WAKIL Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara mengatakan, aparat penegak hukum mestinya menjemput "bola" dari pers berupa pemberitaan- pemberitaan tentang penyimpangan penyelenggaraan kekuasaan, termasuk korupsi. Karya-karya jurnalistik mestinya merupakan bahan awal bagi polisi dan jaksa dalam upaya menegakkan hukum demi terciptanya pemerintahan yang baik.
"Jadi bukannya malah menangkap dan memenjarakan wartawan yang menulis berita. Itu gaya orde lama dan orde baru," tegas Leo Batubara ketika tampil berbicara dalam diskusi publik bertajuk "Ancaman Terhadap Kemerdekaan Pers" yang berlangsung live di Studio I RRI Kupang, Sabtu (21/6/2008).
Negara Indonesia yang jatuh ke dalam kubangan korupsi, katanya, karena resim Soekarno dan Soeharto "suka" menangkap dan memenjarakan wartawan yang menulis berita-berita yang mengeritik tentang ketimpangan pembangunan. Akibatnya pun dirasakan sampai hari ini. Indonesia dikategorikan sebagai negara terkorup keenam di dunia.
"Kemiskinan yang menimpa sebagian besar masyarakat kita, adalah akibat dari itu semua. Uang rakyat dicuri, dikorup. Dan ketika itu diungkap wartawan melalui pemberitaannya, bukannya bahan berita itu dijadikan acuan untuk mengusut dan menghukum koruptornya, malah wartawannya yang ditangkap dan dipenjarakan. Itu daya orde lama dan orde baru. Apakah kita mau seperti itu?," katanya.
Hal senada dikemukakan, anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi. Dia mengatakan bahwa kesalahan kata-kata yang dilakukan pers melalui pemberitaannya, haruslah dibalas pula dengan kata-kata. Bukan dengan ancaman pidana yang akhirnya memenjarakan wartawan. Sebab mengekang kebebasan pers sama dengan tidak menginginkan negara demokrasi. Sebab negara demokrasi mensyaratkan adanya kebebasan pers.
Alamudi juga menjelaskan mengenai Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang cenderung tidak pernah dipergunakan oleh aparat penegak hukum dalam menangani masalah-masalah hukum terkait pemberitaan. Dia menegaskan, ancaman/tindak kekerasan terhadap wartawan yang sedang melaksanakan tugas- tugas jurnalistik bisa diproses hukum dengan UU tersebut.
"Tindakan menghapus file-file dalam kamera wartawan, itu juga masuk kategori sensor, dan sensor tidak dibenarkan lagi saat ini. Apalagi itu dilakukan pejabat publik. Proses pakai Undang-Undang Pers," tegasnya.
Sambil mengakui ada kekurangan dalam UU tersebut, Alamudi juga mengatakan bahwa wartawan tidak boleh lagi dipidana karena kesalahannya dalam menulis berita. "Alasannya karena tugas yang dilakukan oleh seorang wartawan untuk menyampaikan informasi kepada publik itu adalah tugas yang diberikan undang- undang. Dia melakukan perintah undang-undang," tandasnya.
Dia menganalogikan dengan tugas-tugas yang dilakukan aparat penegak hukum. "Jaksa misalnya, pada saat dia mendakwa orang melakukan kejahatan di sidang pengadilan dan kemudian hakim memutus bebas terdakwanya, jaksa tidak bisa dituntut oleh terdakwa misalnya dengan menuduh jaksa melakukan pencemaran nama baik dan lain-lain. Sebab jaksa melaksanakan tugas yang diamanatkan undang-undang. Sama juga dengan wartawan," katanya sambil menambahkan bahwa UU 40/1999 mewajibkan pers memenuhi kebutuhan informasi publik.
Diskusi publik yang disiarkan langsung oleh RRI Kupang itu mendapat sambutan hangat dari pendengar dan peserta diskusi. Beberapa penanya, misalnya, mempersoalkan independensi pers.
Baik Leo Batubara maupun Abdullah Alamudi menjelaskan bahwa yang "mengadili" pers adalah masyarakat pembaca/pendengar/pemirsa. "Kalau koran tertentu dirasa tidak independen lagi, atau tampilkan pornografi, jangan beli korannya. Akan mati dia. Kalau ada berita- berita yang merugikan, lapor pimpinan medianya, tembuskan ke Dewan Pers. Tetapi kalau ada wartawan yang peras pejabat, yang ikut-ikutan curi uang rakyat, tangkap dia, penjarakan dia, Dewan Pers mendukung. Bila perlu kami jadi saksi," tegas Leo Batubara.
Pada kesempatan tersebut, Alamudi juga menegaskan pentingnya wartawan melakukan verifikasi data dan fakta sebelum menulis berita agar tidak menimbulkan masalah. "Verifikasi adalah disiplin jurnalistik yang tidak bisa ditawar-tawar," tegasnya.
Sebelumnya, pada acara pembukaan, Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra dalam sambutannya menyebut ada lima kasus kekerasan yang menimpa enam wartawan dari media berbeda di NTT, selama semester pertama tahun 2008.
"Tentu ada sesuatu yang salah sehingga perlu diluruskan. Perlu dipercakapkan dan didiskusikan dalam berbagai forum, salah satunya seperti yang akan kita jalani bersama hari ini," kata Dion.
Diskusi Publik ini dibuka oleh Karo Humas Setda NTT, Drs. Eduard Gana mewakili Gubernur NTT. Hadir pada kesempatan itu, Kabid Humas Polda NTT, Kompol Marthen Radja, Humas Kejati NTT, Muib, S.H, para pengacara, pegiat LSM, akademisi dan pimpinan media massa di NTT. (pos kupang/ely/ati/amy)
"Jadi bukannya malah menangkap dan memenjarakan wartawan yang menulis berita. Itu gaya orde lama dan orde baru," tegas Leo Batubara ketika tampil berbicara dalam diskusi publik bertajuk "Ancaman Terhadap Kemerdekaan Pers" yang berlangsung live di Studio I RRI Kupang, Sabtu (21/6/2008).
Negara Indonesia yang jatuh ke dalam kubangan korupsi, katanya, karena resim Soekarno dan Soeharto "suka" menangkap dan memenjarakan wartawan yang menulis berita-berita yang mengeritik tentang ketimpangan pembangunan. Akibatnya pun dirasakan sampai hari ini. Indonesia dikategorikan sebagai negara terkorup keenam di dunia.
"Kemiskinan yang menimpa sebagian besar masyarakat kita, adalah akibat dari itu semua. Uang rakyat dicuri, dikorup. Dan ketika itu diungkap wartawan melalui pemberitaannya, bukannya bahan berita itu dijadikan acuan untuk mengusut dan menghukum koruptornya, malah wartawannya yang ditangkap dan dipenjarakan. Itu daya orde lama dan orde baru. Apakah kita mau seperti itu?," katanya.
Hal senada dikemukakan, anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi. Dia mengatakan bahwa kesalahan kata-kata yang dilakukan pers melalui pemberitaannya, haruslah dibalas pula dengan kata-kata. Bukan dengan ancaman pidana yang akhirnya memenjarakan wartawan. Sebab mengekang kebebasan pers sama dengan tidak menginginkan negara demokrasi. Sebab negara demokrasi mensyaratkan adanya kebebasan pers.
Alamudi juga menjelaskan mengenai Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang cenderung tidak pernah dipergunakan oleh aparat penegak hukum dalam menangani masalah-masalah hukum terkait pemberitaan. Dia menegaskan, ancaman/tindak kekerasan terhadap wartawan yang sedang melaksanakan tugas- tugas jurnalistik bisa diproses hukum dengan UU tersebut.
"Tindakan menghapus file-file dalam kamera wartawan, itu juga masuk kategori sensor, dan sensor tidak dibenarkan lagi saat ini. Apalagi itu dilakukan pejabat publik. Proses pakai Undang-Undang Pers," tegasnya.
Sambil mengakui ada kekurangan dalam UU tersebut, Alamudi juga mengatakan bahwa wartawan tidak boleh lagi dipidana karena kesalahannya dalam menulis berita. "Alasannya karena tugas yang dilakukan oleh seorang wartawan untuk menyampaikan informasi kepada publik itu adalah tugas yang diberikan undang- undang. Dia melakukan perintah undang-undang," tandasnya.
Dia menganalogikan dengan tugas-tugas yang dilakukan aparat penegak hukum. "Jaksa misalnya, pada saat dia mendakwa orang melakukan kejahatan di sidang pengadilan dan kemudian hakim memutus bebas terdakwanya, jaksa tidak bisa dituntut oleh terdakwa misalnya dengan menuduh jaksa melakukan pencemaran nama baik dan lain-lain. Sebab jaksa melaksanakan tugas yang diamanatkan undang-undang. Sama juga dengan wartawan," katanya sambil menambahkan bahwa UU 40/1999 mewajibkan pers memenuhi kebutuhan informasi publik.
Diskusi publik yang disiarkan langsung oleh RRI Kupang itu mendapat sambutan hangat dari pendengar dan peserta diskusi. Beberapa penanya, misalnya, mempersoalkan independensi pers.
Baik Leo Batubara maupun Abdullah Alamudi menjelaskan bahwa yang "mengadili" pers adalah masyarakat pembaca/pendengar/pemirsa. "Kalau koran tertentu dirasa tidak independen lagi, atau tampilkan pornografi, jangan beli korannya. Akan mati dia. Kalau ada berita- berita yang merugikan, lapor pimpinan medianya, tembuskan ke Dewan Pers. Tetapi kalau ada wartawan yang peras pejabat, yang ikut-ikutan curi uang rakyat, tangkap dia, penjarakan dia, Dewan Pers mendukung. Bila perlu kami jadi saksi," tegas Leo Batubara.
Pada kesempatan tersebut, Alamudi juga menegaskan pentingnya wartawan melakukan verifikasi data dan fakta sebelum menulis berita agar tidak menimbulkan masalah. "Verifikasi adalah disiplin jurnalistik yang tidak bisa ditawar-tawar," tegasnya.
Sebelumnya, pada acara pembukaan, Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra dalam sambutannya menyebut ada lima kasus kekerasan yang menimpa enam wartawan dari media berbeda di NTT, selama semester pertama tahun 2008.
"Tentu ada sesuatu yang salah sehingga perlu diluruskan. Perlu dipercakapkan dan didiskusikan dalam berbagai forum, salah satunya seperti yang akan kita jalani bersama hari ini," kata Dion.
Diskusi Publik ini dibuka oleh Karo Humas Setda NTT, Drs. Eduard Gana mewakili Gubernur NTT. Hadir pada kesempatan itu, Kabid Humas Polda NTT, Kompol Marthen Radja, Humas Kejati NTT, Muib, S.H, para pengacara, pegiat LSM, akademisi dan pimpinan media massa di NTT. (pos kupang/ely/ati/amy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar