Ketua PWI Cabang NTT
"SAYA terjerumus dalam dunia jurnalis. Tapi terjerumus yang menyenangkan karena jurnalisme ternyata sangat dinamis. Itu yang saya suka."
Perempuan muda itu mengemukakan pendapatnya dengan penuh percaya diri. Dengan senyum tersungging di bibir. Kata-katanya disambut aplaus panjang sekitar 200 undangan yang memenuhi Grand Ballroom Hotel Atlet Century-Senayan, Jakarta.
Begitulah kesaksian Tina Talisa, wartawati TV One Jakarta yang menghangatkan malam pertama Konvensi Nasional Media Massa se-Indonesia, salah satu kegiatan Hari Pers Nasional 2009 di Hotel Atlet Century tanggal 8-9 Februari 2009.
Tina Talisa adalah salah seorang nara sumber pada sesi sarahan bertopik 100 Tahun Pers Perempuan. Pembicara lainnya adalah Desi Fitriani dari Metro TV, Ani Rahmi (Trans TV) dan Maria Hartiningsih (Kompas). Diskusi bersama keempat perempuan itu dipandu moderator, Wakil Sekretaris PWI Pusat, Rita Sri Hastuti. Turut memberi pandangan, sesepuh pers nasional, H. Rosihan Anwar (87).
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Konvensi Media Massa Nasional pada HPN 2009 secara khusus membedah topik Pers Perempuan. Nara sumber yang memberi pandangan mereka pada Minggu (8/2/2009) malam itu sungguh kompeten. Mereka adalah perempuan jurnalis yang tangguh, cerdas dan kredibel.
Dalam terang dan spirit peringatan 100 Tahun Pers Perempuan di Indonesia, Tina Talisa, Desi Fitriani, Ani Rahmi dan Maria Hartiningsih membagi pengetahuan, pandangan, pengalaman serta perasaan mereka sebagai jurnalis.
Tina Talisa mengungkapkan, terjun ke dunia jurnalistik bukan tanpa kendala. Pada awalnya dia dihadapkan pada sejumlah pilihan profesi yang dalam struktur sosial kita dipandang lebih lazim bagi perempuan. "Sempat ada dilema. Tapi setelah menjalani pekerjaan ini sekian lama, saya merasa jurnalis itu pilihan yang tepat karena dinamikanya luar biasa," kata Tina yang berpengalaman mewawancarai para pemimpin dunia.
Paling akhir dia meliput pelantikan Presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama. Menurut Tina, saat pelantikan Obama 20 Januari 2009, semua stasiun televisi Indonesia mengirim reporter perempuan ke AS. "Saya kira bukan kebetulan. Kirim reporter perempuan karena kami memang mampu," kata Tina.
Totalitas, ketangguhan dan kecerdasan jurnalis perempuan kiranya tercermin dalam diri Desi Fitriani. Di kalangan sesama jurnalis Metro TV, Desi Fitriani dijuluki spesialis medan sulit dan konflik. Desi berpengalaman meliput pertikaian di Aceh pada masa sebelum perundingan damai antara GAM dan Pemerintah RI. Desi juga akrab dengan konflik berkepanjangan di Timor Leste. Dialah jurnalis Indonesia yang bertemu dan mewawancarai Mayor Alfredo Reinado. Reinado yang menarik perhatian komunitas internasional itu tewas dalam insiden penembakan terhadap Ramos Horta di Dili 11 Februari 2008.
"Saya bangga sebagai perempuan. Untuk liputan tertentu yang sulit ditembus jurnalis pria, kami dapat melakukannya dengan baik," demikian Desi. Desi benar. Para wartawati memiliki keutamaan dan keunggulan.
Maria Hartiningsih, siapa tidak mengenalnya? Wartawati yang bergabung dengan Kompas sejak 1985 itu merupakan Pejuang HAM (Hak Asasi Manusia). Dia meraih Yap Thiam Hien Human Rights Award 2003. Perempuan yang akrab disapa Maria itu merupakan jurnalis yang konsisten memperjuangkan HAM, peka dan gigih membela yang lemah dan terpinggirkan. Ia selalu serius menggeluti bidang yang ditangani dengan tidak melepaskan unsur manusia, terutama korban. Ia keras mengkritik pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat. Ia juga memberi masukan berdasarkan pengetahuan yang ia miliki.
Pada sarasehan malam itu, Maria menggarisbawahi bahwa jurnalis perempuan hendaknya tidak dimengerti sekadar cantik dan wangi. Persepsi cantik dan wangi dalam tampilan penyiar atau reporter tv yang menemui pemirsa setiap hari. Sama seperti pria, keutamaan jurnalis perempuan terletak pada karya jurnalistik mereka. Maria juga mengkritisi pandangan yang menyebut terjadi kebangkitan pers perempuan di Indonesia.
Dikatakannya, jumlah jurnalis perempuan baru sekitar 14 persen dari total jurnalis. "Dari jumlah tersebut, baru dua persen yang masuk dalam struktur manajemen lembaga media massa di Indonesia," kata Maria yang menekankan berkali-kali bahwa jurnalis itu melaporkan fakta dari lapangan. Bukan duduk di belakang meja saja. "Jadi wartawan itu soal daya tahan," tuturnya.
Ani Rahmi dari Trans TV merespons pernyataan Maria dengan menggambarkan kondisi di Trans 7, salah satu stasiun televisi yang sedang naik daun. Menurut Ani, hampir semua level top manajer di Trans 7 justru ditempati jurnalis perempuan. "Dan, itu bukan karena mereka cantik dan wangi. Mereka dipercaya memimpin karena kemampuannya," kata Ani. Ani menambahkan, menikah, hamil dan menyusui bukan kendala bagi jurnalis perempuan dalam berkarya. "Menikah, hamil, melahirkan dan menyusui itu sesuatu yang alamiah," tandasnya.
Diskusi malam itu sungguh berisi dan memikat. Pada sesi dialog, pertanyaan bertubi ditujukan kepada Maria, Desi, Tina dan Ani. Kepada mereka antara lain ditanyakan tentang kiat menemui nara sumber, tentang pelecehan seksual dan hal- hal lain yang berkaitan dengan kerja jurnalistik. Semua pertanyaan, pernyataan atau pandangan direspons dengan cerdas, melahirkan aplaus yang terus membahana di Grand Ballroom Century-Senayan.
Menurut Rosihan Anwar, Pers Perempuan di Indonesia dianggap dimulai pada tahun 1908 dengan terbitnya koran Poetri Hindia oleh Tirto Adi Soerjo (1880- 1917). Poetri Hindia yang terbit pertama kali 1 Juli 1908 menjadi semacam laboratorium sosial bagi lahirnya jurnalis-jurnalis perempuan generasi awal.
Catatan lengkap sejarah itu ada dalam buku Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa Bangsa yang ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri, dkk. Buku yang diterbitkan I:BOEKOE, Desember 2008 setebal 406 halaman merupakan dokumentasi seabad perjalanan pers perempuan di Indonesia.
Tentang sikap jurnalis perempuan generasi awal diekspresikan dengan elok oleh wartawati Poetri Hindia, Raden Ayu Siti Soendari. Pada salah satu edisi Poetri Hindia, ada semacam surat pembaca dengan kalimat demikian. "Apa faedahnya menyekolahkan gadis-gadis? Biar diajar terbang ke langit sekalipun, kalau tidak pandai memasak nasi dan sayur, maka suaminya tidak akan menyenanginya."
Apa tanggapan Soendari? "Ah, ah, kalau memang demikian watak laki-laki, maka lebih baik dia kawini saja tukang masak Gubenur Jenderal, pastilah setiap hari dia akan makan enak," katanya. Bahkan sejak satu abad yang lalu perempuan Indonesia tidak mau sekadar pandai memasak. Tak cuma cantik dan wangi saja.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar