Wartawan Tak Pernah Baca KEJ dan UU Pers

Gorontalo, PK -- Sebanyak 78 persen wartawan, diketahui tidak pernah membaca KEJ (Kode Etik Jurnalistik) dan UU (Undang-undang) pers secara lengkap. Ini berdasarkan hasil sebuah penelitian yang dilakukan pada sejumlah wartawan di 12 kota besar dan sekitarnya.

Hal itu dikemukakan oleh penyusun penelitian tersebut, Wina Armada Sukardi, saat memberikan materi dalam sebuah lokakarya, yang diselenggarakan Dewan Pers untuk meningkatkan mutu para Jurnalis di Gorontalo, Kamis (26/6/2008).

Wina, yang juga merupakan salah seorang anggota Dewan Pers itu mengatakan, penelitian yang dilakukannya pada 2007 tersebut dimaksudkan untuk mengetahui berapa banyak wartawan yang sudah pernah membaca UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers dan KEJ secara lengkap.

Penelitian tersebut dilakukan lewat kusioner, serta pertanyaan dan jawaban tertutup, dilakukan pada responden wartawan di Kota Bandung, Surabaya, Pontianak, Bengkulu, Palu, Jambi, Banjarmasin, Kendari, Jabotabekdep (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok), Denpasar, Batam, dan Samarinda.

Dia mengatakan, dalam profil responden penelitian yang didasarkan atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, jabatan dan masa kerja dalam dunia jurnalistik itu, diperoleh hasil, bahwa responden wartawan yang tidak membaca secara lengkap UU tentang pers nomor 40 tahun 1999, sebanyak 85 persen.

Sedang Responden yang mengaku tidak membaca KEJ secara lengkap, sebanyak 78 persen. "Ini menandakan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman wartawan Indonesia terhadap UU pers dan KEJ masih sangat minim, sehingga Wartawan akan kesulitan membela diri, jika suatu saat terjerat hukum akibat pemberitaan pers yang disusunnya," kata Wina, yang juga menjabat sebagai Sekjen PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat itu.

Sementara itu, lokakarya peningkatan jurnalistik yang digelar Dewan Pers sejak Rabu hingga Jumat (24-27 Juni) itu, mendapat sambutan positif dari puluhan peserta yang terdiri wartawan cetak dan elektronik, serta staf humas pemerintah daerah tersebut.

"Ini adalah kegiatan yang langka dan berarti bagi kami, meski terasa sangat singkat, sehingga tidak semua pertanyaan maupun permasalahan jurnalistik yang kami hadapi di daerah, dapat terjawab," kata Cristofel, wartawan salah satu media cetak setempat, yang menjadi peserta kegiatan itu.(antara news)

http://www.pos-kupang.com/main/index.php

Jemputlah Bola dari Pers

WAKIL Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara mengatakan, aparat penegak hukum mestinya menjemput "bola" dari pers berupa pemberitaan- pemberitaan tentang penyimpangan penyelenggaraan kekuasaan, termasuk korupsi. Karya-karya jurnalistik mestinya merupakan bahan awal bagi polisi dan jaksa dalam upaya menegakkan hukum demi terciptanya pemerintahan yang baik.

"Jadi bukannya malah menangkap dan memenjarakan wartawan yang menulis berita. Itu gaya orde lama dan orde baru," tegas Leo Batubara ketika tampil berbicara dalam diskusi publik bertajuk "Ancaman Terhadap Kemerdekaan Pers" yang berlangsung live di Studio I RRI Kupang, Sabtu (21/6/2008).

Negara Indonesia yang jatuh ke dalam kubangan korupsi, katanya, karena resim Soekarno dan Soeharto "suka" menangkap dan memenjarakan wartawan yang menulis berita-berita yang mengeritik tentang ketimpangan pembangunan. Akibatnya pun dirasakan sampai hari ini. Indonesia dikategorikan sebagai negara terkorup keenam di dunia.

"Kemiskinan yang menimpa sebagian besar masyarakat kita, adalah akibat dari itu semua. Uang rakyat dicuri, dikorup. Dan ketika itu diungkap wartawan melalui pemberitaannya, bukannya bahan berita itu dijadikan acuan untuk mengusut dan menghukum koruptornya, malah wartawannya yang ditangkap dan dipenjarakan. Itu daya orde lama dan orde baru. Apakah kita mau seperti itu?," katanya.

Hal senada dikemukakan, anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi. Dia mengatakan bahwa kesalahan kata-kata yang dilakukan pers melalui pemberitaannya, haruslah dibalas pula dengan kata-kata. Bukan dengan ancaman pidana yang akhirnya memenjarakan wartawan. Sebab mengekang kebebasan pers sama dengan tidak menginginkan negara demokrasi. Sebab negara demokrasi mensyaratkan adanya kebebasan pers.

Alamudi juga menjelaskan mengenai Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang cenderung tidak pernah dipergunakan oleh aparat penegak hukum dalam menangani masalah-masalah hukum terkait pemberitaan. Dia menegaskan, ancaman/tindak kekerasan terhadap wartawan yang sedang melaksanakan tugas- tugas jurnalistik bisa diproses hukum dengan UU tersebut.

"Tindakan menghapus file-file dalam kamera wartawan, itu juga masuk kategori sensor, dan sensor tidak dibenarkan lagi saat ini. Apalagi itu dilakukan pejabat publik. Proses pakai Undang-Undang Pers," tegasnya.

Sambil mengakui ada kekurangan dalam UU tersebut, Alamudi juga mengatakan bahwa wartawan tidak boleh lagi dipidana karena kesalahannya dalam menulis berita. "Alasannya karena tugas yang dilakukan oleh seorang wartawan untuk menyampaikan informasi kepada publik itu adalah tugas yang diberikan undang- undang. Dia melakukan perintah undang-undang," tandasnya.


Dia menganalogikan dengan tugas-tugas yang dilakukan aparat penegak hukum. "Jaksa misalnya, pada saat dia mendakwa orang melakukan kejahatan di sidang pengadilan dan kemudian hakim memutus bebas terdakwanya, jaksa tidak bisa dituntut oleh terdakwa misalnya dengan menuduh jaksa melakukan pencemaran nama baik dan lain-lain. Sebab jaksa melaksanakan tugas yang diamanatkan undang-undang. Sama juga dengan wartawan," katanya sambil menambahkan bahwa UU 40/1999 mewajibkan pers memenuhi kebutuhan informasi publik.

Diskusi publik yang disiarkan langsung oleh RRI Kupang itu mendapat sambutan hangat dari pendengar dan peserta diskusi. Beberapa penanya, misalnya, mempersoalkan independensi pers.

Baik Leo Batubara maupun Abdullah Alamudi menjelaskan bahwa yang "mengadili" pers adalah masyarakat pembaca/pendengar/pemirsa. "Kalau koran tertentu dirasa tidak independen lagi, atau tampilkan pornografi, jangan beli korannya. Akan mati dia. Kalau ada berita- berita yang merugikan, lapor pimpinan medianya, tembuskan ke Dewan Pers. Tetapi kalau ada wartawan yang peras pejabat, yang ikut-ikutan curi uang rakyat, tangkap dia, penjarakan dia, Dewan Pers mendukung. Bila perlu kami jadi saksi," tegas Leo Batubara.

Pada kesempatan tersebut, Alamudi juga menegaskan pentingnya wartawan melakukan verifikasi data dan fakta sebelum menulis berita agar tidak menimbulkan masalah. "Verifikasi adalah disiplin jurnalistik yang tidak bisa ditawar-tawar," tegasnya.

Sebelumnya, pada acara pembukaan, Ketua PWI Cabang NTT, Dion DB Putra dalam sambutannya menyebut ada lima kasus kekerasan yang menimpa enam wartawan dari media berbeda di NTT, selama semester pertama tahun 2008.

"Tentu ada sesuatu yang salah sehingga perlu diluruskan. Perlu dipercakapkan dan didiskusikan dalam berbagai forum, salah satunya seperti yang akan kita jalani bersama hari ini," kata Dion.
Diskusi Publik ini dibuka oleh Karo Humas Setda NTT, Drs. Eduard Gana mewakili Gubernur NTT. Hadir pada kesempatan itu, Kabid Humas Polda NTT, Kompol Marthen Radja, Humas Kejati NTT, Muib, S.H, para pengacara, pegiat LSM, akademisi dan pimpinan media massa di NTT. (pos kupang/ely/ati/amy)

Wartawan Tidak Boleh Dipidana

KUPANG (ANTARA News) - Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi berpendapat, seorang wartawan atau jurnalis tidak boleh dipidana karena melakukan kegiatan jurnalistik.

"Alasannya karena tugas yang dilakukan oleh seorang wartawan dengan menyampaikan informasi kepada publik merupakan bagian dari tugas menjalankan perintah undang-undang," kata Abdullah Alamudi, di Kupang, Sabtu (21/6/2008).

Dia mengemukakan hal itu dalam dialog publik Dewan Pers yang diselenggarakan atas kerja sama dengan PWI Cabang Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut dia, setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh informasi, termasuk memperoleh informasi tentang kasus-kasus dugaan korupsi, karena merupakan hak publik untuk mengetahuinya.

Dia menambahkan, dalam pasal 4 UU Pers telah jelas disebutkan bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai hati nurani insan pers.

Karena itu, jika ada pers yang mengungkap kasus korupsi di dalam suatu departemen atau lembaga publik, atau lembaga swasta yang menarik keuntungan dari dana publik, tidak bisa dituduh melakukan pencemaran nama baik dan dituntut dengan hukum pidana, karena mereka menjalankan perintah undang-undang.

Dia mengatakan pasal 50 KUHP telah dengan tegas mengatakan bahwa seseorang tidak boleh dipidana karena menjalankan perintah undang-undang. "Jadi kalau wartawan menulis tentang kasus korupsi. Itu wartawan sedang melaksanakan perintah undang-undang sehingga tidak bisa dihukum pidana," katanya.

Sementara itu Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara menegaskan tidak sependapat dengan pandangan sejumlah pihak yang menyebutkan bahwa UU Pers adalah lex specialis. Menurut dia, UU Pers jangan dijerumuskan ke persoalan lex specialis atau tidak, sebagaimana yang dikemukakan oleh berbagai ahli hukum. "Persoalannya adalah mempedomani KUHP buatan kolinial Belanda yang didesain untuk melumpuhkan kontrol dan kritik rakyat Indonesia yang terjajah," kata Leo Batubara. (*)


Dewan Pers Siapkan Uji Materi ke MK

Jakarta, Kompas - Dewan Pers dan sejumlah organisasi pers menilai, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD sangat mengancam kebebasan pers. Mereka mempersiapkan diri dengan gugatan yang akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebagai bahan uji materi terhadap UU itu.

"Kami akan ajukan judicial review (hak uji materi). Naskahnya sedang disusun," kata Abdullah Alamudi dari Dewan Pers dalam diskusi tentang "UU Pemilu dan Kebebasan Pers" yang diadakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Jumat (20/6).

Ketua Perhimpunan Jurnalis Independen Ismet Hasan Putro juga akan melakukan hal yang sama. Dia memperkirakan, uji materi akan disampaikan ke Mahkamah Konstitusi pada awal Juli. "UU Pemilu itu primitif dan menjadi ancaman yang nyata bagi kebebasan pers," ujarnya.

Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas, juga menilai, aturan dalam UU No 10/2008 yang mengatur tentang pers merupakan aturan yang sangat tidak masuk akal. Dia mendorong agar semua organisasi pers dan masyarakat yang merasa dirugikan dengan aturan itu bersatu dan bergabung dalam koalisi nasional untuk melakukan perlawanan.

Ichsan Loulembah, anggota DPD dari Sulawesi Tengah, yang juga mantan wartawan, mengingatkan, di negara mana pun, kebebasan pers mampu mengawal demokrasi.

Aturan yang dinilai mengancam kebebasan pers dalam UU No 10/2008 antara lain Pasal 97 yang mengharuskan media massa cetak dan siaran untuk menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu.

Selanjutnya, dalam Pasal 99 ditegaskan, sanksinya berupa teguran tertulis; penghentian sementara mata acara yang bermasalah; pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan; denda; pembekuan kegiatan pemberitaan; sampai pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.

Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 199 tentang Pers sudah ditegaskan tidak ada lagi sensor dan pembredelan terhadap pers. "UU ini berusaha menghapuskan kemerdekaan pers. Kelihatannya pemerintah dan DPR ingin kembali mengontrol pers," ujar Alamudi.

MOU dengan KPU

Untuk mengantisipasi adanya kriminalisasi terhadap pers, Dewan Pers juga menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut Alamudi, KPU sepakat, apabila terjadi pelanggaran oleh pers, penyelenggara pemilu akan menyerahkan hal itu kepada Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers.

"Paling tidak, sudah ada niat dari KPU untuk menerapkan sanksi sesuai UU Pers. UU Pers yang diberlakukan sebab menyerahkannya kepada lembaga pers," paparnya.

Dewan pers juga menyampaikan naskah ke Polri untuk tidak mengkriminalkan pekerja pers apabila terjadi kasus di daerah. "Draf sudah diajukan ke Polri tiga bulan lalu. Kami masih tunggu jawabannya. Sampai sekarang belum ada jawabannya," katanya.

Ismet juga mengingatkan Dewan Pers, ancaman untuk pekerja pers di daerah dalam peliputan pemilu sangat besar. Dia meminta Dewan Pers agar memberikan perhatian lebih.

Budiarto khawatir, pasal ini disusupkan oleh tangan-tangan tak tersentuh di saat akhir penyusunan UU. Akan tetapi, ia yakin, masyarakat tetap menaruh kepercayaan tinggi kepada pers dan akan mendukung kemerdekaan pers.

Pekerja pers pun semakin dituntut tanggung jawabnya. Pers harus mampu membuat pemberitaan yang obyektif. Kalaupun bersikap, juga harus dengan dasar yang obyektif. (sut)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/21/00464050/dewan.pers.dan.organisasi.siapkan.uji.materi.ke.mahkamah.konstitusi

Dewan Pers Gelar Diskusi Publik di Kupang

KUPANG, PK -- Dewan Pers menggelar Diskusi Publik di Kupang, Sabtu (21/6/2008), besok. Diskusi publik ini digelar setelah Dewan Pers mencermati adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap wartawan di Propinsi NTT.

Diskusi Publik dengan tema "Kebebasan Pers, antara Harapan dan Kenyataan" ini digelar Dewan Pers bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang NTT. Diskusi tersebut berlangsung di aula Studio RRI Kupang, Sabtu (21/6/2008) dan akan disiarkan langsung RRI Kupang.

Demikian dikatakan Ketua PWI NTT, Dion Bata Putra, saat konferensi pers di Balai Wartawan NTT, Jalan Veteran, Kelapa Lima, Kamis (19/6/2008) siang.

Diskusi Publik menghadirkan dua pembicara utama dari Dewan Pers, yakni Leo Batubara dan Abdullah Alamudi. Keduanya adalah anggota Dewan Pers.

Dion menjelaskan, sebenarnya mekanisme penyelesaian masalah terkait pemberitaan pers sudah diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Namun mekanisme menurut UU tersebut cenderung diabaikan dan masalah pemberitaan sering berbuntut pada tindak kekerasan terhadap wartawan. Bahkan, katanya, sangat disayangkan karena yang melakukan tindak kekerasan atau ancaman terhadap wartawan justeru oleh pejabat-pejabat publik yang semestinya mengatahui dan mengerti tetang aturan dan bagaimana baiknya menyelesaikan masalah-masalah terkait pemberitaan pers.

Selama enam bulan terakhir, katanya, sudah terjadi empat kasus kekerasan/ancaman terhadap wartawan di NTT. Kasus pertama (12 Februari 2008), menimpa wartawan Timor Ekspress, Yopi Lati saat sedang meliput di kantor Kejati NTT. Yopi diperlakukan secara kasar oleh Hadi Purwoto, S.H (Asisten Pidana Umum Kejati NTT) yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers.

Kasus kedua menimpa Hendrik Rongga Beni (wartawan NTT Expo) yang bertugas di Ende. Beni dikejar oleh Sekda Kabupaten Ende, Drs. Iskandar Mberu di Bandara Haji Hasan Aroeboesman Ende.

Kasus ketiga menimpa Yakobus Lewanmeru alias Obby (wartawan Pos Kupang), 17 Februari 2008. Obby dipukul oleh sejumlah pria sampai korban menderita luka dan sempat dirawat sekitar satu minggu di rumah sakit. Sebelum memukul Obby, para pelaku menyebut tentang berita yang ditulis Obby.

Kasus keempat menimpa Benidiktus Jahang (wartawan Pos Kupang) dan Robert Kadang (wartawan Timor Ekspress). Keduanya diancam dan diperlakukan secara kasar oleh Komisaris Besar Polisi Alfons Loemau di Mapolresta Kupang, saat keduanya sedang menjalankan tugas jurnalistik.
Dion yang adalah Pemimpin Redaksi SKH Pos Kupang ini, menambahkan bahwa, salah satu wartawati Pos Kupang, Adiana Ahmad yang bertugas di Sumba Timur, juga dilaporkan ke Polres setempat oleh Elisabeth Ninggedi, pegawai Dinas Peternakan Sumba Timur, yang merasa dirugikan akibat berita Pos Kupang.

Dion menjelaskan, kasus-kasus tersebut juga hendaknya menjadi bahan refleksi bagi wartawan. "Ini kesempatan juga untuk refleksi. Apakah wartawan sudah patuh pada kode etik jurnalistik dan pada aturan hukum dalam menulis berita? Karena itu melalui diskusi publik ini mari kita dengar apa kata masyarakat tentang pers, tentang wartawan. Juga Dewan Pers mensosialisasikan bagaimana memperlakukan wartawan jika ada berita-berita yang merugikan," katanya.

Jumpa pers terkait Diskusi Publik Dewan Pers tersebut juga dihadiri Ketua Dewan Kehormatan Daerah PWI Cabang NTT, Pieter E Amalo dan anggota Dewan Kehormatan Daerah, Damyan Godho. (pol)

Pos Kupang edisi Jumat 20 Juni 2008, halaman 3

Bina Hubungan RI-Timor Leste Lewat Sosbud

KUPANG, PK -- Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nusa Cendana Kupang, Dr. Petrus Ng. Tanggubera, M.Si, mengatakan, hubungan RI dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) hendaknya dibina dengan menggunakan jalur sosial budaya (sosbud). Jalur lainnya adalah penelusuran sejarah.

"Jalur ini dipandang strategis dan mendasar karena masyarakat wilayah perbatasan dua negara memiliki kesamaan akar sosio-antropologis mengenai manusia (Atoni Meto) dan kepercayaan asli mengenai wujud tertinggi (uis neno)," kata Tanggubera saat tampil sebagai pembicara pada Forum Peningkatan Peran Media Massa dalam Mempersiapkan Masyarakat untuk Hidup Berdampingan dengan Negara Tetangga Timor Leste di Sayap Kanan Aula El Tari Kupang, Kamis (19/6/2008)

Kegiatan yang diselenggarakan Badan Informasi dan Komunikasi Propinsi NTT ini juga menampilkan pembicara lainnya yaitu Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Kupang, Dion DB Putra, dan Kepala Bina Hukum Polda NTT, AKBP Hambalil, S. H mewakili Kapolda NTT, Brigjen (Pol) Drs. A Bambang Suedi, M. M, M. H.

Tanggubera yang membawakan materi tentang peran masyarakat dalam turut memelihara hubungan damai RI-Timor Leste mengatakan, kesamaan akar sosio-antropologis ini misalnya, mencakup mitologi mengenai asal-usul keturunan penghuni pertama tanah Timor yang kemudian menjadi perekat dasar kekerabatan masyarakat Timor hingga saat ini.

"Kesamaan unsur budaya lain yang diyakini bersumber dari akar sosio-antropologis tersebut adalah bahasa daerah, seni musik tradisional, motif dan warna dasar tenunan asli kain dan sarung serta aneka anyaman serta perabot rumah tangga. Demikian juga arsitektur bangunan tradisional Lopo kebanggaan orang Timor merupakan sarana untuk membina hubungan damai warga RI-Timor Leste," kata Tanggubera.

Dia mengatakan, kesadaran masyarakat di wilayah perbatasan RI-Timor Leste akan adanya dasar sosio-antropologis yang sama dapat dijadikan titik pijak membina hubungan damai yang langgeng di ke depan. "Kelompok masyarakat sipil dapat membina hubungan damai melalui kegiatan wisata budaya, perayaan bersama keagamaan, festival dan sejenisnya," katanya.


Menurutnya, jalur lain untuk membina hubungan damai adalah penelusuran sejarah yakni membina hubungan melalui penyadaran akan sejarah panjang yang dilalui kedua bangsa. "Dengan membangun kesadaran kolektif atas masa lalu yang pahit dan menyedihkan yang dialami para pendahulu masing-masing seraya memanfaatkannya, akan mendorong masyarakat berinisiatif membangun kebersamaan untuk mencegah dan mereduksi kencenderungan perilaku bertikai dan berkonflik dan sebaliknya mendorong terciptanya suasana rukun dan toleran," katanya.

Dion DB Putra mengatakan, posisi pers sangat kacau. Pers hanya memposisikan diri sebagai anjing penjaga (watch dog). Kalau ada kasus baru pers memberitakan.
"Sifatnya masih menunggu. Mestinya pers mendorong kehidupan yang damai di perbatasan. Tekad untuk menciptakan masyarakat hidup damai di perbatasan adalah pekerjaan rumah pers. Pers tidak semata-mata mengatakan pemda atau polisi dan TNI salah," kata Dion Putra.

Dion mengatakan, pers perlu mengembangkan jurnalisme damai untuk kepentingan masyarakat perbatasan hidup secara rukun. Pada sesi dialog, peserta mengkritik media massa karena cenderung mengekspose peristiwa-peristiwa insidentil dan jarang mengungkap kehidupan rutin warga.

Media dikritik karena kurang mengedepankan jurnalisme damai dan cenderung memberitakan peristiwa-peristiwa insidentil. Misalnya, ada penembakan terhadap warga perbatasan, pencurian ternak atau penyelundupan bahan bakar minyak (BBM).

Bahkan ada peserta yang menilai standar kompetensi wartawan tidak jelas, mengakibatkan produk yang dihasilkan dalam bentuk berita pun masih di bawah standar.

Dion mengakui, kritik-kritik terhadap pemberitaan media soal perbatasan itu harus dilihat sebagai usaha bersama untuk membenahi pekerja media. Menurutnya, kritik publik ini harus bisa diterima agar pekerja media tidak saja menunggu peristiwa-peristiwa insidentil baru buru-buru ke perbatasan untuk menyampaikan laposan khusus, namun juga harus bisa mengeksplorasi seluruh seluk-beluk perbatasan termasuk kehidupan warga guna mengungkap fakta yang sebenarnya. (aca/ant)
Pos Kupang edisi Jumat, 20 Juni 2008 halaman 7