Sekilas Sejarah Pers Indonesia (2)

ilustrasi
Selain itu, selama perundingan Indonesia-Belanda berlangsung di Den Haag, pers Republiken secara tegas menolak pembentukan negara-negara kecil yang didukung Belanda, seperti Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947), Negara Madura (1948), Negara Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948), Negara Djawa Timur (1948) dan lain-lain. Dan tatkala Partai Komunis Indonesia memberontak terhadap pemerintahan republik, pers nasional mengutuk pengkhianatan tersebut.


Pengalaman dan pengorbanan para pejuang pers sejak Proklamasi, mulai dari perlawanan terhadap pendudukan tentara Sekutu hingga berakhirnya Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 2 September 1949, yang menghasilkan pengakuan Belanda atas kemerdekaan dan kedaulatan RI, telah meneguhkan perjuangan mereka menentang pelanggaran terhadap prinsip-prinsip nasional yang melandasi berdirinya Republik Indonesia.

PWI DAN SPS DIDIRIKAN
Pada 9 Februari 1946, sewaktu pasukan Inggris dan Belanda sedang meningkatkan operasi pendaratan dan pendudukan di berbagai daerah republik, serta terus meningkatkan strategi pengekangannya, wartawan-wartawan Republiken mengadakan kongres pertamanya di Surakarta untuk membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pada pertemuan mendirikan PWI itu,  selain wartawan dari daerah republik, juga hadir wartawan-wartawan yang berhasil lolos dari daerah-daerah pendudukan dan dari incaran serdadu Sekutu/Belanda.  Pada masa perang kemerdekaan sejak deklarasi kemerdekaan sampai saat berlangsungnya perundingan KMB,  para tokoh PWI berhasil melangsungkan tiga kali kongres. Kongres pertama di Surakarta, 9-10 Februari 1946, menghasilkan pengurus yang diketuai Mr. Sumanang, diperkuat Sudarjo Tjokrosisworo, Sjamsuddin Sutan Makmur, B.M. Diah, Sumantoro, Ronggo Danukusumo, Djawoto dan Harsono Tjokroaminoto. Kongres kedua di kota Malang, 23-24 Februari 1947, menetapkan pengurus baru terdiri Usmar Ismail sebagai ketua, dibantu Djamal Ali, Sudarjo Tjokrosisworo, Sumanang, dan lain-lain. Usmar Ismail mengundurkan diri tidak lama kemudian, diganti Sumanang. Sumanang juga kemudian mundur, diganti Djawoto, waktu kepala kantor berita Antara pusat di Yogyakarta. Pada kongres ketiga di Yogyakarta, 7-9 Desember 1949, Djawoto terpilih kembali sebagai ketua, dibantu Djamal Ali, Darsjaf Rachman, Mashud dan lan-lain.

Pada kongres PWI pertama di Surakarta, para wartawan pergerakan sudah memikirkan pentingnya upaya di bidang pengusahaan pers demi kelangsungan hidup pers sebagai alat perjuangan dan pembangunan bangsa. Mengingat kepentingan inilah peserta kongres sepakat untuk membentuk panitia berjumlah 10 orang. Dibentuknya panitia tersebut mendorong  lahirnya Serikat Perusahaan Suratkabar (SPS) di Yogyakarta pada 8 Juni 1946 (namanya kemudian menjadi Serikat Penerbit Suratkabar). Anggota  pengurus SPS pada saat pembentukannya termasuk wartawan-wartawan pergerakan seperti Sjamsuddin Sutan Makmur, Djamal Ali, Ronggo Danukusumo dan Sumanang.


IV. DARI LIBERALISME KE DEMOKRASI TERPIMPIN

KERAPUHAN FEDERALISME DAN SISTEM PARLEMENTER

Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda di Den Haag menciptakan negara Indonesia yang lain dari yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan konstitusi RIS. Undang-undang Dasar RI yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 hanya berlaku di wilayah republik yang meliputi sebagian pulau Jawa dan Sumatera dengan ibukotanya Yogyakarta. RIS bertentangan dengan prinsip persatuan dan kesatuan bangsa dan tidak sesuai dengan jiwa Proklamasi. Sebagian rakyat Indonesia menilai RIS adalah siasat kolonial Belanda yang harus ditolak.

Karena itu, segera setelah pengakuan kedaulatan, rakyat menuntut pembubaran RIS yang berjumlah 16 negara-negara bagian dan kembali ke negara kesatuan RI. Mula-mula negara-negara Jawa Timur dan Madura tumbang dan menggabungkan diri dengan RI, disusul negara-negara lainnya sehingga pada April 1950 di luar RI hanya tinggal tiga negara bagian, yakni Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur dan Daerah Istimewa Jakarta. Kemudian, daerah Minahasa memisahkan diri dari Indonesia Timur untuk bersatu dengan RI. Ini diikuti negara-negara bagian lainnya. Selanjutnya, atas desakan rakyat yang meningkat, juga Negara Sumatera Timur bubar dan bergabung dengan RI. Tepat 17 Agustus 1950, RIS resmi dihapus dan hanya ada satu RI.

RI yang diumumkan pada 17 Agustus 1950 tersebut menggunakan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) yang juga lain dari UUD 1945. Menurut UUDS 1950, sistem pemerintah yang dianut adalah sistem parlementer yang berdasar pada pemikiran demokrasi liberal. Dalam RI yang berlandaskan UUDS 1950, presiden dan wakil presiden adalah jabatan konstitusional, sedangkan pemerintah eksekutif berada pada para menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen. Selama periode antara 1950 dan 1957, tercatat sebanyak enam kali perubahan kabinet, yaitu kabinet Perdana Menteri Muhammad Natsir (September 1950-Maret 1951), kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952), kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953), kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955), kabinet Burhanuddin Harahap (April 1955-Maret 1956), dan kabinet Ali II (April 1956-Maret 1957). Usia rata-rata ke enam kabinet tersebut adalah 13 bulan.

Pada masa itu terjadi banyak pergolakan bersenjata, antara lain pergolakan Darul Islam di bawah pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Barat dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Pemberontakan Daud Beurueh di Aceh, kemudian pergolakan dewan-dewan militer di beberapa daerah menjurus kepada perlawanan bersenjata di Sulawesi (Maret 1957) dan PRRI di Sumatera (Februari 1958). Untuk mengatasi kemelut politik dalam negeri itu, pemerintah memberlakukan keadaan darurat perang sejak 14 Maret dan melaksanakan operasi militer untuk menumpas berbagai aksi-aksi pemberontakan tersebut.

Perkembangan politik liberalisme saat itu dengan sendirinya tercermin pula dalam kehidupan pers nasional. Pada tahun pertama, 1950, surat kabar-surat kabar  menentukan pilihan masing-masing dalam menyikapi pertentangan politik seputar hasil-hasil KMB, dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya dengan pertentangan partai-partai, baik di parlemen mau pun dalam kabinet. Suasana dan keadaan politik yang liberalistik ini terpantul dalam pola pemberitaan, garis editorial atau tajuk rencana, bentuk karikatur dan isi pojok penerbitan pers. Terutama penerbitan pers masing-masing partai. Setelah pengakuan kedaulatan, struktur pers di Indonesia merupakan kelanjutan masa sebelumnya, terdiri dari pers nasional, surat kabar-surat kabar Belanda, dan Cina. Kebebasan dalam menyelenggarakan isi dan penampilan surat kabar mencerminkan kebebasan bagi setiap pihak untuk memasuki bidang pers. Tetapi, usaha penerbitan tanpa penggarapan aspek-aspek manajemen dan ekonomi secara seksama, cepat atau lambat, akan mendapat kesulitan. Dan dalam kenyataannya pada waktu itu, kebanyakan pers nasional berada dalam posisi lemah di bidang pengusahaan, dibanding dengan koran-koran Belanda yang dicetak di percetakan-percetakan milik Belanda yang mutakhir dan koran-koran milik pengusaha Cina yang didukung oleh kapital kuat. Di antara sejumlah kecil pers nasional yang mampu membangun peralatan grafika yang baik tercatat Merdeka, Pedoman dan Indonesia Raja.

Menurut data tahun 1954, di seluruh Indonesia terdapat sebanyak 105 surat kabar harian dengan total oplah 697.000 lembar.  Pada tahun 1959 jumlah harian menurun jadi 94, tetapi jumlah total oplah mencapai 1.036.500  lembar. Separuh oplah koran-koran Jakarta juga beredar di luar wilayah ibukota. Pada saat itu harian yang beroplah di atas 30.000 lembar per terbit tidak banyak. Koran-koran yang melebihi oplah tersebut adalah Harian Rakjat (koran PKI), Pedoman (pro-PSI), Suluh Indonesia (koran PNI) dan Abadi (pro-Masyumi), semuanya terbit di Jakarta. Selain ke empat harian tersebut, di Jakarta tercatat harian Merdeka, Pemandangan, Bintang Timur, Duta Masjarakat, Keng Po, Sin Po, dan majalah-majalah seperti Siasat, Mimbar Indonesia serta Star Weekly. Di Bandung ada Fikiran Rakjat. Di Semarang, terdapat Daulat Rakjat, Utusan Nasional, Tempo, Tanah Air dan Suara Merdeka. Di Yogyakarta, selain Kedaulatan Rakjat, juga terbit harian Hidup. Di Surabaya ada Harian Umum, Suara Rakjat dan Surabaya Post. Di Sumatera, koran-koran yang tergolong beroplah besar adalah Waspada dan Mimbar Umum, keduanya terbit di Medan.


PEMBERANGUSAN PERS


Dalam UUDS yang berlaku setelah UUD RIS tahun 1950 dibatalkan, terdapat satu pasal yang menyatakan "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat" (Pasal 19). Tetapi, pasal-pasal dalam  hukum pidana (KUHP) mengenai tindak pidana pers dan Persbreidel Ordonnantie tahun 1931 buatan Belanda masih tetap berlaku. Baru pada tahun 1954 Persbreidel Ordonnantie 1931 dicabut dengan keluarnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1954, mengingat peraturan Belanda tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 19 UUDS 1950. Begitu pun, pembreidelan pers dan penangkapan wartawan terjadi atas dasar pasal-pasal dalam Reglemen Staat van Oorlog en Beleg (SOB) peninggalan pemerintah kolonial Belanda.

Ketika pada bulan Agustus 1951 pemerintahan kabinet Sukiman melancarkan razia terhadap orang-orang PKI, sejumlah koran-koran komunis dan golongan kiri lainnya diberangus dan wartawan-wartawan mereka ditahan. Menyusul pencabutan Persbreidel Ordonnantie pada tahun 1954, serangan-serangan pers oposisi terhadap kebijakan pemerintah semakin meningkat. Salah satu surat kabar yang terkenal waktu itu adalah Indonesia Raja, karena memuat berita-berita skandal, pertentangan politik mau pun penyelewengan dana. Tatkala panglima militer Sumatera Barat menyingkirkan pemerintahan sipil daerah tersebut pada tanggal 20 Desember 1956, Indonesia Raja adalah harian pertama yang menyiarkan beritanya, tetapi menyusul itu pemimpin redaksinya, Mochtar Lubis, ditahan penguasa militer. Pihak pemerintah mendasarkan tindakan pemberangusan tersebut pada undang-undang darurat perang yang berlaku sejak 14 Maret 1957 di seluruh wilayah Indonesia.

Pada tahun 1957 itu di Jakarta terjadi 20 kali tindakan pemberangusan pers, sementara di luar Jakarta terjadi 11 tindakan pemberangusan. Pada tahun berikutnya, jumlah pemberangusan surat kabar tetap tinggi, bahkan mencapai 40 kasus pembreidelan/penindakan terhadap pers di berbagai kota di Indonesia. Pada tahun 1958 tercatat pula tewasnya dua wartawan harian Haluan Padang dan peristiwa penggeranatan oleh orang-orang tidak dikenal terhadap percetakan harian Patriot di Medan. Pada tahun berikutnya sebanyak 15 penerbitan pers di Jakarta dan enam di berbagai kota lainnya mengalami pemberangusan oleh Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) selaku pelaksana keamanan dan ketertiban. Kantor berita Antara dan Persbiro Indonesia (PIA), eks kantor berita Aneta, juga termasuk yang pernah diberangus.

Pada saat ini, selain menutup koran-koran milik Belanda, pemerintah telah menetapkan larangan terhadap penerbitan surat kabar beraksara Cina dan setelah itu hanya mengizinkan terbitnya sebelas koran milik Cina. Beberapa koran milik Cina itu telah pula diwajibkan mengganti nama, seperti Sin Po (menjadi Pantjawarta) dan Keng Po (Pos Indonesia). Berikutnya, sejak tanggal 1 Oktober 1958, pemerintah menetapkan beberapa ketentuan tentang penerbitan pers, seperti keharusan mempunyai izin terbit, dan membatasi jumlah halaman dan volume iklan dalam pers. Ketentuan ini ternyata membantu peningkatan ekonomi beberapa surat kabar milik pribumi seperti Suluh Indonesia dan Berita Indonesia, khususnya di sektor periklanan, yang waktu itu praktis merupakan monopoli Sin Po dan Keng Po.

Atas alasan kepentingan nasional pada umumnya, persatuan-kesatuan bangsa khususnya, yang semakin terancam oleh pemberitaan sensasional dan agitasi dalam pers, oleh pertentangan di antara partai-partai dan pendukungnya, serta oleh gerakan-gerakan di daerah yang menentang pemerintah pusat, maka pemerintah di Jakarta menempuh pendekatan keamanan (kekuasaan militer) guna menanggulangi krisis nasional yang makin tajam. Pada waktu itu, suasana dan kondisi politik liberalisme ternyata telah memberi peluang bagi golongan kanan mau pun kiri, PKI khususnya, untuk meluaskan kampanye memenangkan  tujuan-tujuan politik mereka. Penilaian ini pula, terutama perkiraan bahwa PKI akan meraih keunggulan suara pemilih,  melatarbelakangi keputusan pemerintah menunda pemilihan umum tahun 1959. Puncak kemelut yang menuntut langkah tegas dari pemerintah terjadi seputar sidang Konstituante. Dewan hasil pemilihan umum tahun 1955 ini,  yang bertugas untuk merumuskan undang-undang dasar baru,  terus menerus menemui jalan buntu, bahkan mengancam keberadaan dasar negara Pancasila. Maka, dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno memberlakukan kembali UUD 1945 dan membubarkan konstituante.


MANIPOLISASI DAN NASAKOMISASI


Dengan berlakunya  UUD 1945, pimpinan pemerintah pusat kembali berada di tangan presiden. Dekrit Presiden 5 Juli merupakan lonceng kematian liberalisme dan sistem parlementer di Indonesia. Pada masa itu perjuangan membebaskan Irian Barat dari penjajah Belanda meningkat dengan diawali pemutusan hubungan diplomatik Indonesia dengan Belanda pada 17 Agustus 1960. Setahun kemudian presiden menetapkan Tri Komando Rakjat (Trikora) sebagai pencanangan konfrontasi militer terhadap Belanda di Irian Barat. Saat itu Belanda sedang menyiapkan berdirinya suatu negara boneka Papua. Sikap tegas pemerintah dan rakyat Indonesia, dibarengi dukungan internasional, berhasil memaksa Belanda untuk mengakhiri penjajahannya atas wilayah tersebut pada bulan Agustus 1962.

Di lain pihak, kebijakan pemerintah di bidang politik dalam negeri menimbulkan konflik-konflik tajam. Umpamanya, langkah presiden untuk menciptakan dominasi tiga aliran kekuatan politik, yaitu Nasionalisme, Komunisme dan Agama (disingkat Nasakom), dalam lembaga-lembaga negara dan organisasi-organisasi masyarakat. MPRS, DPRS, DPA dan Front Nasional secara politis-psikologis berada di bawah pengaruh bahkan kendali ke tiga aliran tersebut. Namun, PKI menggunakan program Nasakomisasi untuk menuntut kursi dalam pemerintahan dan juga Nasakomisasi dalam angkatan bersenjata (ABRI). Selain itu, sebagai bagian dari `ofensif revolusioner', PKI bersama-sama organisasi pendukungnya menentang kebijakan-kebijakan tertentu pemerintah dan menyerang menteri-menteri yang mereka tolak, menggerakkan aksi-aksi sepihak di pedesaan (kini disebut konflik horisontal), menyudutkan golongan yang menentangnya, dan menuntut dibentuknya "angkatan ke-5" (massa memanggul senjata). Golongan ekstrim kiri PKI memperoleh kemenangan politis-psikologis dari sejumlah tindakan pemerintah terhadap pihak-pihak yang mereka serang.

Sejak pidato presiden pada peringatan 17 Agustus 1959 diberi nama Manifesto Politik (Manipol) dan ditetapkan sebagai Gari-garis Besar Haluan Negara, kehidupan politik nasional berjalan mengikuti pola Demokrasi Terpimpin. Dalam kerangka itu, pers nasional diarahkan untuk menjadi "pers terpimpin" dan "pers Manipol". Landasan hukum Manipolisasi pers nasional adalah Lampiran A, Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Ketetapan tersebut menggariskan bahwa media massa harus diarahkan untuk mendorong aksi massa revolusioner di seluruh Indonesia. Rakyat harus didorong untuk memiliki keyakinan yang teguh tentang Sosialisme Indonesia, sehingga dukungan bagi kelangsungan revolusi dan peranannya dalam pembangunan nasional dapat terwujud. Menurut ketetapan tersebut selanjutnya, semua media komunikasi massa seperti pers, radio, film, dan sebagainya (kala itu belum ada televisi dan Internet) harus digerakkan sebagai satu kesatuan terpadu secara terpimpin, berrencana dan terus menerus, ke arah kesadaran mengenai Sosialisme Indonesia dan Pancasila. Dalam upaya me-Manipol-kan pers menuju pers sosialis, pemerintah akan membantu dalam pengadaan fasilitas, latihan, kertas koran, pendidikan, dan lain-lain. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan untuk mencapai "pers terpimpin", "pers Manipol" dan "pers sosialis" tersebut antara lain adalah:

- Peraturan Peperti No. 3/1960 yang melarang penerbitan pers dalam
  aksara asing, terutama Cina. Peraturan ini kemudian diubah sehingga
  dua koran Cina mendapat izin terbit, masing-masing Huo Chi Pao (Api
  Revolusi) dan Che Chi Pao (Obor Revolusi)

- Peraturan Peperti No.10/1960 tentang keharusan bagi penerbit pers
  untuk memperoleh izin terbit. Ketentuan ini mencantumkan sejumlah
  prinsip yang harus dipenuhi oleh pers, antara lain mendukung Manipol.
  Penerbit dan pemimpin redaksi juga diwajibkan menandatangani
  pernyataan berisi 19 pasal.

Pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah menetapkan ketentuan-ketentuan tambahan yang harus dipenuhi oleh pers. Antara lain, peraturan Peperti No.1/1961 yang menetapkan percetakan-percetakan pers sebagai alat untuk menyebarluaskan Manipol dan Dekrit Presiden No.6/1963, dikeluarkan setelah hukum darurat pers dicabut, yang menekankan tugas pers untuk mendukung Demokrasi Terpimpin. Berdasarkan dekrit itu, penerbit pers harus tetap memperoleh izin terbit dari pemerintah, dalam hal ini menteri penerangan. Karena diwajibkan meminta izin terbit, koran Masyumi Abadi menghentikan penerbitannya. Sebelumnya, partai Masyumi sendiri, juga PSI, telah dilarang oleh pemerintah. Harian Pedoman dan Nusantara, yang memenuhi kewajiban memperoleh izin terbit itu, tidak lama kemudian juga ditutup oleh pemerintah. Setelah itu, menyusul penerbitan Pos Indonesia, Star Weekly dan sejumlah lainnya.


OFENSIF PKI

PKI dan organisasi-organisasi penyokongnya meningkatkan "ofensif revolusioner" mereka sejak berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Meluasnya gerakan propaganda dan agitasi serta aksi-aksi sepihak mereka terlihat dalam tindakan-tindakan pihak keamanan terhadap kelompok tersebut. Pada tahun 1960, dari 22 surat kabar yang diberangus pemerintah, terompet PKI Harian Rakjat termasuk paling sering dilarang terbit. Pihak PKI menggunakan berbagai isu dalam melancarkan aksi-aksi mereka, termasuk menyerang pemerintah dengan berbagai alasan pada setiap kesempatan. Pada akhir 1960, sejumlah gembong mereka di Jakarta diperiksa oleh aparat militer, sementara di beberapa daerah seperti Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan, panglima militer setempat melarang semua kegiatan PKI dan menahan sejumlah pemimpin partai tersebut. Selain melancarkan sejumlah aksi massa  di kota-kota, PKI juga melancarkan "ofensif revolusioner" di desa-desa, dikenal dengan istilah aksi-sepihak. Dengan dalih memerangi "tujuh setan desa", anggota Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi massa dalam kubu PKI, menggelar aksi-aksi sepihak di sejumlah tempat di Jawa, Bali dan Sumatera. Ketika aksi-aksi tersebut mendapat perlawanan rakyat dan ABRI, terjadi bentrokan fisik yang menelan korban jiwa.

Dukungan PKI terhadap politik radikal Sukarno, yang memperoleh gelar baru "pemimpin besar revolusi", membuatnya semakin dekat dengan presiden. Kampanye menentang Belanda di Irian Barat dan ketegangan yang meruncing dengan Amerika Serikat dan sejumlah negara-negara Barat, disusul pencanangan politik konfrontasi terhadap Federasi Malaysia oleh presiden, telah dimanfaatkan secara optimal oleh pihak PKI guna meningkatkan pengaruhnya. Mereka melancarkan aksi-aksi anti-Amerika, seperti demonstrasi menolak Peace Corps (program bantuan AS di negara-negara berkembang) dan film-film Hollywood. Organ-organ partai PKI dan pendukungnya, seperti Harian Rakjat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti di Jakarta, Terompet Masjarakat di Surabaya, Harian Harapan dan Gotong Rojong di Medan, dan koran-koran sekutu mereka di sejumlah kota lainnya, diarahkan untuk mempertajam pertentangan-pertentangan di dalam negeri.

Dengan sendirinya ofensif PKI tersebut memancing perlawanan dari kelompok pers anti-PKI. Konflik-konflik yang berkembang berkisar pada pro-kontra Manifes Kebudayaan yang diumumkan oleh sejumlah sastrawan dan seniman (dituduh kanan), aksi boikot terhadap film-film Hollywood, dan pro-kontra penyederhanaan partai (ditolak oleh PKI) yang diusulkan presiden. Manifes Kebudayaan dilarang Presiden Sukarno pada tanggal 8 Mei 1964 setelah organisasi kebudayaan PKI, Lekra, dan organisasi sejenis dalam kubu PNI, Lembaga Kebudayaan Nasional, menentangnya secara gigih. Pertentangan berikutnya menyangkut Panitia Aksi Boikot Film Amerika (PABFIAS), badan yang dibentuk oleh Front Nasional tetapi praktis ditunggangi oleh PKI. Aksi-aksi PABFIAS mempertajam konflik antara kelompok koran-koran PKI dan pers anti-PKI. Kasus PABFIAS memicu polemik khusus pula antara harian-harian Duta Masjarakat, Sinar Harapan, Merdeka dan lain-lain di satu pihak, melawan Harian Rakjat, Bintang Timur, Suluh Indonesia, Warta Bhakti dan sebagainya di lain pihak. Sementara itu, terjadi pula polemik antara Berita Indonesia dan Merdeka kontra Harian Rakjat dan lain-lain mengenai pro-kontra penyederhanaan partai.

Golongan PKI telah berhasil menguasai PWI, SPS dan kantor berita Antara setelah pemerintah menutup sejumlah koran anti-PKI yang bergabung dalam gerakan Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS). Kubu PKI memperbesar kekuatannya dengan menerbitkan koran-koran baru. Situasi yang makin mencemaskan mendorong wartawan-wartawan senior seperti Adam Malik, B.M. Diah, Sumantoro, dengan dibantu wartawan-wartawan muda Jakarta seperti Asnawi Idris, Harmoko (menteri penerangan 1983), Zulharmans, Junus Lubis dan lain-lain, untuk mendirikan BPS di lingkungan pers, radio dan televisi sebagai wadah perlawanan terhadap ofensif PKI di bidang media massa. BPS dibentuk di Jakarta pada 1 September 1964  dengan Adam Malik sebagai ketua, Diah sebagai wakil ketua dan Sumantoro sebagai ketua harian. Waktu itu Malik adalah menteri dalam kabinet Sukarno, sementara Diah menjabat duta besar RI di Thailand. Pengurus BPS lainnya di Jakarta adalah Hiswara Dharmaputra (Merdeka), Junus Lubis (Warta Berita), Asnawi Idris (Merdeka), Sunaryo (Antara), Mufti AS (Garuda), Hidayat Rahardjo (Revolusioner), W. Umbas (Berita Republik), Sjamsul Basri (Karyawan), J.C.T. Simorangkir (Sinar Harapan), J.K. Tumakaka (Pelopor), Gusti  Mayur (Mimbar Indonesia), Sjamsuddin Lubis (Selekta) dan Sudjarwo (RRI). Tercatat sebagai anggota antara lain Sayuti Melik, Zein Effendi SH, Sugiarso, Wienaktu.

Pendukung BPS di luar Jakarta adalah Waspada, Mimbar Umum, Indonesia Baru, mingguan-mingguan Mimbar Teruna, Mingguan Film, Suluh Massa, Resopim, Duta Minggu, Genta Revolusi, Siaran Minggu, dan Waspada Teruna, semuanya terbit di Medan. Pengurus BPS Medan adalah Tribuana Said sebagai ketua, Arif Lubis, Arshad Yahya, dan lain-lain. BPS juga mendapat dukungan dari wartawan-wartawan anti-PKI  di Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan Bandung.

Lawan-lawan BPS adalah koran-koran PKI, PNI dan pendukungnya seperti Harian Rakjat, Bintang Timur, Suluh Indonesia, Warta Bhakti, Ekonomi Nasional di Jakarta, Terompet Masjarakat dan Djawa Timur di Surabaya, Harian Harapan, Gotong Rojong dan Bendera Revolusi di Medan. Koran-koran BPS memperoleh dukungan luas dari sejumlah organisasi politik dan masyarakat, tetapi pada 17 Desember 1964 Presiden Sukarno membubarkan BPS di seluruh Indonesia. Keputusan itu disambut gembira oleh kubu PKI. Dengan cepat PWI yang telah mereka kuasai memecat semua wartawan BPS anggota PWI. Menyusul tindakan pemecatan massal itu, pada tanggal 23 Februari 1965  pemerintah memutuskan pembreidelan seluruh pers BPS. Salah satu harian yang dicabut izin terbitnya adalah Berita Indonesia. Pada 9 Februari, harian ini telah dialihkan menjadi Berita Yudha dengan Brigjen Ibnusubroto sebaga pemimpin umum dan Brigjen Nawawi Alif sebagai pemimpin redaksi. Setelah presiden memberangus koran-koran BPS, ABRI menerbitkan satu harian baru bernama Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Brigjen R.H. Sugandhi dan Letkol Yusuf Sirath.

Pada 25 Maret 1965, lebih satu bulan setelah pembreidelan pers BPS, pemerintah melalui Departemen Penerangan mengeluarkan peraturan baru lagi yang mewajibkan semua surat kabar mempunyai gandulan atau berafiliasi kepada partai politik atau organisasi massa, sehingga gambaran pers pada masa Demokrasi Terpimpin menjadi sebagai berikut:

- Suluh Indonesia (harian PNI) mempunyai delapan afiliasi di beberapa
  kota
- Duta Masjarakat (NU) dengan tujuh afiliasi
- Harian Rakjat (PKI) dengan 14 afiliasi
- Api Pantjasila (IPKI) dengan tiga afiliasi
- Sinar Bhakti (Partai Katolik) dengan empat afiliasi (tidak terbit)
- Fadjar Baru (Perti) dengan satu afiliasi.

Parkindo tidak memiliki harian resmi tetapi dua surat kabar berafiliasi padanya. Muhammadiyah menerbitkan harian bernama Mertjusuar. Di Jakarta waktu itu juga terbit harian-harian seperti Bintang Timur, Kompas dan Sinar Harapan.

Pada pertengahan tahun 1965, dengan dukungan  pemerintah Republik Rakyat Cina waktu itu, PKI makin meningkatkan kampanyenya untuk menuntut Nasakomisasi ABRI dan untuk menciptakan "Angkatan ke-5". Sementara itu, pada bulan Agustus terjadi perpecahan besar dalam tubuh PNI antara kubu Ali Sastroamidjojo-Surachman dengan kubu Hardi-Hadisubeno. Pada 27 September 1965, Panglimana Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani mengeluarkan pernyataan menolak Nasakomisasi ABRI dan menentang pembentukan "Angkatan Ke-5". Pada tanggal 30 September, PKI melancarkan pemberontakan bersenjata dengan apa yang dinamakan Gerakan 30 September (G30S) dan dikemudikan dewan yang diketuai Letnan Kolonel Untung, seorang komandan pasukan pengawal presiden. G30S membunuh Yani dan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat.


V. 32 TAHUN ORDE BARU  

PERS INDONESIA MINUS ORGAN PKI

Regulasi pers dan serangkaian pemberangusan surat kabar yang terjadi di era Demokrasi Terpimpin mencerminkan dominasi lembaga eksekutif yang meningkat tajam dalam penyelenggaraan negara. Selain pers, korban lainnya adalah partai-partai politik dan organisasi-organisasi masyarakat. Untuk mengukuhkan dominasinya, aparat eksekutif membatasi kebebasan tokoh-tokoh kritis dan oposisi. Langkah ini tidak mengakhiri pertentangan antara kelompok-kelompok politik yang bersaing. PKI dan para pendukungnya  terus melancarkan `ofensif revolusioner' mereka, sedangkan perlawanan dari kubu BPS makin meluas.

Situasi politik nasional sejak Oktober 1965 berbalik dengan dilancarkannya operasi penumpasan G30S/PKI. PKI dan seluruh organisasi pendukungnya dibubarkan dan dilarang. Pers PKI dan sekutunya ditutup, antara lain Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta Bhakti, Kebudayaan Baru, Ekonomi Nasional, Warta Bandung, Djalan Rakyat, Trompet Masjarakat, Djawa Timur, Harian Harapan, Gotong Rojong dan sebagainya. Koran-koran organ partai PNI yang ditutup antara lain Suluh Indonesia, Berita Minggu, Bendera Revolusi, Patriot. Seluruhnya tercatat sebanyak 46 koran yang dilarang terbit. PWI dan SPS dibersihkan dari unsur-unsur PKI dan sekutunya. Wartawan-wartawan yang dipecat berjumlah lebih 300 orang.

Pimpinan negara beralih dari Presiden Sukarno ke Jenderal Soeharto. Setelah Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967, pemerintah Orde Baru mencanangkan program pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 `secara murni dan konsekuen'. Pemilihan umum dan pemilihan presiden serta wakil presiden dilangsungkan tiap lima tahun. Tidak saja pembaruan MPR/DPR dan lembaga-lembaga supra-struktur lainnya, juga jajaran partai-partai dan lembaga-lembaga masyarakat menjalani perombakan, seperti penyederhanaan partai-partai/organisasi-organisasi politik, penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas, pembangunan hukum dan perundang-undangan, disiplin anggaran, reformasi perpajakan, dan sebagainya. Pemerintah membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengkoordinasikan operasi penumpasan PKI khususnya dan mengendalikan kehidupan politik dan pers pada umumnya.

Dengan membeli mesin-mesin cetak impor mutakhir untuk meningkatkan sirkulasi, pers nasional pun mulai membenah diri. Dibukanya pintu bagi investasi asing mendorong persaingan pasar, dan ini menunjang periklanan pers. Tetapi, hubungan pers-pemerintah dilanda konflik mendasar. Sementara kedua pihak sepakat untuk membangun sistem Pers Pancasila, dengan menggunakan konsep jurnalistik pembangunan, mengembangkan hubungan kemitraan pers-pemerintah-masyarakat, dan lain-lain, kebebasan pers semakin dibatasi dan tindakan pemberangusan berlanjut.

Pada awalnya hubungan pers (tanpa koran-koran PKI) dengan pemerintah Orde Baru berjalan normal, meski sistem lisensi pers tetap diberlakukan.  Pada 1 Oktober 1965, Panglima Daerah Militer Jakarta Raya, Jenderal Umar Wirahadikusumah, mengizinkan dua harian ABRI untuk meneruskan penerbitannya, yaitu harian Berita Yudha pimpinan Kepala Pusat Penerangan AD Ibnusubroto bersama wartawan asal harian Berita Indonesia dipimpin S.H. Wibowo dan Angkatan Bersenjata yang dipimpin Kepala Pusat Penerangan ABRI Sugandhi. Polisi dikerahkan mengawal tempat ke dua surat kabar dicetak. Koran-koran lain harus memperoleh izin terbit dari pemerintah, seperti harian Duta Masyarakat pimpinan H. Mahbub Djunaidi dan Duta Revolusi (keduanya media NU), Kompas pimpinan PK Ojong dan Jakob Oetama (didukung Partai Katolik), dan Sinar Harapan pimpinan JCT Simorangkir, H.G. Rorimpandey, dll. (didukung Parkindo). Para wartawan harian Merdeka memperoleh izin menerbitkan surat kabar API dengan berafiliasi pada partai IPKI (tetapi akhir November 1965 Departemen Penerangan mencabut izin terbitnya). Nama-nama yang tercantum sebagai pengasuh API antara lain Sukendro, Ali Siregar (keduanya pejabat militer) H.Surio, Wienaktu, Harmoko, Sumantri Mertodipuro, Tahar. Harian-harian baru antara lain adalah Harian Kami pimpinan Nono Anwar Makarim dan Zulharmans, Karya Bakti pimpinan Syech Marhaban. Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI) yang baru juga mulai berkiprah. Merdeka pimpinan B.M. Diah, Indonesian Observer pimpinan Herawati Diah, Soetomo Satiman dan Tribuana Said dan Berita Indonesia pimpinan Soemantoro diterbitkan kembali, ditambah koran-koran baru seperti Suluh Marhaen pimpinan Manai Sophiaan, harian Berita Djajakarta, Operasi pimpinan Bachtiar Djamily, mingguan Populer pimpinan T. Yousli Syah yang kemudian menerbitkan harian Media Indonesia (terakhir dipimpin Surya Paloh).

Di Surabaya, terbit lagi harian-harian Surabaya Post pimpinan A. Azis, Djawa Post pimpinan S. Tedjo, Suara Rakyat pimpinan Suprapto. Di Ujung Pandang tercatat surat kabar Pedoman Rakyat pimpinan L.E. Manuhua,  di Semarang terbit kembali Suara Merdeka pimpinan Hetami, di Yogyakarta Kedaulatan Rakyat pimpinan Samawi dan M. Wonohito (sebelumnya sempat bernama Dwikora). Di Medan, penerbit Waspada mendirikan Harian Kesatuan pimpinan Ani Idrus sebelum kembali menerbitkan Waspada. Juga terbit Mimbar Umum pimpinan Arif Lubis dan koran baru Proklamasi pimpinan T.D. Pardede. Di Bandung, Sakti Alamsjah dan Atang Ruswita menerbitkan kembali Pikiran Rakyat. Ini adalah sebagian kecil dari penerbitan pers yang tumbuh antara 1966 dan 1982. Pada tahun 1966 terdaftar sebanyak 130 penerbitan pers. Pada tahun 1982 jumlah harian turun menjadi 95, sedangkan yang mampu terbit sesuai ketentuan perizinan hanya 51 harian. Menjelang akhir Orde Baru terdaftar sebanyak 71 harian.


PEMBATASAN KEBEBASAN PERS


Landasan perundang-undangan pers masa Orde Baru adalah Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers. Pasal 2 Ketetapan MPRS tersebut  mengaitkan kebebasan pers dengan keharusan adanya pertanggung jawaban kepada:

a. Ketuhanan Jang Maha Esa
b. Kepentingan rakjat dan keselamatan negara
c. Kelangsungan dan penyelesaian revolusi hingga
    terwujudnya tiga segi kerangka tujuan revolusi (jargon
    politik dari era Presiden Sukarno)
d. Moral dan tata susila
e. Kepribadian bangsa.
  
Ditetapkan pula bahwa "kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menjatakan serta menegakkan kebenaran dan keadilan dan bukan kebebasan dalam pengertian liberalisme".

Kemudian, pada 12 Desember 1966, dengan persetujuan DPR, pemerintah memberlakukan Undang-undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Pada tanggal 20 Septemebr 1982, pemerintah bersama DPR menyetujui undang-undang baru untuk pers, yang lengkapnya berjudul Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967. Perubahan yang dimaksud dalam UU No.4/1967 adalah pencabutan Penetapan Presiden No.4 Tahun 1963 yang membatasi kebebasan pers, sehingga dinilai  bertentangan dengan UU No.11/1966, khususnya terhadap ketentuan bahwa pers mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif (Pasal 3) dan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan (Pasal 4). Berlakunya UU No.4/1967 dengan maksud menghilangkan ancama pembreidelan persadalah sejalan dengan tuntutan PWI (lihat Laporan Pengurus Pusat PWI dalam Kongres ke-13 PWI di Banjarmasin, 17-21 Juni 1968).

Sejak pemilihan umum tahun 1971, pembinaan kehidupan pers mengacu pada Ketetapan MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengenai penerangan, komunikasi dan media massa. TAP MPR tersebut juga berlaku bagi media siaran, seperti radio dan televisi serta perfilman. Lebih jauh, penyelenggaraan radio dan televisi antara lain mengacu pada sistem perizinan yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi. Khusus di bidang perfilman, pemerintah bersama DPR mengundangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.

Tidak dapat disangkal bahwa pemasungan terhadap kebebasan pers yang terjadi di masa pemerintahan Presiden Soekarno juga berlangsung di masa Orde Baru. Padahal, UU Pers No.11/1966 menegaskan terhadap pers tidak dikenakan sensor dan pembreidelan. Namun, ancaman terhadap kebebasan pers, bahkan tindakan pemberangusan oleh pemerintah, dimungkinkan oleh Peraturan Menteri Penerangan No. 03/Per/Menpen/1969. Pasal 7 Permenpen tersebut menyatakan, surat izin terbit (SIT) dapat dicabut sebagai akibat dari larangan terbit terhadap penerbitan pers berdasarkan alasan-alasan bertolak dari ajaran komunisme-Marxisme-Leninisme, cenderung kepada pornofgrafi, sadisme, dan bertentangan dengan Pancasila. Dengan Permenpen tersebut, pemerintah juga dapat mengambil tindakan preventif. Pasal 16 berbunyi: Penerbitan pers yang tidak mempunyai SIT dari Menteri Penerangan dikenakan larangan terbit yang meliputi larangan menerbitkan, larangan mencetak dan larangan mengedarkan.

Karena menghapus lembaga SIT, pihak pers menyambut gembira lahirnya UU No.21/1982. Meski keharusan mempunyai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang termaktub dalam UU No.21/1982 masih mencerminkan sistem lisensi pers, hal mana bertentangan dengan kriteria pers bebas, penghapusan SIT ditafsirkan sama dengan meniadakan larangan terbit. Kenyataan menjadi lain tatkala pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 01/Per/Menpen/1984. Pasal 33 Permenpen tersebut menyatakan SIUPP dapat dibatalkan. Jadi, pers tetap dibayangi ancaman represi pemerintah, efek pembatalan SIUPP sama dengan pencabutan SIT. Berbagai kritik terhadap peraturan tersebut tidak digubris (Dalam pernyataannya tahun 1986, Prof. Oemar Senoadji menegaskan, SIUPP tidak dapat digunakan sebagai sarana untuk menjatuhkan pembreidelan terhadap pers).

Korban pembreidelan  di awal Orde Baru adalah enam penerbitan Jakarta pada tahun 1971 dengan dalih pornografi dan politik. Harian Sinar Harapan dilarang terbit beberapa hari pada tahun 1972. Pada tahun itu juga lagi sembilan penerbitan dilarang terbit atas alasan pornografi dan penyiaran kode judi. Awal 1974, terjadi pembatalan izin terbit massal yang menimpa harian Nusantara pimpinan Tengku Dzulkifli Hafas, Abadi di bawah pemimpin redaksi Soemarso Soemarsono, Harian Kami, Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis, The Jakarta Times pimpinan Zein Effendi, Pedoman pimpinan Rosihan Anwar, mingguan Wenang dan Pemuda Indonesia dan majalah berita Ekspres (semuanya terbit di Jakarta), Suluh Berita (Surabaya), Mahasiswa Indonesia (Jakarta) serta Indonesia Pos (Ujung Pandang). Media tersebut diberangus karena pemberitaan mereka yang tidak menyenangkan penguasa mengenai peristiwa unjuk rasa anti-pemerintah oleh mahasiswa pada bulan Januari tahun itu. Di samping itu, pemerintah menahan Mochtar Lubis dan wakil pemimpin redaksi Indonesia Raya Enggak Bahau'ddin dan  Soemarso Soemarsono. Wartawan lain yang pernah ditahan beberapa tahun kemudian adalah  Syahrir Wahab dan Mansur Amin. Pengadilan T. Hafas oleh pemerintah atas tuduhan `menyebar kebencian' adalah kasus pers yang menonjol di awal masa Orde Baru.

Catatan tentang kasus-kasus pembreidelan lainnya adalah sebagai berikut:

- Harian Berita Buana pimpinan Soekarno Hadi Wibowo,
  November 1974

- Harian Waktu dan mingguan Dunia Film, serta mingguan
  Gaya, Juli 1976

- Harian Sinar Indonesia Baru pimpinan G.M. Panggabean,
  Agustus 1976

- Majalah Topik, edisi No. 14-15 tahun 1976

- Harian-harian Kompas, Merdeka di bawah pimpinan
  redaksi Tribuana Said, Sinar Harapan dengan pemimpin
  redaksi Subagyo Pr,  Pelita dengan pemimpin redaksi
  H.M. Said Budairy, Pos Sore dengan pemimpin redaksi
  H.S. Abiyasa, The  Indonesia Times dengan pemimpin
  redaksi R.P. Hendro, dan  Sinar Pagi di  bawah pimpinan
  redaksi Charly T. Siahaan, Januari 1978.
  Koran-koran tersebut   diberangus Kopkamtib selama dua
  minggu.
  Juga ditutup adalah sejumlah penerbitan kampus, seperti
  Salemba dan Tridharma (Jakarta), Kampus, Integritas
  dan Berita ITB (Bandung), Muhibah (Yogyakarta) serta
  Aspirasi (Palembang).

- Majalah berita Matahari, Juni 1979

- Penerbitan kampus Salemba kembali dibreidel Mei 1980

- Majalah Tempo pimpinan Gunawan Mohamad, April-Juni
  1982


- Majalah Topik pimpinan Supeno Soemardjo, Februari
  1984

- Majalah Fokus, Mei 1984

- Harian Sinar Harapan di bawah pemimpin redaksi
  Aristides Katopo, Oktober 1986.  Pada tahun ini pula
  pemerintah mengeluarkan peringatan keras kepada
  harian   Suara Merdeka (Semarang), Waspada pimpinan
  Ani Idrus, Analisa di bawah pemimpin redaksi Soffyan dan
  Sinar Indonesia Baru (Medan)

- Harian Prioritas, Juni 1987 (Tahun 1992, sebagai
  pemimpin Prioritas, Surya Paloh menggugat tindakan
  pemberangusan tersebut ke Mahkamah Agung)

- Mingguan tabloid Monitor, Oktober 1990. Pemimpin redaksinya,
  Arswendo Atmowiloto, kemudian diadili dan dijatuhi
  hukuman lima tahun penjara.


Konflik pers-pemerintah beberapa tahun setelah Presiden Soeharto berkisar tuduhan korupsi terhadap segelintir penguasa. Pemberitaan pers tentang aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa juga menjengkelkan penguasa. Tindakan-tindakan represi yang ditempuh pemerintah berlangsung sepanjang dasawarsa 1980-an dan  dasawarsa berikutnya. Pemasungan politik yang terjadi tidak mencegah maraknya tuduhan korupsi, kroniisme dan nepotisme terhadap pemerintah yang melibatkan sejumlah pengusaha-pengusaha kakap (konglomerat). Kegiatan bisnis beberapa putra-putri presiden yang semakin menyolok menambah parah suasana konflik. Para pakar mensinyalir menajamnya konflik di dalam tubuh militer sejak awal 1990-an. Dalam satu seminar di Yogyakarta Februari 1993, pakar politik Amir Santoso mencatat meluasnya kritik  masyarakat terhadap aktivitas bisnis beberapa pejabat militer.

Meski pemerintah tidak mengulangi pemberangusan massal gaya tahun 1974 dan 1978, tekanan terhadap wartawan media cetak dengan cara pemanggilan atau melalui tilpon (`budaya tilpon') digunakan pihak pemerintah secara konsisten tiap kali  pemberitaan pers secara sepihak dinilai negatif terhadap pejabat atau bernada oposisi terhadap pemerintah. Media televisi swasta seperti RCTI, SCTV, Anteve, Televisi Pendidikan Indonesia, dan Indosiar diwajibkan merelay siaran berita dari TVRI, lembaga penyiaran negara yang dikuasai pemerintah. Begitu pula, radio-radio swasta dikenakan wajib relay siaran berita RRI. Semua media siaran swasta dilarang membuat liputan berita sendiri. Pada saat-saat tertentu pemerintah mengeluarkan peringatan keras secara umum kepada pers dalam pertemuan tertutup dengan sejumlah pemimpin redaksi. Di samping menghargai peran pers sebagai pers perjuangan dan pers pembangunan, Presiden Soeharto juga tidak lupa memperingatkan wartawan untuk menahan diri (atau sensor diri) dalam tiap upacara memperingati Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari sejak tahun 1985. Tekanan-tekanan dari pemerintah tersebut juga disalurkan melalui sidang-sidang Dewan Pers yang dipimpin menteri penerangan dan melalui Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Di lain pihak, pihak pers dengan dimotori PWI menggelar upaya-upaya untuk mengembangkan konsep pers Pancasila guna membedakan pers masa Orde Baru dengan pers Manipol sebelumnya. Namun, upaya-upaya tersebut menghadapi banyak kendala.

Tekanan, bahkan ancaman, terhadap pers di masa Presiden Soeharto  mengakibatkan tumbuhnya praktik-praktik penyampaian informasi dan kritik oleh pers secara terselubung dan  eufemistik. Pasalnya, pers mengutamakan terhindar dari hukuman fatal berupa pembreidelan oleh pemerintah. Praktik-praktik ini  terutama ditempuh oleh  perusahaan-perusahaan pers yang sudah maju sebagai industri. Akibatnya, pers tidak berhasil mengimbangi kemajuannya sebagai badan usaha dengan kewajibannya  sebagai pengemban hak kontrol, hak kritik dan hak koreksinya terhadap penyelenggaraan negara, baik oleh jajaran eksekutif,  lembaga legislatif mau pun yudikatif, juga terhadap berbagai kegiatan dalam masyarakat luas. Tidak ada lagi  ekspose atau advokasi dini untuk mengatasi konflik atau krisis, sebelum berlarut-larut atau bertambah runyam.

Konflik  bersumber perbedaan agama merupakan salah satu ancaman laten. Kasus Monitor tahun 1990 menjadi contoh penting ketika sebagian aksi memprotes kesalahan penyelenggara tabloid tersebut melebar ke perusahaan grup. Tahun berikutnya terjadi peristiwa mengejutkan tentang penembakan para demonstran anti-pemerintah di Timtim yang banyak menelan korban tewas. Sebelumnya pers seakan percaya saja  kepada pernyataan pihak aparat bahwa gerombolan pengacau di provinsi itut telah dikucilkan dan tinggal beberapa puluh orang saja (jargon kala itu: situasi keamanan terkendali). Kendati Presiden Soeharto memerintahkan pengusutan dibarengi pemecatan dan pemutasian sejumlah perwira tinggi militer, insiden tersebut dan operasi berdarah terhadap beberapa aksi-aksi kekerasan di daerah-daerah lain menambah kecemasan yang berkembang di dalam negeri dan memancing pernyataan-pernyataan yang mendiskreditkan dari berbagai kalangan di luar negeri. Pemerintah dituding mempraktikkan pelanggaran hak azasi manusia. (Bersambung)



Sumber: PWI Pusat


Tidak ada komentar: