Kupang (ANTARA News) - Independensi wartawan dalam peliputan pemilihan umum (pemilu) legislatif dan pemilihan presiden diperdebatkan dalam lokakarya "Peliputan Pemilu dan Pilpres bagi Jurnalis" yang diselenggarakan Dewan Pers, di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (4/3/2009).
Perdebatan soal independensi wartawan ini terjadi ketika berlangsung dialog antara wartawan di Kupang dan Ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi dan Hubungan Antarlembaga Dewan Pers, Wikrama Iryana Abidin.
Persoalan yang disorot adalah profesionalisme wartawan terutama liputan yang bebas dari pengaruh partai politik (parpol) dan uang suap dari para calon anggota legisatif (caleg).
Dalam dialog tersebut terungkap bahwa ada wartawan merasa berada di persimpangan jalan, antara mempertahankan profesionalisme dan kesejahteraan yang rendah dari perusahaan tempat bekerja.
Masalah itu diperparah oleh godaan uang atau barang dari parpol dan politisi yang membutuhkan pencitraan melalui media massa menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Seorang wartawan sebuah harian kota di Kupang memberi contoh satu kasus di Nus Tenggara Timur (NTT) terkait hubungan kolusif antara sejumlah wartawan dan politisi.
Mobil rombongan wartawan bersama politisi tersebut dilempar oleh orang tidak dikenal di perbatasan Timor Tengah Utara (TTU) dan Timor Tengah Selatan (TTS), namun peristiwa ini tidak diberitakan.
Pengungkapan insiden itu dibenarkan oleh seorang wartawan tabloid yang juga terbit di Kupang, namun dia menyatakan insiden itu bukan pelemparan mobil, tetapi "penghalang" jalan.
Semua wartawan yang berada dalam mobil, yang berkunjung ke Belu atas undangan seorang politisi nasional, sepakat tidak memberitakan insiden itu demi menjaga citra politisi.
Menurut Wikrama, rekam jejak para politisi baik yang sudah lama bermain di pentas poitik maupun yang baru muncul menjelang pemilihan legislatif 2009, mestinya dikupas oleh jurnalis, agar publik mendapatkan informasi yang lengkap mengenai profil caleg.
Pengungkapan rekam jejak politisi ini sehari sebelumnya juga ditegaskan oleh Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Wina Armada Sukardi dan Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara.
Menurut para anggota Dewan Pers itu, media harus bisa "menguliti" para politisi. Wikrama misalnya, menggunakan dua pendekatan untuk mengungkap rekam jejak, yakni pendekatan psikografik dan ekososiografik.
Psikografik adalah mengungkap bagaimana perilaku caleg di luar atau di dalam rumah, apakah pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga, dibenci atau disenangi tetangga, saudara, teman kantor, anak buah, apakah dia seorang penjudi, punya wanita idaman lain atau pria idaman lain dan apakah juga pemakai narkoba.
Sementara itu, pendekatan ekososiografik misalnya mengungkap ijazah palsu, apakah orang itu berprestasi akademis baik, apakah tukang contek, hartanya di dapat secara ilegal melalui "ilegal logging", bandar narkoba atau usaha ilegal lainnya.
"Dengan rekam jejak ini masyarakat mendapatkan gambaran untuk memilih pemimpin yang pro rakyat dan mampu membawa perubahan lebih baik bagi rakyat," katanya menambahkan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar