ilustrasi |
Pada tahun 1993, lembaga riset ternama di Hong Kong, Political and Economic Risk Consultancy menyiarkan hasil survei para eksekutif bisnis yang menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara paling korup di Asia. Di satu pihak, pemerintah selalu membantah tuduhan-tuduhan meluasnya korupsi di tubuh birokrasi.
Di lain pihak, kepercayaan terhadap pemerintah terus terpuruk. Kasus pembreidelan bulan Juni 1994 terhadap tiga penerbitan pers yang berpengaruh --- Tempo, Detik dan Editor --- memperkuat citra otoriter pemerintah Soeharto, tindakan tersebut ibarat melempar bensin ke bara. Kasus Tempo mengundang perhatian luas karena menyangkut dugaan penyimpangan dalam pembelian kapal-kapal perang bekas asal Jerman Timur oleh pemerintah Indonesia. Pimpinan Tempo menggugat pemerintah ke pengadilan, dengan hasil menang di tingkat pengadilan tinggi tetapi dikalahkan di Mahkamah Agung.
Sementara itu, para wartawan majalah itu bersama para simpatisan mereka di dalam dan luar negeri terus memprotes pemberangusan tersebut. Pada bulan Agustus mereka membentuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan tahun berikutnya resmi menjadi anggota International Federation of Journalists (IFJ) yang bermarkas di Belgia. Kecuali IFJ, sejumlah lembaga pers dan hak azasi manusia di Barat serta UNESCO melakukan intervensi terhadap keputusan pembreidelan yang diambil pemerintah dan penangkapan disusul pengadilan beberapa aktivis AJI.
Dengan demikian, seperti di masa awal Indonesia merdeka, PWI bukan lagi merupakan wadah tunggal wartawan di Indonesia. Karena dianggap melanggar ketentuan dan peraturan organisasi, pengurus PWI memecat sejumlah anggotanya yang menyeberang ke AJI.
Wacana politik nasional sepanjang tahun 1995 sampai 1997 berkisar isu-isu suksesi dan keterbukaan. Masalah suksesi menjadi relevan terutama setelah Presiden Soeharto mendapat serangan jantung di tahun 1997, Dalam kenyataannya suksesi dan keterbukaan hanya sebatas retorika. Beberapa wartawan, termasuk pengurus teras AJI, diadili dan dihukum penjara.
Wartawan Kompas di Bandung yang sedang bertugas dipukul polisi, empat wartawan Lampung Post dipecat karena memuat hasil wawancara dengan novelis Pramoedya Ananta Toer, program "Perspektif" di SCTV terpaksa dibatalkan menyusul serangkaian tekanan dari Departemen Penerangan terhadap stasiun televisi tersebut, di Yogyakarta wartawan Bernas Fuad Mohammad Syafruddin dikeroyok di rumahnya hingga meninggal dunia. PWI mengutuk pembunuhan Fuad dan menuntut pemerintah mengadili para pelakunya. Peristiwa terbesar tahun 1996 adalah penyerbuan kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Megawati Sukarnoputri yang memicu huru-hara dan bentrokan berlarut antara aparat keamanan dan massa demonstran.
Pemilihan umum bulan Mei 1997 diwarnai bentrokan di sejumlah daerah sementara pers mendapat tekanan dari para pendukung pencalonan kembali Soeharto. Lembaga-lembaga pengawas independen, juga pemerintah Amerika Serikat, mengecam kecurangan dalam pemilu. Sebelum itu, `kubu pro-kemapanan' di tubuh Golkar berhasil mendepak para tokohnya yang kritis dan mendukung keterbukaan. PDI pimpinan Soerjadi diboikot para pendukung Megawati sehingga terbilang gagal besar dalam pemilu. Di samping itu, tercatat sejumlah penangkapan terhadap beberapa aktivis mahasiswa, pemimpin buruh dan tokoh oposisi. Sementara pemerintah negara-negara kreditor mendesak pemerintah untuk mengembangkan keterbukaan dan kebebasan pers agar pengawasan pembangunan bisa lebih efektif, justeru pada bulan Oktober 1997 pemerintah bersama DPR menetapkan berlakunya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran yang sarat dengan larangan-larangan dan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. UU tersebut tetap mewajibkan pengelola stasiun televisi dan radio swasta untuk meminta izin atau lisensi (keharusan memiliki lisensi juga berlaku bagi pengelola rumah-rumah produksi untuk TV) dan merelai siaran TVRI dan RRI. Sebagai sanksi administratif tercantum ancaman pembekuan siaran untuk waktu tertentu dan pencabutan izin penyelenggara penyiaran.
Sebelum lahirnya UU No.24/1997, ketatnya regulasi penyiaran mengundang perdebatan dari banyak pihak. Kesediaan pemerintah untuk merevisi rancangan final UU tersebut, membuka peluang bagi pihak pers/media cetak untuk menuntut penyempurnaan peraturan perundang-undangan pers tahun 1966 dan 1982. Khususnya PWI mendesak pencabutan hak Menteri penerangan untuk membatalkan SIUPP. Sebaliknya, PWI menghendaki setiap tuntutan terhadap pers diputuskan di pengadilan. Menteri penerangan waktu itu, R. Hartono, berjanji bahwa pemerintah tidak akan lagi mencabut SIUPP, namun tekanan-tekanan terhadap pers dari pejabat pemerintah tetap berlangsung. Bahkan tersiar kabar bahwa pihak pemerintah akan menuntut secara hukum pimpinan majalah D&R, Margiono, karena memuat gambar karikatur Presiden Soeharto sebagai sampul muka yang dianggap mengandung unsur penghinaan. Dewan Kehormatan PWI sendiri menyalahkan dan menskors Margiono. Tekanan pemerintah juga dialami harian berbahasa Inggris The Jakarta Post. Bulan Juni 1997, kuasa hukum PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang diketuai Adnan Buyung Nasution mengajukan somasi terhadap harian tersebut karena dinilai merusak citra perusahaan tersebut berkenaan dengan pemberitaan jatuhnya pesawat terbang CN 235-220 versi militer di Serang, 25 Mei.
VI. REFORMASI SISTEM PERS DAN MASALAHNYA
TEKANAN TERHADAP PERS BERLANJUT
Presiden Soeharto dilantik untuk masa jabatan ke-7 pada bulan Maret 1998, tetapi meletakkan jabatan pada 21 Mei akibat krisis ekonomi dan keuangan yang menerpa Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya serta menyusul huru-hara besar di Jakarta dan kota-kota lainnya. Demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan gerakan oposisi di berbagai kota tidak terbendung lagi. Dengan latar belakang bentrokan berdarah antara pasukan keamanan dan pengunjuk rasa anti-Soeharto yang menelan sejumlah korban mahasiswa, dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti dan Tragedi Semanggi, krisis pemerintahan terus memuncak. Akhirnya Soeharto mundur dan digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie, yang terpaksa mengangkat sumpah di istana dan bukan di gedung MPR/DPR, berhubung jalan-jalan macet total dan meruncingnya keadaan.
Walau pun Habibie berjanji akan melaksanakan reformasi politik dan ekonomi, sistem pemerintahan di awal masa reformasi setelah turunnya Soeharto masih dikendalikan oleh kubu politik Orde Baru. Bahaya dan tekanan masih mengancam pekerja pers, selain dari unsur aparat pemerintah juga dari massa demonstran. Hampir sepanjang 1998, sejumlah wartawan dari berbagai surat kabar dan stasiun televisi menghadapi ancaman fisik dan hambatan politik. Seperti yang dialami wartawan-wartawan D&R, Merdeka, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Antara, Surya, Aksi, Pikiran Rakyat, Republik, Sinar, Media Indonesia, Kompas, Gatra. Dalam tahun 1998, pemimpin redaksi Merdeka empat kali diperiksa di Mabes Polri, pertama akibat pengaduan menteri dalam negeri Syarwan Hamid, kedua pengaduan menko ekuin Ginandjar Kartasasmita, ketiga dan keempat masing-masing atas pengaduan dua pengusaha nasional. Tahun berikutnya kembali Merdeka (juga beberapa media lainnya) diperiksa polisi karena pemberitaan mengenai rekaman pembicaraan tilpon Presiden Habibie dan jaksa agung Andi Ghalib dan berikutnya disodorkan somasi oleh tim pengacara Partai Golkar. Kasus rekaman tilpon Habibie-Ghalib berawal dari pemberitaan majalah Panji Masyarakat, yang juga menjalani pemeriksaan aparat sekuriti.
Tahun 1998 dua surat kabar internasional milik perusahaan Amerika, masing-masing The Asian Wall Street Journal dan The International Herald Tribune, memperoleh izin cetak di Jakarta dari Departemen Penerangan. Tetapi tahun berikutnya tiga wartawan asing, masing-masing mewakili Time, The Guardian dan The New York Times, dimasukkan ke dalam daftar hitam aparat pemerintah. Redaksi SCTV dan majalah Jakarta-Jakarta mendapat peringatan. Di Aceh, dua wartawan terbunuh, masing-masing Mukmin Fanani dan Supriadi. Pemimpin redaksi Serambi Sjamsul Kahar dan korespondennya Basri Daham terpaksa mengungsi ke luar daerah karena menjadi sasaran teror. Wartawan Waspada di Banda Aceh mendapat ancaman melalui tilpon dan distribusi koran di Aceh terganggu karena aksi penghadangan dan pembakaran oleh orang-orang bersenjata. Di Pontianak, seorang wartawan korban penikaman terpaksa dirawat di rumah sakit. Di Surabaya, wartawan Surya mendapat perlakuan kasar dari gubernur. Bulan Juni, wartawan Kompas, Suara Bangsa dan RCTI dilarang memasuki kantor Kejaksaan Agung. Pemimpin redaksi AnTeve Azkarmin Zaini dan seorang reporternya diperiksa polisi karena menyiarkan hasil wawancara dengan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Di Jakarta, belasan wartawan sempat menjadi korban perlakukan kasar aparat keamanan sewaktu meliput unjuk rasa mahasiswa. Di Ujung Pandang, kantor biro Kompas menjadi sasaran demonstrasi mahasiswa. Serangkaian unjuk rasa massa tidak dikenal juga dllakukan terhadap beberapa harian di Ibukota.
Tahun 2000, terjadi sejumlah aksi kekerasan dan unjuk rasa terhadap pers. Satu studio radio di Maluku Tengah menjadi korban aksi pembakaran. Unjuk rasa massa terjadi terhadap Pos Kita di Solo. Irja Pos di Jayapura, sementara RRI Fakfak dan RRI Merauke dirusak demonstran, serta wartawan Kediri Pos diciduk petugas intel polisi. Wartawan Radar Pos dan jurukamera RCTI mendapat perlakuan kasar satgas partai PBB di Malang, di Samarinda wartawan tabloid Menara Hoesin KH dikeroyok orang-orang tidak dikenal, sementara gubernur setempat kemudian menuntutnya ke pengadilan. Kantor Jawa Pos didemo sejumlah anggota Banser. Berbagai aksi kekerasan oleh massa juga menimpa pers di sejumlah kota lainnya.
LANGKAH AWAL MENEGAKKAN KEBEBASAN PERS
Mendahului kasus-kasus suram yang menghantui kebebasan pers di masa awal orde reformasi sejak Soeharto lengser, kalangan pers sendiri secara agresif menggulirkan kampanye publik untuk menegakkan kebebasan pers. Bahkan beberapa hari menjelang pergantian presiden, pada tanggal 18 Mei 1998 sejumlah wartawan dari beberapa kota yang sedang berkumpul di Solo mencetuskan Deklarasi Wartawan Indonesia Tentang Kemerdekaan Pers mengacu pada Pasal 28 UUD 1945. Pada 15 Oktober, diskusi wartawan dan akademisi di Jakarta menghasilkan pernyataan, bahwa kebebasan pers adalah kebebasan dari ancaman, paksaan, tekanan, dalam bentuk apa pun dan dari pihak mana pun, untuk menyampaikan informasi.
Secara kongkrit, MPR didesak mengeluarkan ketetapan yang menjamin kebebasan pers. Pada 13 November 1998 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia, yang mencantumkan pasal-pasal mengenai hak kemerdekaan menyatakan pikiran; kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat; serta hak atas kebebasan informasi, termasuk hak "mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia". Pasal 42 Tap MPR tersebut menegaskan, hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tersebut "dijamin dan dilindungi" serta perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia itu adalah "tanggung jawab Pemerintah". Berikutnya, tanggal 23 November, sekumpulan wartawan dan penyokong kebebasan pers, antara lain Rosihan Anwar, Atmakusumah, S.L. Batubara, hakim Benjamin Mangkudilaga dan aktivis LSM membentuk Komite Kebebasan Pers dengan misi memperjuangkan jaminan dan perlindungan atas kebebasan pers.
Dalam upaya menegakkan kebebasan pers di awal masa reformasi, patut dicatat peran positif Presiden Habibie (terlepas kasus pembreidelan Tempo dan somasi terhadap The Jakarta Post sebelumnya, serta usulnya kemudian untuk menerapkan sistem lisensi bagi profesi wartawan). Juga perlu diingat dukungan bulat menteri penerangan Mohamad Yunus, seorang mantan komandan pasukan tempur. Yunus sempat mendapat pujian dari lembaga Committee To Protect Journalist yang berpusat di Amerika atas keputusannya mengundang pengurus Article 19, lembaga anti-sensor non-pemerintah di Inggris, dan Unesco untuk membantu upaya menyempurnakan perundang-undangan pers.
Komitmen Yunus untuk menciptakan sistem pers merdeka diakui kalangan internasional. Dan memang, di masa Yunus inilah, atas persetujuan DPR dan dukungan masyarakat pers dan penyiaran, pemerintah mengeluarkan Undang-undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, 23 September 1999, yang mencabut UU Pers 1966 dan 1982. Dengan UU baru tersebut sistem lisensi atau izin penerbitan pers dihapus dan Dewan Pers sepenuhnya bebas dari dominasi dan intervensi pemerintah. Pembentukan Dewan Pers baru, beranggotakan 9 orang, disahkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan Keppres Nomor 96/M Tahun 2000. Dewan diketuai Atmakusumah Astraatmadja, dengan wakil ketua R.H. Siregar dan direktur eksekutif Lukas Luwarso. Masa kerjanya berlangsung sampai tahun 2003.
Presiden Abdurrahman Wahid, yang terpilih dalam Sidang Umum MPR pada 20 Oktober, 1999, bersama Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri, bertekad untuk melanjutkan kebebasan pers. Keputusan Gus Dur untuk menghapus Departemen Penerangan menutup sejarah sebuah lembaga eksekutif yang awalnya merupakan pendukung pers nasional, namun dari era Sukarno sampai Soeharto berbalik menjadi pemasung kemerdekaan pers.
Euforia demokrasi dan kebebasan di awal masa reformasi membawa dampak positif tetapi juga negatif. Dalam dunia politik kepartaian, puluhan partai-partai baru bermunculan dengan cepat dan mudah. Partai-partai tersebut umumnya tergolong `gurem'. Hanya sekitar selusin partai mampu memperoleh dukungan suara berarti secara nasional dalam pemilu 1999. Di bidang media massa, ratusan penerbitan pers baru bermunculan, umumnya tabloid. Sebagian besar tidak profesional, cenderung sensasional, mengabaikan standard jurnalistik yang universal, dan terbit tidak teratur. Rekrutmen personil terjadi tanpa strategi atau konsep kerja dan usaha yang jelas. Sejumlah perusahaan penerbitan pers yang terpaksa gulung tikar otomatis menyebabkan puluhan wartawan dan karyawan menganggur. Pemberitaan yang melanggar nilai-nilai dasar jurnalistik memicu protes anggota masyarakat yang dirugikan.
Menjelang akhir November 2000, satu stasiun televisi baru pimpinan Surya Paloh, bernama Metro, memulai siaran percobaan, sementara empat stasiun baru lainnya --- Pasaraya, Global, Trans dan Duta --- direncanakan beroperasi tahun 2001. Mereka menampung banyak tenaga-tenaga pemula, tetapi juga memicu eksodus wartawan berpengalaman baik dari media siaran mau pun penerbitan pers yang ada.
Tumbuhnya media komunikasi dan informasi baru --- Internet --- terjadi tepat saat reformasi digulirkan. Sampai Desember 2000 tercatat lebih 390 situs, sekitar 90 merupakan majalah web, 30 tergolong portal berita atau informasi. Surat kabar online mencapai 40 lebih. Sebagian besar bertujuan bisnis murni. Tidak pelak lagi, proses kristalisasi atau eliminasi alamiah telah dan akan terus berlangsung. Secara global, media "dot com" mengalami pasang-surut dan diperkirakan sebagian besar akhirnya terpaksa gulung tikar. Begitu pun, potensi dan prospeknya secara umum dianggap bagus mengingat perluasan pesat jaringan tilpon dan pertumbuhan komputerisasi di kantor-kantor mau pun rumah-rumah.
Di Indonesia diperkirakan terdapat sedikitnya seribu warung net (warnet) dengan sekitar 300.000 anggota. Menurut satu proyeksi, jumlah pemakai bisa mencapai 20 juta orang. Saat ini sekitar selusin situs berita independen terlibat persaingan ketat, di antaranya Astaga, Satunet, Detik, Berpolitik, Koridor, Suratkabar, inilho dan indonesia-raya. Di samping mereka terdapat situs-situs berita yang menggandul pada penerbitan pers yang ada. Media siaran, seperti RCTI, juga menyelenggarakan situs sendiri. Tahun 1999 tercatat sebanyak 502 radio AM dan 413 radio FM di seluruh Indonesia, sebagian di antaranya melakukan liputan jurnalistik atau berita. Di Jakarta berdiri pula kantor berita televisi Indra. Pertumbuhan mencolok juga terjadi di bidang media cetak. Koran-koran baru dalam grup Jawa Pos, yang bermarkas di Surabaya, bermunculan di sejumlah ibukota provinsi dan kabupaten. Grup Kompas-Gramedia dan grup Pos Kota juga menyelenggarakan sejumlah penerbitan, selain di Jakarta juga di daerah lain.
Pemerintah di era reformasi, dari masa kepresidenan Habibie yang singkat dilanjutkan pada masa kepresidenan Gus Dur, secara konsisten mendukung kemerdekaan pers. Setidaknya mereka membebaskan pers dari pembreidelan. Ada UU pers baru dan Tap MPR tentang hak azasi manusia yang de jure menjamin dan melindungi kebebasan pers dan informasi serta kebebasan berkomunikasi. Namun, kembali perlu diingat masih adanya perundang-undangan, seperti KUHP, yang bisa mengancam pers dan wartawan. Berlarutnya perdebatan tentang prinsip dasar yang melandasi Rancangan UU Penyiaran baru menunjukkan masih tajamnya perbedaan tentang strategi dan kebijakan komunikasi, arus informasi serta pers. Selama pemerintah mempertahankan sistem lisensi penyiaran, selama itu pula Pedang Damocles akan terus menghantui kehidupan pers, khususnya bidang penyiaran. Begitu pula, amuk massa dan tindakan kekerasan dari penguasa terhadap pers sangat bertentangan dengan semangat dan prinsip kebebasan pers. Namun, tidak bisa diingkari bahwa pelanggaran nilai-nilai dasar jurnalistik oleh pers jelas mencemari kebebasan pers.
Pengalaman pers nasional sejauh ini, bagai gerak pendulum yang berganti-ganti arah, menunjukkan dua hal yang mendasar. Pertama, pembreidelan pers di masa lalu menunjukkan sifat konstan perbedaan tajam antara tanggung jawab pers yang independen, non-partisan dan non-partai di satu pihak dan tanggung jawab pemerintah (terlepas partai mana yang berkuasa) di lain pihak. Dan kedua, pemerintah (eksekutif) yang secara dominan mengendalikan kekuasaan cenderung menempuh jalan represi untuk memasung oposisi dan menyumbat kritik. Untuk menghindari pembreidelan dan dominasi eksekutif, peran pers dan kebebasan pers perlu dipahami sebagai pra-syarat berfungsinya sistem dan proses "check and balance" dalam penyelenggaraan negara secara demokratis, transparan dan menganut azas akuntabilitas kepada publik. Peran dan proses ini hanya bisa efektif bila lembaga pers terbebas dari segala manifestasi tekanan dan ancaman tindak kekerasan.
Berikutnya, selain diperlukan kesepakatan tentang kedudukan dan fungsi pers tersebut di atas, secara paralel harus ada upaya nasional yang kongkrit untuk memperkuat fundamental politik dan pers. Jika sejauh ini sebagian pers dinilai kebablasan, unjuk rasa massa terhadap pers juga kebablasan, sementara sebagian pejabat dan aparat eksekutif masih menyimpan hasrat untuk membelenggu pers, masalahnya (seperti dikatakan oleh sesepuh wartawan Rosihan Anwar) karena tidak adanya tradisi demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Tradisi itu tidak ada karena memang kebijakan politik sejak zaman kolonial hingga masa-masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru menonjolkan pemasungan pers. Kondisi tersebut dengan sendirinya melemahkan minat dan proses pendidikan nilai-nilai dasar dan teknik jurnalistik di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi bari para kader pers guna memantapkan kebebasan pers serta sistem pers merdeka.
Wawasan untuk mendukung kebebasan pers di kalangan masyarakat luas dan jajaran pemerintah juga sangat lemah. Kelemahan ini adalah bagian dari kelemahan negara dalam membangun dan menata kehidupan demokrasi, terutama dasar-dasarnya yang bersifat universalnya. Dalam masa transisi menuju kehidupan demokrasi yang sebenar-benarnya, diperlukan lembaga mediasi yang mampu meredam segala bentuk kekerasan terhadap pers oleh pihak-pihak non-pers. Lembaga itu tentu pula harus mampu menunjukkan kelemahan pers. Idealnya lembaga itu adalah Dewan Pers yang independen dan berkerja efektif. Juga diperlukan partisipasi lembaga-lembaga riset dan "media watch" yang independen. (*)
*) Tribuana Said - wartawan, lahir di Medan pada tanggal 6 Agustus 1940. Ia adalah seorang wartawan yang menjalani pendidikan di Internasionale Institut Fuer Journalismus, Berlin Barat (1972), dan menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana di Michigan Journalism Fellow, University of Michigan, Ann Arbor, Michigan, USA pada tahun 1973-1974.
Kemudian pada tahun 1979 mengambil diploma Pasca-Sarjana Hubungan Internasional dan Pembangunan, setelah itu mengambil gelar Master Studi Pembangunan (MDS) pada tahun 1981 di Institute of Social Studies, Den Haag, Nederland dan Piagam Khusus Reguler Angkatan XVII dan Anggota Lembaga Pertahanan Nasional tahun 1984 di Jakarta.
Ia memiliki banyak pengalaman kerja, diantaranya mendirikan Mingguan Waspada Teruna (1957), koresponden Waspada, Medan di Eropa Barat yang berkedudukan di London (1958-1964), Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Waspada Medan , pada tahun 1964-1965 (Waspada diberangus oleh Pemerintah Soekarno pada 23 Maret 1965, dan diterbitkan kembali pada 17 Agustus 1966), wartawan Merdeka, Indonesian Observer, mingguan Topik, Keluarga Jakarta (1966).
Pemimpin Redaksi Merdeka Jakarta pada tahun 1975-1979 dan 1995-2000 (Merdeka diberangus oleh Pemerintah Soeharto pada 20 Januari 1978, dan diterbitkan kembali dua minggu kemudian), Anggota Dewan Pers selama dua periode yaitu tahun 1993-1999, Anggota Badan Sensor Film dalam dua periode yaitu tahun 1984 - 1989, Anggota Dewan Siaran Nasional tahun 1989 - 1991, Wakil Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia Pusat tahun 1983 - 1988, selanjutnya menjadi Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri merangkap Direktur Program Pendidikan PWI tahun 1988 -1998. Pernah juga menjabat Ketua Bidang Manajemen, Serikat Penerbit Suratkabar Pusat tahun 1974-1979, Direktur dan selanjutnya Sekretaris Tetap Konfederasi Wartawan ASEAN tahun 1989 - 1993. Selain itu beliau juga pernah menjabat sebagai Pemimpin Umum Mingguan Waspada Teruna, Medan tahun 1957 - 1965, pada tahun 1967-1979 sebagai penanggung jawab dan selanjutnya Pemimpin Redaksi The Indonesian Observer Jakarta, Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan Berita TOPIK Jakarta tahun 1972 -1979, Wakil Pemimpin Umum Majalah Bulanan Keluarga Jakarta tahun 1981, dan Pemimpin Redaksi, Harian The Indonesia Times, Jakarta tahun 1990 - 1995.
Ia sempat menjabat sebagai Wakil Pemimpin Umum Majalah Triwulan Krakatau Jakarta, Penasihat Persatuan Wartawan Indonesia Pusat dari tahun 1998 dan Anggota Komite Kebebasan Pers dan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia sejak tahun 1998.
Ia pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif, Lembaga Pers Dr. Soetomo Jakarta sejak September 2002 hingga 20 Oktober 2008.
Tribuana juga menjadi Komisaris Utama PT Harian Waspada, Medan, sekaligus sebagai penerbit
Harian Waspada, Medan. Selain itu beberapa jabatan penting disandangnya yaitu Ketua Yayasan Pendidikan Ani Idrus, pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Pembangunan Medan, sejak tahun 1994 menjabat sebagai Direktur National Development Information Office, Jakarta, Komisaris PT Indonesia Raya Audisi, pendiri Indra TV Newsagency, Jakarta.
Berbagai aktivitasnya dalam organisasi diantaranya, menjadi Wakil Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Inggris (1960), Ketua Badan Pendukung Soekarnoisme, Medan, (1964), Bendahara Persatuan Wartawan Indonesia Pusat (1973-1978), Ketua Bidang Management Serikat Penerbit Suratkabar/SPS (1974-1979).-
Sumber: PWI Pusat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar