Jurnalisme dan Media Sosial

ilustrasi
Oleh Ignatius Haryanto

Betulkah media sosial akan membunuh jurnalisme? Ini salah satu pertanyaan yang tengah banyak dibahas di berbagai forum.

Paling tidak dalam bulan September ini saja ada tiga forum yang membicarakan kedua hal di atas. Rupa-rupanya banyak orang ingin makin mengerti dan mendalami hubungan kedua hal ini, mencoba melihat hubungan positif dan negatif antara jurnalisme dan media sosial.

Media sosial yang muncul belakangan ini—dalam rupa seperti Facebook, Twitter, dan Linkedin—memang mengubah panorama jurnalisme di Indonesia, terutama yang menyangkut proses pengumpulan berita, proses pembuatan berita, dan proses penyebaran berita.

Dalam proses pengumpulan berita, sudah menjadi umum sekarang ini jika ”status” yang ditunjukkan oleh para orang terpandang—ataupun orang yang biasa jadi narasumber—dalam aneka media sosial mereka bisa menjadi bahan, yang kemudian ditulis di media massa mainstream.


Sementara itu, aneka ”informasi” yang tersebar dalam jejaring media sosial juga kerap menjadi informasi yang kemudian disebarkan oleh media massa mainstream. Dalam hal ini, jurnalisme warga memiliki ruang untuk beritanya makin tersebar.

Sementara dalam proses pembuatan berita, kita sekarang pun melihat sudah menjadi sesuatu yang umum ketika media online yang menampilkan jurnalisme memberikan ruang komentar dari para pembacanya atas item berita yang mereka hasilkan.

Sementara itu, dalam proses penyebaran berita, kita melihat aneka tampilan media sosial dipergunakan, baik oleh media itu sendiri maupun para pembacanya, untuk meneruskan berita yang telah diproduksi. Di sini kita berhadapan dengan pembaca atau konsumen media yang memiliki perilaku senang berbagi dalam suasana media yang makin terkonvergensi ini (Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old and New Media Collide, 2006).

Banyak pihak melihat jurnalisme dan media sosial sebagai sesuatu yang sedang populer saat ini dan perlu terus dipromosikan. Namun, tidak semua orang melihat kedua hal ini sebagai sesuatu yang saling menguntungkan. Orang seperti Robert G Picard, misalnya, dalam artikelnya di Nieman Reports (Musim Gugur, 2009) justru mempertanyakan manfaat dari media sosial terhadap perusahaan media secara umum. ”Hanya karena teknologi itu populer untuk kalangan jurnalis dan penggunanya, itu bukan berarti penggunaan teknologi itu lalu menguntungkan perusahaan media secara keseluruhan”.

Picard adalah peneliti di Reuters Institute for the Study of Journalism di Universitas Oxford, Inggris, dan juga dikenal sebagai pakar masalah ekonomi media. Ia pun dikenal sebagai editor dari Journal of Media Business Studies serta penulis 23 buku soal ekonomi dan manajemen media.

Pertanyaan dasar Picard sangat beralasan. Hingga kini, belum ditemukan satu model bisnis yang cukup pas untuk mengintegrasikan media sosial dan jurnalisme ini. Artinya, apakah betul media yang menggunakan ”media sosial” itu telah menghasilkan keuntungan dari penggunaan teknologi media horizontal ini?

Lepas dari masalah ekonomi media yang perlu pengamatan lebih dalam dan lebih cermat, antara jurnalisme dan media sosial ini juga menghasilkan sejumlah tantangan ke depan, terutama terkait dengan kualitas jurnalisme di kemudian hari.

Ada banyak persoalan

Dalam era ketika penyedia informasi tidak datang hanya dari wartawan, tetapi juga dari orang-orang biasa saja, kita menemukan ada banyak sekali yang kita pertimbangkan sebagai ”informasi”. Terkadang, saking banyaknya, kita seperti menghadapi tsunami informasi dan kita harus bisa sintas untuk tidak diterjang luapan informasi yang ada tersebut.

Banyak contoh yang sudah kita temui di mana kita menemukan item informasi yang tersebar begitu saja, tanpa diverifikasi terlebih dahulu isinya sudah ikut kita sebarkan ke mana-mana. Mulai dari informasi pengobatan gratis, ritual keagamaan, informasi asal-muasal konflik (dalam kasus Ambon belakangan ini), dan lain-lain. Belakangan kita baru mengetahui bahwa itu adalah kabar bohong, yang akan merugikan orang-orang tertentu.

Pertanyaannya: apakah sikap kita yang mudah berbagi (informasi dalam hal ini) tidak sedang turut berpartisipasi pula dalam mengkreasi kecemasan massal ataupun kebohongan bersama? Padahal, sesungguhnya kita tidak cukup yakin apakah berita yang kita teruskan itu adalah berita yang akurat atau tidak.

Di sini unsur dasar dari jurnalisme dibutuhkan: verifikasi! Di sinilah peran wartawan tetap diperlukan. Wartawan harus bisa memverifikasi informasi sebelum tersebar luas, yang kemudian malah dapat menghasilkan kebingungan.

Belum lagi ketika suatu berita muncul dan mengabarkan tindak-tanduk seseorang yang buruk—apakah itu korupsi, menganiaya, dan lain-lain. Padahal, orang yang disebut dalam berita itu tidak serta-merta mendapat kesempatan untuk mengklarifikasi atau minimal menyampaikan apa yang jadi versi dia untuk masalah tersebut.

Namun, pada kenyataannya, kecepatan untuk melakukan verifikasi kalah cepat dengan tersebarnya informasi tersebut ke berbagai arah. Lalu, apakah koreksi atau imbangan informasi yang menyusul akan bisa mengalahkan kecepatan penyebaran berita terdahulu?

Pertanyaannya: apakah ini kondisi yang adil? Jika tidak, bagaimana jurnalisme masa kini menangani hal tersebut? Rasanya ini suatu pertanyaan yang yang tidak mudah dijawab.

Persoalan yang cukup mendasar di sini adalah seberapa banyak isi dari jurnalisme mengisi media sosial yang ada? Bagaimana membedakan jurnalisme dengan isi media yang lain seperti tips, gosip, hingga berita yang dikreasi untuk tujuan tertentu oleh pihak-pihak tertentu. Betulkah jurnalisme masih dominan dalam era media sosial seperti sekarang? Jika tidak, apa yang lalu akan kita lakukan: mensyukurinya atau membuat kita malah prihatin?

Masih ada banyak persoalan lain yang kita temui dalam melihat persoalan antara jurnalisme dan media sosial. Namun, ini memang suatu pertanda munculnya era baru dalam dunia media komunikasi, menantang kita untuk lebih mendalaminya, dan mencoba memahami serta kembali pada esensi utamanya: untuk apa komunikasi diciptakan? Untuk memudahkan manusia berhubungan dengan manusia lain, untuk lebih ”memanusiakan manusia”, atau malah menghasilkan dehumanisasi?

Ignatius Haryanto Direktur Eksekutif LSPP Jakarta

Sumber: Kompas.Com

Tidak ada komentar: