Irwandi Yusuf Akan Buka Kongres XXII PWI

Banda Aceh (ANTARA News) - Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Irwandi Yusuf, dipastikan akan membuka kongres XXII Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang akan diikuti sekitar 600 peserta dari seluruh tanah air dan digelar di Kota Banda Aceh pada 28 Juli 2008.

"Sebelumnya sudah dijadwalkan Kongres dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tetapi, informasi terakhir yang kami peroleh menyebutkan Kepala Negara tidak bisa menghadiri kongres ini," kata Ketua PWI Cabang Provinsi NAD, A Dahlan TH, di Banda Aceh, Kamis.

Disebutkan, para peserta Kongres yang terdiri atas 34 cabang PWI se-Indonesia akan datang secara bergelombang ke Banda Aceh, terhitung sejak Sabtu (26/7).

Persiapan dari pihak panitia hingga kini sudah cukup matang. "Jadi tidak ada masalah lagi. Seluruh persiapan sudah cukup matang. Kami sebagai tuan rumah siap memberikan pelayanan terbaik kepada para tamu jurnalis dari 33 provinsi di Indonesia," tambahnya.

Anggota DPR RI asal pemilihan Aceh, M Nasir Djamil, mengharapkan pelaksanaan Kongres PWI di Aceh bisa terlaksana dengan sukses, terutama sebagai forum silaturahmi sesama wartawan anggota organisasi kewartawanan tertua di Indonesia.

"Dari Aceh kita berharap akan lahir sosok generasi muda yang energik untuk memimpin organisasi kewartawanan tertua di tanah air (Ketua Umum PWI pusat)," kata dia.

Mantan wartawan SKH Serambi Indonesia itu menyatakan kecewa atas tidak hadirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membuka perhelatan tingkat nasional tersebut.

"Saya pribadi kecewa atas tidak hadirnya Kepala Negara untuk membuka Kongres PWI. Namun, saya berharap Kementerian Sekneg dapat menjelaskan kepada publik terkait tidak bisa hadirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Aceh," kata Nasir Djamil.

Sejumlah nama calon Ketua Umum PWI Pusat periode 2008-2013 kini mulai santer dibicarakan para wartawan di Aceh, antara lain Asro Kamal Rokan (anggota Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA), Parni Hadi (Dirut LPP RRI), Wina Armada Sukardi (Sekjen PWI Pusat), Kamsul Hasan (Ketua PWI DKI), H. Ilham Bintang (Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat).(*)

http://www.antara.co.id/arc/2008/7/25/irwandi-yusuf-dipastikan-buka-kongres-xxii-pwi/

Abror: PWI Organisasi Profesi, Bukan Birokrasi

Oleh Chandra Hamdani Noor Ichwany

Surabaya (ANTARA News) - Organisasi kewartawan "tertua" di Tanah Air, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) akan menyelenggarakan Kongres, pada 28-29 Juli 2008 di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD), dengan salah satu agenda utama memilih Ketua Umum (Ketum) baru, mengantikan Tarman Azzam yang telah menjabat selama dua periode 1998 hingga 2008.

Ada beberapa calon pengganti Tarman yang kelak "menahkodai" kumpulan para jurnalis ini, mereka yang mengemuka adalah Parni Hadi, dan Wina Armada serta Dhimam Abror Djuraid.

Berikut padangan Abror(45) yang kini menjadi Pemred Harian yang terbit di Kota Pahlawan, Surabaya, Surya (Kompas Grup) yang kini juga menjadi Ketua PWI Jatim kepada ANTARA di Surabaya, Selasa, mengenai kesiapannya berebut kursi "PWI I".

PWI adalah organisasi kewartawanan tertua dan terbesar di Indonesia. Dengan anggota 12 sampai 14 ribu, PWI juga organisasi wartawan terbesar di Asia Tenggara.

"PWI juga terbukti sangat solid," katanya.

Namun dalam perjalanan sejarahnya PWI juga menghadapi masa-masa sulit seperti pada saat reformasi 1998, meskipun telah dilewati dengan baik. Konsolidasi internal berlangsung sangat baik dan hasilnya adalah organisasi yang solid seperti yang kita lihat sekarang.

Menurut Abror, PWI harus berterima kasih kepada Tarman Azzam yang menjabat sebagai ketua selama dua periode jabatan yaitu sejak 1998 sampai 2008. Selama satu dasawarsa kepemimpinannya, Tarman telah membuktikan keandalannya sebagai seorang organisatoris. Tarman adalah tipe seorang "solidarity maker", tokoh yang mampu menggalang solidaritas dan soliditas.

Tarman melakukan perjalanan ke seluruh penjuru negeri, berbicara dengan berbagai level pengurus PWI di seluruh Indonesia untuk mengokohkan pondasi organisasi.

Sayang sekali, PD/PRT (Peraturan Dasar-Peraturan Rumah Tangga) membatasi kepemimpinan hanya dua kali. Kalau saja boleh tiga kali, Jawa Timur tidak akan ragu-ragu memilih kembali Tarman Azzam, katanya.

Tetapi, roda organisasi harus terus menggelinding ke depan. Tidak boleh ada langkah surut. Sebagai organisasi besar PWI pasti tidak akan kekurangan kader. Beberapa kader dari jajaran pengurus pusat layak untuk tampil menggantikan Tarman.

Misalnya, Wina Armada yang sekarang menjadi Sekjen PWI, Henry Ch Bangun yang sekarang ketua bidang pendidikan, dan beberapa tokoh lain seperti Marah Sakti maupun Kamsul Hasan, ketua PWI Jaya.

Dari daerah ada beberapa nama yang cukup layak seperti Yoyo Adiredja, ketua PWI Jabar dan Sasongko Tejo, ketua PWI Jateng.

"Saya secara pribadi juga siap untuk maju memperebutkan kursi Ketum demi kemajuan organisasi", kata ayah tiga anak yang semuanya laki-laki ini, Zidny "Sydney" Ilman, Jordan Fahmi, dan Jericho Fikri.

Menurut jebolan Stikosa-AWS (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa-Almamater Wartawan Surabaya) ini, selama ini Ketum PWI selalu muncul dari Jakarta. Sehingga skaranglah saatnya tokoh dari daerah muncul.

Jawa Timur adalah barometer pers nasional, siapa yang memimpin Jatim layak untuk memimpin organisasi level nasional.

"Bagi saya, regenerasi adalah mutlak kalau organisasi ini tidak mau ketinggalan kereta. Darah muda yang segar sangat dibutuhkan supaya organisasi bisa melaju kencang. Saya melihat PWI ini sudah besar, tapi reputasi internasional masih kurang", tuturnya menegaskan.

"Saya ingin membawa PWI sebagai organisasi yang disegani di level internasional. Anggota kita sangat besar tapi nyaris tidak dikenal di dunia internasional. Selama ini yang mendapat perhatian dari organisasi internasional malah organisasi yang lebih kecil dari PWI", kata mantan Pemred Jawa Pos (1997-2001) ini menegaskan.

Mengapa begitu? tanya Abror yang dijawabnya sendiri. Ada beberapa sebab, yang pertama PWI tidak cukup "pede" (percaya diri) untuk maju ke palagan internasional, yang kedua PWI masih kena stigma
sebagai pewaris Orde Baru.

"Saya ingin mengatasi kedua hal tersebut. Saya pernah empat tahun bertugas di Australia dan saya pernah di Eropa dan Amerika Serikat. Saya mempunyai akses ke `Center For Foreign Journalist` di Amerika, karena saya adalah alumni yang pernah menerima bea siswa. Saya punya hubungan dengan `Committee to Protect Journalist` dan saya punya akses kepada dunia akademisi di AS", papar mantan Ketua Pengprov PSSI Jatim (2000-2005) ini.

"Kita bisa memanfaatkan akses ini untuk mendapatkan bantuan teknis, misalnya, bantuan tenaga ahli untuk memberi pelatihan keterampilan wartawan Indonesia", lanjut suami Ari Murtiani ini.

Warna intelektualitas PWI harus kelihatan. Jangan takut masuk di lingkaran seminar ilmiah, baik mengenai jurnalistik maupun isu ilmiah yang lain. PWI harus berani mewarnai perdebatan wacana, misalnya, soal isu yang paling hangat seperti neoliberalisme, kebebasan beragama, demokrasi dan isu-isu penting lainnya.

Kolektivitas

PWI ini organisasi profesi bukan organisasi komando atau organisasi birokrasi. Hubungan pusat dengan cabang seharusnya didasarkan kepada kesetaraan dan kolektivitas bukan hubungan komando atau perintah.

Wilayah Indonesia terlalu luas untuk bisa di"cover" dari Jakarta. Karena itu, cabang-cabang harus diberdayakan. Harus dibentuk semacam korwil, misalnya, korwil Sumatera, Kalimantan, Bali-NTB-NTT, Sulawesi-Papua dan sejenisnya.

Para korwil ini adalah ketua PWI cabang yang diangkat juga menjadi pengurus pusat non-pleno. Mereka bisa berkumpul setidaknya setahun sekali.

Isu lainnya adalah mengenai nasionalisme wartawan Indonesia. "Saya ingin wartawan Indonesia punya kesadaran sebagai seorang patriot. Harus ada kesadaran bahwa wartawan Indonesia mengabdi kepada profesionalisme dan patriotisme. Artinya, wartawan Indonesia mengutamakan kepentingan bangsa (bukan kepentingan pemerintah) di atas segalanya," ucap Ketua PWI Jatim yang menduduki jabatan organisasi untuk periode kedua 2008-2011 ini.

Pemerintah bisa datang dan pergi tapi bangsa Indonesia akan tetap ada.

"Saya bukan sok ke-amerika-amerikaan. Pers Amerika sangat liberal mengontrol pemerintahnya. Tapi kalau sudah menyangkut persoalan internasional, pers Amerika bersatu mendukung kepentingan bangsanya. Pers Indonesia harus merumuskan sikap patriotisme ini", kata pria kelahiran Surabaya 1 Agustus 1963 ini.

Masalah keuangan organisasi, menurut dia, bukan sesuatu yang rumit. Sebagai organisasi besar PWI pasti tidak sulit melakukan "partnership" yang saling menguntungkan dengan organsisasi swasta maupun pemerintah.

Asal pengelolaan keuangan profesional dan transparan pasti akan ada jalan untuk mendapatkan sumber keuangan, pungkas penulis buku "Globalisasi, Modernisasi, Hibridisasi: Catatan Mingguan Seorang Wartawan" ini.

Berikut data pribadi Abror, salah seorang wartawan Indonesia yang akan bersiap untuk mengadu pencalonannya sebagai ketua PWI pada kongres akhir pekan ini.

Nama:
Dhimam Abror Djuraid

Tempat/tanggal lahir:
Surabaya 1 Agustus 1963

Status:
Menikah dengan Ari Murtiyani, serta memiliki tiga anak laki-laki yaitu Zidny "Sydney" Ilman, Jordan Fahmi dan Jericho Fikri

Karir:
Pemred Harian Surya (Kompas Grup), pernah menjadi pemred Jawa Pos (1997-2001), menjadi direktur eksekutif PT Jawa Pos Radar Timur

Organisasi:
- Ketua PWI Jatim (sekarang periode kedua 2008-2011)
- Pernah menjadi ketua Pengda PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) Jawa Timur 2000-2005
- Sekarang menjadi ketua Yayasan Pendidikan Wartawan Jawa Timur yang membawahi Stikosa-AWS (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa-Almamater Wartawan Surabaya).

Buku:
"Globalisasi, Modernisasi, Hibridisasi; Catatan Mingguan Seorang Wartawan" dengan kata pengantar oleh Janet E. Steele, associate professor dari George Washington University, Amerika Serikat

Hobi:
Sepakbola

http://www.antara.co.id/arc/2008/7/23/abror-pwi-organisasi-profesi-bukan-birokrasi/

Mochtar Lubis Award: Demi Kualitas Jurnalistik

Jakarta, Kompas - Para pemenang dan penerima Mochtar Lubis Award yang dimotori Lembaga Studi Pers dan Pembangunan atau LSPP diumumkan, Jumat (18/7) malam. Dengan pemberian penghargaan tersebut, kualitas jurnalistik dari segi profesionalitas, etika, serta keberanian membela kebenaran dan keadilan diharapkan semakin meningkat, seperti yang telah diteladankan wartawan tangguh Mochtar Lubis.

Mochtar Lubis merupakan pemimpin dan pendiri Indonesia Raya yang terbit tahun 1949 hingga 1958 kemudian dibredel. Mochtar dipenjara selama 10 tahun.

Indonesia Raya terbit kembali pada tahun 1968 hingga 1974 sampai kemudian ditutup selama-lamanya. Mochtar Lubis merupakan tonggak dan legenda hidup pejuang kebebasan pers. Mochtar juga dikenal sebagai sastrawan dan pernah menjadi Pemimpin Redaksi Horison.

Pemenang Fellowship Investigasi diberikan kepada Bambang Muryanto (The Jakarta Post), Masjidi (MQ Radio) dan Gigin W Utomo (majalah Swasembada Yogyakarta) dengan proposal investigasi "Korupsi Dana Rekonstruksi Pascagempa Bumi di Yogyakarta 27 Mei 2006".

Pemenang Kategori Feature adalah Ahmad Arif, Luki Aulia, dan Aryo Wisanggeni Gentong (harian Kompas) dengan karya "Meno Kaya Tidur di Selokan".

Kategori Investigasi dimenangi Muhlis Suhaeri (harian Borneo Tribune, Pontianak) dengan karya "The Lost Generation".

Untuk kategori In-Depth TV Reporting terdapat dua pemenang, yakni Darussalam Burnahan dan kawan-kawan (ANTV) dengan karya Mengeruk Laba dari Bangkai Sapi serta Endah Saptorini dan kawan-kawan dari Astro Awani dengan karya Pintu Harapan untuk si Miskin.

Kategori Publik Service dimenangi Asrori S Karni (Gatra) dengan karya "Politik Pendidikan Penebus Dosa". Kategori Foto Jurnalistik dimenangi Arie Basuki (Koran Tempo) dengan karya "Dag Dig Dug di Bukit Segambut".

Para pemenang masing-masing mendapatkan hadiah uang Rp 50 juta, sementara untuk Kategori Fellowship Rp 40 juta.

Direktur Program Mochtar Lubis Award, sekaligus Direktur Eksekutif LSPP Jakarta, Ignatius Haryanto, dalam sambutannya mengatakan, acara itu diadakan guna memperpanjang semangat jurnalistik dan memberikan penghargaan tertinggi kepada para jurnalis terbaik. "Dengan penghargaan ini, kami ingin merangsang hadirnya karya jurnalistik berkualitas," ujarnya. (INE)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/19/02472387/penghargaan.untuk.tingkatkan.kualitas.

jurnalistik

Keterangan foto
KOMPAS/LASTI KURNIA / Kompas Images
Dewan Pengawas Mochtar Lubis Award Aristides Katoppo (kiri) memberikan selamat kepada para pemenang Mochtar Lubis Award 2008, (dari kiri) Muhlis Suhaeri (harian Borneo Tribune), Asrori S Karni (majalah Gatra), Ahmad Arif dan Luki Aulia (harian Kompas), serta Arie Basuki (Koran Tempo) di Hotel Century Atlet Park, Senayan, Jakarta, Jumat (18/7). Mochtar Lubis Award 2008 baru pertama kalinya diberikan, yang terdiri atas enam kategori pemenang, yaitu Features, Investigasi, Foto Jurnalistik, Public Service, In-Depth TV Reporting, dan Fellowship.

Jurnalisme dan Trauma Kurang Dipedulikan

Walaupun Workshop Jurnalisme dan Trauma kurang mendapat respon dari wartawan dan pengelola media massa, namun dari pemikiran yang mengemuka dalam diskusi yang digelar Yayasan Pulih, Rabu (16/7/2008) di Gedung Dewan Pers, Jakarta, materi tentang jurnalisme dan trauma ini dinilai perlu masuk kurikulum pendidikan pers dan atau komunikasi.

"Profesi jurnalis memiliki tantangan dan risiko yang dapat mengganggu keseimbangan dirinya baik sebagai pribadi maupun sebagai profesional. Tantangan dan risiko ini terlihat terutama ketika meliput berita berdampak traumatik, misalnya meliput di daerah konflik, meliput kerusuhan, peristiwa penyebaran penyakit menular yang ganas, kelaparan, kekeringan, teror, bencana alam dan sebagainya, " kata Koordinator Umum Yayasan Pulih, Irma S Martam.

Psikolog di Yayasan Pulih, Nelden Djakababa, mengatakan, karena tidak siap banyak jurnalis mengalami konflik batin dalam menghadapi obyek peliputannya, bahkan hingga risiko kehilangan nyawa. "Dampak traumatis tidak saja dapat dialami oleh jurnalis peliput berita. Banyak sekali produk tayangan media massa yang sangat potensial berdampak traumatis terhadap masyarakat luas, misalnya tayangan kekerasan dalam berita, sinetron, dan tayangan korban bencana yang ditampilkan secara polos," tandasnya.

Harry Bhaskara, wartawan senior di The Jakarta Post yang pernah mengikuti pelatihan jurnalisme dan trauma di Australia, mengatakan, di luar negeri materi ini gencar disosialisasikan dan ada banyak wartawan yang mau melibatkan diri untuk membantu sesama wartawan dan masyarakat untuk memulihkan rasa traumatik mereka.

"Di Indonesia belum ada wartawan yang terjun langsung menyosialisasikan masalah jurnalisme dan trauma ini. Padahal, Indonesia rawan konflik, rawan bencana dan kriminalitas yang bisa menyebabkan trauma," katanya.

Ketika ada tawaran dari Yayasan Pulih untuk menjadikan hal ini masuk ke kurikulum, Direktur Lembaga Pers Dr Sutomo (LPDS) Atmakusumah Astraatmadja minta hal itu dipertimbangkan, sejauh mana pentingnya persoalan itu perlu masuk ke kurikulum. "Persoalannya, pers di Indonesia dewasa ini lebih sibuk dan tertarik soal Pilkada, soal politik, soal ekonomi, dan banyak lainnya," katanya.

Maskun dari bagian pendidikan di LPDS mengatakan, materi jurnalistik dan trauma ini bisa masuk ke program reguler. Karena di situ ada mata pelajaran tambahan (kapita selekta). Tentang rencana Yayasan Pulih menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dan membuat rencana tindak lanjut untuk kampanye dan penyadaran mengenai kepekaan peliputan dan penayangan berita traumatis, terutama yang berdampak pada jurnalis dan masyarakat konsumen media massa, Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara mengatakan, media massa dewasa ini jumlahnya begitu banyak.

"Terdapat 855 penerbitan pers, 796 stasiun radio, dan sejumlah stasiun televisi. Namun tidak banyak media massa yang punya pengaruh, karena oplahnya kecil. Karena itu, jika ingin menyosialisasikan soal jurnalisme dan trauma ini, cukup mengundang media massa yang serius," katanya.

Wartawan senior Kukuh Sanyoto dan Anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi memandang perlu panduan bagi jurnalis meliput peristiwa traumatik. "Saya sampai sekarang, masih trauma dengan aparat keamanan. Karena sewaktu ada demonstrasi di Spanyol, saya pernah ditangkap, karena dianggap orang Indian. Padahal, saya orang Indonesia, ujar Kukuh. (Yurnaldi)

http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/16/21394963/jurnalisme.dan.trauma.penting.tapi.kura ang.dipedulikan