UU Pers Belum Menjadi Lex Spesialis

KUPANG, PK--Undang-Undang Pers belum menjadi lex spesialis bagi penyelesaian kasus-kasus jurnalisme di Indonesia karena sengketa pers masih menggunakan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Untuk itu perlu kerja keras dari semua organisasi profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) untuk menjadikan Undang- Undang Pers sebagai satu-satunya perangkat hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus pers. Perlu dilakukan sosialisasi secara terus-menerus kepada masyarakat sehingga kejahatan pers dilaporkan ke Dewan Pers, bukan ke polisi.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Pokja Pengaduan Dewan Pers, Bekti Nugroho, dalam Loka Karya bertajuk, 'Bersama Kita Lawan Kriminalisasi dan Kekerasan', di Hotel Kristal Kupang, Kamis (9/10/2008).

Lokakarya ini diselenggarakan oleh IJTI bersama Dewan Pers. Hadir pada kesempatan ini, Ketua Umum IJTI, Imam Wahyudi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Nusa Tenggara Timur (NTT), Dion DB Putra, Direktur Reserse dan Kriminal Polda NTT, Kombes (Pol) Musa Ginting, dan puluhan wartawan televisi di NTT.

Bekti Nugroho yang membawakan materi 'Kebebasan Pers dan Citra Polisi dan Wartawan, mengatakan, kebebasan pers dari dahulu sampai sekarang masih turun naik tergantung sistem politik yang berlaku. Kebebasan pada era reformasi adalah kebebasan untuk kebebasan itu sendiri karena eforia reformasi dan siapa saja boleh menerbitkan pers karena tidak perlu melakukan izin, sehingga banyak pers yang tumbuh secara liar.

Menurut Nugroho, kebebasan seperti ini sebenarnya menjadikan setiap insan pers memahami fungsi pers yang diposisikan secara proporsional dengan mengedepankan undang-undang pers. Menurutnya, perlu ada memorandum of understanding (MoU) antara polisi dan Dewan Pers, agar semua kasus kejahatan pers diselesaikan dengan Undang-Undang Pers oleh Dewan Pers.

Polisi, katanya, tidak perlu menindaklanjuti kasus kejahatan pers, karena masih banyak kejahatan lain di negeri ini yang harus diselesaikan dan membawa prestasi bagi polisi untuk naik, seperti korupsi dan sebagainya. "Kalau ada kejahatan pers, polisi tidak perlu menanganinya karena sudah ada undang-undang pers. Dewan pers akan menyelesaikannya tanpa ada pungutan apa-apa (gratis). Masih banyak pekerjaan polisi yang harus diselesaikan yang membawa prestasi bagi polisi sendiri," katanya.

Ketua Umum IJTI, Imam Wahyudi, mengatakan, harus menjadi komitmen bersama dari pers untuk melawan kriminalisasi terhadap wartawan, sehingga tidak ada lagi persaingan antara organisasi profesi wartawan. Dia akan segera menandatangani kesepakatan antara jurnalisme dan pihak kepolisian untuk menyelesaikan berbagai masalah kejahatan pers melalui Undang-undang Pers sebagai acuan hukum.

Dikatakannya, dalam era reformasi ini para jurnalis harus menyadari profesi yang diembannya sehingga bebas bukan berarti sebebas-bebasnya. "Jaga independensi wartawan sehingga tetap mewakili publik, bukan golongan tertentu," katanya.

Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra, mengatakan, tren kekerasan terhadap wartawan di NTT terus meningkat selama tiga tahun terakhir (2005-2008), enam wartawan dianiaya. Dari kasus-kasus ini, belum ada wartawan di NTT yang masuk penjara sampai saat ini. Dikatakannya, IJTI bisa menjadi partner PWI dalam mengayomi wartawan-wartawan lokal.

Lokakarya ini mendapat sambutan hangat dari para peserta. Banyak pekerja media memeprtanyakan berbagai kasus yang menimpa para wartawan, namun tidak ditindaklanjuti perusahaan maupun dewan pers secara baik. Para wartawan juga mempertanyakan pekerja infoteinment apakah termasuk wartawan atau tidak, karena mereka selalu memberitakan hal-hal yang bersifat pribadi ketimbang masalah publik. (nia)

Pos Kupang edisi Jumat, 10 Oktober 2008 halaman 10

Tidak ada komentar: