Wartawan Pos Kupang laporkan Loemau ke Polda NTT

KUPANG, PK -- Benny Jahang, wartawan Harian Umum Pos Kupang melaporkan Komisaris Besar (Kombes) Polisi Alfons Loemau, M.Bus secara pidana ke bagian Dit Reskrim Polda NTT, karena mengancam Benny Jahang ketika sedang menjalankan tugas jurnalistik di Mapolresta Kupang, Senin (19/5/2008) lalu.

Selain melaporkan secara pidana, Benny Jahang juga melapor Kombes Polisi Alfons Loemau ke bagian Propam Polda NTT, Jumat (23/5/2008) siang. Benny Jahang datang ke bagian Subdit Provos Propam Polda NTT bersama Pimpinan Redaksi Harian Umum Pos Kupang, yang juga Ketua PWI NTT, Dion DB Putra, serta Redaktur Pelaksana Harian Umum Pos Kupang, Dami Ola. Mereka diterima Briptu Faisal Amir mengetahui Kaur Gakum Bid Propam Polda NTT, Ipda Yoseph K Dhosa.

Usai memberikan laporan di Propam Polda NTT, Benny Jahang juga mengadukan secara pidana Kombes Polisi Alfons Loemau ke bagian Dit Reskrim Polda NTT, terkait tindakan pidana pengancaman yang dilakukan perwira senior di Polda NTT itu. Usai memberikan laporan, Benny Jahang langsung dimintai keterangan oleh penyidik Iptu Mayhendra E Wardhana, S.H bersama penyidik pembantu Briptu M Hamdani di bagian Dit Reskrim Polda NTT.

Dalam pemeriksaan itu, Benny Jahang dicecar 15 pertanyaan oleh penyidik Dit Reskrim Polda NTT terkait kasus tindak pidana pengancaman yang dilakukan Alfons Loemau di Mapolresta Kupang, Senin (19/5/2008) pukul 13.00 Wita.

Pemimpin Redaksi Harian Umum Pos Kupang, Dion DB Putra, yang didampingi Redaktur Pelaksana Harian Umum Pos Kupang, Dami Ola kepada wartawan, menjelaskan, tindakan pengancaman yang dilakukan Alfons Loemau terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik tidak dapat ditolerir karena bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Sebagai pejabat publik, demikian Dion, seharusnya Alfons Loemau lebih mengedepankan tindakan-tindakan yang elegan apabila merasa dirugikan oleh pemberitaan pers. "Bukan dengan main hakim sendiri melalui tindakan pengancaman terhadap wartawan," tegasnya.

Dion juga optimis laporan wartawan Pos Kupang, Benny Jahang dan wartawan Timor Express, Robert Kadang akan ditanggapi secara serius oleh Kapolda NTT, Brigjen Polisi Drs. Antonius Bambang Suedi, MM, M.H.

"Kita yakin kasus ini akan ditindaklanjuti pihak kepolisian, karena beberapa kasus yang menimpa wartawan dan dilaporkan ke pihak kepolisian selalu ditindaklanjuti secara hukum," kata Dion di hadapan para wartawan media cetak dan elektronik yang datang memberikan dukungan moril terhadap Benny Jahang yang datang melapor kasus ancaman itu ke Polda NTT.

Untuk diketahui, bakal calon Gubernur NTT, Kombes Polisi Alfons Leomau mengancam akan memukul dua wartawan, Benny Jahang dari Harian Umum Pos Kupang, dan Robert Kadang dari Harian Timor Express, ketika sedang melakukan peliputan di Mapolresta Kupang, Senin (19/5/2008) siang.

Ancaman yang dilakukan oknum perwira senior di Polda NTT itu, terjadi ketika Kombes Alfons Loemau yang berpasangan dengan Frans Salesman datang ke Mapolresta Kupang, Senin (19/5/2008) sekitar pukul 13.00 Wita, untuk melihat kondisi tujuh pendukungnya yang ditangkap aparat kepolisian karena membuat keonaran dalam aksi unjuk rasa di Sekretariat KPUD NTT. (ben)

PWI Minta Proses Hukum

PERSATUAN Wartawan Indonesia (PWI) Nusa Tenggara Timur (NTT), meminta Kapolda NTT, Brigjen Polisi Drs. Antonius Bambang Suedi, MM, M.H, memroses secara hukum Kombes Polisi Alfons Loemau, M.Bus sesuai ketentuan Undang- Undang, karena melakukan tindakan pengancaman terhadap anggota PWI NTT, Benny Jahang yang bekerja sebagai wartawan Harian Umum Pos Kupang.

Permintaan PWI NTT itu disampaikan dalam surat Nomor 01/PWI- NTT/Eks/V/2008, perihal tindakan menghalang-halangi wartawan yang sedang melakukan pekerjaan jurnalistik. Surat PWI NTT itu ditandatangani Ketua PWI NTT, Dion DB Putra, dan Sekretaris, Marsel Ali. Surat yang tembusannya disampaikan kepada Kapolri, Ketua Dewan Pers dan Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) di Jakarta itu diperoleh Pos Kupang, Jumat (23/5/2008).

Dalam surat itu, PWI NTT menyampaikan empat tuntutan. Pertama, mengutuk keras setiap tindakan yang mengganggu kebebasan wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik demi memenuhi kewajibannya untuk menyediakan informasi bagi masyarakat sesuai amanat Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Kedua, dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik, setiap anggota PWI selalu mengacu kepada Kode Etik Persatuan Wartawan Indonesia dan berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, kami perlu menegaskan bahwa pers nasional yang dijamin kemerdekannya, berhak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi sesuai amanat Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dan, dalam melaksanakan tugas- tugasnya, wartawan memperoleh perlindungan hukum (Pasal 8 UU Nomor 40 Tahun 1999). Keempat, kami meminta agar laporan anggota kami disikapi secara serius dan kepada Kombes Polisi Alfons Loemau agar diproses sesuai ketentuan Undang-Undang yang berlaku.

Kecaman serupa juga disampaikan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Kota Kupang yang ditandatangani Jemris Fointuna (ketua). AJI menilai, tindakan Kombes Alfons Loemau yang mengancam dan meminta menghapus foto-foto wartawan membuktikan bahwa reformasi dalam tubuh kepolisian berjalan di tempat. AJI Kota Kupang meminta Kapolri Jenderal Sutanto segera memberikan tindakan tegas terhadap Kombes Alfons Loemau. (ben)
Pos Kupang edisi Sabtu 24 Mei 2008, halaman 5

Pemimpin Tak Harus Pintar

KUPANG, PK -- Roda organisasi tidak membutuhkan pemimpin yang pintar secara intelektual, tetapi membutuhkan orang yang memiliki segudang keterampilan dalam mengelola dan memberdayakan potensi-potensi dalam organisasi.

Penegasan ini disampaikan Wakil Ketua TP PKK NTT, Ny. Lusia Adinda Lebu Raya, saat berdialog dengan Badan Pengurus (BP) IKWI NTT, di rumah Jabatan Wakil Gubernur NTT, Sabtu (17/5/2008). Selain memiliki segudang keterampilan, lanjut Ny.Lusia yang didampingi oleh Ketua IKWI NTT, Ny. Florida Daba Putra dan Sekretaris, Ny. Valentina Kleden, seorang pemimpin harus mampu menjadi pendengar yang baik dan lebih banyak bekerja.


Ny.Lusia berharap IKWI tidak menjadi organisasi latah yang tumbuh dan lahir di saat-saat tertentu. Dirinya yakin dan percaya, IKWI yang merupakan organisasi keluarga wartawan mengemban misi dan visi tertentu.

Ny. Lusia berharap, IKWI dalam merealisasikan programnya dapat menjadi mitra pemerintah. Mitra kerja yang dibangun untuk mengentas kemiskinan di NTT, khususnya masalah perempuan dan anak-anak.

Masalah perempuan, tegas Ny. Lusia, merupakan masalah yang kompleks dan pelik seperti masalah kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Untuk itu, ia berharap untuk menyelesaikan masalah perempuan membutuhkan keseriusan semua pihak termasuk IKWI NTT.

Program kerja IKWI NTT yang dijabarkan dalam AD/ART, jelas Ny.Lusia, masih merupakan program umum yang harus dikonversikan dengan program-program lokal di NTT. Kehadiran IKWI NTT diharapkan dapat menjadi elemen yang turut serta dalam membantu Pemerintah NTT.

Program IKWI, saran Ny.Lusia, tidak perlu melakukan hal-hal yang spektakuler. Maksudnya, program IKWI harus merakyat, mulai dari apa yang bisa dan mampu oleh masing-masing anggota pengurus. "Buatlah hal-hal yang kecil, namun lebih bermanfaat dan berkesan untuk semua anggota," ujar Ny. Lusia yang mengajak IKWI untuk bisa melebarkan sayap program organisasi di bidang koperasi perempuan di NTT.

Ketua IKWI NTT, Ny. Florida DB Putra menjelaskan, program IKWI empat tahun ke depan mengacu kepada program nasional. Realisasinya, kata dia, disesuaikan dengan kondisi lokal, yakni program yang menyentuh kebutuhan anggota. Sebelumnya pengurus IKWI juga melakukan dialog dengan Ketua TP PKK NTT, Ny. Erni Tallo. (osa)
Pos Kupang edisi Senin 19 Mei 2008, halaman 3

Timor Express Laporkan Loemau ke Polda NTT

KUPANG, PK -- Manajemen Harian Pagi Timor Expres (Timex) secara resmi melaporkan Komisaris Besar (Kombes) Polisi Alfons Loemau, M.Bus, mantan Karo Bina Mitra Polda NTT ke Provos Polda NTT, Kamis (22/5/2008).

Laporan ini terkait tindakannya mengancam wartawan Timex, Robert Kadang ketika sedang meliput bersama wartawan Pos Kupang, Benny Jahang di Mapolresta Kupang, Senin (19/5/2008). Selain melapor ke Provos, Loemau juga dilaporkan Timex secara pidana ke Dit Reskrim Polda NTT.

Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Harian Pagi Timex, Yusak Riwu Rohi, kepada wartawan di Mapolda NTT, Kamis (22/5/2008), menjelaskan, Timex melaporkan Alfons Loemau ke Provos Polda NTT karena yang bersangkutan merupakan perwira dan pejabat di Polda NTT.

"Kita lapor dia ke Provos karena erat kaitannya sebagai anggota polisi. Dia seorang perwira yang mengancam wartawan Timex, Robert saat melakukan tugas peliputan berita di Mapolresta Kupang," kata Yusak Riwu Rohi, bersama kuasa hukum Timex, Yohanis Rihi, S.H dan Lorens Mega Man, S.H. Ketiganya datang ke Mapolda NTT mendampingi wartawan Timex, Robert Kadang untuk melaporkan tindakan Alfons Loemau ke bagian Provos dan Dit Reskrim Polda NTT.

Kuasa hukum Timex, Lorens Mega Man, S.H pada kesempatan itu, mengatakan, pengancaman yang dilakukan Kombes Polisi Alfons Loemau terhadap wartawan Timex, Robert Kadang harus dicarikan penyelesaiannya di polisi. Tindakan pelaku yang mengancam wartawan saat menjalankan tugasnya merupakan tindakan pidana.

"Tindakan yang dilakukan Alfons Loemau itu merupakan tindakan pidana, sehingga dilaporkan ke Provos dalam kapasitas yang bersangkutan sebagai anggota polisi dan secara pidana ke Dit Reskrim Polda NTT," kata Mega Man, yang diamini Yohanes Rihi.

Mega Man berharap kasus pengancaman terhadap wartawan Timex, Robert Kadang dan wartawan Pos Kupang, Benny Jahang yang dilakukan Kombes Polisi Alfons Loemau harus diproses secara hukum. "Kita akan ikuti terus proses hukum kasus ini nanti. Kita minta Kapolda NTT menanggapi kasus ini secara serius," kata Mega Man.

Pengaduan wartawan Timex, Robert Kadang ke bagian Provos Polda NTT tertuang dalam laporan polisi nomor LP/47/V/2008/Provos, dan diterima Bripka Bery Nathaniel. Puluhan media elektronik dan media cetak juga turut mendatangi Provos Polda NTT untuk memberikan dukungan moril terhadap Robert Kadang.
Kabid Humas Polda NTT, Kompol Marthen Radja yang dikonfirmasi secara terpisah di Mapolda NTT, mengatakan, pihak penyidik akan mempelajari terlebih dahulu laporan dari wartawan Timex, Robert Kadang, sebelum memeriksa Kombes Polisi Alfons Loemau.

Radja mengatakan, pemeriksaan terhadap Alfons Loemau akan dilakukan setelah saksi-saksi yang mengetahui adanya kasus ancaman terhadap wartawan Timex, Robert Kadang dimintai keterangan oleh penyidik.

"Pemeriksaan terhadap yang disangkakan itu (Alfons Loemau, Red) akan dilakukan di Kupang. Polda NTT punya Paminal dan Provos yang bisa memeriksa terhadap yang disangkakan itu," kata Radja. (ben)

Pos Kupang edisi Jumat, 23 Mei 2008, halaman 5

Calon Gubernur NTT Ancam Pukul Wartawan

BAKAL Calon Gubernur (Bacagub) NTT, Komisaris Besar (Kombes) Polisi Alfons Loemau, mengancam memukul wartawan Pos Kupang, Benny Jahang, dan wartawan Timor Express, Robert Kadang. Ancaman itu dilakukan Alfons ketika dua wartawan tersebut sedang meliput di Markas Kepolisian Resor Kota (Mapolresta) Kupang, Senin (19/5/2008) siang.

Dalam Pilgub NTT, Alfon Loemau berpasangan dengan Frans Salesman (Paket Amsal). Namun, pasangan ini tidak lolos verifikasi tahap kedua proses pencalonan Gubernur/Wakil Gubernur NTT periode 2008-2013 karena dianggap tidak memenuhi syarat oleh KPU NTT.

Pada hari Senin sekitar pukul 13.00 Wita, perwira senior di Polda NTT itu, datang ke Mapolresta Kupang di Jalan El Tari 2 untuk melihat kondisi tujuh pendukungnya yang ditangkap aparat Polresta atas tuduhan membuat keonaran dalam aksi demo di Kantor KPU NTT, Jalan Polisi Militer Kupang.

Mengenakan pakaian biasa, Alfons mendatangi ruang tahanan Mapolresta Kupang untuk menemui pendukungnya yang telah diamankan itu. Setelah berbicara dengan anggota kepolisian yang bertugas di ruang tahanan, Alfons mendatangi beberapa pendukungnya di ruang penyidikan Reskrim Polresta Kupang.

Alfons menanyakan kepada pendukungnya itu nama anggota polisi yang memukuli mereka. "Siapa nama anggota polisi yang memukul kamu itu? Kamu harus lihat nama yang ditulis di bajunya itu," kata Alfons. Namun, mereka tidak tahu nama anggota polisi tersebut. "Ya sudah, saya bertanggung jawab. Kita ambil visum saja," kata Alfons.

Momentum pertemuan Alfons dan pendukungnya itu dipotret wartawan Pos Kupang, Benny Jahang, dan wartawan Timor Express, Robert Kadang. Melihat hal itu, Alfons protes. "Atas izin siapa kalian ambil foto saya? Kalau mau foto harus minta izin saya dulu. Jangan hanya ambil-ambil saja seperti itu. Monyet! Mau saya tampar kalian," kata Alfons.

Alfons juga meminta foto-foto itu dihapus dari kamera. Bahkan, kamera Benny Jahang sempat dipegangnya untuk melihat foto-foto yang telah diambil dan menghapusnya. "Kalau kalian bisa menekan orang dengan pulpen, saya juga bisa melakukan dengan cara saya. Paham kalian?" kata Alfons, sambil menatap Benny Jahang dan Robert Kadang.

Dia pun meminta Robert Kadang untuk menghapus foto-fotonya. "Saya tampar kamu nanti, segera keluarkan foto itu, keluarkan!" pinta Alfons seraya mendekati Robert.
Aksi mantan Karo Binamitra Polda NTT itu dicegah Kepala Urusan Binops Satreskrim Polresta Kupang, Iptu Okto Wadu Ere, S.H. "Sudah komandan," pinta Okto Wadu Ere berkali-kali mencoba menenangkan Alfons Loemau.

Tujuh pendukung Paket Amsal yang telah diamankan aparat Kepolisian Polresta Kupang, yakni Markus Mogo (koordinator lapangan), Julio Docormo, Yoseph Pinto, Adrian Da Costa, Yohanis Tahu Fahik, Antoni Simenes, dan MK Suban Pulo.

Aksi Alfons Loemau yang diusung Partai Damai Sejahtera (PDS) NTT itu kembali terjadi ketika sejumlah pendukungnya yang terluka hendak dibawa ke RS Bhayangkara Kupang untuk divisum. Ketika berada di pintu masuk Gedung Mapolresta Kupang, Alfons sempat meminta HP kamera milik Benny Jahang.

"Coba, coba lihat HP kamu, jangan sampai kamu memotret memakai HP kamu," pinta Alfons. Benny Jahang mengatakan, dia tidak memotret dengan HP, melainkan dengan kamera digital. Meski demikian, Alfons Loemau tetap melihat foto-foto dalam HP kamera itu. Sebelumnya para pendukung Alfons Loemau mendatangi kantor Harian Timor Express di Jalan RA Kartini, Kupang. Mereka melempari kantor itu hingga kaca di ruang tamu pecah.

Demo di KPU NTT
Setelah sekitar dua minggu melakukan aksi protes keputusan KPU NTT tentang penetapan tiga paket Calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, aksi demo pada Senin (19/5/2008) berakhir rusuh. Setidaknya delapan pendemo yang mengaku dari kubu pasangan Alfons Loemau-Frans Salesman (Paket Amsal) menjadi korban, tujuh orang di antaranya diangkut pihak keamanan ke Mapolresta Kupang.

Disaksikan Pos Kupang, kerusuhan dipicu oleh teriakan salah seorang oknum aparat keamanan bahwa ada pendemo yang melempar batu ke arah mereka. Oknum aparat ini bersama sejumlah aparat lainnya berdiri di dekat mobil polisi yang diparkir sekitar 10 meter dari pintu masuk Sekretariat KPU NTT.

Saat itu, sekitar pukul 11.50 Wita, terlihat aparat yang lain sedang memadamkan api karena sebelumnya para pendemo membakar ban mobil dan ranting-ranting berduri yang selama ini digunakan aparat untuk membentengi pagar Sekretariat KPU NTT.
Bersamaan dengan teriakan ini, hampir semua aparat keamanan menyerbu ke tempat ratusan pendemo yang berkonsenstrasi di ruas Jalan Polisi Militer, tepatnya di depan pintu Sekretariat KPU NTT. Salah seorang pendemo dipukul hingga jatuh ke dalam drainase di seberang jalan dekat pagar Kantor Gubernur NTT. Tetapi ia ditolong pendemo yang lain dan langsung dilarikan dengan sepeda motor. Tidak jauh dari situ, seorang lagi, yang setelah itu diketahui bernama Julio Docormo, dipukul hingga kepalanya berdarah.

Aparat juga memukul seorang pendemo yang terlihat mengajukan protes karena saudaranya dipukul. Namun, sebelum ia selesai berbicara, ia sudah dipukul karena dinilai sebagai provokator.

Salah seorang koordinator aksi ini, MK Suban Pulo ditangkap polisi di samping mobil yang berisi peralatan sound sistem pendemo. Sebelum kerusuhan terjadi, Suban melalui pengeras suara terus berteriak memprotes sikap Ketua KPU NTT, Robinson Ratukore dan tiga anggota lainnya, John Depa, Hans Louk dan John Lalongkoe yang enggan menjelaskan secara transparan hasil konsultasi mereka dengan KPU Pusat. Padahal, menurutnya, KPU NTT sudah berjanji akan memberitahukan hasilnya kepada Paket Amsal.

Sekitar satu jam kemudian, suasana mencekam berangsur normal. Suban dan empat orang korban lain yang diamankan di Sekretariat KPU NTT, dibawa keluar dengan mobil polisi. Salah seorang aparat saat Suban dan kawan-kawannya memasuki mobil ini mengatakan, mereka dibawa ke Polresta Kupang.

Kepala Bagian (Kabag) Umum Sekretariat KPU NTT, Eli Rero yang ditemui di ruang kerjanya, Selasa (20/5/2008) mengatakan, proses pengadaan logistik mulai dilanjutkan terhitung sejak hari ini, Rabu (21/5/2008).

Ditanya alasan, Eli mengatakan, kelanjutan proses pengadaan logistik ini berdasarkan hasil rapat KPU NTT dengan Desk Pilkada NTT, Senin (19/5/2008). Namun ia mengaku, tidak mengetahui persis hasil rapat itu. "Kami hanya disampaikan bahwa pengadaan logistik mulai dilanjutkan. Hasil rapat itu seperti apa saya tidak tahu. Saya hanya tahu pencoblosan akan terjadi tanggal 14 Juni 2008 karena logistik sudah harus ada di TPS (Tempat Pemungutan Suara, Red), tiga hari sebelum pencoblosan," jelasnya.

Berdasarkan hasil rapat KPU NTT dengan Desk Pilkada ini, Eli mengatakan, ia sudah mengirim dua staf sekretariat KPU NTT untuk meminta tiga kontraktor di Jawa, yakni CV Pura Baru Tama (Kudus/Jawa Tengah), PT Swadarman (Jakarta) dan CV Aridas (Purwakarta) agar mulai mencetak kartu pemilih, surat suara dan formulir rekapitulasi perolehan suara (formulir C).

Ia menjelaskan, proses pencetakan logistik ini berlangsung selama 16 hari, 21 Mei sampai dengan 7 Juni 2008. Setelah itu, dari tanggal 7-9 Juni, diharapkan logistik sudah tiba di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), 9-10 Juni di tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan 10-11 berada di tangan KPPS. (ben/dar)

Pos Kupang edisi Rabu, 21 Mei 2008 halaman 1

Istri Wartawan Harus Banyak Baca

SELEMBAR kertas putih HVS itu dilipat-lipat, hampir mirip membentuk mainan pesawat anak-anak. Lalu kertas itu disobek perlahan-lahan dengan arah vertikal. Antara kertas yang satu dan yang lainya tidak terputus-putus. Lembar sobekan kerta itu, kira- kira setengah centi meter saja. Hampir lima menit, Ny. Erny Tallo, menyobek kertas itu hingga selesai.

Kertas yang ada diuraikan satu persatu, membentuk satu tali kertas putih panjang utuh. Tali kertas itu membentuk seperti lingkaran yang mampu menampung empat pengurus IKWI NTT dalam posisi berdiri.

Permainan sekilas selembar kertas itu mengandung makna para ibu harus memiliki kemampuan untuk bisa mengelola pendapatan suami. "Satu kertas bisa mengikat empat ibu rumah tangga, satu sumber pendapatan suami harus bisa memenuhi kebutuhan semua anggota yang berada dalam rumah tangga," ujar Ny. Erny.

Ada banyak kiat yang ditempuh para ibu untuk mengelola keuangan rumah tangga. Ada yang langsung menabung ke bank- bank pilihan, sesekali baru diambil bila kebutuhan mendesak. Ada juga yang menyimpan di lemari di rumah.

Cara menyimpan di lemari itu, kata Ny. Erny, selain mudah dipergunakan, pendapatan bulanan itu tidak bisa ditabung karena akan habis dipakai. Untuk itulah, setiap ibu rumah tangga harus pandai-pandai mengelola keuangan rumah tangga agar tidak defisit setiap bulan.

Itulah kiat-kiat yang dilontarkan Ketua Tim Penggerak PKK NTT, Ny. Erny Tallo, saat melakukan dialog dengan Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (IKWI) NTT di rumah jabatan Gubernur NTT, Sabtu pagi (10/5/2008). Hari itu, Ibu Gubernur NTT itu dikunjungi Pengurus IKWI NTT dipimpin Ny. Florida E Putra (ketua) dan Ny. Valentina R Boekan Kleden (sekretaris), bersama para pengurus lainnya.

Dialog yang berlangsung dua jam itu berlangsung penuh tawa. Derai tawa itu, berawal dari Ny. Erny, mengisahkan suka dukanya menjadi ibu muda memasuki rumah tangga baru. Bersuamikan Piet A Tallo, SH, ibu tiga anak ini harus mengirit uang untuk bisa makan dan minum selama sebulan.

Meski pendapatan suami pas-pasaan, Ketua Dekranasda NTT itu harus membagi se'i, makanan khas NTT yang terbuat dari daging sapi, itu diukur dengan jari. Cara itu untuk menggenapi kebutuhan gizi anak-anak dan suaminya. Hal-hal kecil, namun sangat terkesan untuk mempertahankan kehidupan rumah tangganya yang kini berusia 42 tahun itu.

Ny. Erny yang lebih banyak menggunakan sistim kerja koordinasi itu memberi contoh lain tentang kiat-kiat sederhana dalam kehidupan rumah tangga. Makaya, dia menyarankan kepada pengurus IKWI sebagai istri seorang wartawan wajib mengetahui lebih awal berita apa yang ditulis oleh para suami.

Sikap ingin tahu tentang berita yang ditulis suami, katanya, bukan merupakan sikap intervensi istri terhadap pekerjaan suami. Paling tidak, istri harus punya wawasan tentang apa saja yang menjadi tanggung jawab suami.

Selain menambah wawasan, istri juga akan lebih memahami seluk beluk pekerjaan suami sebagai seorang wartawan yang bekerja sejak pagi hingga malam hari. Istri seorang wartawan juga dituntut untuk rajin membaca. Bila masih sibuk dan tidak sempat membaca koran, berita yang ada dikliping untuk bisa dibaca kapan saja.

Mantan Ketua Dharma Wanita Kantor Dispenda NTT ini juga membagi pengalamannya dalam mengelola keuangan rumah tangga. Ia menyarankan untuk hidup dengan pendapatan suami yang diperoleh setiap bulan. "Para ibu yang tergabung dalam IKWI harus bisa mengelola pendapatan suami. Jangan mengikuti keinginan saja, tetapi prioritaskan apa yang menjadi kebutuhan," ujar Ny Erny. (osa/nia)
Pos Kupang edisi Selasa, 13 Mei 2008, halaman 3


Kiat Menghadapi Jeratan Hukum

Ada sekitar 38 pasal dalam KUHPidana yang bisa menjerat dan menyeret wartawan ke penjara. Di samping sejumlah ketentuan KUHPerdata yang sangat memberatkan wartawan karena digugat melakukan perbuatan melanggar hukum, mencemarkan nama baik serta melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Namun ada kiat-kiat tertentu yang dapat membebaskan wartawan dari jeratan hukum tersebut.

Pertama, tidak ada unsur dengan sengaja (opzet). Wartawan harus mampu membuktikan di sidang pengadilan bahwa sama sekali tidak ada unsur dengan sengaja untuk memfitnah, menghina, melakukan perbuatan melanggar hukum, mencemarkan nama baik dan lain-lain. Caranya ialah, membuat berita/peliputan yang memenuhi prinsip berimbang (cover both side). Artinya berupaya melakukan konfirmasi dan klarifikasi kepada pihak-pihak terkait yang disebut-sebut dalam informasi atau peristiwa. Dengan demikian pihak-pihak terkait tersebut telah diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, komentar serta pendiriannya atas informasi atau peristiwa yang akan diberitakan.


Dalam hal sumber berita tadi tidak bersedia memberikan konfirmasi dan klarifikasi dimaksud, dengan alasan tidak ada di tempat atau sedang sibuk atau sedang ada rapat dan berbagai alasan lainnya, termasuk mengatakan, no comment, maka berbagai penolakan itu dicantumkan dalam berita. Contohnya, mencantumkan dalam berita sebagai berikut: "Pihak yang diduga melakukan manipulasi tersebut ketika dihubungi wartawan harian ini mengatakan, "no comment". Atau, "Pihak yang diduga melakukan manipulasi tersebut ketika dihubungi wartawan harian ini oleh sekretarisnya dikatakan yang bersangkutan tidak ada di tempat karena sedang ke luar kota". Pokoknya apa pun alasan yang diberikan, dicantumkan dalam berita. Pencantuman alasan tersebut sangat penting karena akan menjadi bukti di sidang pengadilan bahwa media bersangkutan sudah menghubungi yang berkepentingan atau telah memenuhi unsur peliputan berimbang sesuai ketentuan kode etik sedemikian rupa, sehingga tidak ada alasan menuduh media "dengan sengaja" menghina, memfitnah atau mencemarkan nama baik seseorang.

Kedua, ada tiga langkah yang perlu diambil atau dilakukan oleh seorang wartawan ketika menerima bahan berita atau informasi. Langkah pertama ialah meneliti kebenaran bahan informasi sebelum menyiarkan. Tujuannya untuk lebih menjamin kebenaran dan ketepatan bahan berita yang diperoleh. Kemudian mencari dukungan bukti-bukti kuat atau otentik guna memastikan kebenaran dan ketepatan bahan berita pada sumber-sumber terkait. Langkah kedua, memperhatikan kredibilitas sumber berita. Biasanya sumber berita yang dianggap kredibel adalah: saksi mata (eyewitness), ketokohan seseorang, pengalaman, kedudukan/jabatan terkait dan keahlian/kepakaran. Langkah ketiga ialah memperhatikan juga kompetensi sumber berita. Sebab bisa saja sebuah sumber berita memang kredibel, tapi tidak merupakan kompetensinya atau bukan orang yang membidangi masalah atau kasus dan informasi yang hendak dikonfirmasi dan diklarifikasi.

Apabila kedua hal di atas dilakukan yaitu peliputan secara berimbang (cover both side) dan meneliti kebenaran informasi sebelum disiarkan, akan menjadi bukti bahwa tidak ada unsur dengan sengaja (opzet) untuk memfitnah, menghina dan mencemarkan nama baik orang lain. Jadi cara peliputan yang berimbang dan meneliti kebenaran informasi sebelum disiarkan merupakan kiat yang sangat penting bagi seorang wartawan untuk menghindari jeratan hukum.

Tapi sangat disayangkan, sering sekali keterangan saksi ahli yang dihadirkan oleh pers tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan. Padahal menurut ketentuan Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, keterangan ahli ditempatkan di urutan nomor dua tentang alat bukti. Menurut Pasal 184 KUHAP ada lima alat bukti yang sah:

a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.

Dalam perkara Majalah GARDA yang diadukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh Ny. Iwah Setiawati, istri almarhum hakim agung Syafiuddin Kartasasmita, keterangan saksi ahli (R.H. Siregar,SH dari Dewan Kehormatan PWI) yang diajukan pihak GARDA di sidang pengadilan sama sekali tidak dipertimbangkan majelis hakim. Padahal dalam keterangan sebagai saksi ahli di pengadilan telah dijelaskan bahwa pihak GARDA tidak ada maksud dengan sengaja untuk melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Penggugat (Ny. Iwah). Karena dalam pemberitaan GARDA telah dipenuhi unsur peliputan yang berimbang (cover both side) dengan menghubungi Ny. Iwah juga telah memenuhi standar berita menurut ketentuan kode etik jurnalistik. Lagi pula pihak Penggugat sama sekali belum menyampaikan hak jawab apabila berita Majalah GARDA dimaksud merugikan atau tidak benar adanya. Namun majelis hakim tidak mempertimbangkannya dan menghukum pihak GARDA serta memenangkan Penggugat (Ny. Iwah). Karena itu, pihak Majalah GARDA mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. ***

Sumber

Yurisprudensi Hak Jawab

MASIH banyak dari anggota masyarakat yang belum mengetahui mekanisme yang dapat ditempuh apabila ada berita atau tulisan yang dinilai merugikan atau tidak berdasarkan fakta sebenarnya. Karena itu, kalau ada berita atau tulisan yang dinilai tidak benar, ada kecenderungan akhir-akhir ini mengajukan somasi. Padahal ketentuan Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI) memberi hak kepada masyarakat untuk meluruskannya melalui "hak jawab". UU No. 40 tentang Pers juga telah mengakui "hak jawab" tersebut. Bahkan sudah ada yurisprudensi mengenai hal itu.

Tadinya, "hak jawab" merupakan ketentuan normatif termaktub dalam KEJ-PWI. Seperti diketahui, "hak jawab" adalah hak perorangan, badan hukum dan organisasi untuk meluruskan berita atau tulisan yang dianggap merugikan atau tidak berdasarkan fakta sebenarnya. Sebagai ketentuan normatif, maka sanksi atas pelanggarannya pun bersifat moral.

Tapi kemudian pembentuk undang-undang (UU) mengangkat ketentuan normatif tadi menjadi ketentuan hukum positif tertuang dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi, "Pers wajib melayani Hak Jawab". Dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 ditetapkan, perusahaan pers yang melanggar ketentuan "hak jawab" dikenakan pidana denda maksimal Rp. 500 juta.

Konsekuensi dimasukkannya ketentuan normatif menjadi ketentuan hukum positif, maka yang tadinya sanksinya bersifat moral, kini menjadi bersifat hukum bahkan sanksi pidana lagi sekalipun berupa denda yang jumlahnya tidak sedikit. Karena itulah pers sebenarnya menolak pemberlakuan ketentuan normatif menjadi ketentuan hukum positif seperti halnya "hak jawab" tadi. Apalagi mengingat sanksi pidananya yang begitu berat apabila "hak jawab" tidak dilaksanakan, tapi sebaliknya kalau "hak jawab" telah dilaksanakan sebagaimana mestinya, UU tidak memberi imbalan atau kompensasi apa pun kepada pengelola media, misalnya menetapkan suatu klausul yang mengatakan: "tertutup kemungkinan mengajukan persoalan yang sama ke pengadilan".

Untunglah sudah ada yurisprudensi mengenai "hak jawab" ini. Yaitu melalui putusan Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung terdiri dari M. Yahya Harahap,SH (Ketua) dengan Hakim Anggota H. Yahya,SH dan Kohar Hari Soemarmo, SH dalam perkara No. 3173.K/Pdt/1991, pada tanggal 28 April 1993.

Perkara itu berawal dari Harian Garuda, Medan, Sumatra Utara, edisi 14 November 1989 memuat berita berjudul "Buat Masalah". Isinya antara lain bahwa PT Anugerah, perusahaan pemborong terkenal di kota itu, dalam operasinya melakukan penyimpangan yang merugikan rakyat, seperti penggusuran/pemindahan sekolah, SMA, Stasiun Kereta Api, dan kini merambah pula ke Langkat......, masyarakat mengirim delegasi ke DPRD Sumatra Utara mengenai penggusuran tanahnya dst.

Atas berita itu, PT. Anugerah mengadukan Harian Garuda ke Pengadilan Negeri Medan, melanggar Pasal 1365 KUHPerdata, melakukan perbuatan melawan hukum dengan ganti rugi Rp. 5 miliar. Atas gugatan itu, Pengadilan Negeri Medan menghukum Harian Garuda membayar ganti rugi Rp. 50 juta.

Atas putusan itu, Harian Garuda naik banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Ternyata Pengadilan Tinggi Medan mengukuhkan putusan Pengadilan Negeri Medan. Namun Harian Garuda tidak putus asa, dan naik kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam mahkamah kasasi dengan Majelis Hakim Agung seperti disebut di atas, pada tanggal 28 April 1993 diputuskan membatalkan putusan judex facti (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri) dan menolak gugatan penggugat seluruhnya.

Dalam pertimbangan hukumnya, antara lain Majelis Hakim Agung mengatakan, apabila berita Harian Garuda tersebut tidak benar, maka Penggugat dapat menggunakan "hak jawab". Namun ternyata hak itu tidak dipergunakan oleh Penggugat, sehingga perbuatan Penggugat tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang diberitakan oleh Tergugat dalam Harian Garuda tersebut adalah mengandung kebenaran atau paling tidak mengandung nilai estimasi.

Dengan putusan Mahkamah Agung ini, maka keberadaan dan atau penggunaan "hak jawab" menjadi sangat penting. Hal itu antara lain terbukti dari beberapa putusan pengadilan yang dalam pertimbangan hukumnya juga mencantumkan perlunya terlebih dahulu melaksanakan "hak jawab" apabila sebuah berita atau tulisan dianggap merugikan.

Nilai advokasi?

Bagi masyarakat, apabila ada berita atau tulisan yang dianggap merugikan atau tidak berdasarkan fakta sebenarnya, seharusnya ditempuh proses "hak jawab" dengan menyampaikan secara tertulis langsung kepada Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab media bersangkutan, untuk meluruskan berita yang dianggap merugikan tadi.

Jadi tidak perlu menempuh somasi. Sebab somasi adalah mekanisme yang lazim berlaku dalam dunia hukum. Sedang mekanisme yang berlaku dalam dunia pers adalah melalui "hak jawab".

Sedang bagi pengelola media, pelaksanaan "hak jawab" sekaligus membuktikan tidak adanya unsur dengan sengaja atau opzet untuk memfitnah, menghina, mencemarkan nama baik dan lain-lain. Sebab ada tidaknya unsur dengan sengaja atau opzet tadi sangat menentukan bagi hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Dengan kata lain, apabila terbukti di sidang pengadilan tidak ada
unsur dengan sangaja atau opzet untuk memfitnah, menghina, mencemarkan nama baik dan lain-lain, maka tersangka atau tergugat akan dibebaskan.***

Sumber
http://www.dewankehormatanpwi.com/aktifitas.php?Kat=24&id=21



Dewan Pers: UU ITE Perlu Direvisi

DEWAN Pers menegaskan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat, sehingga perlu direvisi.

Dewan Pers dalam pernyataannya yang diterima ANTARA News di Jakarta, Rabu, mengemukakan kekhawatiran itu mengemuka pula dalam diskusi menyangkut UU ITE yang diselenggarakan Dewan Pers pada Senin (7/4/2008). Ancaman tersebut terdapat dalam pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Selain itu, Dewan Pers menilai, pada pasal 28 ayat (2) yang menyebutkan, jika sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Setiap orang yang melanggar tiap-tiap pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp1 miliar.

Pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan penghinaan tersebut mengingatkan pada haatzai artikelen di KUHP, pasal-pasal karet produk kolonial, yang sebenarnya sudah tidak boleh diberlakukan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Sementara itu, mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, menilai bahwa perancang UU ITE tidak mengikuti perkembangan hukum internasional. Sedikit-dikitnya 50 negara sudah mengalihkan masalah kabar bohong, penghinaan, pencemaran dari hukum pidana menjadi hukum perdata.

"Beberapa negara bahkan menghapus sama sekali ketentuan hukum penyebaran kebencian dan penghinaan karena dianggap sulit dibuktikan atau sangat subyektif," kata mantan Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) itu.

Pasal 27 dan 28 UU ITE berpotensi mengebiri pers karena berita pers dalam wujud informasi elektronik (di Internet), terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi dan sengketa, dapat dinilai sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian.

Dengan ancaman hukuman penjara lebih dari enam tahun, aparat polisi dapat menahan setiap orang selama 120 hari, termasuk wartawan, yang dianggap melakukan penyebaran berita bohong seperti diatur dalam UU ITE.

Secara terpisah, Edmon Makarim, Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Komunikasi dan Informatika, menilai ketentuan pidana dalam UU ITE tidak dapat dikenakan untuk pers.

"UU ITE sama sekali tidak menyinggung atau menyebut pers, selain itu pers telah dilindungi oleh UU Pers," kata Edmon, yang terlibat dalam proses perumusan UU ITE. Namun, pernyataan itu disangsikan mengingat aparat hukum cenderung mengabaikan UU Pers.

Dalam diskusi di Dewan Pers pada Senin (7/4) dicapai kesimpulan, komunitas pers perlu mengajukan judicial review UU ITE ke Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, muncul desakan dari kalangan masyarakat, agar Dewan Pers meminta pemerintah untuk secara eksplisit memasukkan pemberitaan pers sebagai pengecualian terhadap UU ITE dalam peraturan pemerintah, serta perlu mensosialisasikan di kalangan penegak hukum, agar tidak asal bertindak dalam upaya penegakan hukum UU ITE. (Antara News)

Sumber


Pers Belum Kebablasan

Kebebasan pers di Indonesia sering kali dipersoalkan. Ada yang menilai bahwa pers di Indonesia telah kebablasan, dan terkesan tanpa rambu. Ada juga yang menilai bahwa pers menolak kontrol hukum dan mengabaikan budaya masyarakat. Karena itu, mereka menilai kebebasan pers hanya menguntungkan komunitas pers. Pers leluasa mengeksploitasi kebebasan tapi lalai menyuarakan kepentingan masyarakat. Ujungnya, ada desakan merevisi UU Pers Nomor 40 tahun 1999.

Untuk mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat terhadap kebebasan pers, pada awal April 2008 lalu, Dewan Pers melakukan survei dengan metode wawancara jarak jauh. Survei mencakup 305 reponden yang meliputi enam kota yakni Jakarta, Makassar, Medan, Pontianak, Jayapura, dan Surabaya. Apa hasilnya, dan kesimpulan apa yang ditarik dari survei tersebut? Berikut, perbincangan Budi Kurniawan dari KBR 68H dan anggota Dewan Pers Bekti Nugroho dengan anggota Dewan Pers Satria Narada:

Apa maksud dan tujuan riset tersebut?

Riset ini untuk mencari tahu persepsi masyarakat tentang kebebasan pers. Karena ada yang menilai bahwa pers selama ini telah kebablasan. Pers setelah adanya UU Pers telah kebablasan. Tapi ternyata, hasil yang ditemukan adalah tidak demikian.

Apa saja hasilnya?

Sebagian responden menilai pers kita masih berada pada posisi yang sebenarnya. Sebanyak 54 persen responden menilai bahwa pers telah bebas memberitakan apa saja tanpa ditekan pihak manapun. Sebesar 63 persen tidak setuju dengan pernyataan bahwa media Indonesia saat ini sudah kebablasan. Dan 26 persen setuju dengan pernyataan media saat ini sudah terlalu bebas. Hasil ini menarik karena ke depan, kita harus lebih menjaga peran pers pada posisi yang diharapkan masyarakat agar dapat menjadi pilar yang mencerahkan. Tetapi ada hal yang mungkin bisa menjadi keprihatinan kita.

Apa itu?

Karena di sisi lain masyarakat kita masih belum paham dalam mengatasi sengketa yang ditimbulkan oleh pemberitaan pers. Karena ternyata, sebagian besar responden, 45 persen, menyatakan menempuh jalan melalui polisi. Sedangkan 35 persen memilih melakukan hak jawab pada media. Data ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat pada sengketa pers masih kurang. Yang lainnya adalah soal pembredelan. Sebanyak 42,3 persen responden tidak setuju jika pemerintah membredel pers. Tapi 33,4 persen setuju kalau pemerintah melakukan pembredelan.

Sekitar 45 persen menyatakan sengketa pers dibawa ke polisi. Kesimpulan apa yang Anda tarik?

Saya kira memang perlu ada kesepahaman semua pihak bahwa apa yang dilakukan oleh pers adalah menjalankan fungsi sesuai yang diharapkan masyarakat. Karena itu, jangan sampai, ketika pers melakukan kesalahan, langsung dituduh atau dianggap sebagai musuh. Karena itu kita meminta agar media perlu ditempatkan pada porsi dan posisi yang sebenarnya. Ketika ada kesalahan, atau pelanggaran etika pers, maka sebaiknya yang dilakukan adalah melalui komunikasi dengan media. Dan tentunya juga salurannya adalah melalui Dewan Pers. Kalau hal ini dilakukan, saya kira pers kita akan menjadi media yang menjadi lebih baik dan dewasa. Tapi saya kira, apa yang terjadi saat ini, misalnya maraknya tuntutan kepada pers, merupakan gejolak yang terjadi di tengah masyarakat.

Akhir-akhir ini muncul demonstrasi terhadap media, terutama media lokal. Tapi, 66 persen responden tidak setuju dengan cara demonsrasi itu. Mengapa?

Saya kira hal itu memang sangat bergantung pada situasi politik di daerah, dan bagaimana media bisa menempatkan diri di daerah tersebut. Saya kira media kita harapkan bisa berdiri di tengah. Ketika pers di suatu tempat bisa berinteraksi secara adil baik dengan pemerintah maupun masyarakat, saya kira demonstrasi bisa dieliminasi. Namun, masyarakat juga harus terus disadarkan bahwa fungsi pers adalah melakukan kontrol terhadap pemerintah dan publik. Dengan kesadaran itu, maka keharmonisan bisa terjalin. Keharmonisan inilah yang perlu terus dibina. Karena itu, ke depan, Dewan Pers akan menyosialisasikan segala peraturan berdasarkan hasil dari riset yang kita lakukan itu.

Muncul wacana merevisi UU Pers. Apa pendapat Anda?

Saya kira UU Pers yang ada sudah cukup bagus dan masih relevan menjaga kebebasan pers sehingga dapat menjaga hubungan harmonis antara pers dengan berbagai pihak. Karena itu, hemat saya, UU Pers tidak perlu direvisi. Sikap ini juga telah diungkapkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Muhamad Nuh). Karena ketika direvisi maka bisa muncul trauma seperti masa lalu yakni pers dikontrol dan dikendalikan pemerintah. Ketika wacana revisi UU Pers muncul, maka pemerintah saat ini akan dinilai hendak mengembalikan kondisi masa lalu itu yakni kembali mengotrol pers. Karena itu, dengan data survei ini maka revisi itu tidak perlu dilakukan. Tapi memang persoalannya, wacana revisi itu bisa muncul sebagai hak inisiatif dari DPR.

Mengapa muncul dari DPR?

Bisa jadi, sebagai anggota DPR mereka merasa terganggu oleh kemerdekaan pers. Padahal mereka tidak sadar bahwa mereka bisa menduduki kursi DPR karena adanya kemerdekaan pers tersebut. Kemerdekaan pers itulah yang membuat masyarakat menjatuhkan pilihan kepada mereka dalam pemilu. Tapi ketika mereka sudah duduk pada kursi kekuasaan, malah yang muncul adalah hendak mengembalikan iklim represif itu. Ini kan ironis.

Apa yang dilakukan Dewan Pers ke depan?

Dari hasil survei ini, saya kira, yang menjadi tugas Dewan Pers ke depan adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat misalnya terkait sengketa dengan media. Dewan Pers akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas agar mereka menggunakan koridor melalui Dewan Pers. (by: Fransiskus Saverius Herdiman)

Artikel ini disarikan dari talkshow di jaringan Radio 68 H yang terselenggara atas dukungan Dewan Pers dan Yayasan TIFA. Harian JURNAL NASIONAL, Jumar, 2 Mei 2008.

Sumber