Negara Kalah Menghadapi Ancaman Intoleransi

"Ketika bom meledak di thamrin, Presiden Jokowi hadir dan mengatakan bahwa negara tidak boleh kalah. Tapi kenapa pada hal -hal tertentu negara kalah dalam menjamin kebesan beragama?"
 
MEDIA adalah sebuah entitas yang sangat berkuasa untuk menciptakan sebuah peristiwa sebagai kebenaran atau sebaliknya. Media juga mempunyai kuasa untuk menunjukan hitam putihnya sebuah peristiwa atau persoalan. Hal ini diakui Program Manager Serikat Jurnalis untuk Keberagaman, Tantowi Anwari, dalam workshop media yang bertajuk `Merawat Keberagaman Dan Toleransi Melalui Pemberitaan' di aula LPP RRI Kupang, Selasa (1/3/2016).

Tantowi Anwari sebagai pembicara bersama Kepala RRI Kupang, Enderiman Butar  Butar  SP.MSI, Pemred Harian Kursor, Ana Djukana dan Wakil Sekretaris PWI NTT, Ferry Jahang dan moderatornya Kepala Bidang Pemberitaan RRI Kupang, Ekleopas Leo.

Menurut Tantowi, lewat kekuatan yang dan pengaruh yang dimiliki itu, media masa bisa menunjukan kepada publik tentang, mana yang benar dan yang salah.

"Implikasinya bisa sangat berbahaya dan juga bisa menguntungkan. Bisa membuat sebuah persoalan menjadi baik atau lebih runyam dari yang dibayangkan orang. Itulah media massa," katanya.

Dewasa ini, katanya, korban kekerasan atas nama agama dan berkeyakinan saban hari bukan berkurang melainkan terus meningkat. Kini sudah saatnya bagi para jurnalis untuk mengangkat pena dan menggoreskan tinta emasnya, untuk menyuarakan keadilan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan.

"Artinya kalau media hanya melihat dan diam saja itu sama dengan membiarkan intoleransi terus terjadi di masyarakat. Kasusnya juga akan meluas, ini berdasarkan hasil pemantauan dari 2007 sampai sekarang," ujar Anwari. 

Berbagai pemberitaan yang cenderung kurang berpihak kepada kelompok minoritas akhir -akhir ini cukup memrihatinkan. Hal ini mulai nampak ketika Fatwa MUI pada tentang penyesatan Ahmadyah pada tahun 2005 diikuti penutupan gereja -gereja di Jawa Barat dan Jakarta.

Kekerasan dan intimidasi terhadap kaum minoritas yang dianggap berbeda terus menerus terjadi di mana -mana. Tak jarang komunitas atau kelompok minoritas itu mendapat diskriminasi dari pihak mayoritas juga pemerintah.

Narasumber dalam diskusi di RRI Kupang
"Sekarang kita harus mengatakan bahwa kebebasan beragama itu adalah isu yang harus diangkat media. Kenapa isu ini dianggap penting, karena korban kekerasan atas nama agama dan berkeyakinan ini bukan berkurang, tapi malah terus bertambah dari waktu ke waktu."

Cover bot side sebagai prinsip jurnalistik tidak relevan lagi dalam kasus -kasus demikian. Kehadiran media dan para jurnalis tidak lagi hanya sebatas netral tapi harus memihak dan memberi ruang yang lebih kepada korban.

"Kita harus memberikan ruang yang banyak kepada kelompok minoritas yang menjadi korban. Teori jurnalistik tentang pemberitaan secara berimbang, itu kami tantang. Apakah dengan fakta -fakta demikian media hanya merasa cukup dengan berimbang?"

Kepala RRI Cabang Kupang, Enderiman Butar  Butar  SP.MSI menegaskan, lembaga yang dipimpinnya terus menggelorakan keberagaman dan toleransi. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai acara yang disiarkan secara rutin di RRI dengan mengikutkan semua agama di Indonesia. Misalnya hari minggu kami menyiarkan secara langsung kebaktian di gereja Katolik dan Protestan. "Begitu juga untuk teman- teman beragama lainnnya," kata Enderiman.

Pemimpin Redaksi Harian Kursor, Ana Djukana, mengatakan sebagai salah satu tonggak penegak demokrasi di negara ini, katanya, pers harus terus memperkuat perannya dalam mengawasi dan mengingatkan kewajiban negara untuk  menghormati, melindungi dan memenuhi hak serta kebebasan paling dasar  dari setiap warga Negara untuk beragama dan berkeyakinan.

"Misalnya kelompok LGBT yg dianggap tidak sesuai ajaran agama ini dan itu, maka kita harus menggunakan pendekatan hak asasi manusia. Kita kadang memberikan ruang yang seluas -luasnya kepada narasumber, yang justru mendukung intoleransi," katanya.

Wakil Sekretaris PWI NTT, Ferry Jahang, mengatakan, Undang -undang pers, Nomor 40 tahun 1999, yang kemudian dijabarkan ke dalam kode etik masing -masing organisasi adalah acuan bagi para wartawan Indonesia dalam menjalankan tugasnya. Ketika menjalankan tugas dan fungsinya, para wartawan harus berdiri di atas asas yang disebut dengan hak asasi manusia.

Terkait diksi yang digunakan media dalam pemberitaan manakala terjadi perseteruan antara kelompok mayoritas dan minoritas maka pers seharusnya berada pada posisi korban. 


Dikatakanya, "Kalu dilihat dari apa yg terjadi selama ini, media atau perss itu sudah mengarah dan bergerak ke sana hanya memang tdk semuanya."

Kekuatan media juga tak jarang dijadikan sebagai alat propaganda. Salah satu contoh kasus adalah peristiwa kerusuhan di Ambon, Propinsi Maluku yang nyaris tak kunjung usia. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh pemberitaan media masa. Pasalnya, terdapat perusahaan tertentu yang menciptakan dua media untuk dua kelompok yang bertikai.

"Ini terjadi karena negara memang tidak hadir sebagai penengah atau pemegang aturan yang benar untuk menengahi persoalan itu. Begitu juga dengan berbagai  persoalan lain yang terjadi di negara kita," ujarnya.

Negara sebagai pemegang kekuasaan sudah mulai menunjukan langkah -langkah positif pada kasus tertentu. Hal ini terlihat pada peristiwa bom Thamrin di Jakarta beberapa waktu lalu. "Ketika bom meledak, Presiden Jokowi hadir dan mengatakan bahwa negara tidak boleh kalah. Tapi kenapa pada hal -hal tertentu negara kalah dalam menjamin kebebasan beragama?" sambungnya. (john taena)

Sumber: Pos Kupang 5 Maret 2016 hal 5

Tidak ada komentar: