Bina Hubungan RI-Timor Leste Lewat Sosbud

KUPANG, PK -- Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nusa Cendana Kupang, Dr. Petrus Ng. Tanggubera, M.Si, mengatakan, hubungan RI dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) hendaknya dibina dengan menggunakan jalur sosial budaya (sosbud). Jalur lainnya adalah penelusuran sejarah.

"Jalur ini dipandang strategis dan mendasar karena masyarakat wilayah perbatasan dua negara memiliki kesamaan akar sosio-antropologis mengenai manusia (Atoni Meto) dan kepercayaan asli mengenai wujud tertinggi (uis neno)," kata Tanggubera saat tampil sebagai pembicara pada Forum Peningkatan Peran Media Massa dalam Mempersiapkan Masyarakat untuk Hidup Berdampingan dengan Negara Tetangga Timor Leste di Sayap Kanan Aula El Tari Kupang, Kamis (19/6/2008)

Kegiatan yang diselenggarakan Badan Informasi dan Komunikasi Propinsi NTT ini juga menampilkan pembicara lainnya yaitu Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Kupang, Dion DB Putra, dan Kepala Bina Hukum Polda NTT, AKBP Hambalil, S. H mewakili Kapolda NTT, Brigjen (Pol) Drs. A Bambang Suedi, M. M, M. H.

Tanggubera yang membawakan materi tentang peran masyarakat dalam turut memelihara hubungan damai RI-Timor Leste mengatakan, kesamaan akar sosio-antropologis ini misalnya, mencakup mitologi mengenai asal-usul keturunan penghuni pertama tanah Timor yang kemudian menjadi perekat dasar kekerabatan masyarakat Timor hingga saat ini.

"Kesamaan unsur budaya lain yang diyakini bersumber dari akar sosio-antropologis tersebut adalah bahasa daerah, seni musik tradisional, motif dan warna dasar tenunan asli kain dan sarung serta aneka anyaman serta perabot rumah tangga. Demikian juga arsitektur bangunan tradisional Lopo kebanggaan orang Timor merupakan sarana untuk membina hubungan damai warga RI-Timor Leste," kata Tanggubera.

Dia mengatakan, kesadaran masyarakat di wilayah perbatasan RI-Timor Leste akan adanya dasar sosio-antropologis yang sama dapat dijadikan titik pijak membina hubungan damai yang langgeng di ke depan. "Kelompok masyarakat sipil dapat membina hubungan damai melalui kegiatan wisata budaya, perayaan bersama keagamaan, festival dan sejenisnya," katanya.


Menurutnya, jalur lain untuk membina hubungan damai adalah penelusuran sejarah yakni membina hubungan melalui penyadaran akan sejarah panjang yang dilalui kedua bangsa. "Dengan membangun kesadaran kolektif atas masa lalu yang pahit dan menyedihkan yang dialami para pendahulu masing-masing seraya memanfaatkannya, akan mendorong masyarakat berinisiatif membangun kebersamaan untuk mencegah dan mereduksi kencenderungan perilaku bertikai dan berkonflik dan sebaliknya mendorong terciptanya suasana rukun dan toleran," katanya.

Dion DB Putra mengatakan, posisi pers sangat kacau. Pers hanya memposisikan diri sebagai anjing penjaga (watch dog). Kalau ada kasus baru pers memberitakan.
"Sifatnya masih menunggu. Mestinya pers mendorong kehidupan yang damai di perbatasan. Tekad untuk menciptakan masyarakat hidup damai di perbatasan adalah pekerjaan rumah pers. Pers tidak semata-mata mengatakan pemda atau polisi dan TNI salah," kata Dion Putra.

Dion mengatakan, pers perlu mengembangkan jurnalisme damai untuk kepentingan masyarakat perbatasan hidup secara rukun. Pada sesi dialog, peserta mengkritik media massa karena cenderung mengekspose peristiwa-peristiwa insidentil dan jarang mengungkap kehidupan rutin warga.

Media dikritik karena kurang mengedepankan jurnalisme damai dan cenderung memberitakan peristiwa-peristiwa insidentil. Misalnya, ada penembakan terhadap warga perbatasan, pencurian ternak atau penyelundupan bahan bakar minyak (BBM).

Bahkan ada peserta yang menilai standar kompetensi wartawan tidak jelas, mengakibatkan produk yang dihasilkan dalam bentuk berita pun masih di bawah standar.

Dion mengakui, kritik-kritik terhadap pemberitaan media soal perbatasan itu harus dilihat sebagai usaha bersama untuk membenahi pekerja media. Menurutnya, kritik publik ini harus bisa diterima agar pekerja media tidak saja menunggu peristiwa-peristiwa insidentil baru buru-buru ke perbatasan untuk menyampaikan laposan khusus, namun juga harus bisa mengeksplorasi seluruh seluk-beluk perbatasan termasuk kehidupan warga guna mengungkap fakta yang sebenarnya. (aca/ant)
Pos Kupang edisi Jumat, 20 Juni 2008 halaman 7

Tidak ada komentar: