Wartawan Tidak Boleh Dipidana

KUPANG (ANTARA News) - Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi berpendapat, seorang wartawan atau jurnalis tidak boleh dipidana karena melakukan kegiatan jurnalistik.

"Alasannya karena tugas yang dilakukan oleh seorang wartawan dengan menyampaikan informasi kepada publik merupakan bagian dari tugas menjalankan perintah undang-undang," kata Abdullah Alamudi, di Kupang, Sabtu (21/6/2008).

Dia mengemukakan hal itu dalam dialog publik Dewan Pers yang diselenggarakan atas kerja sama dengan PWI Cabang Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut dia, setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh informasi, termasuk memperoleh informasi tentang kasus-kasus dugaan korupsi, karena merupakan hak publik untuk mengetahuinya.

Dia menambahkan, dalam pasal 4 UU Pers telah jelas disebutkan bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai hati nurani insan pers.

Karena itu, jika ada pers yang mengungkap kasus korupsi di dalam suatu departemen atau lembaga publik, atau lembaga swasta yang menarik keuntungan dari dana publik, tidak bisa dituduh melakukan pencemaran nama baik dan dituntut dengan hukum pidana, karena mereka menjalankan perintah undang-undang.

Dia mengatakan pasal 50 KUHP telah dengan tegas mengatakan bahwa seseorang tidak boleh dipidana karena menjalankan perintah undang-undang. "Jadi kalau wartawan menulis tentang kasus korupsi. Itu wartawan sedang melaksanakan perintah undang-undang sehingga tidak bisa dihukum pidana," katanya.

Sementara itu Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara menegaskan tidak sependapat dengan pandangan sejumlah pihak yang menyebutkan bahwa UU Pers adalah lex specialis. Menurut dia, UU Pers jangan dijerumuskan ke persoalan lex specialis atau tidak, sebagaimana yang dikemukakan oleh berbagai ahli hukum. "Persoalannya adalah mempedomani KUHP buatan kolinial Belanda yang didesain untuk melumpuhkan kontrol dan kritik rakyat Indonesia yang terjajah," kata Leo Batubara. (*)


Tidak ada komentar: