Pers Belum Kebablasan

Kebebasan pers di Indonesia sering kali dipersoalkan. Ada yang menilai bahwa pers di Indonesia telah kebablasan, dan terkesan tanpa rambu. Ada juga yang menilai bahwa pers menolak kontrol hukum dan mengabaikan budaya masyarakat. Karena itu, mereka menilai kebebasan pers hanya menguntungkan komunitas pers. Pers leluasa mengeksploitasi kebebasan tapi lalai menyuarakan kepentingan masyarakat. Ujungnya, ada desakan merevisi UU Pers Nomor 40 tahun 1999.

Untuk mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat terhadap kebebasan pers, pada awal April 2008 lalu, Dewan Pers melakukan survei dengan metode wawancara jarak jauh. Survei mencakup 305 reponden yang meliputi enam kota yakni Jakarta, Makassar, Medan, Pontianak, Jayapura, dan Surabaya. Apa hasilnya, dan kesimpulan apa yang ditarik dari survei tersebut? Berikut, perbincangan Budi Kurniawan dari KBR 68H dan anggota Dewan Pers Bekti Nugroho dengan anggota Dewan Pers Satria Narada:

Apa maksud dan tujuan riset tersebut?

Riset ini untuk mencari tahu persepsi masyarakat tentang kebebasan pers. Karena ada yang menilai bahwa pers selama ini telah kebablasan. Pers setelah adanya UU Pers telah kebablasan. Tapi ternyata, hasil yang ditemukan adalah tidak demikian.

Apa saja hasilnya?

Sebagian responden menilai pers kita masih berada pada posisi yang sebenarnya. Sebanyak 54 persen responden menilai bahwa pers telah bebas memberitakan apa saja tanpa ditekan pihak manapun. Sebesar 63 persen tidak setuju dengan pernyataan bahwa media Indonesia saat ini sudah kebablasan. Dan 26 persen setuju dengan pernyataan media saat ini sudah terlalu bebas. Hasil ini menarik karena ke depan, kita harus lebih menjaga peran pers pada posisi yang diharapkan masyarakat agar dapat menjadi pilar yang mencerahkan. Tetapi ada hal yang mungkin bisa menjadi keprihatinan kita.

Apa itu?

Karena di sisi lain masyarakat kita masih belum paham dalam mengatasi sengketa yang ditimbulkan oleh pemberitaan pers. Karena ternyata, sebagian besar responden, 45 persen, menyatakan menempuh jalan melalui polisi. Sedangkan 35 persen memilih melakukan hak jawab pada media. Data ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat pada sengketa pers masih kurang. Yang lainnya adalah soal pembredelan. Sebanyak 42,3 persen responden tidak setuju jika pemerintah membredel pers. Tapi 33,4 persen setuju kalau pemerintah melakukan pembredelan.

Sekitar 45 persen menyatakan sengketa pers dibawa ke polisi. Kesimpulan apa yang Anda tarik?

Saya kira memang perlu ada kesepahaman semua pihak bahwa apa yang dilakukan oleh pers adalah menjalankan fungsi sesuai yang diharapkan masyarakat. Karena itu, jangan sampai, ketika pers melakukan kesalahan, langsung dituduh atau dianggap sebagai musuh. Karena itu kita meminta agar media perlu ditempatkan pada porsi dan posisi yang sebenarnya. Ketika ada kesalahan, atau pelanggaran etika pers, maka sebaiknya yang dilakukan adalah melalui komunikasi dengan media. Dan tentunya juga salurannya adalah melalui Dewan Pers. Kalau hal ini dilakukan, saya kira pers kita akan menjadi media yang menjadi lebih baik dan dewasa. Tapi saya kira, apa yang terjadi saat ini, misalnya maraknya tuntutan kepada pers, merupakan gejolak yang terjadi di tengah masyarakat.

Akhir-akhir ini muncul demonstrasi terhadap media, terutama media lokal. Tapi, 66 persen responden tidak setuju dengan cara demonsrasi itu. Mengapa?

Saya kira hal itu memang sangat bergantung pada situasi politik di daerah, dan bagaimana media bisa menempatkan diri di daerah tersebut. Saya kira media kita harapkan bisa berdiri di tengah. Ketika pers di suatu tempat bisa berinteraksi secara adil baik dengan pemerintah maupun masyarakat, saya kira demonstrasi bisa dieliminasi. Namun, masyarakat juga harus terus disadarkan bahwa fungsi pers adalah melakukan kontrol terhadap pemerintah dan publik. Dengan kesadaran itu, maka keharmonisan bisa terjalin. Keharmonisan inilah yang perlu terus dibina. Karena itu, ke depan, Dewan Pers akan menyosialisasikan segala peraturan berdasarkan hasil dari riset yang kita lakukan itu.

Muncul wacana merevisi UU Pers. Apa pendapat Anda?

Saya kira UU Pers yang ada sudah cukup bagus dan masih relevan menjaga kebebasan pers sehingga dapat menjaga hubungan harmonis antara pers dengan berbagai pihak. Karena itu, hemat saya, UU Pers tidak perlu direvisi. Sikap ini juga telah diungkapkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Muhamad Nuh). Karena ketika direvisi maka bisa muncul trauma seperti masa lalu yakni pers dikontrol dan dikendalikan pemerintah. Ketika wacana revisi UU Pers muncul, maka pemerintah saat ini akan dinilai hendak mengembalikan kondisi masa lalu itu yakni kembali mengotrol pers. Karena itu, dengan data survei ini maka revisi itu tidak perlu dilakukan. Tapi memang persoalannya, wacana revisi itu bisa muncul sebagai hak inisiatif dari DPR.

Mengapa muncul dari DPR?

Bisa jadi, sebagai anggota DPR mereka merasa terganggu oleh kemerdekaan pers. Padahal mereka tidak sadar bahwa mereka bisa menduduki kursi DPR karena adanya kemerdekaan pers tersebut. Kemerdekaan pers itulah yang membuat masyarakat menjatuhkan pilihan kepada mereka dalam pemilu. Tapi ketika mereka sudah duduk pada kursi kekuasaan, malah yang muncul adalah hendak mengembalikan iklim represif itu. Ini kan ironis.

Apa yang dilakukan Dewan Pers ke depan?

Dari hasil survei ini, saya kira, yang menjadi tugas Dewan Pers ke depan adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat misalnya terkait sengketa dengan media. Dewan Pers akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas agar mereka menggunakan koridor melalui Dewan Pers. (by: Fransiskus Saverius Herdiman)

Artikel ini disarikan dari talkshow di jaringan Radio 68 H yang terselenggara atas dukungan Dewan Pers dan Yayasan TIFA. Harian JURNAL NASIONAL, Jumar, 2 Mei 2008.

Sumber

Tidak ada komentar: