Bukan Sekadar Contreng

Oleh Novemy Leo

SABTU (20/6/2009), Persatuan Wartawan Indoensia (PWI) bekerja sama dengan Mapilu-PWI dan Depdagri menggelar workshop bertema, Sosialisasi Pemilu dan Pendidikan Pemilih Berbasis Jurnalistik Menuju Pemilu Damai dan Elegan."

Hadir lima pembicara, yakni Hendra J Kade (Ketua Mapilu- PWI Pusat), Drs. Tarman Azzam (Ketua Dewan Kehormatan PWI), Octo Lampito (Presidium Nasional Mapilu), A. Zaini Bisri (Wakil Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI) dan Djidon de Haan (Jubir KPUD NTT), dengan moderator Tony Kleden dari Pos Kupang.

Workshop Pemilu 2009 (1)

Dalam workshop, puluhan peserta yang terdiri dari wartawan media cetak, elektronik radio dan televisi di Kupang ditantang menyukseskan pemilihan umum presiden (Pilpres) 2009 sesuai dengan profesinya. Berikut ini catatan penting yang dapat dibagikan kepada masyarakat guna menghasilkan Pilpres yang berkualitas.

MEMBUKA workshop itu, Ketua Mapilu PWI-Pusat, Hendra J Kade mengatakan, menghasilkan Pilpres 2009 yang berkualitas sedikitnya harus memenuhi empat variabel. Pertama, kualitas regulasi, aturan perundangan yang mengatur proses pemilu. Kedua, peserta pemilu yakni para kandidat. Ketiga, kualitas penyelenggara pemilu atau Komisi Pemilihan Umum. Keempat, kualitas dari pemilih atau rakyat.

Namun, secara jujur harus diakui bahwa sampai dengan pelaksanaan pemilu yang kesekian kalinya di republik ini, empat variabel penting itu belum bisa dilaksanakan dengan baik. Variabel regulasi, yang merupakan sebuah desain pembentuk proses dan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas itu, ternyata masih jauh dari harapan. Kualitas regulasinya minim, sering berubah.

Contohnya, regulasi penetapan calon anggota DPRD menyangkut nomor urut atau suara terbanyak, regulasi mengenai partai politik (parpol) yang layak ikut pemilu dan lain-lain. Perubahan regulasi itu seringkali menimbulkan kekacauan’ politik yang justru berimbas pada situasi keamanan dalam masyarakat.

Kualitas peserta pemilu juga masih minim. Seharusnya para kandidat menyadari bahwa pemilu merupakan moment untuk menyelesaikan persoalan daerah dan bangsa sehingga kandidat harus menunjukkan kualitasnya. Namun kenyataan, mereka lebih banyak menjadikan pemilu sebagai ajang perebutan kekuasaan, saling menjatuhkan lawan politiknya’.

Belum lagi kualitas KPU sebagai penyelenggara pemilu. Terlihat masih banyak produk kebijakan atau penafsiran regulasi oleh KPU justru menjadi potensi mengacaukan’ proses pemilu itu sendiri, menimbulkan protes dari masyarakat dan kandidat. Bahkan tak jarang keputusan KPU baru dibuat setelah ada masalah. Hingga akhir Juni 2009, KPU belum menetapkan anggaran Pilpres putaran II. Begitu yakinkah KPU bahwa Pilpres 2009 hanya akan berlangsung satu putaran? Bagaimana jika asumsi itu meleset? Uang dari mana yang akan diraup jika terjadi Pilpres putaran II?

Kondisi ini membuktikan bahwa kemampuan KPU untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi di waktu mendatang masih minim.

Jubir KPU NTT, Djidon de Haan mengatakan, pihaknya mengalami kesulitan karena peraturan KPU sering berubah, penetapan tidak sesuai dengan waktu dan kepentingan, terdapat multi-tafsir yang membingungkan, ada kesenjangan dalam penerapan di lapangan.

Mengenai anggaran Pilpres putaran II, Djidon mengatakan, akan dimasukkan dalam perubahan anggaran. Jawaban yang sangat sederhana. Namun Djidon mengakui bahwa tabiat’ seperti itu memang sering terjadi.

Kita cenderung seperti itu. Nanti orang pukul baru kita balas. Kita tidak siap terlebih dahulu bagaimana kalau orang pukul kita,” kata Djidon memberi kiasan.

Kualitas pemilih menjadi variabel penting dalam menyukseskan pemilu. Kualitas pemilih tidak hanya diukur dari kedatangan pemilih di TPS, masuk bilik suara dan memberikan suara/pilihan, mencontreng gambar kandidat atau partai idolanya. Lebih dari itu, kualitas pemilih terkait dengan bagaimana pemilih mempunyai kemampuan mencontreng pilihannya. Kemampuan memilih artinya pemilih tahu kewajiban dan haknya, dia bisa menjawab kenapa dia memilih, dia mengerti bagaimana membuat keputusan dan menjatuhkan pilihan serta memahami konsekuensi dari pilihannya itu.

Kita lihat sebanyak 178 juta pemilih di Indonesia mungkin bisa mencotreng saat pilpres 8 Juli 2009. Tapi pertanyaannya, berapa banyak pemilih yang mempunyai kemampuan mencontreng? Pertanyaan berikut, siapa yang harus 'menciptakan' pemilih yang berkemampuan mencontreng? Apakah KPU, kandidat, tim sukses, partai kandidat atau siapa?

KPU hanya punya kewenangan, antara lain menetapkan jadwal, waktu, pelaksanaan pemilu, mengupayakan pemilih bisa contreng dengan benar pada kertas suara, menyosialisasikan pelaksanaan pemilu ke masyarakat. Namun KPU tidak punya kewajiban menyosialisasikan pemilu berkualitas atau sosialisasi yang berkonsentrasi pada kapasitas pemilih dalam kemampuannya mencontreng kandidat saat pemilu. Itu adalah urusan pendidikan pemilih.

Apalagi para kandidat dan partai politik serta tim suksesnya. Mereka hanya melakukan kampanye untuk mempengaruhi atau mengajak rakyat mencontreng gambar atau nomor urutnya.
Jadi tugas siapakah itu? Hendra mengatakan, memberikan pendidikan pemilih, membutuhkan waktu yang lama dengan jangkauan komunikasi yang luas hingga ke pelosok wilayah di Indonesia, namun dengan biaya minim jika tidak mau dikatakan nol. Tugas mulia itu hanya bisa dilakukan oleh pekerja media, wartawan.

Dalam komunikasi publik, untuk menyosialisasikan pendidikan pemilih, semua pihak tentu angkat tangan’. Tapi, yang bisa meningkatkan kualitas pemilih dan kualitas pemilu hanyalah wartawan. Karena itu, Depdagri menjalin kerja sama dengan Mapilu dan PWI NTT untuk menyosialisasikan bagaimana kita bisa menghasilkan pemilih yang berkualitas sehingga terwujud pemilu yang berkualitas. Sangat diharapkan pekerja pers dapat melaksanakan tugas mulia ini dengan baik," kata Hendra. (bersambung)

Pos Kupang edisi Jumat, 26 Juni 2009 halaman 1

Tidak ada komentar: