Presiden Ingin Pers Wacanakan Pemimpin Masa Depan

Presiden SBY saat berkunjung ke Pulau Sumba, NTT
JAKARTA (Jambi Independent) - Hajatan pemilihan umum (pemilihan legislatif dan presiden) 2014 masih dua tahun lagi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta media memberikan ruang kepada mereka yang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin.

"Presiden menganjurkan pers mulai mendiskusikan dan memberikan ruang kepada mereka yang potensial untuk memimpin Indonesia ke depan," kata Ketua Dewan Pers Bagir Manan usai melaporkan persiapan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Kantor Presiden, Senin (8/2/2012).

Selain itu, SBY juga meminta bantuan pers untuk mencermati hal-hal yang dikhawatirkan bisa mengganggu pembangunan demokrasi. Misalnya, pelaksanaan pilkada. "Apabila pilkada itu disertai dengan praktik yang tidak sehat seperti money politic, demokrasi tidak dapat berkembang dengan baik," kata Bagir

Menkominfo Tifatul Sembiring menambahkan, presiden berharap media mulai menyosialisasikan hajatan pesta demokrasi 2014 itu. "Ini penting untuk disosialisasikan kandidat yang tampil, background-nya. Kemudian juga partai-partainya, karena perlu pembelajaran detail," terangnya.
Dalam kesempatan itu, lanjut Bagir, presiden mengulangi komitmennya mengenai kemerdekaan pers. Menurut SBY, hal itu tidak perlu dipersoalkan lagi. "Kemerdekaan pers itu lebih baik daripada tidak sama sekali," kata Bagir mengutip ucapan SBY.

Peringatan HPN 2012 akan dihelat di Jambi, 9 Februari mendatang. Selain Bagir dan Tifatul, hadir dalam pertemuan itu antara lain Menteri BUMN Dahlan Iskan yang juga ketua Serikat Perusahaan Pers, Ketua PWI Margiono yang menjadi penanggung jawab HPN 2012, Ketua Radio Siaram Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Rohmad Hadiwijoyo, dan tokoh pers Tarman Azzam serta Bambang Harymurti.

Margiono menuturkan, dalam puncak peringatan HPN 2012, akan diberikan medali emas kemerdekaan pers kepada Mendikbud M. Nuh. "Penghargaan ini karena konsistensi dan dukungan konkret beliau terhadap peningkatan profesionalisme wartawan," katanya. Penghargaan serupa pernah diberikan kepada Presiden SBY, TNI, dan Mahkamah Agung.

"Selain itu, juga diberikan penghargaan spirit jurnalisme kepada tokoh pers yang konsisten dan terus berkarya jurnalistik. Tahun ini, penghargaan itu diberikan kepada Atmakusumah Astraatmadja. Penghargaan itu antara lain pernah diterima oleh Dahlan Iskan, Jacob Oetama, dan Rosihan Anwar.

"Nanti dewan pers juga akan mengumumkan dan mendeklarasikan berlakunya sertifikasi wartawan," katanya. Ke depan, juga akan diberlakukan satu standar mengenai penerbitan, perlindungan, dan kesejahteraan wartawan. "Secara bertahap itu akan jalan," sambung Margiono. (*)

Wartawan Tak Perlu Takut Lagi Hadapi Sengketa Pers

Kapolri Timur Pradopo (kiri) dan Bagir Manan
JAMBI (Jambi Independent) - Puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Gedung DPRD Provinsi Jambi, Kamis (9/2/2012), menjadi tonggak berdirinya sistem penegakan hukum yang baru terhadap insan pers di Indonesia. Karena, salah satu agenda dalam acara yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY) itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menandatangani memorandum of understanding (MoU) dengan ketua Dewan Pers terkait penanganan hukum sengketa pers.

Dengan ditandatanganinya kesepahaman ini, ke depan awak media tak perlu khawatir lagi menghadapi laporan pidana terkait produk jurnalistiknya. Sebab, Polri akan menolak menerima laporan jika masih terkait dengan kode etik pers. Demikian juga bila ada pemeriksaan terhadap wartawan, Polri akan meminta keterangan ahli dari Dewan Pers.

Usai acara, Kapolri Jendral Timur Pradopo terlihat lega dengan penandatanganan ini. Sambil berjalan di belakang iring-iringan Presiden SBY, Timur mengatakan, seluruh insan pers harus menyambut baik penandatanganan kesepakatan antara pihaknya dengan Dewan Pers.“Kesepakatan ini adalah bentuk penegasan kami untuk menegakkan hukum,” katanya.
Timur menjelaskan, selama ini memang banyak laporan yang dipicu dari sengketa pers. Ke depan, dia mengatakan seluruh sengketa pers akan diselesaikan dengan UU Pers itu sendiri, dengan kata lain tidak dengan UU Pidana.

Meski demikian, aparat kepolisian tetap siap menindak jika ada masyarakat pers yang nyata-nyata tersangkut urusan pidana. Misalnya terbelit urusan narkoba, pemerasan, atau penipuan berkedok pers. “Kita lihat bersama nanti dalam perjalanannya seperti apa,” ujar jendral bintang empat itu lantas bergegas pergi.

Ketua Dewan Pers Bagir Manan, ditemui usai acara mengatakan, MoU ini sebagai upaya untuk melindungi kebebasan pers, yaitu wartawan. Sebenarnya, lanjut dia, sebagian besar isi MoU itu sudah dilaksanakan. Misalnya, jika ada wartawan yang dipanggil polisi, mereka (Polri) menulis surat kepada Dewan Pers untuk memberitahukan.

“Jika masalah itu sudah diteruskan kepada pemeriksaan, Polri akan meminta keterangan ahli ahli dari kalangan pers atau Dewan Pers,” jelasnya. Menurut Bagir, kesepahaman dengan Polri ini, secepatnya akan disosialisasi ke daerah-daerah.

Mantan Ketua Mahkamah Agung ini mengingatkan, meski sudah ada MoU dengan Polri, wartawan tidak melakukan kesalahan dalam bertugas. Karena, kemerdekaan pers belumlah sangat aman, walaupun telah dijamin secara normatif.

Sebelumnya, pada awal pembukaan acara, Ketua Umum PWI Pusat Margiono dalam sambutannya mengatakan, kalau ada sengketa pers harus diselesaikan dengan UU Pers. Tidak lagi menggunakan pendekatan penyelesaian dengan jalan KUHP. Entah itu terkait pasal pencemaran nama baik ataupun pasal penghinaan dan tindakan tidak menyenangkan.

“Tetapi jika ada pekerja pers yang memeras atau melakukan penipuan, tetap bisa ditindak secara hukum pidana,” kata dia.

Dia menjelaskan, selama ini organisasi pers telah tumbuh subur. Margiono menuturkan, peran organisasi pers ini bisa membantu mengawal perjalanan kesepakatan antara pihaknya dengan Polri.

Margiono yakin jika sejumlah organisasi pers sudah bisa menentukan sikap akan membela orang yang benar-benar menghasilkan karya jurnalistik dengan benar. Menurut Margiono, hingga kini kepercayaan masyarakat terhadap dunia pers mencapai sebanyak 80 persen.

Untuk itu, kepercayaan ini harus diisi dengan profesional dan kompeten. “Untuk itu, peringatan HPN di Jambi menjadi tonggak sejarah dimulainya pelaksanaan program sertifikasi profesi jurnalis yang telah memenuhi standar kompetensi wartawan,” ujarnya.

Dia menjelaskan, sertifikasi profesi wartawan itu diberikan setelah wartawan yang bersangkutan lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW), penerapan standar kompetensi itu sebagai salah satu tindak lanjut dari sertifikasi piagam Palembang yang ditandatangani oleh 10 pemimpin kelompok perusahaan pers pada acara HPN 2010 di Palembang, Sumatera Selatan.

Gubernur Jambi Hasan Basri Agus mengucapkan rasa terima kasih terhadap panitia atas suksesnya pelaksanaan HPN 2012 ini. HBA juga sedikit menyampaikan bahwa perusahaan pers sangat mendukung dirinya dalam perwujudan visi misi Provinsi Jambi.

“Dengan memberikan kritikan dan pendapat serta informasi tersebut, ini sangat membantu kami dalam mencapaian visi misi, yakni Jambi Emas,” ujarnya.

Dia juga menyarankan, agar pers tetap konsisten untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat. “Di Jambi, pers lokal telah memberikan kontribusi yang baik untuk pembangunan Jambi. Dan bahkan perkembangan saat ini cukup luar biasa,” cetusnya.

Sementara itu, Presiden SBY menghargai upaya Dewan Pers menjalankan sertifikasi kompetensi wartawan. SBY juga berpesan secara khusus kepada masyarakat pers. Dia mengatakan, saat ini masih ada sejumlah pemberitaan yang tidak berimbang. “Yang dimuat serba buruk, tidak ada serba baiknya,” ujar SBY yang hadir bersama Ibu Negara Ani Yudhoyono itu. Sebaliknya, masih ada juga media yang menambilkan pemberitaan yang serba baik, tanpa ada serba buruknya.

Untuk itu, SBY mengatakan, kemerdekaan pers cukup penting. Sehingga bisa menjalankan fungsi kontrolnya. Dia mengingatkan jika saat ini masyarakat itu mengidamkan sajian informasi yang berimbang. “Masyarakat butuh informasi yang utuh,” kata Kepala Negara. (*)

Medali Emas Kemerdekaan Pers untuk Mohamad Nuh

M Nuh dan Medali Emas Kebebasan Pers 2012
Jambi (PWI News) - Komunitas Hari Pers Nasional (HPN) 2012 sepakat menganugerahi Medali Emas Kemerdekaan Pers kepada Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dan mantan Menteri Komunikasi dan Informatika.
 
Penghargaan diserahkan oleh Ketua/Penanggungjawab HPN 2012, H. Margiono, di Kota Jambi, Kamis (8/2/2012). Dalam acara puncak peringatan HPN itu dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ibu Negara H. Ani Yudhoyono, selain sejumlah pejabat negara, utusan negara sahabat dan para tokoh pers nasional.
 
Anugerah tersebut diberikan kepada Mohammad Nuh atas komitmennya membela kemerdekaan pers dari sisi pengembangan sumber daya manusia (SDM), dan saat menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika menegaskan bahwa karya jurnalistik bukanlah obyek dari penerapan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Perhatian Mohammad Nuh dari sisi pengembangan sumber daya manusia (SDM) kewartawanan diwujudkan dengan Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) yang terus berkarya melahirkan insan pers berkualitas.

Bahkan, Margiono menyebut, "Pak Nuh sering mengambil kebijakan membela kepentingan wartawan tanpa berkoordinasi terlebih dulu dengan staf dan jajaran di kementeriannya. Mungkin beliau tahu, paham, bakal repot kalau harus menggunakan birokrasi untuk mendukung kemerdekaan pers."
 
Usai acara puncak HPN 2012 di Kota Jambi, Mohammad Nuh merasa terhormat menerima anugerah tersebut. “Buat saya tidak ada alasan menghambat kerja wartawan, karena sesungguhnya mereka adalah mitra.” ujarnya.

Komunitas Hari Pers Nasional (HPN) melibatkan Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Perusahaan perS (SPS), Serikat Grafika Pers (SGP), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan Asosiasi Televisi Lokal Seluruh Indonesia (ATVLI). (*)

Presiden Tuangkan Keresahan di HPN 2012

Presiden SBY
JAMBI (Jambi Independent) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlihat resah ketika berpidato pada puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2012 di Jambi Kamis (9/2/2012). Presiden asal Pacitan, Jawa Timur, itu resah karena banyak persoalan masyarakat hingga saat belum tuntas. Mulai dari urusan perburuhan, sengketa tanah, hingga persoalan agama.

 SBY menjelaskan, selama ini penyelesaian persoalan-persoalan yang menjadi dilema di masyarakat belum tuntas. Misalnya, urusan sengketa perusahaan dengan masyarakat di sekitar tempat industri.

 "Perusahaan juga terlibat persoalan dengan pekerja," ujar SBY. Perselisihan antara perusahaan dengan buruh diantaranya yang cukup menyita perhatian adalah di Bekasi dan Tangerang. Para buruh yang tidak terima asosiasi pengusaha memperkarakan penetapan UMR, nekat menutup akses tol Cikampek. Saat itu, presiden langsung menginstruksikan Menakertrans Muhaimin Iskandar untuk menengahi perselisihan ini. 

Polemik lain yang disebut SBY adalah, perselisihan dalam ranah keagamaan. Mulai dari perselisihan antar sesama agama, hingga persoalan pemeluk antara agama. Persoalan lain yang dianggap SBY belum tuntas pemecahannya adalah, kisruh perusahaan perkebunan dengan masyarakat adat setempat. Kisruh ini, selanjutnya juga bisa merembet pada konflik perselisihan tanah atau agraria. "Selama belum tuntas, jangan dilepas," tutur SBY. 

Sebab, bisa membuat persoalan itu semakin kompleks. SBY juga mengingatkan, andai ada penyelesaian sebuah persoalan yang belum tuntas, jangan sekali-kali dihinggapi atau dicampuri pihak lain. "Sekali lagi masalah tadi bisa semakin komplek," tandas SBY. Sedangkan jika penyelesaian persoalan itu sudah beres dan menghasilan beberapa kesepakatan bersama, harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Khusus untuk polemik-polemik kemasyarakat yang terindikasi memiliki sensitivitas tinggi, SBY meminta Polri terus mengawal dengan sungguh-sungguh. 

"Tidak perlu sampai ada istilah pembiaran," kata SBY. Apakah itu pembiaran oleh aparat penegak hukum, atau bahkan pembiaran oleh negara. SBY meminta setiap ada sengketa atau permasalahan di masyarakat, Polri harus mengambil langkah-langkah antisipasi dengan cepat. (*)

Pers Nasional Belum Sepenuhnya Merdeka


JAMBI (Jambi Independent) - Meski telah dijamin undang-undang, hingga kini pers belum sepenuhnya merdeka. Hampir setiap tahun sejumlah komunitas pers mengamati ada degradasi kemerdekaan pers. Dimana timbul semacam kesenjangan antara das sollen (normatif) dengan das sein (kenyataan praktik).
“Hal ini dibuktikan dengan masih adanya kekerasan terhadap pers, seperti penganiayaan, pembunuhan wartawan, pengerusakan peralatan jurnalistik dan bangunan tempat mengelola pers,” ujar Ketua Dewan Pers Bagir Manan saat menjadi pembicara dalam Konvensi Media Massa di Abadi Convention Center (ACC) Jambi, Selasa (8/2/2012). Konvensi digelar menyambut peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2012.

Bagir mengangkat tema, “Mengapa hingga hari ini komunitas pers Indonesia, tetap mempersoalkan kemerdekaan pers?”

Kekerasan dan ancaman kemerdekaan pers, kata Bagir Manan, diindikasikan terjadi dengan menghalang-halangi tugas jurnalistik. Seperti dilarang meliput atau dilarang memasuki tempat-tempat tertentu. Meskipun kadang-kadang pers lupa dengan kewajiban etika dan hukum, seperti privacy yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.
“Pada pembukaan peringatan HPN ini, saya telah menyebutkan, secara normatif, kemerdekaan pers telah dijamin secara expressis verbis oleh UU Pers (UU No. 40 tahun 1999). Secara implied kemerdekaan pers dijamin UUD 1945,” ujarnya. Dikatakan, terlepas dari cara-cara pers yang melaksanakan kemerdekaan pers secara tidak tepat atau berlebihan, harus diakui kemerdekaan pers walaupun telah dijamin secara normatif, belumlah sangat aman.

Dimana hambatan atau ancaman kemerdekaan pers, dapat datang dari berbagai sumber. Selama ini, yang selalu diletakkan paling depan mengancam, membatasi, atau menciderai kemerdekaan pers adalah penyelenggara kekuasaan negara atau pemerintahan. Dalam perkembangan, pembatasan, hambatan atau pencideraan kemerdekaan pers tidak hanya dipraktikkan oleh sistem kekuasaan otoriter atau kediktaturan.

Beberapa hambatan yang mengganggu kemerdekaan pers tersebut menurutnya ada tiga. Yaitu publik, kelompok kepentingan ekonomi dan pers politik. Untuk publik, dalam keadaan tertentu sering berbenturan dengan pers. Untuk kelompok ekonomi, juga kerap merasa terganggu dengan pers saat menjalankan ekonomi yang tidak sehat dan lantas mengancam atau melakukan tindak kekerasan pada pers, seperti kasus di Tangerang. Sedangkan pers politik dikatakan menghambat karena ada keberpihakan pada suatu kekuatan pilitik yang menduduki kekuasaan.

Karenanya untuk mengantisipasi hal itu, pers harus bersifat indepedent. Yang harus dijaga adalah keseimbangan. Inilah makna imparsial sebagai unsur independensi pers. Imparsial adalah keseimbangan.

Bagir Manan juga mengatakan, industrialisasi pers maupun pers sebagai industri yang bersifat ekonomi tidak mungkin dihindari lagi. “Yang perlu disadari bahwa akibat industrialisasi dan pers sebagai industri, berdampak multidimensi baik internal maupun eksternal,” ujarnya.

Menurutnya akan ada kebaikan dan keburukan yang dihadapi. Kebaikan, antara lain, pers harus benar-benar dikelola secara profesional dengan tujuan yang jelas. Keburukannya, timbul persaingan yang dapat saling mematikan, kebutuhan kapital untuk menjamin kelangsungan hidup pers.

Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring saat membuka "Konvensi Media Massa" tersebut mengatakan perkembangan teknologi informasi saat ini memiliki implikasi terhadap pola, perilaku, eksistensi pers dan media massa. “Setiap orang dapat bertindak, menjadi konsumen atau pengguna informasi dan sekaligus sebagai produsen informasi atau pembuat informasi bagi orang lain,” ujarnya.

Tifatul juga tak lupa mengucapkan selamat kepada segenap insan pers nasional, serta seluruh elemen masyarakat yang selama ini berkontribusi dalam kehidupan. Dengan HPN dapat menjadi langkah konsolidasi kebangkitan pers nasional di era keterbukaan informasi. (*)

Tahun 2011: Kekerasan Fisik terhadap Jurnalis Meningkat

ilustrasi
Meski ancaman kekerasan yang dihadapi oleh jurnalis di tahun 2011 mengalami penurunan yaitu 49 kasus dari tahun sebelumnya yang tercatat 51 kasus, namun jumlah kekerasan fisik terhadap jurnalis justru mengalami peningkatan.

Sepanjang tahun 2011, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), mencatat, pers di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, diantaranya, ancaman kekerasan terhadap jurnalis, persoalan etika pemberitaan, pemusatan kepemilikan media, tidak berimbangnya komposisi jurnalis perempuan dan laki-laki serta isu kesejahteraan dan peningkatan kapasitas jurnalis.

Dalam catatan akhir tahun yang disampaikan oleh Ketua Umum AJI Indonesia, Eko Maryadi, Rabu siang (28/12/2011), di Jakarta, disebutkan, meski ancaman kekerasan yang dihadapi oleh jurnalis mengalami penurunan yaitu 49 kasus dari tahun sebelumnya yang tercatat 51 kasus, namun jumlah kekerasan fisik terhadap jurnalis justru mengalami peningkatan.

“Jumlah kekerasan tahun 2010 lalu ada 51 kasus kekerasan dan tahun ini ada 49 kasus kekerasan. Namun jumlah kekerasan fisik justru meningkat dari 16 menjadi 19 kasus pada tahun ini. Kekerasan fisik ini didominasi oleh aparat pemerintah, baik sipil maupun militer termasuk polisi dan kelompok massa,” ujar Eko Maryadi.

Sorotan lain dari organisasi profesi jurnalis ini adalah terkait etika pemberitaan dan peningkatan kapasitas jurnalis. Dalam pantauan AJI tiga masalah mendasar yang masih meliputi pemberitaan pers adalah data yang tidak berimbang, mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi dan pemberitaan yang tidak akurat.

Eko Maryadi menambahkan, “Kendati jumlah pelanggaran etika jurnalistik cenderung menurun, AJI mengingatkan para jurnalis mulai dari level editor sampai reporter agar meningkatkan ketaatan terhadap kode etik, menghindari pemberitaan yang tidak akurat dan meningkatkan profesionalisme jurnalis di semua level.”

Untuk 4 tahun ke depan AJI telah membentuk Majelis Etik yang beranggotakan para jurnalis senior untuk memeriksa dan mengadili setiap pelanggaran kode etik jurnalistik.

“Kepada publik AJI meminta agar setiap permasalahan pelanggaran etika bisa diselesaikan melalui mekanisme hak jawab, pengaduan ke Dewan Pers dan melaporkan wartawan ke perusahaan media atau melaporkan wartawan ke organisasi wartawan yang ada,” imbau Eko Maryadi.

Pelanggaran etika pemberitaan oleh jurnalis dinilai masih cukup banyak terjadi. Dalam wawancara terpisah dengan VOA Wakil Ketua Dewan Pers, Wina Armada mengatakan:.

“Kalau dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya pelanggaran etika yang dilakukan oleh media-media mainstream jumlahnya memang berkurang. Akan tetapi, pelanggaran etika yang dilakukan oleh media-media katakanlah yang bukan mainstream atau bukan berpengaruh justru meningkat.”

Selain kepada pers, AJI meminta kepada perusahaan media agar bertanggungjawab atas hak-hak dasar jurnalis dengan memberikan perlindungan profesi, standar keselamatan kerja serta meningkatkan kesejahteraan jurnalis.

Catatan akhir tahun ini mengingatkan pula para jurnalis Indonesia akan ancaman intervensi dalam pemberitaan terkait pemusatan kepemilikan media penyiaran saat ini. Menyikapi hal ini lebih lanjut Wina Armada menilai pers akan menghadapi sikap kritis dari masyarakat.

“Apabila wartawan tidak menyiarkan dan tidak memberitakan realitas yang sebenarnya, maka fungsi pers akan diambil oleh media sosial karena media sosial lebih jujur dan mengangkat masalah yang sebenarnya terjadi, dan ini bisa menjadi pukulan besar bagi pers,” demikian menurut Wina Armada.

Sumber: Voice of America 28 Desember 2011

Tahun 2011, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat

JAKARTA, KOMPAS.com — Data yang dimiliki Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menunjukkan, sepanjang 2011, tindak kekerasan terhadap jurnalis semakin meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2010. Tahun ini, kasus kekerasan terhadap jurnalis tercatat 96 kasus, sementara tahun 2010 ada 69 kasus.

Tuntutan pidana juga ikut meningkat seiring dengan kekerasan terhadap pekerja pers tersebut. Hal itu dikatakan Hendrayana, Direktur Eksekutif LBH Pers, di kantornya, Jalan Kalibata Timur IV, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (28/12/2011).

Ada pihak-pihak tertentu yang mencoba memberangus kebebasan pers dengan cara kriminalisasi. Bahkan, sampai ada upaya membangkrutkan media dengan tuntutan ganti rugi yang tak proporsional.

"Ada pihak-pihak tertentu yang mencoba memberangus kebebasan pers dengan cara kriminalisasi. Bahkan, sampai ada upaya membangkrutkan media dengan tuntutan ganti rugi yang tak proporsional," ujarnya.

Ia mengungkapkan, peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap jurnalis selama ini merupakan catatan buram bagi penegakan demokrasi di Indonesia.

"Pers adalah bagian dari empat pilar demokrasi, kemerdekaan menyampaikan fakta dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, Pasal 4 Ayat (3)," tambahnya.

LBH Pers mencatat, selama tahun 2011 terjadi 96 tindak kekerasan, baik fisik maupun nonfisik, terhadap jurnalis dengan jumlah terbesar dialami jurnalis media surat kabar harian. Sementara jurnalis media televisi, online, radio, dan majalah menempati urutan selanjutnya.

Hendrayana mengatakan, LBH Pers terus mengingatkan kepada sejumlah pihak untuk memberikan jaminan bagi kebebasan pers yang merupakan amanat konstitusi.

Selain itu, mereka juga berharap pihak kepolisian bersikap transparan dalam menangani dan menyelidiki kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.

"Polisi seperti tidak maksimal dalam mengusut kasus-kasus pembunuhan jurnalis dan menyeret pelaku ke pengadilan," katanya.

Sumber: Kompas.Com, 28 Desember 2011