Wartawan dan Kesadaran

Oleh Pius Rengka, Mantan wartawan

WARTAWAN harus selalu ada kesadaran. Karena berita adalah perbenturan antara kesadaran wartawan dengan peristiwa. Maka, wawancara adalah dialog.
Wawancara adalah tanya jawab untuk memperoleh kejelasan optimal, konteks lengkap, suasana penuh, eksklusivitas-eksklusivitas yang dianggap menjadi mahkota setiap berita. Karena itu, wawancara memerlukan kesadaran, persiapan, dan perencanaan.

Persiapan itu mencakup usaha mengetahui persoalan umum dan persoalan khusus tentang materi yang akan menjadi bahan wawancara. Tak mungkin seorang wartawan hanya datang menenteng kertas dan tape recorder lalu menyelonong ke ruang narasumber atau ke sebuah medan berita tanpa persiapan penuh.

Persiapan penuh yang dimaksudkan di sini, tak hanya menyangkut alat dan perangkat, tetapi juga ilmu pengetahuan tentang apa yang hendak dicari. Saya selalu mengatakan, untuk menjadi wartawan yang hebat tak hanya bermodal kartu pers, atau tanda pengenal sekenanya, tetapi juga tanda akademik sebagai periset handal.
Menilik syarat itu, seorang wartawan seharusnya seorang periset kelas wahid.

Sebab, kelengkapan tulisannya tidak hanya ditentukan oleh kelengkapan bahan-bahan yang menjadi unsur berita, tetapi juga terkait dengan adu kecerdasan, adu keuletan, adu kepekaan, adu semangat, adu kemampuan manajemen.

Maka, pekerjaan wartawan disebut pekerjaan profesional. Profesionalitas adalah sebuah atau serumpun sikap yang menghargai massa didasarkan pada keahlian. Terminologi 'keahlian' tidak hanya menunjuk pada adanya kemampuan atau keterampilan menulis, tetapi juga memiliki perspektif yang jelas, karena setiap berita pasti selalu memiliki konteks dan perspektif. Terkait dengan itu, bagi saya akan sangat jelas tampak profil dan mutu wartawan kita di sini dan kini.

Apa yang ditulis dan untuk apa dia menulis, kerap terkait dengan apa yang menjadi kepentingannya sendiri, bukan kepentingan khalayak ramai (massa). Ia tidak sedang membela atau menunjukkan realitas, tetapi mengkonstruksi sebuah fakta tanpa tanggung jawab jelas.

Kadang saya melihat berita yang ditulis wartawan hanya untuk memenuhi dahaga dan hasrat seorang yang hendak dilindunginya, karena narasumber atau aktor itu telah memberi sesuatu kepadanya. Kadang juga wartawan menulis sesuatu tentang seseorang dengan maksud agar seseorang tersebut segera tersadarkan untuk memberi 'sesuatu' kepadanya. Sesuatu itu kerap ada hubungan dengan menyelesaikan problem derita wartawan itu sendiri. Bukan problem orang banyak.

Karena itu, wartawan terjebak ke dalam kelakuan gemar menerima amplop, gemar pula memeras narasumber, bahkan lebih celaka memeras narasumber sebagai tabiat utamanya.

Kesan seperti ini, tentu saja, akan lekas diperoleh ketika melihat pilihan kata yang dipakai wartawan saat menulis. Dangkal, tidak menukik. Melihat kenyataan serupa itu, saya tersenyum dan kadang mahfum, tetapi tidak menaruh hormat.

Wartawan itu, memang, tidak langsung mengubah struktur masyarakat. Laporan atau tulisan wartawan hendaknya berupa peringatan. Mengingatkan kita dan masyarakat secara konkrit, penderitaan-penderitaan elementer yang masih hadir di mana-mana. Reportase tentang mereka yang sedang terhenyak dan terlupakan berkembang menjadi salah satu ciri wartawan yang baik dan profesional. Sebab, lingkungan sosial kita adalah lingkungan buruk dan busuk, ketika kemiskinan, penderitaan tetap saja masih hadir dalam setiap kisah hidup masyarakat kita di sini dan kini.

Pemerintah, mungkin saja, sangat lemah, sehingga tak sanggup menemukan jalan terbaik untuk mengatasi problem masyarakatnya. Pada saat itulah wartawan seharusnya hadir untuk mengingatkan, menunjuk, dan bahkan mungkin sedikit memberi petuah agar pemerintah bersangkutan lekas keluar dari kebebalannya. Lalu apa rahasia agar wartawan sensitif dengan derita rakyat?

Tak ada nasihat lain, kecuali, komitmen. Komitmen yang terus membara terhadap cobaan atau penderitaan orang lain. Penderitaan rakyat, penderitaaan sesama manusia. Hal itu dapat diperoleh melalui pengetahuan sangat kaya mengenai perikemanusiaan. Pengetahuan tentang perikemanusiaan diperoleh dari pendidikan humaniora dan falsafah.

Maka, pekerjaan wartawan menjadi sangat menarik justru karena ia kreatif dan selalu menawarkan anggur humanitas. Kalau demikian, menulis menjadi refleksi dan aksi, pemikiran dan pelaksanaan. Interaksi refleksi dan aksi melahirkan proses kesadaran yang kuat terhadap peristiwa dan persoalan yang kita cari dan yang terjadi.

Para wartawan mestinya paham bahwa masyarakat kian berkembang, pendidikan mereka makin maju. Wartawan seharusnya berada di depannya. Wartawan berlangkah selangkah di depan.

Wartawan bebas. Tetapi, kebebasan wartawan tidak lalu menjadi alasan cukup untuk dia tidak lagi mau belajar menjadi mahluk bermutu. Wartawan bebas tidak boleh menjadikan dirinya hamba uang dan gemar mengharapkan amplop, apalagi menjadikan kerja wartawan sebagai sarana pemerasan terhadap orang yang sedang bermasalah serius.

Saya selalu mengatakan di mana-mana, wartawan memang bebas, tetapi terbatas. Tetapi, kita harus tetap pada sikap dan komitmen, bahwa segala sesuatu yang menurut hati nurani kita dan pikiran jernih kita perlu diketahui oleh masyarakat dan dipersoalkan oleh masyarakat, harus kita persoalkan dan harus kita ungkapkan, tanpa mengharapkan imbalan material atau uang dari siapa pun terlebih dari orang yang sedang berkuasa. Apabila tidak bisa dengan 'straight news', dengan 'depth news'. Jika tidak bisa dengan depth news, dengan karikatur. Tidak bisa dengan karikatur, dengan pojok atau tajuk. Apabila tidak bisa juga dengan tajuk, dengan menghadap pejabat-pejabat yang menyebabkan rakyat derita. Karena kita semua sama tahu, kekuasaan yang dipegang oleh orang bebal akan senantiasa buruk rupa.

Atau kekuasaan yang tak dikontrol cenderung menjadi zombi. Jadi, segala sesuatu yang perlu dipersoalkan, harus kita persoalkan. Untuk itulah orang menjadi wartawan. *

Pos Kupang edisi Rabu, 10 Februari 2010 halaman 1

Tidak ada komentar: