak melawan buaya”. Berbagai tuduhan ini sering tidak merujuk konteks persoalan dan aspek pemberitaan yang jelas, alih-alih mencerminkan keawaman dalam memandang fungsi dan kerja media.
Pertama, perlu dijelaskan bahwa kebenaran dalam jurnalistik bukanlah kebenaran yang sim-salabim-abrakadabra, terwujud seketika dalam suatu liputan media. Meminjam penjelasan Bill Kovach, wartawan AS dan bekas kepala biro The New York Times di Washington, kebenaran jurnalistik ibarat stalaktit dalam goa, dibangun setetes demi setetes, tahap demi tahap. Pers mengikhtiarkan kebenaran dari satu fakta ke fakta lain, dari satu indikasi ke indikasi lebih kuat. Kebenaran berkembang dari satu berita ke berita berikut, dari satu debat ke debat lain, pada media berbeda-beda. Pers berfungsi menyajikan fakta, indikasi, kesaksian, bukti-bukti, menghadirkan forum publik untuk membahasnya, lalu memverifikasi dan menginvestigasi secara mendalam.
Dalam konteks ini, sering tidak dibedakan antara fungsi kontrol media dan pengadilan oleh pers. Tuduhan bahwa media telah melakukan pengadilan sendiri sering bertolak dari pemahaman yang salah tentang kebenaran jurnalistik. Seakan-akan suatu kasus harus terungkap tuntas dulu kebenarannya, legal secara hukum, baru boleh diberitakan. Jika suatu kasus hanya boleh diberitakan saat kebenaran telah terang benderang, fungsi pers justru tidak relevan lagi.
Kedua, dalam masyarakat demokratis, loyalitas media adalah monoloyalitas terhadap kepentingan publik. Maka, sudah pada tempatnya jika media menyuarakan opini yang berkembang di masyarakat.
Tak ada yang salah bila media mencerminkan, mengekspresikan kegelisahan dan kejengkelan publik terhadap pemerintah. Kita tak boleh terpenjara oleh kosmologi berpikir Soehartorian ketika pers merupakan organ kekuasaan dan penggalangan opini publik adalah sebentuk subversi.
Ketiga, jika pers dianggap mengaktualkan tirani opini dan penyesatan dalam kasus kriminalisasi KPK, kesimpulan serupa juga harus diberlakukan bagi peran pers pada momentum reformasi 1998 yang jauh lebih keras dan militan dalam menekan pemerintah dan memperjuangkan aspirasi publik.
Menariknya, para pengecam media dalam kasus kriminalisasi KPK notabene adalah figur-figur yang dulu juga turut menggunakan media sebagai instrumen menumbangkan rezim Orde Baru. Haruskah kita bersikap mendua menatap realitas yang lebih kurang sama?
Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta.
Sumber: Kompas Cetak 21 November 2009 halaman 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar