KUPANG, PK -- Dewan Pers mulai memberlakukan standar kompetensi terhadap wartawan di seluruh Indonesia. Dengan adanya standar kompetensi terhadap wartawan, maka yang menjadi wartawan adalah yang profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik. Terhadap mereka yang tidak mengantongi standar kompetensi wartawan, wajib ditolak kehadirannya oleh narasumber.
Hal itu dikatakan Ketua Komisi Hukum dan Perundang- undangan Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, kepada Pos Kupang di Polres Kupang Kota, Selasa (14/6/2011).
Dikatakannya, Dewan Pers sudah memberikan sertifikasi lolos standar kompetensi bagi 120 orang wartawan dari seluruh Indonesia yang dinilai layak menjadi wartawan profesional.
Pada tahun 2011, demikian Wina, Dewan Pers akan memberikan standar kompetensi bagi 3.000 orang wartawan di seluruh Indonesia.
"Para wartawan yang sudah memenuhi standar kompetensi sebagai wartawan yang profesional itu bisa diakses ke Dewan Pers," tegasnya.
Dengan pemberian standar kompetensi itu, kata Wina, maka akan memudahkan pemilahan antara wartawan yang sesunguhnya dengan wartawan gadungan. "Karena sejak dibukanya kran kebebasan pers, banyak penumpangan gelap seperti bandar narkoba bisa menjadi wartawan dan lain-lain. Dengan standar kompetensi ini, bisa diketahui mana wartawan asal-asalan dan mana wartawan yang benaran," ujarnya.
Dengan adanya pemberlakuan standar kompetensi bagi wartawan tersebut, maka para wartawan di seluruh Indonesia harus profesional dan taat pada kode etik jurnalistik, sehingga harus lulus kompetensi wartawan.
Bagi wartawan yang tidak memenuhi standar kompetensi wartawan, kata Wina, wajib ditolak oleh narasumber.
"Standar kompetensi wartawan itu akan memudahkan narasumber membedakan mana wartawan yang benar dan mana wartawan yang tidak benar," tegasnya.
Dikatakannya, terhitung Januari-Juni 2011 terdapat delapan kasus kekerasan yang menimpa wartawan dengan berbagai tingkatan.
Terjadinya kekerasan terhadap wartawan, lanjutnya, harus dilihat dari dua sisi, yaitu dari masyarakat sendiri dan fungsi pers.
Khusus dari sisi masyarakat, kata Wina, masih banyak yang tidak paham mengenai fungsi pers untuk melakukan pengawasan dan kritik.
"Ketika masyarakat dikritik, mereka tidak terima. Seharusnya apabila tidak menerima apa yang dituliskan media, maka ada mekanismenya, seperti mengajukan hak jawab atau diselesaikan melalui Dewan Pers," kata Wina.
Namun, kata Wina, seringkali karena masyarakat tidak paham terhadap aturan, sehingga melakukan tindakan-tindakan kekerasan terhadap wartawan atau lembaga medianya.
Selain itu, terjadi tindakan kekerasan terhadap wartawan, lanjutnya, juga karena belum tersosialisasi secara baik di tengah masyarakat tentang wartawan yang benar dengan wartawan laba-laba atau bodreks.
"Seringkali citra wartawan yang benar selalu dirusak oleh wartawan-wartawan gadungan yang memiliki misi tertentu dalam melaksanakan tugasnya seperti melakukan pemerasan, penipuan dan tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Akibat ulah wartawan bodrek ini sehingga muncul image di tengah masyarakat bahwa semua wartawan itu tidak benar," tegasnya.
Dia menjelaskan, hingga saat ini terdapat 526 kasus yang diadukan masyarakat ke dewan pers dengan berbagai jenis pengaduanya.
"Sebagian besar dari kasus yang diadukan masyarakat ke dewan pers itu adalah tentang berita yang kurang berimbang, tidak ada konfirmasi, sumber berita tidak jelas, serta berita yang menghakimi mengabaikan asas praduga tak bersalah. Ada juga pengaduan tentang wartawan yang beritikat buruk seperti memaki nara sumber," tandasnya. (ben)
Pos Kupang, 15 Juni 2011 halaman 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar