Lokakarya Trafficking bagi Jurnalis (2)

Oleh Syarifah Sifat
Anggota PWI Cabang NTT

SUASANA di ruang Country Heritage Resort Hotel Surabaya (27-28/8/2008) terasa hidup. Wartawan senior dari Harian Fajar Makassar, Salahudin Genda, membawakan materi seni mewawancarai korban trafficking.

Sejumlah perempuan tenaga kerja wanita (TKW) yang menjadi korban trafficking tiba-tiba dimunculkan dalam video milik ICMC. Mereka menangis ketika diwawancarai sejumlah pegiat LSM. Maklum, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan cukup menyentuh perasaan mereka.

Tapi, bukan hanya ekspresi menangis, ekspresi lain seperti marah juga tampak saat dialog berjalan. Bisa saja mereka marah karena pertanyaan itu menyinggung perasaan mereka.
Melihat dan mendengar penuturan para TKW, suasana dalam ruangan yang berukuran sekitar 7 x 5 meter itu hening.

Para wartawan terkesima mendengar penuturan para TKW yang polos. Banyak TKW di bawah umur yang menjadi korban pemerkosaan, ada PRT yang disiksa majikannya, ada yang terperangkap dalam penyekapan dan tidak dipekerjakan, akhirnya pulang tanpa membawa apa-apa.

Kondisi bangsa kita memang ironis. TKW dikatakan pejuang devisa. Namun, di sisi lain kemanusiaan mereka terkoyak-koyak. Syukur, ada yang pulang dan dapat mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Namun, menyakitkan ketika mereka pulang tanpa membawa apa-apa. Malah ada yang pulang hanya tinggal nama.

Dalam banyak kasus di Indonesia, termasuk di NTT, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian, tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan.

Dalam kasus lain, beberapa perempuan tidak tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks, tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja. Mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak boleh menolak bekerja.

PRT (pembantu rumah tangga), baik yang bekerja di luar negeri maupun yang bekerja di Indonesia, ditarik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang. Jam kerja wajibnya sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau dikurangi, kerja karena jeratan utang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.

Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai duta budaya, penari, penyanyi atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.

Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja bagi keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks. Dan, banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan utang, paksaan atau kekerasan.

Tutur kata itu bukan hanya keluar dari mulut wartawan senior Solahudin, tapi juga dikemukakan oleh Irmia Fitria yang memandu diskusi yang digelar International Catholic Migration Commission (ICMC) dalam acara lokakarya tentang trafficking bagi jurnalis di Country Heritage Resort Hotel Surabaya (27-28/8/2008) lalu.

Namun, Solahudin kembali mengingatkan para wartawan agar jangan menggunakan istilah yang merugikan korban, seperti istilah pelacur. Untuk mengganti istilah pelacur, gunakan istilah pekerja seks komersial (PSK), PRT. Jangan juga menggunakan nama seperti Bunga, Mawar atau Melati untuk menyamarkan nama korban. Konotasinya negatif, karena kata itu mengandung kekerasan simbolik. Jika ingin menyamarkan nama korban, pesan Solahudin, sebaiknya menggunakan istilah pekerja migran tak berdokumen.

Ia juga meminta agar wartawan tidak memuat wajah korban, tapi menggunakan grafis seperti tabel dan peta lokasi asal korban trafficking. Jika ingin memuat foto korban, maka kaburkanlah wajah korban. Wartawan juga diharapkan tidak mendeskripsikan adegan seksual atau penyiksaan secara detail.

Hal ini dilakukan, kata Solahudin, agar korban merasa nyaman ketika diwawancarai wartawan. "Penting bagi jurnalis untuk menjaga etika selama mewawancarai korban trafficking. Ini karena korban seringkali berada dalam situasi psikologis yang labil sehingga penting bagi jurnalis untuk membuat mereka merasa nyaman. Bahkan, kehadiran pihak ketiga seperti fotografer atau kameramen sebaiknya diberitahukan terlebih dahulu kepada korban," kata Solahudin sembari berharap agar wartawan memiliki empati terhadap korban trafficking.

Para wartawan peserta workshop juga mendiskusikan sejumlah kasus buruh migran Indonesia (TKI) yang ditipu dengan perkawinan palsu di luar negeri, kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal.

Dalam kasus lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.

Pada umumnya mereka yang bermigrasi untuk mencari kerja, baik di Indonesia maupun di luar negeri, tidak mengetahui adanya bahaya trafficking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.

Semua ini dilatari oleh keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi, membuat orang-orang yang bermigrasi rentan terhadap trafficking.

Faktor budaya juga memberikan kontribusi terhadap praktik trafficking. Hal ini berkaitan dengan peran perempuan dalam keluarga. Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja membantu keluarga mereka.

Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafficking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang ditrafik, misalnya, lebih mudah diwalikan kepada orang dewasa mana pun yang memintanya. Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian (skill) dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.

Pejabat penegak hukum dan petugas imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafficking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda penduduk (KTP), akta kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafficking karena migrasi ilegal. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafficking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafficking.

Atas kesalahan-kesalahan ini, semua peserta sepakat bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab atas semua kejadian yang menimpa para buruh migran, PRT dan sejumlah perempuan dan anak-anak lainnya yang terjebak dalam kasus trafficking. (habis)

Pos Kupang edisi Selasa, 7 Oktober 2008 halaman 1

Tidak ada komentar: