Ichlasul Amal: Wartawan Hati-hati Buat Berita

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Dewan Pers, Ichlasul Amal, mengatakan wartawan harus berhati-hati setelah ditolaknya permohonan dua wartawan untuk uji materi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Saya harapkan wartawan harus berhati-hati," katanya setelah mengikuti sidang putusn uji KUHP, di Gedung MK, Jakarta, Jumat.

Ia juga menyarankan wartawan dalam menulis harus punya dasar dengan berdasarkan referensi, misalnya menulis anggapan korupsi bisa diberitakan, tetapi jangan langsung menuduh sebagai seorang koruptor.

Menurut dia, kalau tulisan itu dijadikan alasan pencemaran nama baik, jelas tidak boleh karena melanggar kode etik.

Di samping itu, ia juga mengharapkan agar setiap masalah pemberitaan, wartawan tidak langsung dikenai KUHP atau jangan langsung dipenjara."Harapannya kita selesaikan melalui UU Pers," katanya.

Menanggapi putusan itu, dia semula berharap agar putusannya diberi catatan atau referensi untuk pers dengan menggunakan UU Nomor 40 tahun 1999.

Sementara itu, wartawan senior, Abdullah Alimudi, menyatakan putusan itu menyedihkan bagi kalangan pers karena tetap menggunakan pasal-pasal zaman Belanda.

"Menyedihkan pers, sehingga tetap terancam oleh pasal-pasal dibuat Belanda," katanya.

Sebelumnya dilaporkan, Mahkamah Kontitusi (MK) menolak uji Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan dua wartawan, Bersihar Lubis (Koran Tempo) dan Risang Bima Wijaya (Radar Yogya).

Hal itu merupakan putusan majelis hakim konstitusi dalam sidang pengucapan putusan dalam rangka Pengujian KUHP terhadap UUD 1945, di Gedung MK, Jakarta, Jumat.

"Menyatakan permohonan para pemohon ditolak," kata pimpinan majelis hakim konstitusi, Harjono.(*)

http://www.antara.co.id/arc/2008/8/15/dewan-pers-minta-wartawan-berhati-hati-buat-berita/

Pers Jangan Gamang Kritik Penguasa

Jakarta (ANTARA News) - Pers jangan gamang kritik penguasa karena perbedaan antara pencemaran dan kritik `sekulit bawang`, bisa ditarik-tarik seperti karet.

Bersihar Lubis, (wartawan Koran Tempo) yang mengajukan uji materi sejumlah pasal dalam KUHP yang kemudian ditolak oleh Majelis Hakim Konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK), saat dihubungi dari Jakarta, Jumat, mengemukakan, kritik sah saja demi kepentingan umum.

"Kita jadi setback, karenanya saya berharap DPR akan mencoret pasal itu saat membahas RUU KUHP yang baru," harapnya.

Menurut Bersihar Lubis, kebebasan pers saat ini terancam.Memang tergantung penegak hukum untuk memilah mana yang menghina dan mana yang merupakan kritik, tetapi akibatnya Dewan Pers menjadi tak berfungsi sebagai penyelesai sengketa pers.

"Saya berharap ada MoU atau SKB antara Dewan Pers, Kapolri, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung (MA) agar kasus pers ditangani Dewan Pers, jangan dikriminalisasikan" kata Bersihar Lubis.

Ia menyatakan keanehannya karena di satu sisi pasal 134, 136 dan pasal 137 KUHP tentang penghinaan kepada presiden telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu.

"Kok pasal 207 tentang penghinaan terhadap penguasa di bawah presiden ditolak, padahal normanya sama. Ini diskriminatif seolah-olah penguasa lebih istimewa dibanding presiden yang semestinya sama di mata hukum," katanya.

Sebelumnya dilaporkan, Mahkamah Kontitusi (MK) menolak uji materi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan dua wartawan, Bersihar Lubis (Koran Tempo) dan Risang Bima Wijaya (Radar Yogya).

Hal itu merupakan putusan majelis hakim konstitusi dalam sidang pengucapan putusan dalam rangka Pengujian KUHP terhadap UUD 1945, di Gedung MK, Jakarta, Jumat.

"Menyatakan permohonan para pemohon ditolak," kata pimpinan majelis hakim konstitusi, Harjono.(*)

http://www.antara.co.id/arc/2008/8/15/pers-jangan-gamang-kritik-penguasa/

Wartawan Tidak Diperkenankan Jadi Saksi

Makassar (ANTARA News) - Wartawan tidak diperkenankan menjadi saksi di kantor kepolisian atas suatu pemberitaan yang dimuatnya pada koran.

"Wartawan jangan mau jadi saksi. Kesaksiannya itu bisa direpresentasikan dalam produk berita," ujar wartawan senior di berbagai media, Dr. S. Sinansari Ecip dalam diskusi "Lawan Kriminalisasi Pers, Tegakkan Etika Jurnalistik" pada 14 Tahun AJI Kota Makassar di Makassar, Senin.

Demikian pula halnya, lanjut Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat ini bahwa wartawan juga tidak boleh langsung dipidanakan.

"Bila terjadi masalah dengan pemberitaan, maka penyelesaiannya harus seuai dengan undang-undang pers seperti somasi, hak koreksi dan hak jawab," tegasnya seraya menambahkan bahwa wartawan itu sendiri, bertugas menjalankan profesinya dan terikat dengan etika jurnalistik.

"Karya jurnalistik adalah karya politik. Tuduhan pelanggaran pidana adalah karya perseorangan. Pelanggaran pidana tidak benar ditujukan kepada wartawan. Tetapi hal tersebut bisa diarahkan ke masalah perdata," kata Ecip yang aktif menulis buku-buku tentang jurnalistik.

Namun tidak tertutup kemungkinan pula lanjutnya, wartawan itu dapat dijerat pasal pidana bila tidak menjalankan profesinya berdasarkan etika jurnalistik yang telah ditetapkan. Dia mengakui bila masih ada beberapa wartawan yang tidak berjalan pada rel kode etik jurnalistik.

Hal senada dikatakan salah seorang wartawan di Makassar yang secara tegas meminta kepada para jurnalis untuk tidak memenuhi panggilan polisi bila diminta menjadi saksi guna memberikan keterangan di kantor polisi.

Polisi malah disarankan untuk mengutip hasil produk berita wartawan tersebut yang telah ditulisnya dalam koran. Sebab keterangan wartawan yang nantinya akan dimintai di kantor polisi, tidak jauh beda dengan apa yang ditulisnya dalam koran.(*)

http://www.antara.co.id/arc/2008/8/18/wartawan-tidak-diperkenankan-jadi-saksi/

Wapres: Pers Harus Fair

Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengatakan pers harus bersikap seimbang dan "fair" sehingga tidak hanya menuntut haknya saja tetapi juga harus melaksanakan kewajibannya.

"Kalau pers hanya mau menuntut haknya tetapi tak mau melaksanakan kewajibannya itu tidak fair," kata Wapres Jusuf Kalla saat menghadiri HUT Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta, Selasa malam.

Menurut Wapres kebebasan pers bukan hanya untuk kebebasan. Ia melanjutkan bahwa tidak ada kebebasan pers tanpa batas. Tidak ada kebebasan pers yang tanpa dibatasi oleh undang-undang.

"Pers berhak untuk memberitakan apa saja tetapi pers berkewajiban mempertanggungjawabkan apa saja yang ditulisnya," kata Wapres.

Kalla juga mencontohkan di negara Amerika Serikat juga kebebasannya ada batasnya. Kebebasan juga ada aturan dibatasi undang-undang.

"Jadi kebebasan itu bukan untuk kebebasan, tetapi kebebasan itu untuk kemaslahatan bangsa. Karena itu pers berikan optimisme, berikan manfaat," katanya.

Dia menjelaskan bahwa kebebasan di tiap negara berbeda-beda. Wapres mengaku saat ini menikmati kebebasan pers yang ada di Indonesia. Menurut Wapres yang diperlukan bangsa ini adalah membangun optimisme.

"Dimana batas kebebasan itu?. Batas kebebasan pers ketika di saat kita melanggar hak orang lain," katanya.

Dalam kesempatan itu Wapres meminta pers terus memberikan optimisme. "Kritiklah dengan betul tetapi fair juga dengan optimisme," kata Wapres.(*)

http://www.antara.co.id/arc/2008/8/26/pers-harus-fair-kata-wapres/

Kebebasan Pers untuk Kesejahteraan Masyarakat

Padang Aro (ANTARA News) - Ketua Umum PWI Pusat, Margiono, mengatakan, kebebasan pers begitu diagungkan oleh wartawan dalam pemberitaan, hendaknya diaplikasikan untuk kesejahteraan masyarakat.

Hal disampaikan Ketua Umum PWI Pusat, Margiono, pada saat memberikan sambutan pada Konferensi I PWI Perwakilan Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, di Gedung Nasional Muarolabuh, Rabu.

Dalam kesempatan itu, Margiono juga berharap pada Bupati Solok Selatan, untuk bersedia menggandeng para wartawan di daerah itu dalam pembangunan dan memajukan daerah.

Ketua PWI Perwakilan Solok Selatan terpilih, Hendrinof (wartawan harian Singgalang), Sekretaris, Ahmad Jalinus dan Bendahara Marnus Caniago.

kut hadir pada acara itu, juga Ketua PWI Sumbar, Basril Basyar, Ketua DPRD Solsel diwakili Syukur dan SKPD.

Menyikapi hal itu, Bupati Solok Selatan, Syafrizal J, mengatakan, bahwa berjalannya pembangunan di kabupaten itu, tidak lepas dari peran serta wartawan dalam memberikan informasi yang cukup berimbang ke publik.

"Kita minta agar bisa dipertahankan, guna memberikan informasi yang positif kepada masyarakat," katanya dan menambahkan, hingga kini masih ada sebagian besar masyarakat Solsel yang berada pada pelosok belum menikmati informasi dari media massa.

Bupati berharap, agar PWI sebagai organisasi kewartawanan mampu memberikan andil dalam penyampaian informasi kepada masyarakat yang belum mendapatkan informasi itu.

Syafrizal juga menyinggung, soal wartawan bodrex yang berkeliaran. "Ketika ditanya mengaku wartawan, namun ditanya kartu identitas, menjawab belum jadi dan sedang diurus," ucapnya.

Kendati dalam penutupan Konferensi I PWI itu, Wakil Bupati Solok Selatan, Nurfirmanwansyah, mengharapkan supaya dalam pemberitaan wartawan mampu memberikan informasi yang benar sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

"Jangan sampai karena tanpa ada cek dan ricek, informasi yang diberikan atau diterima wartawan ternyata mengandung sesuatu yang tidak betul," katanya singkat.(*)

http://www.antara.co.id/arc/2008/9/3/kebebasan-pers-harus-untuk-kesejahteraan-masyarakat/