TNI AD Buka Akses Informasi Bagi Wartawan di Perbatasan

KUPANG, PK -- TNI AD yang mengemban tugas pengamanan di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste akan membuka akses informasi seluas-luasnya kepada wartawan Indonesia untuk mengakses berbagai kegiatan pengamanan yang dilakukan TNI AD di perbatasan dua negara itu.

Komandan Korem 161/Wirasakti Kupang, Kolonel (Inf) Edison Napitupulu, dalam acara tatap muka dengan wartawan di Aula Korem 161/Wirasakti Kupang, Senin (20/6/2011), mengatakan, sangat banyak kegiatan yang dilakukan para prajurit TNI- AD ketika melakukan tugas pengamanan perbatasan di wilayah Indonesia-Timor Leste.

"Namun berbagai kegiatan yang dilakukan para prajurit itu belum terekspos secara luas oleh media. Padahal keberadaan para prajurit TNI AD di perbatasan tidak hanya bertugas menjaga kedaulatan negara RI tetapi juga mengemban tugas sosial kemasyarakatan," kata Napitupulu di hadapan belasan wartawan dan para perwira Korem 161/Wirasakti Kupang yang hadir dalam kegiatan tersebut.

Acara itu dihadiri Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra, wartawan Kompas, Frans Sarong, serta Ketua AJI Kota Kupang, Jemris Fointuna.

Napitupulu mengatakan, wilayah perbatasan antara NTT dengan Timor Leste sangat luas sehingga membutuhkan perhatian ekstra dari para prajurit TNI AD dalam melakukan tugas pengamanan kewilayahan.

"Apalagi ada beberapa titik di perbatasan yang jaringan komunikasinya susah sehingga menyulitkan prajurit TNI AD melakukan komunikasi. Kita sudah meminta salah satu operator telekomunikasi untuk membangun jaringan di wilayah perbatasan dengan Maliana sehingga komunikasi berjalan baik," katanya.

Keberadaan para prajurit TNI AD di perbatasan, jelas Napitupulu, juga telah banyak berbuat hal-hal positif kepada warga yang ada di perbatasan, seperti membangun jalan raya antarkampung, menjadi guru di sekolah-sekolah yang mengalami kekurangan tenaga guru dan lain-lain.

Dalam kesempatan itu, Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra mengatakan, selama ini kalangan media banyak sekali memberikan kritikan terhadap TNI AD yang bertugas di perbatasan yang terkesan tertutup dalam memberikan informasi.

"Yang bisa dicover oleh wartawan selama ini apabila ada kejadian luar biasa, seperti tindakan kekerasan yang dilakukan oknum TNI AD. Sedangkan tentang kemanunggalan TNI AD dengan rakyat di perbatasan tidak tercover di media karena kurangnya informasi dari pihak TNI AD," tegas Dion.

Menurut Dion yang juga Pemimpin Redaksi SKH Pos Kupang ini, keberadaan prajurit TNI AD di perbatasan selama ini tentunya tidak hanya melakukan tugas pengamanan semata. Dipastikan masih banyak juga kegiatan kemasyarakatan yang memiliki nilai positif.

Hal senada dikeluhkan sejumlah wartawan media elektronik yang mengaku kesulitan mengambil gambar di lingkungan TNI-AD di wilayah perbatasan.
Menanggapi beragamnya keluhan wartawan di NTT itu, Kolonel Edison Napitupulu yang juga mantan Komandan Yonif 744/SYB ini mengatakan, pihaknya akan membuka akses informasi seluas-luasnya kepada wartawan tentang pengamanan di wilayah perbatasan.

"Silahkan melakukan peliputan di wilayah perbatasan tentang tugas pengamanan yang dilakukan prajurit TNI AD di perbatasan NTT-Timor Leste. Tentunya ada yang tidak boleh dimasuki wartawan. Kalau untuk mengcover kegiatan yang dinilai positif bagi kepentingan bela negara silahkan. Kita akan buka akses informasi seluas-luasnya kepada wartawan," kata Napitupulu.

Kegiatan temu wartawan NTT dengan Danrem 161/Wirasakti Kupang ini diakhiri dengan foto bersama dengan para perwira di Korem 161/Wirasakti Kupang. (ben)

Pos Kupang 21 Juni 2011, halaman 6

Wartawan Harus Lolos Standar Kompetensi

KUPANG, PK -- Dewan Pers mulai memberlakukan standar kompetensi terhadap wartawan di seluruh Indonesia. Dengan adanya standar kompetensi terhadap wartawan, maka yang menjadi wartawan adalah yang profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik. Terhadap mereka yang tidak mengantongi standar kompetensi wartawan, wajib ditolak kehadirannya oleh narasumber.

Hal itu dikatakan Ketua Komisi Hukum dan Perundang- undangan Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, kepada Pos Kupang di Polres Kupang Kota, Selasa (14/6/2011).

Dikatakannya, Dewan Pers sudah memberikan sertifikasi lolos standar kompetensi bagi 120 orang wartawan dari seluruh Indonesia yang dinilai layak menjadi wartawan profesional.
Pada tahun 2011, demikian Wina, Dewan Pers akan memberikan standar kompetensi bagi 3.000 orang wartawan di seluruh Indonesia.

"Para wartawan yang sudah memenuhi standar kompetensi sebagai wartawan yang profesional itu bisa diakses ke Dewan Pers," tegasnya.

Dengan pemberian standar kompetensi itu, kata Wina, maka akan memudahkan pemilahan antara wartawan yang sesunguhnya dengan wartawan gadungan. "Karena sejak dibukanya kran kebebasan pers, banyak penumpangan gelap seperti bandar narkoba bisa menjadi wartawan dan lain-lain. Dengan standar kompetensi ini, bisa diketahui mana wartawan asal-asalan dan mana wartawan yang benaran," ujarnya.

Dengan adanya pemberlakuan standar kompetensi bagi wartawan tersebut, maka para wartawan di seluruh Indonesia harus profesional dan taat pada kode etik jurnalistik, sehingga harus lulus kompetensi wartawan.

Bagi wartawan yang tidak memenuhi standar kompetensi wartawan, kata Wina, wajib ditolak oleh narasumber.
"Standar kompetensi wartawan itu akan memudahkan narasumber membedakan mana wartawan yang benar dan mana wartawan yang tidak benar," tegasnya.

Dikatakannya, terhitung Januari-Juni 2011 terdapat delapan kasus kekerasan yang menimpa wartawan dengan berbagai tingkatan.

Terjadinya kekerasan terhadap wartawan, lanjutnya, harus dilihat dari dua sisi, yaitu dari masyarakat sendiri dan fungsi pers.

Khusus dari sisi masyarakat, kata Wina, masih banyak yang tidak paham mengenai fungsi pers untuk melakukan pengawasan dan kritik.

"Ketika masyarakat dikritik, mereka tidak terima. Seharusnya apabila tidak menerima apa yang dituliskan media, maka ada mekanismenya, seperti mengajukan hak jawab atau diselesaikan melalui Dewan Pers," kata Wina.


Namun, kata Wina, seringkali karena masyarakat tidak paham terhadap aturan, sehingga melakukan tindakan-tindakan kekerasan terhadap wartawan atau lembaga medianya.
Selain itu, terjadi tindakan kekerasan terhadap wartawan, lanjutnya, juga karena belum tersosialisasi secara baik di tengah masyarakat tentang wartawan yang benar dengan wartawan laba-laba atau bodreks.

"Seringkali citra wartawan yang benar selalu dirusak oleh wartawan-wartawan gadungan yang memiliki misi tertentu dalam melaksanakan tugasnya seperti melakukan pemerasan, penipuan dan tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Akibat ulah wartawan bodrek ini sehingga muncul image di tengah masyarakat bahwa semua wartawan itu tidak benar," tegasnya.

Dia menjelaskan, hingga saat ini terdapat 526 kasus yang diadukan masyarakat ke dewan pers dengan berbagai jenis pengaduanya.

"Sebagian besar dari kasus yang diadukan masyarakat ke dewan pers itu adalah tentang berita yang kurang berimbang, tidak ada konfirmasi, sumber berita tidak jelas, serta berita yang menghakimi mengabaikan asas praduga tak bersalah. Ada juga pengaduan tentang wartawan yang beritikat buruk seperti memaki nara sumber," tandasnya. (ben)

Pos Kupang, 15 Juni 2011 halaman 5