Hoax, Media dan Jurnalisme Investigasi

Oleh Tony Kleden
Wartawan,  mengajar jurnalistik di SMA Seminari St. Rafael Oepoi Kupang

MENGAMBIL
tema "Critical Minds for Critical Times: Media's Role in Advancing Peaceful Just and Inclusive Societies" peringatan World Press Freedom Day 2017  di Jakarta 2-4 Mei 2017 disebut-sebut para peserta dari luar negeri sebagai sangat mewah.  Kemewahan itu menyata  dari serangkain acara yang diatur dengan sangat bagus, akomodasi dan konsumsi para peserta yang terjamin dan tersaji dengan sangat profesional.

Rangkaian acara di Jakarta Convention Center ini tambah istimewa lagi karena Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf  Kalla hadir. Jusuf Kalla hadir membuka acara ini pada pagi hari. Sedangkan Presiden Joko Widodo, yang barusan kembali dari luar negeri, hadir di tengah komunitas jurnalis dunia pada gala dinner malam harinya.

Kehadiran presiden dan wakil presiden pada satu acara yang sama pada hari yang sama dan di tempat yang sama itu tidak lazim. Kehadiran kedua pucuk pimpinan di negeri ini mesti dibaca sebagai apresiasi yang tinggi kepada komunitas jurnalis dan jurnalisme itu sendiri.


Para wartawan yang hadir merupakan utusan dari beragam negara. Dari Asia, Eropa, Amerika Australia hingga Afrika. Sudah tentu, wartawan yang hadir adalah mereka yang diundang panitia. Dan,  yang diundang hanya wartawan dari media yang jelas dan diakui keberadaannya oleh institusi yang berkompeten yang keberadaannya dibentuk dan atau diakui negara. Jurnalis dari Indonesia diundang oleh Dewan Pers.

Dari NTT panitia mengundang  empat wartawan  utusan dari organisasi wartawan resmi (PWI, AJI, IJTI dan PRSSNI/Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) dan seorang staf pengajar dari Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Nusa Cendana (Undana).

Banyak isu dan tema dibicarakan dalam acara tahunan ini. Sejumlah rekomendasi ditelurkan. Di ruangan yang sangat terbatas ini, tulisan ini hanya ingin menyentil beberapa hal penting yang dibahas atau didiskusikan, dan karena itu  patut diperhatikan.

Hoax
Hoax atau berita bohong tidak hanya ramai di Tanah Air. Berita bohong ini juga ramai di begitu banyak negara. Di banyak negara hoax sudah sangat meresahkan dan mengganggu jagat informasi. Di Rusia pemerintah melalui Menteri Luar Negeri meminta PBB membuat strategi melawan hoax. 

Di Indonesia, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, sangat gerah dengan berita-berita hoax yang mendominasi ruang publik. Prasetyo  meminta agar setiap berita harus dicek ulang.  Prasetyo bahkan meminta kepada pengelola media televisi agar isu murahan dan tidak terverifikasi alias hoax itu tidak perlu menjadi topik talkshow.

Umumnya hoax itu muncul dari media sosial (medsos) yang belum terverifikasi menurut kaidah jurnalistik. Hoax membanjiri konsumen media dengan mengutamakan kecepatan. Akurasi dan kebenaran menjadi  absurd. Tanpa narasumber yang valid, tanpa verifikasi lapangan berita-berita mendatangi konsumen media tanpa bisa dibendung. Seperti berada di rimba raya informasi, konsumen media disesaki oleh berita-berita yang sulit dipercaya kebenarannya.

Dalam salah satu sesi diskusi tentang upaya memerangi hoax, yang antara lain menampilkan Jaya Suprana (Kelirumolog),  Agus Sudibyo (Ketua Harian Jaringan Wartawan Anti  Hoax/Jawarah), dan Wina Armada Sukardi (Sekretaris Dewan Kehormatan PWI),  semua peserta dalam ruangan sepakat bahwa  hoax sudah jadi virus yang merusakkan norma-norma dan etika jurnalistik. 

Agus Sudibyo menjelaskan, saat ini hoax telah mengalami institusionalisasi dan dipraktekkan dengan sengaja.  Dalam kasus pemilihan Presiden Amerika Serikat, menurut Agus,  media konvensional atau media arus utama di Amerika Serikat gagal  memainkan perannya melawan hoax di media sosial. Kemenangan Donald Trump yang di luar dugaan sangat `dibantu' oleh berita-berita hoax.  Akibatnya, banyak warga Amerika Serikat ingin keluar dari media sosial.

Agus menyebut tiga jalan memerangi hoax. Pertama, gerakan moral mendesak  media konvensional untuk kembali ke  jurnalisme yang benar. Kondisi sekarang menjadi peluang buat media konvensional untuk kembali kepada jurnalisme yang benar. Syaratnya cuma satu, yakni media konvensional jangan ikut menyebarkan berita hoax.
Kedua, perlu literasi new media (media baru). Menurut Agus, sekarang saatnya memasukkan literasi media baru ke dalam kurikulum pendidikan untuk menyelamatkan generasi muda.

Ketiga, menempatkan perusahaan-perusahaan media sosial seperti youtube, facebook dalam subyek hukum yang harus diawasi.  Perusahaan-perusahaan media sosial seperti ini jangan dibiarkan mendapat free rider dari demokrasi di Indonesia. Di Eropa perusahaan-perusahaan media sosial berkewajiban membayar pajak dan ikut bertanggung jawab atas semua berita di media sosial. Menurut Agus Sudibyo, kue iklan Indonesia tahun lalu diraup sekitar Rp 8 triliun media sosial tanpa membayar pajak kepada pemerintah Indonesia.

Wina Armada Sukardi (Sekretaris Dewan Kehormatan PWI) bahkan lebih tegas lagi. Dia berpendapat saat ini terlalu banyak wartawan abal-abal yang datang dari media abal-abal.  Jenis wartawan seperti ini tidak pernah merasa penting atau bahkan tidak pernah tahu untuk melakukan konfirmasi. Yang penting bagi mereka adalah kecepatan, bukan ketepatan. Jangankan etika jurnalistik, kapasitas dan keterampilan teknis menulis berita paling sederhana juga masih sangat susah.

Status Media

Ada cerita memalukan yang dikisahkan seorang staf Dewan Pers. Suatu hari datanglah seorang pimpinan instansi pemerintah suatu kabupaten di Indonesia Timur ke Dewan Pers. Dia mengadu dan mengeluh karena ada tagihan iklan Rp 6,2 miliar dari berbagai media.

Dewan Pers turun ke lapangan. Para wartawan yang mengirim tagihan dikumpulkan. Satu demi satu medianya dicek kelengkapan administrasi dan kompetensi wartawannya. Banyak yang tidak lengkap, tidak layak, dan karena itu tidak bisa disebut sebagai media. Yang lain agak lengkap tetapi memasang iklan tanpa sepengetahuan  instansi pemerintah bersangkutan. Order pemasangan juga tidak ada. Artinya, iklan-iklan yang terbit di beragam media adalah iklan tanpa order. Karena tanpa order dan dipasang di media yang tidak jelas alias abal-abal, maka kebanyakan iklan itu diputihkan (tidak bisa dibayar).

Cerita di meja makan saat sarapan pagi ini bolehlah disebut sebagai `news peg' untuk menegaskan kembali tentang  standar perusahaan pers dengan sejumlah ikutannya. Dalam Lampiran Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers diuraikan 17 item penjelasan tentang standar perusahaan pers. 

Beberapa yang penting disebut di sini untuk menjadi pengetahuan umum. Pertama, perusahaan pers berbadan hukum perseroan terbatas (PT) dan badan-badan hukum yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, badan hukum perusahaan pers harus mendapat pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM atau instansi lain yang berwewenang.

Ketiga, perusahaan pers memberikan pendidikan dan atau pelatihan kepada wartawan dan karyawannya untuk meningkatkan profesionalisme. Keempat, perusahaan pers yang sudah enam bulan berturut-turut tidak melakukan kegiatan usaha pers secara teratur dinyatakan bukan perusahaan pers dan kartu pers yang dikeluarkannya tidak berlaku lagi.

Wina Armada Sukardi mengusulkan agar  Dewan Pers segera menetapkan status perusahaan pers, terutama online, guna mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar. Cara ini sebetulnya ingin menertibkan media-media yang tidak lengkap,  yang wartawannya belum punya kompetensi. Asal tahu saja, di Indonesia saat ini terdapat lebih dari 43.000 media. Media yang terdaftar di Dewan Pers dan memenuhi standar ketentuan  UU Pers hanya sekitar 200-an media.

Selain standar perusahaan pers, Dewan Pers juga mengatur tentang standar kompetensi wartawan. Dengan standar kompetensi wartawan dimaksudkan bahwa siapa saja  yang ingin memilih profesi wartawan dan menjalankan praktek kewartawanan harus benar-benar kompeten. Dewan Pers bahkan mengharuskan agar  para wartawan diuji kompetensinya guna mendapatkan kartu kompetensi.

Dengan kartu itu, seseorang dianggap berkelayakan dan berkemampuan untuk disebut sebagai seorang wartawan dan menjalankan tugas kewartawanan. Di NTT, Dewan Pers bekerja sama dengan PWI NTT sudah menyelenggarakan empat kali ujian kompetensi wartawan.

Jurnalisme Investigasi

Jurnalisme investigasi juga menjadi salah satu isu menarik yang dibahas di arena World Press Freedom Day 2017. Yang menarik dari sesi ini sebetulnya adalah penampilan Anas Aremeyaw, seorang wartawan investigatif dari Gana, Afrika. Berbeda dengan para pembicara lain dari beberapa negara, Anas mengenakan cadar menutup wajahnya.  "Saya menutup wajah saya karena bahaya selalu ada di dunia jurnalisme. Ancaman terhadap wartawan itu sungguh nyata," kata Anas ketika ditanya moderator mengapa mengenakan cadar.

Dengan wajah tertutup cadar, Anas membawa pesan betapa berbahayanya jurnalisme investigasi. Mengusung semboyan membongkar hingga ke akar masalah, jurnalisme investigasi sangat dekat dengan aksi kriminal yang datang dari mereka yang menjadi sasaran dan atau obyek investigasi. Di banyak negara sejumlah wartawan dipenjara, dibunuh, diculik, dijatuhkan dari helikopter di hutan tanpa pernah  meninggalkan jejak.

Meski begitu, hanya melalui jurnalisme investigasi banyak kejahatan, praktek ketidakadilan dan kecurangan, mafia korporasi dan korupsi yang sekian lama disembunyikan di bawah sungkup ideologi, nasionalime, paham dan keyakinan agama, kekuasaan bisa diungkap ke tengah publik. Di Turki sejumlah wartawan mesti meninggalkan negaranya ketika ketahuan membongkar kasus. 

Di Asia Tenggara jurnalisme investigasi belum menjadi model investigasi yang dikembangkan secara serius. Sebaliknya di banyak negara di kawasan Timur Tengah, Amerika dan Afrika, jurnalisme investigasi disebut sebagai puncak jurnalisme. Banyak wartawan investigasi di negara-negara ini sangat sadar risiko sangat tinggi ketika menggali dan membongkar kasus-kasus yang menjadi laporan mereka.

Di Indonesia, menurut Wahyu  Muryadi, narasumber dari Mingguan Tempo, jurnalisme investigasi mulai bergairah seiring bertumbuhnya minat wartawan-wartawan mudah. Tidak mudah menghidupkan jurnalisme investigasi di Indonesia, karena butuh biaya tinggi dan waktu lama membongkar sebuah kasus.

Konteks NTT

Apa yang bisa ditarik dari World Press Freedom Day 2017 untuk konteks NTT?  Saya hanya menarik tiga hal penting untuk konteks NTT. Pertama, hoax atau berita bohong tidak bisa dibendung. Karena itu konsumen media perlu cermat, harus teliti dan kritis menyerap lalu lintas informasi yang bertebaran, terutama di media sosial. Teliti dan cek media penyebar berita itu.

Kedua, institusi media tak bisa tidak  mengikuti kaidah dan aturan yang ada. Saat ini terdapat lebih dari 100 media di NTT. Sekitar 75 persen di antaranya adalah media daring (online). Banyak media daring itu tampil luar biasa bagus karena dikelola oleh jurnalis-jurnalis yang hebat. Sayang, ketentuan aturan menghambat media-media ini menjadi sebuah media yang resmi dan sah.

Beberapa instansi pemerintah dan swasta mulai paham akan ketentuan ini, sehingga tidak sembarangan menerima wartawan dari media yang belum resmi. Polda NTT bahkan sudah sejak tahun lalu  memiliki daftar wartawan dan media yang boleh masuk dan melakukan kerja jurnalistik di lingkup Polda. Maka tidak ada jalan lain bagi media yang belum resmi selain segera membereskan kekurangan sehingga bisa diakui keberadaannya. Termasuk di sini melatih dan mendidik wartawannya sehingga paham seluk beluk dunia jurnalistik.

Ketiga, NTT sangat membutuhkan jurnalisme investigasi. Sekitar sepuluh tahun lalu, Harian Pos Kupang tampil secara rutin setiap dua minggu sekali menurunkan laporan investigasi. Meski belum tampil sehebat Majalah Tempo, Pos Kupang sudah memulai tonggak baru dalam tradisi bermedia di NTT.

Sayang, sekarang laporan investigasi itu hilang. Bersamaan dengan itu, pembaca di NTT jarang disajikan berita-berita bernuansa investigasi. Jika harus menilai, maka Harian Victory News dan Harian Flores Pos merupakan media arus utama yang perlu dibaca untuk mengetahui informasi kasus di NTT.

Untuk media daring (online),  baik resmi (yang sudah lolos verifikasi administrasi oleh Dewan Pers cuma nttonline.com) dan belum resmi, ada dua media daring yang sering menurunkan berita bernuansa investigasi, yakni fajartimor.com dan suaraflobamora.com. Jika media-media daring bisa dikelola dengan baik dan tampil resmi mengikuti aturan yang ada, kita bisa membaca dan mengetahui kasus-kasus sosial kemasyarakatan, kasus-kasus penyalahgunaan wewenang di instansi-instansi pemerintah dan publik.

Pers memang telah tampil menjadi industri. Keuntungan bukanlah benda haram yang tidak boleh dikejar. Namun kerja jurnalistik adalah sebuah profesi. Seperti  profesi lain, kerja jurnalistik tunduk pada nilai serta prinsip.*

Sumber: Pos Kupang 13 Mei 2017 halaman 4

Tidak ada komentar: