Esensi Jurnalisme

Oleh Ignatius Haryanto

Pertengahan Juli 2012, tak kurang dari 55 pemimpin redaksi dari sejumlah media berkumpul dan mendeklarasikan berdirinya Forum Pemred.

Ketua Pengurus Harian Forum Pemred Wahyu Muryadi menegaskan, forum yang dibentuknya bersama puluhan pemred media massa itu bebas dari berbagai kepentingan. ”Pers Indonesia adalah pers yang menjunjung tinggi prinsip independensi dari pengaruh kekuasaan, kelompok kepentingan, kekuatan ekonomi, dan pihak-pihak lainnya,” ujar Pemred Tempo ini.

Tantangan paling konkret Forum Pemred adalah bagaimana mengembalikan esensi jurnalisme, informasi berkualitas, dan pengabdian kepada publik yang menjadi tujuan akhir media-media yang ada. Sudah makin nyata pers di Indonesia saat ini dalam kondisi yang tak sehat. Pers yang bebas atau independen dari pengaruh kekuasaan, baik ekonomi ataupun politik, semakin sedikit dan pada akhirnya publik juga yang menerima kerugian ini.

Jurnalisme dan Media Sosial

ilustrasi
Oleh Ignatius Haryanto

Betulkah media sosial akan membunuh jurnalisme? Ini salah satu pertanyaan yang tengah banyak dibahas di berbagai forum.

Paling tidak dalam bulan September ini saja ada tiga forum yang membicarakan kedua hal di atas. Rupa-rupanya banyak orang ingin makin mengerti dan mendalami hubungan kedua hal ini, mencoba melihat hubungan positif dan negatif antara jurnalisme dan media sosial.

Media sosial yang muncul belakangan ini—dalam rupa seperti Facebook, Twitter, dan Linkedin—memang mengubah panorama jurnalisme di Indonesia, terutama yang menyangkut proses pengumpulan berita, proses pembuatan berita, dan proses penyebaran berita.

Dalam proses pengumpulan berita, sudah menjadi umum sekarang ini jika ”status” yang ditunjukkan oleh para orang terpandang—ataupun orang yang biasa jadi narasumber—dalam aneka media sosial mereka bisa menjadi bahan, yang kemudian ditulis di media massa mainstream.

Dikeroyok Aparat Desa Wartawati TV di Kaltim Keguguran

ilustrasi
TRIBUNMANADO.CO.ID, SAMARINDA - Aksi kekerasan terhadap jurnalis menimpa Nurmila Sari Wahyuni (23), jurnalis Paser TV, dia dirawat intensif di RSUD Panglima Sebaya, Paser. Nurmila bahkan sampai keguguran. Peristiwa itu terjadi karena pengeroyokan oknum aparat desa dan belasan orang tak dikenal saat meliput sengketa tanah, Sabtu (2/2/2013).

Keterangan diperoleh detikcom, Yuni bermaksud meliput persoalan sengketa tanah di Desa Rantau Panjang, Kabupaten Paser, ditemani rekannya yang membonceng. Di hadapannya terdapat aksi pengerusakan sebuah rumah. Saat itu, Yuni bermaksud melakukan pengambilan gambar.

"Ada oknum aparat desa memukul pipi saya dan kamera saya serta tas dirampas," kata Yuni saat dihubungi detikcom, Minggu (3/2/2013).

Oknum aparat desa berinisial Iy itu, tidak hanya memukul dan merampas tas Yuni, namun beserta belasan orang tak dikenal itu juga menginjak-injak perut Yuni hingga terhempas dan tersungkur ke tanah.

Sekilas Sejarah Pers Indonesia (3-habis)

ilustrasi
CITRA PEMERINTAH MEMBURUK

Pada tahun 1993, lembaga riset ternama di Hong Kong, Political and Economic Risk Consultancy menyiarkan hasil survei para eksekutif bisnis yang menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara paling korup di Asia. Di satu pihak, pemerintah selalu membantah tuduhan-tuduhan meluasnya korupsi di tubuh birokrasi.

Di lain pihak, kepercayaan terhadap pemerintah terus terpuruk. Kasus pembreidelan bulan Juni 1994 terhadap tiga penerbitan pers yang berpengaruh --- Tempo, Detik dan Editor  --- memperkuat citra otoriter pemerintah Soeharto, tindakan tersebut ibarat melempar bensin ke bara. Kasus Tempo mengundang perhatian luas karena menyangkut dugaan penyimpangan dalam pembelian kapal-kapal perang bekas asal Jerman Timur oleh pemerintah Indonesia. Pimpinan Tempo menggugat pemerintah ke pengadilan, dengan hasil menang di tingkat pengadilan tinggi tetapi dikalahkan di Mahkamah Agung.

Sekilas Sejarah Pers Indonesia (2)

ilustrasi
Selain itu, selama perundingan Indonesia-Belanda berlangsung di Den Haag, pers Republiken secara tegas menolak pembentukan negara-negara kecil yang didukung Belanda, seperti Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947), Negara Madura (1948), Negara Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948), Negara Djawa Timur (1948) dan lain-lain. Dan tatkala Partai Komunis Indonesia memberontak terhadap pemerintahan republik, pers nasional mengutuk pengkhianatan tersebut.


Pengalaman dan pengorbanan para pejuang pers sejak Proklamasi, mulai dari perlawanan terhadap pendudukan tentara Sekutu hingga berakhirnya Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 2 September 1949, yang menghasilkan pengakuan Belanda atas kemerdekaan dan kedaulatan RI, telah meneguhkan perjuangan mereka menentang pelanggaran terhadap prinsip-prinsip nasional yang melandasi berdirinya Republik Indonesia.

Sekilas Sejarah Pers Nasional (1)

ilustrasi
Oleh  Tribuana Said

I . DEMI INDONESIA MERDEKA

Dalam sejarah mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai patriot bangsa  bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air yang berjuang untuk menghapus penjajahan. Di masa pergerakan, wartawan bahkan  menyandang dua peran sekaligus,  sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional dan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan,

Kedua peran tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik. Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategik sendiri dalam upaya berlanjut untuk mewujudkan cita-cita  kemerdekaan.

Habibie Batalkan Negosiasi ketika Tempo Dibredel

BJ Habibie
Manado (Tempo Interaktif) - Kepergian B.J. Habibie ke Jepang untuk bernegosiasi dengan pemerintah Jepang akhirnya batal ketika mendengar majalah Tempo diberedel.

Habibie, yang kala itu sedang bernegosiasi, mendapatkan telepon dari Parni Hadi yang melaporkan pemberedelan tersebut. Ketika itu, Parni meminta Habibie melakukan sesuatu.

"Saya diminta Parni Hadi melakukan sesuatu, katanya kasihan adik-adik di Tempo," kata Habibie ketika menerima penghargaan Medali Emas Kemerdekaan Pers di Manado, Sulawesi Utara, Jumat malam, 8 Februari 2013.

Parni Hadi saat itu adalah wartawan Kantor Berita ANTARA dan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Umum Republika, serta Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Menurut Habibie, Parni adalah satu-satunya wartawan yang memiliki akses langsung dengannya.

Catatan PWI NTT Mengikuti HPN Manado 2013

Delegasi PWI Cabang NTT di HPN Manado 2013
Rangkaian acara Hari Pers Nasional (HPN) 2013 berlangsung tanggal 07-11 Februari 2013 di Manado - Sulawesi Utara, dengan tema "Merajut Kejayaan Indonesia."