Jangan Terbius "Kue" Iklan

Oleh Novemy Leo

ADOLF Hitler, pemimpin Jerman yang terkenal sangat diktator, pernah berkata, "Kalau Anda perhadapkan saya dengan 1.000 tentara yang bersenjata lengkap, saya tidak akan takut sedikit pun menghadapinya. Tetapi, jangan pernah perhadapkan saya dengan seorang wartawan saja, karena saya akan mundur."

Workshop Pemilu 2009 (3)

KALIMAT Hitler itu sarat makna. Hitler sangat paham dan tahu betapa peran media, pers atau wartawan, sangat penting dalam berbagai bidang kehidupan. Paling tidak, wartawan bisa membangun opini publik, yang bisa saja berdampak baik atau berdampak buruk. Opini itu mampu mempengaruhi publik atau masyarakat untuk suka atau tidak suka terhadap sesuatu yang diberitakan wartawan dan medianya.

Pers ibarat 'pedang bermata dua'. Di satu sisi, memiliki peran dan posisi strategis dalam rangkaian melaksanakan fungsi menyukseskan pemilu, pilpres, selain bagi capres dan cawapres.

Tapi di sisi lain, pers bisa menjadi alat perusak demokrasi melalui praktik jurnalistik yang tidak bertanggung jawab terhadap publik, baik karena ketidaksengjaan ataupun karena 'pers' sudah digunakan pihak tertentu.

Karena itu, tidak berlebihan jika dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2009, pers juga punya peranan penting dalam menyuskeskan pesta demokrasi itu. Pun dalam mendongkrak opini publik tentang keberadaan dan kualitas paket calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan maju dalam Pilpres 2009.
Ditambah, jadwal pemilu dan masa kampanye yang pendek, menjadikan media massa sebagai arena yang tepat untuk dijadikan lahan kampanye. Selain tugas pers sendiri adalah ikut memberian pencerahan kepada masyarakat mengenai figur yang akan dipilih.

Lihat saja, melalui kemasan iklan dan pemberitaan yang disajikan di medianya, pers bisa 'menyetir' opini publik mengenai siapa paket yang paling pantas dan atau yang tidak pantas dipilih menjadi pemimpin Indonesia lima tahun mendatang.
Hasil penelitian LIPI 2008 menyebutkan, rakyat jauh lebih percaya dan yakin dengan kemampuan pers untuk menyuarakan kepentingannya (31 %) dibandingkan dengan Ormas (24%), birokrasi dan partai (11%), lembaga lain (1 %), tidak tahu (23 %).

Karena itu, terkait pilpres, Ketua Mapilu PWI Pusat, Hendra J Kade berharap, wartawan benar-benar objektif menyajikan tulisan 'kampanye' pilpres bagi pembaca. Objektif artinya pers berani menyampaikan informasi mengenai kebaikan dan keburukan kandidat dengan data yang akurat mengenai kegagalan dan keberhasilan kandidat yang sudah dicapai selama ini dalam bidang tugasnya masing-masing. Juga fakta berbagai pelanggaran yang dilakukan kandidat dan tim suksesnya selama proses pemilu.

Selain wartawan, lembaga atau perusahaan pers juga harus objektif dan independen. Jangan karena ada kandidat atau partai tertentu yang sudah memasang banyak iklan dengan pembayaran uang yang besar, akhirnya wartawan dan lembaganya tidak objektif lagi menyajikan pemberitaan terhadap yang bersangkutan. Kegagalan dan keburukan kandidat dan partai dimaksud akhirnya 'dibungkus' rapi dan tidak pernah disajikan untuk dibaca publik atau masyarakat.

Kenapa? Karena pers sudah terbius dengan 'kue iklan' yang masuk ke saku atau kas wartawan dan atau lembaganya dari kandidat atau partai tertentu.

"Hanya sedikit perusahaan pers yang berusaha menyiapkan tim wartawan yang profesional untuk menyajikan pemberitaan objektif dan proporsional kepada pubik," kata Hendra.

Wakil Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI, A. Zaini Bisri, berharap, pers berpihak pada publik karena publik butuh pegangan. Kalau informasi yang disajikan tidak netral, maka publik tidak akan mempercayai pers lagi.Beberapa tindakan yang bisa memicu konflik harus dihindari pers agar hasil karya jurnalistiknya menjadi elegan.

Presidium Nasional Mapilu, Octo Lampito, mengatakan, dalam pemberitaan, pers harus menerapkan prinsip 'jurnalisme damai', yakni berfokus para proses terjadinya konflik, dengan orientasi kedua pihak sama-sama menang, ruang waktu terbuka. Pers harus membeberkan sebab akibat, memberitakan apa adanya tanpa menyembunyikan fakta.

Memberikan ruang yang sama bagi pihak yang berkonflik. Melihat konflik sebagai hikmah politik. Melihat aspek humanisasi dan proaktif mencegah terjadinya konflik serta berfokus pada dampak kerugian warga akibat konflik.

Ingat!! Wartawan atau lembaga pers bukan mediator yang hanya bertanggung jawab kepada kandidat dan tim sukses yang berkonflik, tetapi dia juga bertanggung jawab kepada publik.Lembaga pers juga harus mengembangkan self regulation sehingga tidak mencederai kebebasan wartawannya sekaligus bisa menjaga publik yang tetap menginginkan perdamaian.

"Tegakah pers melihat bangsanya sendiri bertempur, bergelimang darah, berdarah- darah, akibat konflik yang tidak berusaha diminimalisir oleh pers?" Jawabannya tentu tidak.

Ketua Dewan Kehormatan PWI, Drs. Tarman Azzam berharap, pers mampu mendorong masyarakat bersifat kritis, masyarakat harus bisa melakukan perlawanan terhadap pihak atau kandidat yang melakukan black campaign (kampanye hitam).
Untuk menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas, wartawan perlu terus dibekali pelatihan guna mengasah dan menambah pengetahuannya mengenai berbagai hal dalam bidang kehidupan. Wartawan pun harus rajin membaca regulasi perundangan dan pengetahuan umum sehingga paham terhadap apa yang akan ditulisnya.

"Menurut temuan Dewan Pers tahun 2008, hampir 80 persen wartawan Indonesia tidak pernah membaca bahkan tidak tahu kode etik jurnalistik yang menjadi pedoman untuk bekerja secara profesional. Bagaimana lagi dengan pemahaman terhadap regulasi lain," kritik Tarman. Karena itu mulai sekarang, wartawan harus mulai mengasah kemampuannya.

Bill Kovach dan Tom Rosentiel merumuskan sembilan prinsip dasar jurnalisme, yaitu mengabdi pada kebenaran, loyal kepada pembaca, independen terhadap sumber berita, pemantauan kekuasaan, mengikuti hati nurani, membuat hal yang penting dan menarik, menjaga berita komprehensif dan proporsional, disiplin verifikasi dan forum pubik bagi pembaca.

Jika sembilan prinsip ditambah kode etik jurnalisme itu sudah dipahami dan diimplementasikan pers dalam tugas kesehariannya, maka alhasil pemberitaan yang disajikan kepada pembaca benar-benar bisa dipertangungjawabkan kepada publik, diri sendiri dan Tuhan. (habis)

Pos Kupang edisi Minggu, 28 Juni 2009 halaman 1

Tidak ada komentar: