Lokakarya Trafficking bagi Jurnalis (1)

Oleh Syarifah Sifat
Anggota PWI Cabang NTT

DULU banyak perusahaan merekrut orang secara informal dari kampung ke kampung, desa ke desa untuk mendapatkan orang-orang yang diinginkan. Sekarang sudah meluas, merambah para pelajar. Perusahaan menggunakan surat resmi alias formal berkedok magang bagi pelajar sekolah menengah kejuruan (SMK), tapi kemudian mereka ini diperkerjakan.
Modus ini sudah terjadi. Korbannya sudah mulai ketahuan, yakni 16 pelajar SMK Pelayaran di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Bukan tidak mungkin modus ini menyebar bebas bak virus komputer yang siap menyerang setiap detik. Bukan tidak mungkin modus magang bagi pelajar seperti terjadi di Bulukumba akan menyebar ke NTT.

NTT yang masih didera kemiskinan akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengejar anak-anak sekolah, para guru dan orangtua. Karena itu, orangtua, guru dan siswa waspadalah, waspadalah!

Warning itu dikemukakan Senior Program Officer Program Penanggulangan Perdagangan Orang Lintas Batas Indonesia-Malaysia, International Catholic Migration (ICMC), Irmia Fitria, dalam lokakarya tentang trafficking bagi jurnalis di Country Heritage Resort Hotel Surabaya (27-28/8/2008) lalu.
Namun warning itu tidak membuat belasan wartawan media massa cetak dan elektronik, peserta lokakarya yang berasal dari tiga propinsi, yakni NTT, Jawa Timur dan NTB, itu tersentak.

Saat mendengar informasi yang disampaikan Irma Fitria yang sering disapa Mia tersebut, mereka tampak tidak terlalu kaget. Mungkin karena keseharian para kuli tinta ini mengejar informasi sehingga ketika mendengar informasi trafficking modus magang para siswa itu semuanya biasa-biasa saja.

Namun, pernyataan yang dilontarkan Mia ini bukan tidak
mungkin merambah ke polosok-pelosok NTT. Apalagi, saat ini negara sedang giat-giatnya menambah pembangunan SMK dan membatasi pembangunan sekolah menengah umum (SMU).
Lebih lagi kondisi kemiskinan NTT yang berimbas pada kemiskinan keluarga. Sebagian besar masyarakat NTT menerima bantuan langsung tunai (BLT), maka ketika ada tawaran magang yang modusnya mempekerjakan pelajar dengan melayangkan surat ke sekolah dan ke rumah-rumah siswa akan membuat orangtua dan anak-anak tergiur. Mereka tergiur karena tawaran gajinya besar dan sejumlah fasilitas lain.

Sebagaimana cerita Mia, yang sudah enam bulan bergabung dengan ICMC, sebanyak 16 siswa SMK di Bulukumba, Sulawesi Selatan, awalnya mendapat tawaran magang dari perusahaan dengan mengirim surat ke sekolah dan orangtua untuk bekerja di kapal pesiar. Kenyataannya, mereka dipekerjakan di kapal ikan dengan kerja 23 jam perhari tanpa diberi upah.

Bahkan di Banyuwangi, tidak sedikit pelajar SMK yang menerima surat tawaran magang melalui biro perjalanan yang ada di Surabaya.


Untuk kasus 16 siswa tersebut, sambung Mia, sudah masuk pengadilan sejak Juli 2008. Dalam kasus ini, disinyalir guru SMK Pelayaran yang menjadi mediator 16 siswa tersebut juga terlibat. Tidak hanya di Banyuwangi. Menurut Mia, di Surabaya juga mulai ditemukan kasus serupa. Pihak ICMI mendapatkan laporan dari salah satu guru SMK Aisyiah di Kabupaten Malang yang sering didatangi oleh orang yang meminta daftar nama dan alamat para siswanya. Orang tersebut mengaku dari salah satu perusahaan yang ingin menawarkan magang di perusahaan mereka di Surabaya.

Untungnya, pihak Aisyiah telah memiliki program counter trafficking sehingga mereka tidak memberikan daftar nama yang diminta.

Mia berpesan agar kepala sekolah dan guru tidak mudah percaya pada orang yang tidak dikenal dan jangan terlalu mudah untuk memberikan daftar nama siswa ke orang tersebut. Sebab, pelaku trafficking dalam menjalankan aksinya sangat halus dan menyakinkan.

"Kami hanya bisa berpesan kepada kepala sekolah dan guru untuk tidak mudah percaya dan memberikan daftar nama siswa kepada orang yang tidak dikenal," terangnya.

Menurut Mia, korban trafficking pelajar ini sangat beragam. Ada yang dijadikan pekerja kasar tanpa upah. Bahkan ICMC juga menemukan siswa yang dijadikan pekerja seks komersial di sejumlah propinsi di Indonesia, terbanyak kawasan timur Indonesia.


Kondisi NTT yang merupakan salah satu wilayah termiskin di Indonesia tidak menjadi harapan bagi warga miskin untuk tetap tinggal di dalamnya. Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merancang strategi penopang kehidupan mereka, termasuk bermigrasi untuk bekerja di tempat lain yang lebih menjanjikan.

Mia yang pernah melakukan advokasi di Sumba Barat menemukan sejumlah perempuan yang terpaksa ke Malaysia atau ke negara lain karena beratnya budaya di wilayah umbu dan rambu itu.

Cerita Mia ini diperkuat oleh wartawan Sabana asal Sumba Barat, Rambu Newa. Ia mengakui, budaya papohung (belis) untuk anak-anak perempuan yang masih di bawah umur kemudian akan dikawini oleh orang yang memberi belis masih berlangsung di Pulau Sumba. Budaya ini juga menuntut para perempuan untuk keluar dari daerahnya mencari kebebasan.

Jika menggunakan definisi trafficking yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) -- trafficking terjadi mulai dari proses perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh izin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi -- maka budaya di Pulau Sumba bisa masuk kategori trafficking.

Bahkan, lanjut Rambu, strata sosial dengan pembagian keturunan menurut golongan, yakni maramba (raja), merdeka (orang-orang merdeka) dan ata (hamba/budak) masih menjadi simbol yang jika tidak ditangani secara arif, akan bermuara pada kekerasan. Hal ini karena umumnya golongan hamba dalam status sosial nyaris tidak memiliki tempat, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun di pemerintahan.

"Jika ada anak golongan hamba yang sudah merantau keluar dan berpendidikan, maka ia tak mungkin kembali. Kalaupun kembali, si anak tersebut dalam status sosial tetap digolongkan anak hamba dan, dalam kedudukan apa pun baik di pemerintahan maupun kemasyarakatan, hamba tidak memiliki apa-apa. Namun, kalau ada satu dua orang yang mendapat tempat di birokrasi atau legislatif, maka sering menjadi pembicaraan," urai Rambu.

Apa yang dituturkan Rambu ini mendapat tanggapan dari sejumlah wartawan elektronik, khususnya televisi. Wartawan Metro TV, Ketut Asri, mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Rambu untuk mengetahui lebih banyak seluk-beluk budaya orang Sumba yang menurutnya sangat unik. Nalurinya sebagai seorang jurnalis ingin mendalami budaya di Pulau Sumba itu semakin tinggi. Dan, pada akhirnya para wartawan yang mengikuti kegiatan ini tergiur untuk membuat peliputan serial di tanah Marapu itu.

Menurut mereka, trafficking bukan saja terjadi karena faktor ekonomi, pendidikan, namun lebih dari itu karena faktor budaya yang hingga saat ini masih menindas rakyatnya.
NTT bukan hanya karena faktor kemiskinan dan pendidikan. Budaya juga menjadi salah satu faktor terbesar terjadinya trafficking di NTT. (bersambung)

Pos Kupang edisi Senin, 6 Oktober 2008 halaman 1

Tidak ada komentar: